Rabu, 13 Oktober 2010

Kebencian

oleh : Mahiruddin Siregar

Rasa benci adalah manusiawi.

Artinya banyak hal yang membuat seseorang tidak suka terhadap sesuatu. Yang biasa dibenci itu adalah hal-hal yang sifatnya negatif seperti kejahatan, penipuan, penindasan, dll sifat yang bertentangan dengan nilai-nilai keluhuran.

Terhadap hal-hal tersebut diatas semestinya semua orang harus membencinya, jangan menyukainya terlebih lagi jangan sampai ikut melakukannya.

Rasa benci seperti itu adalah positif.

Tetapi kenapa ada gerakan dari sebagian masyarakat yang memusuhi kebencian ?

Itu adalah kebencian yang mengakibatkan pelakunya melampiaskan kebenciannya dengan cara yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur, sehingga menimbulkan rasa kebencian yang lebih mendalam lagi dari masyarakat yang menyaksikannya, terlebih lagi yang menjadi korban langsung akibat dari kebencian tersebut.

Inilah yang menjadikan kebencian itu menjadi sangat negatif.

Kenapa itu terjadi, karena disini rasa kebencian itu sudah tidak objektif lagi tetapi sudah memasuki subjektifitas.

Yang dibenci bukan perbuatan lagi, tetapi orang, kelompok, suku, ras, negara bahkan agama.

Sehingga yang lebih kental adalah apriori, phobia, dll.

Maka tidak heran banyak terjadi terorisme, anti Barat, Islamiphobia, anti imigran, diskriminasi dll penyakit masyarakat yang sangat membahayakan perdamaian dunia.

Padahal Allah SWT telah memerintahkan agar kita tetap berlaku adil terhadap satu kaum, meskipun kita membenci perbuatan mereka.

Jika saja kita tetap konsisten melaksanakan perintah ini maka kebencian yang negatif tersebut diatas akan terkikis dari perilaku manusia.

Oleh karena itu mari tetap kita bersatu membasmi sifat-sifat negatif yang bertentangan dengan rasa keadilan dan nilai-nilai luhur kemanusiaan, termasuk kebencian subjektif yang membabi buta, demi keamanan dan kedamaian dunia.

Menghindari timbulnya bibit-bibit kebencian secara prefentif jauh lebih baik daripada menghentikan pertikaian antar umat akibat timbulnya kebencian masing-masing.

Senin, 09 Agustus 2010

"Tanpa Redenominasi Rupiah Jadi Mainan"

Hadi Suprapto, Anggi Kusumadewi

VIVAnews - The Indonesian Economic Intelligence (IEI) menilai bahwa kebijakan menyederhanakan nominal rupiah atau redenominasi yang baru-baru ini diwacanakan oleh Bank Indonesia, perlu untuk diambil.

"Redenominasi penting dilakukan karena nilai tukar rupiah terus menurun," ujar Ekonom Kepala IEI Sunarsip, di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu 8 Agustus 2010.

Nilai tukar rupiah terus menurun, baik karena depresiasi (penurunan secara natural) maupun devaluasi (penurunan akibat kebijakan). Dengan demikian, mata uang rupiah relatif kurang memiliki kemampuan untuk melakukan apresiasi.

Nilai tukar rupiah, menurut Sunarsip, tidak kompetitif dibandingkan dengan mata uang negara-negara lain. Kondisi tersebut menyebabkan rupiah mudah dikalahkan oleh kekuatan mata uang negara lain. Rupiah bahkan kerapkali dimanfaatkan oleh para spekulator untuk melakukan transaksi carry trade.

"Artinya, spekulator seringkali memanfaatkan selisih atau disparitas nilai mata uang antara valas dengan rupiah, untuk mengambil keuntungan dari transaksi perdagangan valas. Dengan kata lain, mata uang kita jadi mainan," terang Sunarsip.

Ia mengingatkan, tren yang berlangsung selama ini adalah, apabila nilai suatu mata uang semakin melemah, maka ia cenderung akan terus melemah. "Lihat saja di Zimbabwe, sampai-sampai ada selembar uang berniat 1 triliun," kata Sunarsip.

Sunarsip juga menyatakan, selain bertujuan untuk penyederhanaan dalam pencatatan, redenominasi secara psikologis ekonomi juga dapat meningkatkan bargaining position (posisi tawar) nilai tukar rupiah terhadap mata uang lainnya.

IEI berpendapat, masyarakat tidak perlu khawatir dengan redenominasi karena kebijakan itu tidak menaikkan atau menurunkan pendapatan maupun harga barang. "Redenominasi adalah kebijakan penyesuaian, baik dari sisi moneter (mata uang) maupun dari sisi riil (harga barang). Jadi, penyesuaian tidak hanya dari satu sisi, sehingga tidak ada yang dirugikan di sini," jelas Sunarsip.

"Redenominasi bukan sanering seperti yang dilakukan Indonesia pada masa Orde Lama tahun 1960-an," tandasnya. Sanering berbeda dengan redenominasi, karena sanering adalah pemotongan nilai mata uang tanpa diimbangi penyesuaian nilai riil (harga barang).

"Jadi uang Rp1.000 menjadi senilai Rp1, padahal harga barang tetap dan tidak ikut diturunkan. Iitulah sanering," ujar Sunarsip. Oleh karena itu, katanya, tak heran apabila saat itu banyak orang Indonesia yang mendadak kaya dan mendadak miskin. "Dalam sanering, mereka yang mempunyai banyak simpanan di bank akan miskin mendadak, sedangkan mereka yang memiliki banyak simpanan emas, akan kaya mendadak," jelasnya.

Sementara redenominasi tidak demikian, karena perubahan nilai mata uang diikuti dengan perubahan harga barang. "Intinya, tidak ada perubahan apapun dalam redenominasi. Tidak perlu khawatir akan adanya kenaikan atau penurunan harga barang, maupun penurunan tingkat pendapatan," tutur Sunarsip. (hs)
• VIVAnews

Rabu, 04 Agustus 2010

BI Melaju dengan Redenominasi

Oleh Palupi Annisa Auliani

Bank Indonesia (BI) ternyata serius dengan wacana penyederhanaan penulisan mata uang (redenominasi) yang pernah disampaikan dua bulan lalu. Usulan untuk menghapus tiga angka nol dari uang rupiah itu segera disampaikan ke Presiden dan DPR. Hasil kajian yang telah dilakukan selama enam tahun terakhir ini dijadwalkan mulai diimplementasikan pada 2013 dan rampung 2020.

Deputi Gubernur BI Budi Rochadi mengatakan, usulan ini akan diajukan ke Presiden dalam dua bulan ke depan. Bisa saja usulan ini disandingkan dengan pembahasan RUU Mata Uang yang kini bergulir di DPR. Keputusan redenominasi memang bukan hanya keputusan ekonomi, melainkan sudah masuk ranah politik. "Tugas BI adalah menyiapkan programnya. Keputusannya tak hanya di BI, tapi juga di Presiden dan harus dilengkapi peraturan perundang-undangan (melibatkan DPR)," kata Budi, Selasa (3/8).

Bagi negara yang berkembang, inflasi yang tinggi membuat nilai uang terhadap barang semakin luntur dalam waktu cepat. Akibatnya, dibutuhkan transaksi dengan uang kertas yang nilainya semakin besar. Bila 25 tahun lalu nilai terbesar uang rupiah masih Rp 10 ribu, kini sudah Rp 100 ribu. Dikhawatirkan tak lama lagi bank sentral harus mengeluarkan uang rupiah berdenominasi Rp 200 ribu dan Rp 500 ribu.

Saat ini, mata uang dengan denominasi terbesar dipegang Dong Vietnam dengan nilai 500 ribu. Semakin besarnya angka yang dituliskan dalam uang rupiah dinilai tak praktis dan membingungkan. Karena itu, BI pun memunculkan wacana agar tiga angka nol dihapus sehingga Rp 1.000 uang sekarang nantinya cukup dituliskan Rp 1 uang baru dengan nilai dan daya beli yang sama.

