Senin, 10 Mei 2010

Nasionalisme Melalui Ritel


INILAH.COM, Jakarta – Pengusaha Chairul Tanjung kembali melebarkan sayap bisnisnya. Tak tanggung-tanggung, ia mengambil alih bisnis ritel perusahaan multinasional. Indikasi bangkitnya kesadaran nasionalisme?

"Saya berharap akuisisi ini dapat membangkitkan semangat perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk terus tumbuh menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan menjadi kebanggaan bangsa," ujar Chairul kepada wartawan, baru-baru ini.

Pimpinan jaringan bisnis Para Group ini tampaknya gerah dengan sikap perusahaan dalam negri yang justru gemar menjual aset-asetnya kepada investor asing. Tak heran bila dalam jumpa persnya di Gedung Menara Bank Mega, Jakarta, beberapa waktu lalu, ornamen serba merah putih nampak memenuhi ruangan.

Chairul kini sudah mulai merambah sektor ritel, meski bisnis sebelumnya sudah menggurita di bidang media, lifestyle dan entertainment. Sebanyak 40% saham jaringan ritel terbesar di Indonesia, PT Carrefour Indonesia, yang notabene anak perusahaan raksasa ritel asal Prancis, Carrefour SA, dibeli dengan merogoh kocek US$300 juta.

Trans Corp resmi menjadi pemegang saham tunggal terbesar di Carrefour, dengan akuisisi melalui PT Trans Ritel, anak perusahaan barunya. Pascaakusisi saham, Chairul akan menjabat Presiden Komisaris PT Carrefour Indonesia.

Untuk anggota komisarisnya, ia mengangkat dua jenderal purnawirawan, yakni mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono dan mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) S Bimantoro. Hal ini semakin menegaskan pasar modern ritel Carrefour adalah milik anak bangsa.

Pria kelahiran Jakarta, 16 Juni 1962 silam ini mengungkapkan keinginannya untuk menjadikan Carrefour berpengaruh besar dalam distribusi barang dan komoditas di Indonesia. Selain itu bisa memuaskan serta memenuhi kebutuhan masyarakat. ''Saya ingin memastikan bahwa sembako dijual dengan harga terbaik di Carrefour,'' ucapnya.

Chairul pun bertekad segera merampungkan kasus monopoli dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang masih mendera Carrefour. ''Sebagai pemilik baru Carrefour, saya akan minta waktu pada KPPU untuk menyampaikan tentang kondisi Carrefour sekarang,'' jelasnya.

Dengan pembelian tersebut, bisnis Chairul kini semakin lengkap, mulai bank, televisi dan hiburan, sampai waralaba. Kerajaan bisnisnya pun membuatnya hidup bergelimang harta. Lihat saja awal bulan lalu, dimana dengan kekayaannya, nama Chairul berhasil masuk dalam daftar 1.000 orang terkaya dunia versi majalah Forbes.

Di sini, ia menempati posisi 937 dengan materi sebesar US$1 miliar atau Rp9 triliun. Sedangkan pada 2009 lalu, Ia juga sempat dinobatkan sebagai 40 orang terkaya di Indonesia.

Chairul bukan tergolong pengusaha "mendadak sukses”. Ia mengaku saat memulai membangun kerajaan bisnisnya, ia sudah terbiasa bekerja lebih dari 18 jam per hari. "Dengan bekerja keras dan kemampuan entreprenuer serta manajerial yang baik, Anda dapat menjadi seperti saya. Tidak lagi semata-mata modal," ujarnya.

Mengawali kiprah bisnis semasa kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Chairul muda merintis bisnisnya. Di bidang keuangan, ia mengambil alih Bank Karman dan mengganti namanya menjadi Bank Mega. Kini bank tersebut menjadi salah satu bank papan atas.

Chairul juga memiliki perusahaan sekuritas dan mulai merambah bisnis asuransi jiwa dan kerugian. Di bisnis properti, Chairul mempunyai kompleks pertokoan Bandung Supermal.

Mal seluas tiga hektar ini menghabiskan dana sekitar Rp 99 miliar. Rencananya, di sisa lahan seluas delapan hektar ia akan membangun hotel, restoran, dan bangunan pendukung lainnya.

Bisnis Chairul yang paling berhasil adalah Trans TV dengan 21 menara yang mencakup seluruh Jawa, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Papua. Terakhir, melalui Para Group, Chairul melebarkan bisnisnya di media pertelevisian dengan membeli TV7 dan mengubah namanya menjadi Trans7.

Tak hanya bisnis, Chairul pun sempat aktif di dunia olahraga. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI). [mdr]

Jumat, 07 Mei 2010

Buah


Segerombolan murid-murid sekolah dasar berjalan menapaki tepian parit di persawahan dan ladang nan luas. Mereka mengikuti langkah guru mereka yang sesekali menunjuki mana jenis pohon yang mungkin belum mereka ketahui.