Pjs Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, redenominasi harus dilakukan untuk mengatasi inefisiensi dalam transaksi dan pencatatannya, baik untuk pembayaran tunai maupun nontunai. "Sebenarnya soal teknis, soal digit angka transaksi berlangsung, semakin lama semakin merepotkan di kegiatan ekonomi kita," kata Darmin.

Pencatatan pembukuan semakin mahal biayanya dan semakin lama aplikasi maupun infrastrukturnya. Darmin mencontohkan, pencatatan pendapatan domestik bruto akan bermasalah jika sudah tembus Rp 10 ribu triliun dengan denominasi saat ini. Peralatan hitung akan kesulitan mengakomodasi jumlah digit sebanyak itu.

Makanya, mumpung belum terlalu repot BI berpendapat saat ini adalah waktu yang tepat untuk menggulirkan rencana redenominasi. "BI melihat ini sudah momennya untuk dibicarakan, karena ini proses sangat panjang. (Dan sekarang) pertumbuhan ekonomi sangat baik, walau inflasi sedang naik tapi masih terkendali," kata Darmin.

Wacana redenominasi sudah berada di tahap finalisasi riset dan studi yang diharapkan rampung tahun ini. Menurut Darmin, redenominasi ini untuk mengantisipasi kondisi tujuh sampai 10 tahun ke depan. Prosesnya butuh waktu lama. Turki, misalnya, berhasil melakukan redenominasi dalam waktu 10 tahun.

BI pun sudah menyiapkan rancangan penjadwalan rangkaian proses redenominasi ini. Setelah selesai persiapan dan studi, tahun 2011 dan 2012 adalah masa sosialisasi, serta persiapan sistem akuntansi dan pencatatan. Darmin optimistis dua tahun mencukupi untuk ketiga hal itu. Setelah itu, mulai 2013 masa transisi redenominasi dimulai.

Dalam fase transisi ini, uang baru dengan denominasi yang lebih sederhana akan mulai beredar bersama uang lama. Transaksi bisa dilakukan dengan dua jenis uang atau bahkan campuran keduanya. Maka, setiap toko harus membuat dua label harga untuk setiap barang, dengan denominasi uang lama dan uang baru. Misalnya, harga suatu barang Rp 10 ribu harus dituliskan label Rp 10 untuk uang baru dan Rp 10 ribu untuk uang lama.

BI memperkirakan, masa transisi akan berlangsung tiga tahun dari 2013-2015. Kemudian, selama dua tahun dari 2016 sampai menjelang 2018 akan dilakukan penarikan uang lama. "Penarikan selesai 2018. Tahap terakhir 2019-2021, tapi saya pikir 2020 cukup, mulai dihilangkan tulisan 'rupiah baru'. Langsung ditulis rupiah, tapi dengan nilai yang lebih tinggi," kata Darmin.

Penarikan uang akan dilakukan secara alamiah karena BI juga tak ingin jumlah uang yang beredar di masyarakat terlalu besar. Uang rusak masuk ke BI diganti dengan uang baru sampai lama-lama uang lama habis.

Rencana BI ini tak pelak membuat pemerintah langsung bereaksi untuk meredam dampaknya, khawatir masyarakat akan resah karena teringat praktik sanering (pemotongan uang) tahun 1952, 1959, dan 1966. Ketika itu sanering tak hanya sekadar menyederhanakan penulisan mata uang, tapi juga sekaligus memangkas nilainya. Dua sanering pertama memangkas nilai uang menjadi setengahnya, sanering terakhir menyunat nilai uang tinggal seperseribu.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan bahwa pemerintah belum mempunyai rencana untuk redenominasi seperti diwacanakan oleh BI. Menurut Hatta, ada pandangan di mata masyarakat kebijakan ini serupa dengan sanering. Padahal, redenominasi sangat berbeda dengan sanering. "Kalau ini menjadi wacana di BI bisa saja, tapi wacana yang dikembangkan bukan berarti segera akan dijalankan, karena pemerintah tidak mempunyai rencana seperti itu," ujar Hatta.

Wakil Presiden Boediono meminta masyarakat tidak perlu panik dan terpengaruh oleh hasil studi BI tersebut. "Karena statusnya hanyalah sebagai studi, dan tadi studi itu saya cek lagi. Memang berlanjut tapi belum selesai," kata Boediono seusai bertemu Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo.

Seluruh hasil studi tersebut akan dibahas pemerintah dengan mengambil masukan dari publik sampai ada hasil definitif. Boediono juga mengingatkan, redenominasi memang dilakukan ketika ekonomi sedang baik seperti saat ini, bukan saat ekonomi memburuk seperti peristiwa sanering di masa lalu. "Tetapi sekali lagi statusnya adalah studi. Sekarang yang penting jaga suasana kestabilan dan ketenangan, tidak usah terpengaruh oleh hasil studi. Prosesnya akan panjang untuk menjadi sebuah kebijakan," tegas Boediono.
teguh firmansyah/yasmina hasni ed: rahmad budi harto
(www.republika.co.id)

Kamis, 15 Juli 2010

Dapatkah Kita Menjadi Lebih Sabar?

Ternyata dampak kenaikan tarif dasar listrik (TDL) mempunyai efek yang sangat luas bagi masyarakat. Bukan hanya adanya kenaikan harga-harga kebutuhan bahan pokok, tetapi juga merosot tingkat daya beli masyarakat, serta inflasi yang menggerogoti kemampuan masyarakat secara luas. Rakyat tidak banyak mempunyai pilihan atas keputusan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) ini.

Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Assosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan, kenaikan TDL, sangat memukul para pengusaha, termasuk usaha kecil dan menengah (UKM). Di mana awalnya antara pengusaha dan pemerintah menyepakati kenaikan TDL kisarannya hanyalah 10-15 persen, tetapi kenyataannya antara 11-80 persen. Dampak kenaikan TDL ini akan semakin membebani kehidupan para pekerja, petani, nelayan, dan masyarakat dengan penghasilan yang kecil (marginal). Mereka akan semakin terpuruk dengan kenaikan TDL ini.

Penghasilan buruh, yang rata dibawah Rp 1, 500.000 itu, pasti tidak akan dapat menghadapi berbagai kenaikan harga, yang merupakan akibat dari kenaikan TDL. Rata-rata para pekerja di pabrik, para buruh tani, nelayan, dan masyarakat marginal, hidupnya akan semakin tergerus dengan adanya keputusan pemerintah yang menaikkan TDL. Keputusan yang sudah disepakati antara pemerintah dengan DPR. Inilah sebuah malapetaka bagi kehidupan rakyat, yang terus menerus di dera dengan kenaikan-kenaikan.

Selain adanya kenaikan TDL ini, sebentar lagi, pemerintah juga akan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yang tujuannya untukmengurangi subsidi. Pemerintah bertujuan mengurangi subsidi secara drastis. Karena, subsidi bertentangan dengan konsep ekonomi kapitalis. Dengan kenaikan BBM ini, lebih-lebih akan semakin terpuruknya kehidupan rakyat secara luas. Mereka akan semakin tidak mampu menghadapi tingkat hidup dengan beban, yang semakin berat.

Tentu, skenario yang paling buruk adalah kemungkinan banyaknya perusahaan yang bangkrut, akibat dari kenaikan TDL dan BBM,yang dampaknya akan terjadi PHK terhadap jutaan kaum buruh, yang sekarang ini menggantungkan hidup mereka bekerja di sektor perusahaan. Sementara itu, perusahaan yang ada terpukul akibat kenaikan TDL yang sudah berlangsung sejak 12 Juli lalu.

Pemerintah belum dapat mengurangi pengangguran yang setiap tahunnya, angka-angka pengangguran terus bertambah, dan ditambah dengan adanya kondisi perusahaan yang ada mengalami kebangkrutan dan kemudian menutup usaha mereka. Pasti ini akan mengakibatkan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan dilakukan perusahaan. Sebuah skenario yang sangat buruk bagi kehidupan bangsa Indonesia dan masa depan mereka.

Di bulan Juli dan Agustus ini, para orang tua, juga dihadapkan tahun ajaran baru di semua tingkatan, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Semuanya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sementara itu, para orang tua, yang dari kalangan marginal, jangankan memikirkan biaya sekolah, menghadapi kebutuhan untuk mempertahankan hidup sehari-hari mereka sudah sangat pahit. Tidak mungkin mereka dapat menjalani kehidupan mereka. Termasuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka dengan kondisi ini. Mereka akan semakin jauh dari harapan untuk dapat hidup layak, dan dapat memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka, karena kondisi yang mereka hadapi akibat kebijakan pemerintah terus mereduksi (menggeroroti) kemampuan mereka untuk dapat bertahan hidup. Semakin hari seperti seakan-akan pemerintah ini sudah tidak mampu melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Jumlah orang miskin yang berhasil diangkat menjadi nol, karena munculnya orang miskin baru, yang jumlahnya jauh lebih besar lagi. Semuanya itu karena adanya kenaikan harga-harga, yang pemerintah tindak dapat mengendalikannya. Semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar, dan pemerintah tidak mampu melakukan interv ensi. Inilah hukum pasar,yang menjadi ‘credo’ (aqidah) ekonomi kapitalis. Semuanya diserahkan kepada pasar. Karena itu, yang akan menikmati dari kebangkrutan rakyat miskin, tak lain kaum pemilik modal, yang semakin kaya,karena mereka menguasai jaringan ekonomi, yang sudah menjadi sebuah kartel.

Seharusnya Indonesia sudah memiliki sistem jaminan sosial yang dapat melindungi kelompok masyarakat miskin. Seperti bantuan bagi kaum miskin, para penganggur, pensiunan, dan jaminan kesehatan.

Dan, berdasarkan konstitusi mengeyahkan kemiskinan itu, merupakan tujuan dari kemerdekaan. Kenyataannya sejak Indonesia merdeka, tahun 1945, hingga kini, bukan semakin baik, hakikat kehidupan rakyat Indonesia, tetapi semakin jauh dari cita-cita yang ingin diwujudkan sebagai sebuah entitas bangsa yang merdeka dan berdaulat. Masih dapatkah kita bersabar? Wallahu’alam.
(www.eramuslim.com)

Bumi Alami Kepunahan Tiap 27 Juta Tahun


Ellyzar Zachra PB

INILAH.COM, Jakarta- Perhitungan terbaru ilmuwan mendapati kehidupan di bumi mengalami kepunahan setiap 27 juta tahun. Lalu kapan kepunahan itu akan terjadi lagi?

Selama kurun waktu 500 juta tahun terakhir, menurut Adrian Melott, seorang astrofisikawan di University of Kansas, bersama dengan Richard Bambach, seorang ahli paleontologi di Smithsonian Institute, kepunahan terjadi tiap 27 juta tahun.

Matahari memiliki tetangga yang besar dan gelap di mana mengorbit setiap 27 juta tahun. Hujan komet bisa keluar dari awan Oort di pinggiran sistem matahari dan akan menabrak Bumi.

Hipotetis ini disebut "Nemesis". Namun, periode kepunahan dan skala waktu yang mereka ukur bisa jadi berlebihan karena hampir 2 kali jumlah yang disebutkan studi sebelumnya.

Hal ini disebabkan dalam lingkup 500 juta tahun terakhir, matahari telah berada di posisi yang begitu dekat dengan bintang lainnya.

Sistem gravitasi telah menekan bintang untuk terkena dampak dari orbit Nemesis, sehingga menjadi siklus 27 juta tahun. Titik puncak ini bisa melambat sekitar 20% jika terjadi perubahan dengan aeon atau puncak siklus.

Bagaimanapun, tidak ada alasan untuk panik terlalu dini. Dengan jangka waktu persiapan 10 juta tahun, maka kita memiliki waktu yang cukup untuk melakukan.[ito]

Selasa, 13 Juli 2010

Survei BI Ungkap Bank Tebang Pilih Salurkan Kredit


Senin, 12 Juli 2010 18:03

Rilis survey Bank Indonesia (BI) pada Jumat (9/7) mengungkapkan bahwa, kalangan perbankan masih tebang pilih dalam menyalurkan kredit ke sektor riil. Terdapat sector-sektor tertentu yang dihindari oleh bank dalam menyalurkan kredit mereka, misalnya pada sektor industri tekstil dan garmen atau produk teksti (TPT).

Para bankir beralasan permintaan asing terhadap TPT dari Indonesia yang masih lemah. Persaingan yang tinggi dengan produk tekstil impor juga membuat risiko pembiayaan ikut melonjak.

Padahal survei kuartal itu bilang, bankir optimistis penyaluran kredit di kuartal III 2010 ini bakal terus meningkat meski sedikit melambat dari kuartal sebelumnya. Ini diperkuat oleh BI dalam pernyataannya bahwa, Mayoritas responden, yakni 13 bank dengan bobot 45,6% memperkirakan pertumbuhan kredit baru di kuartal tiga 2010 berkisar 4%-6%.

Optimisme tersebut dilandasi oleh beberapa hal yaitu, pertama, sampai saat ini rasio kecukupan modal bank masih baik. Kedua, peningkatan kualitas portofolio kredit dan likuiditas perbankan yang berlebih juga menjadi alasan utama. Juga, Kemampuan nasabah membayar meningkat dan informasi keuangan dari debitur baru serta jenis usaha feasible menjadi alasan eksternal utama yang mendukung ekspektasi tersebut.

Untuk jenis kredit, bankir memperkirakan penyumbang terbesar masih kredit investasi. Sayangnya, beberapa sektor masih masuk daftar yang dihindari. Salah satunya, sektor TPT. Toh, bankir menjamin itu bukan harga mati.

Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Sofyan Basir menuturkan, sektor tekstil tidak sepenuhnya dicoret dari daftar. Hanya saja, pihaknya akan lebih selektif memilih debitur. Serta menurutnya itu berlaku untuk semua sector.

BI mengatakan, kredit konsumsi masih akan menjadi yang tertinggi untuk permintaan kredit baru. Penyumbang terbesar kredit pemilikan rumah dan apartemen (KPR/KPA), lalu diikuti kredit multiguna.

Secara ringkas, survei tersebut menyebutkan, bank dengan penguasaan pasar kredit mencapai 91,8% memperkirakan kredit kuartal III 2010 bakal bertumbuh 5,2% hingga 5,6% (quarter to quarter). Sedangkan perkiraan pertumbuhan kredit di tahun 2010, menurut hasil survei tersebut bisa mencapai 19,7% hingga 21,4%.


Suryo Saputro (suryo@wartaekonomi.com)

Selasa, 29 Juni 2010

Saham Sektor CPO Masih Gurih?


9/06/2010 - 09:51
Susan Silaban


INILAH.COM, Jakarta - Indonesia memiliki delapan perusahaan CPO yang sudah terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Kinerjanya pun terus melejit. Namun apakah saham CPO ini masih ‘gurih’?

Kedelapan emiten CPO kini bisa menjadi pilihan pelaku pasar modal. Seperti PT Astra Agro Lestari (AALI), PT Gozco Plantations (GZCO), PT London Sumatera (LSIP), PT Sampoerna Agro (SGRO), PT Smart (SMAR), PT Tunas Baru Lampung (TBLA), PT Bakrie Sumatra (UNSP), dan PT BW Plantation (BWPT).