“Anak-anakku, inilah pepohonan yang mungkin sering kamu sebut, tapi baru kali ini kamu jumpai,” ujar sang guru ketika mereka berhenti di tanah kosong di sebuah ladang. “Di sini ada pohon cabai, tomat, terung, mentimun, pepaya, jagung,” tambah sang guru sambil menunjuk ke ladang-ladang yang telah mereka lewati.

Seorang anak mengangkat tangan sambil berdiri di sebuah kumpulan pohon jangkung yang berdaun seperti telapak tangan terbuka. “Pak guru, kalau ini pohon apa?” ucapnya kemudian.

Sambil berjalan pelan, Pak Guru mendekati sang penanya. “Anak-anakku, ini pohon singkong,” jawab sang guru.

“Kenapa ia tidak berbuah, seperti pohon-pohon lain di ladang ini, Pak?” tanya yang lain.

“Kamu salah, anak-anakku. Tidak semua buah bisa ditampilkan ke permukaan. Karena sesuatu hal, ia disembunyikan,” jawab sang guru.

“Disembunyikan?” tanya murid yang lain.

“Ya. Karena pohon singkong bertubuh kurus dan jangkung, ia menyembunyikan buahnya di akar. Perhatikanlah!” jelas sang guru sambil bersusah payah mengangkat pohon singkong hingga akarnya tercerabut.

Tampaklah sebuah pemandangan yang mungkin baru untuk anak-anak. Mereka mendapati sebuah pohon dengan akar yang begitu besar. Itulah yang disebut guru mereka sebagai buah yang disembunyikan.
**

Dinamika hidup dengan berbagai variasinya, hampir selalu berujung pada satu tujuan: mendapatkan hasil atau buah. Berbagai variasi buah pun menjadi target mereka. Ada yang berkerja untuk mendapatkan gaji, keuntungan usaha bagi para pebisnis, kehidupan berumah tangga yang kemudian menghasilkan berbagai aset keluarga, kehidupan berorganisasi yang membuahkan berbagai keuntungan, dan lain-lain.

Sayangnya, kepicikan daya pandang sebagian kita kadang menutup adanya keberadaan buah-buah lain yang tidak selalu tampak di permukaan. Dan boleh jadi, buah yang tidak tampak itu, sebenarnya jauh lebih bernilai dari apa yang bisa dilihat, dipegang, dan kemudian habis dimakan. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Ketika Gaji Hanya Seribuan

Kamis, 06 Mei 2010 pukul 08:11:00
(www.republika.co.id)

Oleh Palupi Annisa Auliani

Berapakah gaji Anda sekarang dalam denominasi rupiah? Katakanlah Rp 1 juta per bulan. Pernahkan Anda bayangkan, gaji Anda itu 'berubah' menjadi seribu rupiah, tetapi dengan nilai yang sama? Jangan tertawa atau panik. Ini salah satu wacana yang sedang dikaji Bank Indonesia (BI) sebagai langkah penyederhanaan penulisan mata uang.

Ya, wacana itu bernama redenominasi. Dengan langkah ini, nilai mata uang tidak berubah. Hanya penulisan nominalnya disederhanakan. Salah satu kemungkinannya adalah menghilangkan tiga angka nol terakhir dari nominal mata uang saat ini. Apa sebabnya? Uang rupiah saat ini tercatat mempunyai pecahan terbesar kedua di dunia, yaitu Rp 100 ribu. Terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500 ribu dong.

Namun, tak bisa dimungkiri, wacana ini bisa jadi akan mengusik kisah kelam sanering alias pemotongan nilai mata uang yang pernah terjadi di Indonesia pada 1952, 1959, dan 1966. Pada tahun 1952 yang lebih dikenal dengan gunting Syafruddin, mata uang keluaran NICA (Belanda) dibelah dua dan hanya sebelah kiri yang berlaku dengan nilai setengahnya.

Tahun 1959, sebulan setelah Dekrit Presiden, juga dilakukan pemotongan nilai uang setengahnya. Tahun 1966, ketika inflasi sangat tinggi, uang seribu perak dipotong menjadi tinggal seperak. Ketika itu, harga rokok kretek yang semula Rp 10 ribu sempat menjadi Rp 10. Namun, situasi ekonomi yang masih kacau membuat harga barang kembali melonjak gila-gilaan, terutama bahan pokok, seperti beras yang masih banyak diimpor.

''Redenominasi berbeda dengan sanering . Ini nilainya tidak berubah, hanya penulisannya disederhanakan,'' kata Kepala Biro Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI, Iskandar Simorangkir, Selasa (4/5). Menurutnya, saat ini sudah banyak pertokoan besar yang juga sudah mempraktikkan 'redenominasi' dalam pelabelan harga.

Untuk menyederhanakan perbedaan redenominasi dengan sanering , Iskandar memberikan contoh harga beras. Misalnya, harga beras satu kilogram Rp 5.000. Dengan redenominasi, tiga digit nol dihilangkan, maka harga beras menjadi Rp 5. Harga beras tetap, hanya nominalnya disederhanakan. Daya beli uang yang terkena redenominasi pun tetap. Uang Rp 5 tetap bisa membeli satu kilogram beras.