Analis saham independen, Teguh Hidayat menguraikan kebanyakan dari perusahaan-perusahaan tersebut hanya merupakan ‘pekerjaan sambilan’ dari grup-grup konglomerasi yang memang bergerak di banyak bidang dan sektor.

Meski bukan merupakan perusahaan yang ‘serius’, diakuinya CPO merupakan salah satu sektor paling penting di Indonesia. Pada akhirnya perusahaan-perusahaan CPO tersebut memiliki nilai aset yang cukup besar.

Pada laporan keuangan kuartal pertama 2010, rata-rata aset mereka adalah Rp5,5 triliun. UNSP menjadi perusahaan paling besar dengan aset Rp12,5 trilun, dan yang terkecil adalah BWPT dengan aset Rp1,6 triliun. Nilai aset UNSP pada kuartal pertama 2009 sebenarnya cuma Rp4,8 triliun.

“Penambahan aset dari utang obligasi dan tambahan modal membuat UNSP menggeser SMAR sebagai perusahaan CPO terbesar di Indonesia jika dilihat dari asetnya,” telisik Teguh kepada INILAH.COM, Senin (28/6).

Pada kuartal I 2010, SMAR mencatat nilai aset Rp9,7 triliun, turun 5,1% dari periode yang sama 2009 sebesar Rp10,2 triliun. Kenaikan laba operasi terbesar adalah SMAR dengan 164,0% sekaligus mencetak kenaikan laba bersih terbesar sekitar 5947,4% atau hampir 60 kali lipat.

Perusahaan yang mencatat kenaikan penjualan terbesar adalah SGRO dengan 93,7%. Jika dilihat dari kenaikan kinerjanya, SGRO adalah yang paling pesat dengan mencatat kenaikan penjualan 93,7%, laba operasional menguat 116,8%, dan laba bersih melonjak 219,4%.

AALI mencatat price earning ratio (PER) 31,6 kali atau terbesar di sektor CPO dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp34,3 triliun. “Harga wajarnya kalau dilihat dari fundamentalnya sebenarnya cuma Rp15.000-17.000, meski kalau dilihat dari sisi teknis, AALI layak berada pada posisi di atas Rp20.000,” prediksinya.

“Beberapa perusahaan seperti GZCO, TBLA, dan BWPT, sebenarnya mengalami penurunan penjualan, termasuk laba operasional mereka juga turun,” imbuhnya.

Namun, pendapatan di luar operasional seperti dari bagian perusahaan asosiasi, keuntungan kurs, hingga penurunan bunga pinjaman, membuat ketiga perusahaan tersebut tetap mencatat kenaikan laba bersih yang signifikan.

UNSP adalah satu-satunya perusahaan CPO yang mencatat kerugian pada kuartal I 2009 silam sebesar Rp130 miliar. Namun pada kuartal I tahun ini, mereka berhasil mencatat laba bersih meski cuma Rp64 miliar.

Jika dilihat dari perbandingan laba bersih dengan nilai aset dan ekuitasnya, SMAR yang mencatat laba bersih Rp439 miliar merupakan perusahaan CPO yang paling menguntungkan dengan return on assets (RoA) 18,1%, dan return on equity (RoE) 33,6%. Sedangkan UNSP adalah yang paling tidak menguntungkan dengan RoA 2,1%, dan RoE 3,4%.

Sedangkan saham TBLA adalah pilihan terakhir. Mempertimbangkan nilai PER-nya yang baru 9,2 kali, kapitalisasi pasar hanya 1,7 kali nilai ekuitasnya, dan kenaikan laba bersih sebesar 96,7%.

Secara keseluruhan, penjualan kedelapan perusahaan CPO pada kuartal I-2010 naik 21,8% dibandingkan kuartal yang sama 2009. Laba operasional naik 63,1%, dan laba bersih naik 287,3%.

“Kesimpulannya, pada kuartal I-2010 ini sektor CPO menunjukkan kenaikan kinerja yang lumayan. Semua perusahaan mencatat kenaikan laba bersih dan juga kenaikan nilai ekuitas,” urainya. [mdr]

Senin, 21 Juni 2010

SWOT Nuklir Indonesia

Sabtu, 19 Juni 2010 pukul 12:50:00

Oleh: Hanafi Rais
(Direktur Institute of International Studies)

Sejatinya, perkenalan Indonesia dengan nuklir bukanlah hal yang baru. Sejak adanya program 'Atoms for Peace' yang disponsori Amerika Serikat (AS) di tahun 1950-1960, Indonesia relatif berhasil mengembangkan penguasaan teknis dan profesionalnya atas teknologi nuklir. Sampai dengan sekarang, Indonesia memiliki berbagai jenis reaktor nuklir di beberapa kota (Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta) yang telah dikembangkan untuk riset dan kepentingan sipil.

Namun, pencanangan program nuklir sebagai sumber energi alternatif di masa pemerintahan pertama Yudhoyono telah berubah menjadi kebijakan yang sangat kontroversial. Di tahun 2007, berbagai elemen masyarakat dari ormas, LSM, hingga partai politik memprotes rencana pemerintah membangun PLTN di Muria, Jepara, Jawa Tengah. Ribuan demonstran tersebut berhasil memaksa pemerintah untuk menghentikan sosialisasi nuklir. Walaupun demikian, kebijakan tersebut tampaknya tetap akan terus berjalan - pelan tapi pasti. Bagaimana sebaiknya kita menilai kebijakan energi nuklir di Indonesia?

Jika kita ingin melihatnya secara lebih komprehensif dan objektif, salah satu cara untuk mengukur keberlanjutan energi nuklir di Indonesia adalah dengan melakukan analisis SWOT: Apa saja yang menjadi variabel kekuatan, kelemahan pengembangan energi nuklir tersebut? Apa saja kesempatan dan tantangan yang dihadapi Indonesia? Dengan analisis ini maka akan terlihat langkah strategis apa saja yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia jika benar-benar akan 'go nuclear.'

Program 'Atoms for Peace' Presiden AS Eisenhower lima dekade lalu telah membawa keunggulan kompetitif bagi pengembangan nuklir Indonesia dibandingkan negara lain, seperti Singapura atau Malaysia. Demi tujuan damai, AS menyuplai peralatan untuk reaktor nuklir, berikut bahan bakunya, untuk Indonesia. Di samping itu, pendidikan dan pelatihan ke luar negeri juga diberikan untuk para teknisi dan ilmuwan Indonesia. Sekarang, bermodal pengetahuan dan keterampilan profesional tersebut, reaktor riset nuklir Indonesia pun terbukti telah banyak membantu pengembangan sektor nonenergi, seperti pangan, pertanian, peternakan, kedokteran, dan sumber daya air.

Sementara itu, untuk inovasi sektor energi (listrik), penggunaan nuklir juga sudah mendapat legitimasi yang kuat karena tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional 2006: nuklir menjadi bagian dari komposisi energi alternatif. Inilah variabel kekuatan nuklir Indonesia: Indonesia memiliki kapasitas penguasaan teknologi nuklir dan sudah menjadi bagian dari mandat negara.

Walaupun demikian, pembangunan energi nuklir ini masih menghadapi kendala sosial yang tidak sederhana. Sosialisasi PLTN kepada masyarakat sudah sering dilakukan oleh BATAN, Kemenristek/BPPT, dan ESDM, tetapi menemui jalan buntu. Masyarakat, khususnya yang berada di sekitar situs nuklir, menolak keras keberadaan PLTN. Alasannya beragam, dari soal geoteknis karena rawan gempa, kesehatan akibat radiasi, lingkungan berupa limbah nuklir, hingga alasan ekonomis karena industri yang takut kehilangan tenaga kerjanya.

Namun, jika dirunut lebih jelas, alasan fundamental sebenarnya terletak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah itu sendiri. Kasus Lapindo dan ledakan berbagai tabung gas akhir-akhir ini seakan menjadi bukti bahwa pemerintah belum bisa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, apalagi kelak membangun energi nuklir yang tentu jauh lebih rumit.

Di sinilah kelemahan utama nuklir Indonesia: pemerintah belum berhasil membangun postur yang kredibel. Padahal, kepercayaan publik sangat diperlukan untuk membangun energi nuklir.

'Situasi eksternal'
Terlepas dari plus minus di atas, Indonesia pada dasarnya memiliki kesempatan struktural-internasional yang terbuka lebar. Berbeda dengan Iran, walaupun sama-sama mayoritas penduduknya Muslim, dunia internasional mendukung penuh Indonesia untuk membangun energi nuklirnya. 'International Atomic Energy Agency' telah memberi persetujuannya sejak 2006 bahwa Indonesia layak dan mampu melakukan proliferasi nuklir untuk tujuan damai.

Negara-negara nuklir lainnya pun sama. Prancis, Italia, Rusia, Jepang, dan Korea saling bergantian menawarkan diri untuk membantu Indonesia. Bukan tidak mungkin, rencana kerja sama AS-Indonesia dalam bidang teknologi yang akan disepakati kelak dalam kunjungan Obama ke Indonesia juga mengarah pada kerja sama nuklir.

Namun begitu, Indonesia perlu mempertimbangkan situasi keamanan di Asia Tenggara secara lebih saksama. Walaupun kecil kemungkinannya, ancaman keamanan berupa penyelundupan bahan nuklir harus tetap diwaspadai. Kasus AQ Khan di Pakistan beberapa waktu lalu bisa menjadi pelajaran penting bagi Indonesia, yang cenderung ceroboh, untuk lebih meningkatkan kecermatan dan rigiditas dalam mengelola nuklirnya kelak. Paling tidak, tantangan keamanan tersebut memberi benefits of the doubts bagi Indonesia agar selalu waspada.

Berangkat dari analisis S-W dan O-T di atas, dua rekomendasi kebijakan bisa ditawarkan secara berurutan. Pertama, pemerintah beserta agen-agen yang berkepentingan (BATAN, Bapeten, Ristek, ESDM) perlu melengkapi diri dengan keahlian melakukan resolusi konflik dalam sosialisasi nuklirnya. Sikap akomodatif dan konsensual harus lebih diutamakan. Untuk membangun kepercayaan publik, pemerintah harus berimbang dalam menampilkan risiko ataupun keuntungan pemanfaatan nuklir.

Kedua, sebagai negara yang paling advanced membangun reaktor riset nuklirnya, Indonesia bisa memainkan peran diplomatik sebagai norm entrepreneur di Asia Tenggara untuk mendorong terbentuknya komunitas nuklir untuk perdamaian. Dengan demikian, Indonesia bisa tampil sebagai negara nuklir yang disegani di kawasan ini karena soft power-nya.
(www.republika.co.id)

Kekalahan Donggi Senoro

Sabtu, 19 Juni 2010 pukul 12:47:00

Akhirnya setelah mengalami ketidakpastian dan kebimbangan, pemerintah memutuskan alokasi gas Donggi Senoro. Keputusan finalnya adalah: 70 persen diekspor dan sisanya 30 persen untuk lokal.

Keputusan akhir tersebut didasarkan pada rekomendasi tim teknis ESDM, kajian tim independen yang ditugasi oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa, dan yang tak kalah penting arahan dari Wakil Presiden Boediono. Aspek tekno-ekonomi menjadi dasar pertimbangan utama dalam pembagian alokasi tersebut.

Sebuah keputusan yang memprihatinkan. Keputusan yang hanya berdasarkan orientasi jangka pendek yang sekaligus menunjukkan bahwa kapitalisme telah begitu menguasai para birokrat kita. Kenapa? Karena yang diincar hanyalah keuntungan sesaat, keuntungan jangka pendek, tanpa memikirkan masa depan perekonomian bangsa ini.

Kita masih ingat beberapa waktu lalu ketika perusahaan dalam negeri, yang notabene juga sahamnya dikuasai pemerintah, hidup termegap-megap karena tidak mendapatkan pasokan gas. Bahkan, PT ASEAN Aceh Fertilizer sampai harus ditutup untuk alasan tersebut.

Di sisi lain, harga listrik di negeri ini terbilang tinggi, karena sebagian besar pembangkit berbahan bakar minyak (BBM). Harga listrik akan bisa turun (atau setidaknya tidak perlu dinaikkan) jika kita efisien dalam memilih pembangkit, dan salah satu pilihan yang efisien adalah gas.

Bukan itu saja, kita masih butuh banyak lagi pembangkit listrik, selain untuk mengikuti permintaan akibat pertumbuhan ekonomi, juga karena masih banyak rakyat yang belum menikmati listrik. Belum lagi sampai sekarang masih terdapat beberapa wilayah yang listriknya byar-pet.

Jika kita lihat ke depan, semakin tahun kebutuhan terhadap gas juga terus naik. Saat ini saja terdapat 19 sektor industri yang membutuhkan pasokan gas, di antaranya adalah petrokimia berbasis olefin, pupuk logam dasar, besi baja, keramik, dan lampu ballast. Diperkirakan pada 2025 kebutuhan akan mencapai 3,1 juta million metrik standar cubic feet per hari. Selama ini kita terninabobokkan dengan nilai ekspor yang tinggi, yang sebetulnya itu nilai semu. Kesemuanya itu bisa terlihat pada masalah gas ini, yakni sementara kita di dalam negeri kekurangan pasokan gas, tapi gas yang kita eksploitasi dari wilayah kita sendiri justru diekspor.

Belum lagi sumber energi lain seperti batu bara. Semestinya sumber energi seperti itu diprioritaskan untuk dalam negeri, sehingga mampu menggerakkan perekonomian dalam negeri sekaligus memberi nilai tambah. Jika kita mengekspor barang-barang yang memiliki nilai tambah, harganya pun tidak akan berfluktuasi sebagaimana komoditas bahan mentah.

Sebetulnya oleh wakil presiden peride sebelumnya, masalah Donggi Senoro ini sudah diputuskan yakni untuk memenuhi kebutuhan nasional, dan keputusan itu sudah disetujui Presiden Susilo Bambang Yudhono. Kini oleh wakil presiden yang baru, keputusan itu dianulir, sehingga akhirnya sebagian besar gas akan diekspor. Dan lucunya, keputusan ini juga disetujui presiden yang sama. Inilah bukti bahwa sumber daya alam kita masih dikuasai asing atau lebih tepatnya adalah untuk kepentingan asing.

Semestinya kita bisa menjadi bangsa besar jika kita memiliki keberpihakan kepada bangsa sendiri. Bukan hanya tunduk pada kepentingan asing dan pemilik modal. Keputusan Donggi Senoro ini nyaris sama ironisnya dengan keputusan pemerintah ketika memilih Exxon untuk mengelola Cepu dengan menyingkirkan Pertamina. Barangkali kedua keputusan tersebut adalah kemenangan pemerintah, tapi pada hakikatnya keputusan itu adalah kekalahan rakyat.
(www.republika.co.id)

Senin, 14 Juni 2010

Pendidikan Karakter

Oleh: Dr Adian Husaini
Konsultan Pendidikan Pesantren

Mohammad Natsir, salah satu pahlawan nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr GJ Nieuwenhuis: "Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya."

Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah 'guru' dan 'pengorbanan'. Maka itu, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak 'guru-guru yang suka berkorban'. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekadar 'guru pengajar dalam kelas formal'. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. 'Guru' adalah 'digugu' (didengar) dan 'ditiru' (dicontoh). Guru bukan sekadar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.

Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealisme tinggi untuk memajukan dunia pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dia memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia mendirikan Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar, mencari guru dan dana. Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya.