Jika sanering yang berlaku, harga beras yang semula Rp 5.000 itu tidak serta-merta ikut menjadi Rp 5. Bisa jadi harga beras tetap Rp 5.000 atau Rp 50. ''Dengan sanering , yang berubah adalah nilai uangnya, bukan penulisan nominalnya. Ini yang merugikan rakyat,'' kata Iskandar.

Praktik redenominasi sudah ada contoh gagal dan sukses. Zimbabwe adalah contoh gagal karena redenominasi justru memicu inflasi ribuan persen. Pemotongan enam digit nominal mata uang tak diikuti dengan penyesuaian harga berdasarkan nominal baru. ''Jadi, harga barang dari sejuta bukan menjadi satu, tetapi menjadi seribu. Ini yang memicu inflasi besar-besaran di Zimbabwe,'' kata Iskandar. Kasus di Zimbabwe sebenarnya adalah redenominasi, tetapi dalam praktiknya adalah sanering . ''Ulah pedagang juga,'' kata dia.

Namun, ekonomi Zimbabwe memang tidak stabil karena sebelumnya pemerintah secara sembarangan mencetak uang tanpa mempertimbangkan faktor produksi barang dan jasa. Banyak pihak juga memilih menggunakan berbagai mata uang asing. Akibatnya, hiperinflasi. Denominasi mata uang mengalami peningkatan, barisan angka nol pada mata uang semakin banyak.

Bulan Juli 2008, Bank Sentral Zimbabwe menerbitkan mata uang senilai 100 miliar dolar Zimbabwe setelah inflasi mencapai dua juta persen. Padahal, tiga bulan sebelumnya, baru dicetak mata uang 50 juta dolar Zimbabwe. Menurut Reuters , ketika itu, 100 miliar dolar Zimbabwe hanya bisa membeli tiga butir telur.

Karena lonjakan inflasi semakin menggila, pada Januari 2009 bank sentral negeri Afrika itu kembali mencetak rekor dengan menerbitkan mata uang berdenominasi terbesar sepanjang sejarah manusia, 100 triliun dolar. Nilainya di pasar gelap hanya setimpal dengan 33 dolar AS. Baru pada Agustus 2008, dilakukan pemangkasan 10 digit angka nol. Uang 10 miliar dolar menjadi 1 dolar.

Februari 2009, bank sentral kembali melakukan redenominasi memangkas 12 digit angka nol. Mata uang 1 triliun dolar tinggal menjadi 1 dolar Zimbabwe. Pecahan mata uang terbesar hanya 500 dolar Zimbabwe.

Sementara itu, Rumania menjadi contoh sukses redenominasi yang tak menimbulkan gejolak pasar. Negara ini memotong empat digit angka nol. Kuncinya, sebelum pemberlakuan redenominasi pemerintah sudah menggiatkan sosialisasi tentang penulisan nominal uang lama dan baru. Sanksinya juga tegas bagi mereka yang bermain-main dengan redenominasi, terutama para pedagang.

Turki juga sukses menerapkan redenominasi dengan menghilangkan enam angka nol. ''Persiapan Turki sudah dilakukan sejak 1994,'' kata Kepala Biro Humas BI, Difi A Johansyah, yang baru saja menyambangi negara tersebut.

Ketika Republika mengunjungi Istanbul 2005 lalu, mata uang lira baru dipakai bersama-sama dengan lira lama. Saat menukar uang di money changer , lira yang diberikan juga campuran antara yang lama dan baru. Keduanya berlaku sebagai alat tukar yang sah.

Harga barang di toko juga masih ditulis dengan dua nominal berbeda. Misalnya, daftar menu makanan dan minuman. Kita akan terkaget-kaget dengan harga minuman jus 4.000.000 lira. Namun, kalau kita baca daftar harga di sisi yang lainnya, tertulis harga dengan nilai nominal baru, yakni 4 lira.

Menurut Difi, keinginan Turki untuk masuk ke Uni Eropa menjadi salah satu faktor kesiapan negara itu melakukan redenominasi. Sementara itu, kebijakan fiskal ketat dan defisit anggaran juga tak lebih dari dua persen produk domestik bruto.

Situasi ekonomi Indonesia, kata Difi, sebenarnya sudah cukup kondusif untuk redenominasi. Inflasi, stabilitas ekonomi, dan kondisi keuangan makro terjaga. ''Pendidikan masyarakat sangat urgen. Jangan sampai muncul gejolak karena salah pengertian. Jangan sampai ada anggapan penyederhanaan nominal ini berarti mengubah nilai barang,'' kata Difi.

Ekspektasi inflasi yang salah juga akan menjadi bola liar yang sulit dikendalikan dan pada akhirnya bisa memicu hiperinflasi. Mungkin, dampak psikologis juga harus diperhatikan karena Indonesia akan kehilangan banyak orang yang biasa dipanggil 'jutawan' dan 'miliarder'. alwi shahab, subroto, ed: rahmad bh