Di samping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah Guru). Ia mulai mengajar agama dalam bahasa Belanda. Kumpulan naskah pengajarannya kemudian dibukukan atas permintaan Sukarno saat dibuang ke Endeh, dan diberi judul Komt tot Gebeid (Marilah Shalat).

Pada 17 Agustus 1951, hanya enam tahun setelah kemerdekaan RI, M Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut, Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia setelah kemerdekaan dengan prakemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis: "Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai…Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah… Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya..."

Peringatan Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa, khususnya para pejabat dan para pendidik. Jika ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di dunia, wujudkanlah guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa menjadi teladan bagi bangsanya. Beberapa tahun menjelang wafatnya, Natsir juga menitipkan pesan kepada sejumlah cendekiawan yang mewawancarainya, "Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.

" Lebih jauh, kata Natsir: "Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang 'baru', tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang 'baru' ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, melainkan bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius."

Seorang dosen fakultas kedokteran pernah menyampaikan keprihatinan kepada saya. Berdasarkan survei, separuh lebih mahasiswa kedokteran di kampusnya mengaku, masuk fakultas kedokteran untuk mengejar materi. Menjadi dokter adalah baik. Menjadi ekonom, ahli teknik, dan berbagai profesi lain, memang baik. Tetapi, jika tujuannya adalah untuk mengeruk kekayaan, dia akan melihat biaya kuliah yang dikeluarkan sebagai investasi yang harus kembali bila lulus kuliah. Ia kuliah bukan karena mencintai ilmu dan pekerjaannya, melainkan karena berburu uang!

Dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran dana besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, beriman, bertakwa, profesional, dan berkarakter. Dr Ratna Megawangi dalam bukunya, Semua Berakar pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007), mencontohkan, bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurut dia, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.

Banyak program pendidikan - PPKN, PMP, dsb - yang gagal, karena memang tidak serius untuk diamalkan. Dan lebih penting, tidak ada contoh!

Harap maklum, konon orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan dan peraturan. Ide UAN, mungkin bagus! Tapi, di lapangan, banyak yang bisa menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab, itu tuntutan pejabat dan orang tua. Guru tidak berdaya. Kebijakan sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu! Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini nantinya juga menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.

Kini, sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah 'guru-guru sejati' yang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan.

Pendidikan karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang sangat serius. Bukan urusan Kementerian Pendidikan semata. Presiden, menteri, anggota DPR, dan para pejabat lainnya harus memberi teladan. Jangan minta rakyat hidup sederhana, hemat BBM, tapi rakyat dan anak didik dengan jelas melihat, para pejabat sama sekali tidak hidup sederhana dan mobil-mobil mereka - yang dibiayai oleh rakyat - adalah mobil impor dan sama sekali tidak hemat.
(www.republika.co.id)

Sabtu, 05 Juni 2010

DPR Kebablasan

Entah apa yang sesungguhnya ada dalam pikiran para wakil rakyat kita, terutama yang mengusulkan dana pembangunan daerah pemilihan (dapil) Rp 15 miliar per dapil anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Usulan macam ini sudah sepantasnya ditolak, tak perlu melalui pembahasan apa pun.

Boleh jadi, anggota DPR tidak menerima dana aspirasi secara tunai, hanya mengusulkan proyek di dapil masing-masing, yang selama ini mungkin belum terakomodasi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bisa saja, usulan disampaikan lewat Badan Anggaran DPR dengan kementerian terkait tetap sebagai pelaksananya.

Bisa saja cara-cara seperti itu diterapkan. Tapi, siapa yang menjamin tak akan ada penyimpangan? Siapa pula yang berani memastikan bahwa dana itu tidak beralih wujud menjadi politik uang untuk pemilihan-pemilihan berikutnya? Pembangunan infrastruktur di setiap dapil sangat mungkin diklaim sebagai keberhasilan dan dijadikan alat untuk keterpilihan kembali. Belum lagi kita mempertimbangkan sisi keadilan. Bukankah dengan begitu dapil yang cukup kaya bakal terima dana lebih besar ketimbang dapil lain yang lebih miskin?

Maka, sekali lagi, sudah sepantasnya pemerintah sebagai lembaga eksekutif menolak wacana atau usulan macam ini. Belum meratanya pembangunan daerah yang dilakukan pemerintah rasanya bukan alasan untuk membenarkan pengucuran dana tambahan atau apa pun bentuk dan namanya melalui wakil rakyat. Tugas para wakil rakyat adalah melakukan pengawasan secara komprehensif terhadap kinerja pemerintah. Usulan pembangunan daerah, termasuk proyek-proyek daerah, sebenarnya bisa disampaikan setiap komisi untuk menggelar rapat kerja dengan kementerian terkait. Tugas dan fungsi para wakil rakyat hanya mengawasi, yang ini pun semestinya tanpa biaya atau tunjangan ini-itu.

Terkait aspirasi dan pembangunan dapil, setiap kali memasuki masa reses, sesungguhnya para wakil rakyat diberikan kesempatan untuk menyambangi dapil masing-masing, menampung aspirasi yang muncul serta proyek-proyek yang dibutuhkan segera di dapil bersangkutan. Apa hasil dari perjalanan para wakil rakyat selama ini ke dapil masing-masing saat reses? Nyaris tak terdengar! Padahal, saat reses tersebut, setiap anggota dibekali anggaran Rp 31,5 juta per orang.

Pertanggungjawaban atas masa reses ini mestinya bukan sekadar bukti pengeluaran, melainkan dalam bentuk yang lebih riil. Misalnya, proyek infrastruktur yang dibutuhkan untuk diteruskan ke pemerintah, dalam hal ini kementerian terkait. Parahnya, kita justru lebih sering mendengar kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam masa reses hanya melibatkan pengurus parpol tempat para wakil rakyat bernaung.

Entah sampai kapan para wakil rakyat kita bisa benar-benar berbenah diri. Kita masih sering mendengar kepentingan-kepentingan politis terkait partai politik malah didahulukan ketimbang kepentingan rakyat (dapil) yang diwakili. Betul, ada juga wakil-wakil rakyat yang mungkin tak seburuk citra umum wakil rakyat. Tapi, harus pula diakui, masih ada sejumlah wakil rakyat yang justru memperburuk citra mereka sendiri di mata publik.

Mencuatnya isu-isu kontroversial di kalangan wakil rakyat, yang umumnya melibatkan uang, boleh jadi mencerminkan itu. Mulai dari pembangunan gedung baru senilai Rp 1,2 triliun, pengadaan komputer baru, pengadaan TV LCD yang ditaruh di lift, dan sebagainya. Jangan-jangan DPR sudah kebablasan. Kehadiran para wakil rakyat di Senayan mestinya mampu mengangkat rakyat pada kedaulatan yang sesungguhnya. Untuk itulah, mereka dipilih. Bukan mengusung kepentingan partai, apalagi sekadar mengejar penghasilan tambahan.
(www.republika.co.id)

Senin, 10 Mei 2010

Nasionalisme Melalui Ritel


INILAH.COM, Jakarta – Pengusaha Chairul Tanjung kembali melebarkan sayap bisnisnya. Tak tanggung-tanggung, ia mengambil alih bisnis ritel perusahaan multinasional. Indikasi bangkitnya kesadaran nasionalisme?

"Saya berharap akuisisi ini dapat membangkitkan semangat perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk terus tumbuh menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan menjadi kebanggaan bangsa," ujar Chairul kepada wartawan, baru-baru ini.

Pimpinan jaringan bisnis Para Group ini tampaknya gerah dengan sikap perusahaan dalam negri yang justru gemar menjual aset-asetnya kepada investor asing. Tak heran bila dalam jumpa persnya di Gedung Menara Bank Mega, Jakarta, beberapa waktu lalu, ornamen serba merah putih nampak memenuhi ruangan.

Chairul kini sudah mulai merambah sektor ritel, meski bisnis sebelumnya sudah menggurita di bidang media, lifestyle dan entertainment. Sebanyak 40% saham jaringan ritel terbesar di Indonesia, PT Carrefour Indonesia, yang notabene anak perusahaan raksasa ritel asal Prancis, Carrefour SA, dibeli dengan merogoh kocek US$300 juta.

Trans Corp resmi menjadi pemegang saham tunggal terbesar di Carrefour, dengan akuisisi melalui PT Trans Ritel, anak perusahaan barunya. Pascaakusisi saham, Chairul akan menjabat Presiden Komisaris PT Carrefour Indonesia.

Untuk anggota komisarisnya, ia mengangkat dua jenderal purnawirawan, yakni mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono dan mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) S Bimantoro. Hal ini semakin menegaskan pasar modern ritel Carrefour adalah milik anak bangsa.

Pria kelahiran Jakarta, 16 Juni 1962 silam ini mengungkapkan keinginannya untuk menjadikan Carrefour berpengaruh besar dalam distribusi barang dan komoditas di Indonesia. Selain itu bisa memuaskan serta memenuhi kebutuhan masyarakat. ''Saya ingin memastikan bahwa sembako dijual dengan harga terbaik di Carrefour,'' ucapnya.

Chairul pun bertekad segera merampungkan kasus monopoli dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang masih mendera Carrefour. ''Sebagai pemilik baru Carrefour, saya akan minta waktu pada KPPU untuk menyampaikan tentang kondisi Carrefour sekarang,'' jelasnya.

Dengan pembelian tersebut, bisnis Chairul kini semakin lengkap, mulai bank, televisi dan hiburan, sampai waralaba. Kerajaan bisnisnya pun membuatnya hidup bergelimang harta. Lihat saja awal bulan lalu, dimana dengan kekayaannya, nama Chairul berhasil masuk dalam daftar 1.000 orang terkaya dunia versi majalah Forbes.

Di sini, ia menempati posisi 937 dengan materi sebesar US$1 miliar atau Rp9 triliun. Sedangkan pada 2009 lalu, Ia juga sempat dinobatkan sebagai 40 orang terkaya di Indonesia.

Chairul bukan tergolong pengusaha "mendadak sukses”. Ia mengaku saat memulai membangun kerajaan bisnisnya, ia sudah terbiasa bekerja lebih dari 18 jam per hari. "Dengan bekerja keras dan kemampuan entreprenuer serta manajerial yang baik, Anda dapat menjadi seperti saya. Tidak lagi semata-mata modal," ujarnya.

Mengawali kiprah bisnis semasa kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Chairul muda merintis bisnisnya. Di bidang keuangan, ia mengambil alih Bank Karman dan mengganti namanya menjadi Bank Mega. Kini bank tersebut menjadi salah satu bank papan atas.

Chairul juga memiliki perusahaan sekuritas dan mulai merambah bisnis asuransi jiwa dan kerugian. Di bisnis properti, Chairul mempunyai kompleks pertokoan Bandung Supermal.

Mal seluas tiga hektar ini menghabiskan dana sekitar Rp 99 miliar. Rencananya, di sisa lahan seluas delapan hektar ia akan membangun hotel, restoran, dan bangunan pendukung lainnya.

Bisnis Chairul yang paling berhasil adalah Trans TV dengan 21 menara yang mencakup seluruh Jawa, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Papua. Terakhir, melalui Para Group, Chairul melebarkan bisnisnya di media pertelevisian dengan membeli TV7 dan mengubah namanya menjadi Trans7.

Tak hanya bisnis, Chairul pun sempat aktif di dunia olahraga. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI). [mdr]

Jumat, 07 Mei 2010

Buah


Segerombolan murid-murid sekolah dasar berjalan menapaki tepian parit di persawahan dan ladang nan luas. Mereka mengikuti langkah guru mereka yang sesekali menunjuki mana jenis pohon yang mungkin belum mereka ketahui.

“Anak-anakku, inilah pepohonan yang mungkin sering kamu sebut, tapi baru kali ini kamu jumpai,” ujar sang guru ketika mereka berhenti di tanah kosong di sebuah ladang. “Di sini ada pohon cabai, tomat, terung, mentimun, pepaya, jagung,” tambah sang guru sambil menunjuk ke ladang-ladang yang telah mereka lewati.

Seorang anak mengangkat tangan sambil berdiri di sebuah kumpulan pohon jangkung yang berdaun seperti telapak tangan terbuka. “Pak guru, kalau ini pohon apa?” ucapnya kemudian.

Sambil berjalan pelan, Pak Guru mendekati sang penanya. “Anak-anakku, ini pohon singkong,” jawab sang guru.

“Kenapa ia tidak berbuah, seperti pohon-pohon lain di ladang ini, Pak?” tanya yang lain.

“Kamu salah, anak-anakku. Tidak semua buah bisa ditampilkan ke permukaan. Karena sesuatu hal, ia disembunyikan,” jawab sang guru.

“Disembunyikan?” tanya murid yang lain.

“Ya. Karena pohon singkong bertubuh kurus dan jangkung, ia menyembunyikan buahnya di akar. Perhatikanlah!” jelas sang guru sambil bersusah payah mengangkat pohon singkong hingga akarnya tercerabut.

Tampaklah sebuah pemandangan yang mungkin baru untuk anak-anak. Mereka mendapati sebuah pohon dengan akar yang begitu besar. Itulah yang disebut guru mereka sebagai buah yang disembunyikan.
**

Dinamika hidup dengan berbagai variasinya, hampir selalu berujung pada satu tujuan: mendapatkan hasil atau buah. Berbagai variasi buah pun menjadi target mereka. Ada yang berkerja untuk mendapatkan gaji, keuntungan usaha bagi para pebisnis, kehidupan berumah tangga yang kemudian menghasilkan berbagai aset keluarga, kehidupan berorganisasi yang membuahkan berbagai keuntungan, dan lain-lain.

Sayangnya, kepicikan daya pandang sebagian kita kadang menutup adanya keberadaan buah-buah lain yang tidak selalu tampak di permukaan. Dan boleh jadi, buah yang tidak tampak itu, sebenarnya jauh lebih bernilai dari apa yang bisa dilihat, dipegang, dan kemudian habis dimakan. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Ketika Gaji Hanya Seribuan

Kamis, 06 Mei 2010 pukul 08:11:00
(www.republika.co.id)

Oleh Palupi Annisa Auliani

Berapakah gaji Anda sekarang dalam denominasi rupiah? Katakanlah Rp 1 juta per bulan. Pernahkan Anda bayangkan, gaji Anda itu 'berubah' menjadi seribu rupiah, tetapi dengan nilai yang sama? Jangan tertawa atau panik. Ini salah satu wacana yang sedang dikaji Bank Indonesia (BI) sebagai langkah penyederhanaan penulisan mata uang.

Ya, wacana itu bernama redenominasi. Dengan langkah ini, nilai mata uang tidak berubah. Hanya penulisan nominalnya disederhanakan. Salah satu kemungkinannya adalah menghilangkan tiga angka nol terakhir dari nominal mata uang saat ini. Apa sebabnya? Uang rupiah saat ini tercatat mempunyai pecahan terbesar kedua di dunia, yaitu Rp 100 ribu. Terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500 ribu dong.

Namun, tak bisa dimungkiri, wacana ini bisa jadi akan mengusik kisah kelam sanering alias pemotongan nilai mata uang yang pernah terjadi di Indonesia pada 1952, 1959, dan 1966. Pada tahun 1952 yang lebih dikenal dengan gunting Syafruddin, mata uang keluaran NICA (Belanda) dibelah dua dan hanya sebelah kiri yang berlaku dengan nilai setengahnya.

Tahun 1959, sebulan setelah Dekrit Presiden, juga dilakukan pemotongan nilai uang setengahnya. Tahun 1966, ketika inflasi sangat tinggi, uang seribu perak dipotong menjadi tinggal seperak. Ketika itu, harga rokok kretek yang semula Rp 10 ribu sempat menjadi Rp 10. Namun, situasi ekonomi yang masih kacau membuat harga barang kembali melonjak gila-gilaan, terutama bahan pokok, seperti beras yang masih banyak diimpor.

''Redenominasi berbeda dengan sanering . Ini nilainya tidak berubah, hanya penulisannya disederhanakan,'' kata Kepala Biro Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI, Iskandar Simorangkir, Selasa (4/5). Menurutnya, saat ini sudah banyak pertokoan besar yang juga sudah mempraktikkan 'redenominasi' dalam pelabelan harga.

Untuk menyederhanakan perbedaan redenominasi dengan sanering , Iskandar memberikan contoh harga beras. Misalnya, harga beras satu kilogram Rp 5.000. Dengan redenominasi, tiga digit nol dihilangkan, maka harga beras menjadi Rp 5. Harga beras tetap, hanya nominalnya disederhanakan. Daya beli uang yang terkena redenominasi pun tetap. Uang Rp 5 tetap bisa membeli satu kilogram beras.

Jika sanering yang berlaku, harga beras yang semula Rp 5.000 itu tidak serta-merta ikut menjadi Rp 5. Bisa jadi harga beras tetap Rp 5.000 atau Rp 50. ''Dengan sanering , yang berubah adalah nilai uangnya, bukan penulisan nominalnya. Ini yang merugikan rakyat,'' kata Iskandar.

Praktik redenominasi sudah ada contoh gagal dan sukses. Zimbabwe adalah contoh gagal karena redenominasi justru memicu inflasi ribuan persen. Pemotongan enam digit nominal mata uang tak diikuti dengan penyesuaian harga berdasarkan nominal baru. ''Jadi, harga barang dari sejuta bukan menjadi satu, tetapi menjadi seribu. Ini yang memicu inflasi besar-besaran di Zimbabwe,'' kata Iskandar. Kasus di Zimbabwe sebenarnya adalah redenominasi, tetapi dalam praktiknya adalah sanering . ''Ulah pedagang juga,'' kata dia.

Namun, ekonomi Zimbabwe memang tidak stabil karena sebelumnya pemerintah secara sembarangan mencetak uang tanpa mempertimbangkan faktor produksi barang dan jasa. Banyak pihak juga memilih menggunakan berbagai mata uang asing. Akibatnya, hiperinflasi. Denominasi mata uang mengalami peningkatan, barisan angka nol pada mata uang semakin banyak.

Bulan Juli 2008, Bank Sentral Zimbabwe menerbitkan mata uang senilai 100 miliar dolar Zimbabwe setelah inflasi mencapai dua juta persen. Padahal, tiga bulan sebelumnya, baru dicetak mata uang 50 juta dolar Zimbabwe. Menurut Reuters , ketika itu, 100 miliar dolar Zimbabwe hanya bisa membeli tiga butir telur.

Karena lonjakan inflasi semakin menggila, pada Januari 2009 bank sentral negeri Afrika itu kembali mencetak rekor dengan menerbitkan mata uang berdenominasi terbesar sepanjang sejarah manusia, 100 triliun dolar. Nilainya di pasar gelap hanya setimpal dengan 33 dolar AS. Baru pada Agustus 2008, dilakukan pemangkasan 10 digit angka nol. Uang 10 miliar dolar menjadi 1 dolar.

Februari 2009, bank sentral kembali melakukan redenominasi memangkas 12 digit angka nol. Mata uang 1 triliun dolar tinggal menjadi 1 dolar Zimbabwe. Pecahan mata uang terbesar hanya 500 dolar Zimbabwe.

Sementara itu, Rumania menjadi contoh sukses redenominasi yang tak menimbulkan gejolak pasar. Negara ini memotong empat digit angka nol. Kuncinya, sebelum pemberlakuan redenominasi pemerintah sudah menggiatkan sosialisasi tentang penulisan nominal uang lama dan baru. Sanksinya juga tegas bagi mereka yang bermain-main dengan redenominasi, terutama para pedagang.

Turki juga sukses menerapkan redenominasi dengan menghilangkan enam angka nol. ''Persiapan Turki sudah dilakukan sejak 1994,'' kata Kepala Biro Humas BI, Difi A Johansyah, yang baru saja menyambangi negara tersebut.

Ketika Republika mengunjungi Istanbul 2005 lalu, mata uang lira baru dipakai bersama-sama dengan lira lama. Saat menukar uang di money changer , lira yang diberikan juga campuran antara yang lama dan baru. Keduanya berlaku sebagai alat tukar yang sah.

Harga barang di toko juga masih ditulis dengan dua nominal berbeda. Misalnya, daftar menu makanan dan minuman. Kita akan terkaget-kaget dengan harga minuman jus 4.000.000 lira. Namun, kalau kita baca daftar harga di sisi yang lainnya, tertulis harga dengan nilai nominal baru, yakni 4 lira.

Menurut Difi, keinginan Turki untuk masuk ke Uni Eropa menjadi salah satu faktor kesiapan negara itu melakukan redenominasi. Sementara itu, kebijakan fiskal ketat dan defisit anggaran juga tak lebih dari dua persen produk domestik bruto.

Situasi ekonomi Indonesia, kata Difi, sebenarnya sudah cukup kondusif untuk redenominasi. Inflasi, stabilitas ekonomi, dan kondisi keuangan makro terjaga. ''Pendidikan masyarakat sangat urgen. Jangan sampai muncul gejolak karena salah pengertian. Jangan sampai ada anggapan penyederhanaan nominal ini berarti mengubah nilai barang,'' kata Difi.

Ekspektasi inflasi yang salah juga akan menjadi bola liar yang sulit dikendalikan dan pada akhirnya bisa memicu hiperinflasi. Mungkin, dampak psikologis juga harus diperhatikan karena Indonesia akan kehilangan banyak orang yang biasa dipanggil 'jutawan' dan 'miliarder'. alwi shahab, subroto, ed: rahmad bh

Jumat, 30 April 2010

Hak Buruh

Buruh pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan, berupa pendapatan, baik secara jasmani maupun rohani. Ada yang bekerja lebih mengandalkan otak (profesional), sering disebut buruh 'kerah putih'. Ada pula yang mengandalkan tenaga otot, disebut 'kerah biru'.

Esok hari, setiap 1 Mei, dunia menyebutnya sebagai 'May Day' atau Hari Buruh. Pada hari itu merupakan hari libur bagi buruh di sebagian besar negara di dunia. Alasannya, 1 Mei menjadi fondasi usaha gerakan serikat buruh untuk merayakan keberhasilan ekonomi dan sosial.

Di negeri ini, sejak pemerintahan Orde Baru, Hari Buruh tidak lagi diperingati.

Rezim Orde Baru menganggap gerakan buruh identik dengan paham komunis, khususnya sejak peristiwa 30 September 1965. Bahkan, peringatan Hari Buruh dianggap sebagai aktivitas subversif. Padahal, 'Labour Day' justru lebih banyak dirayakan di negara-negara yang antikomunis.

Sejak era reformasi, Hari Buruh kembali diperingati di Indonesia. Di sejumlah daerah marak aksi buruh yang menuntut hak-hak normatifnya terhadap pemilik modal. Kendati begitu, pemerintah belum menjadikan Hari Buruh sebagai hari libur nasional, seperti di negara lainnya.

Kita berharap peringatan Hari Buruh Sedunia esok hari, akan berjalan tertib, aman, dan lancar, seperti yang selama ini dilakukan sejak 1999. Memang, selalu ada kekhawatiran aksi buruh akan berakhir dengan rusuh dan anarkistis.

Kita berharap pemerintah dan pengusaha mendukung buruh untuk menuntut pemenuhan haknya. Namun, tidak perlu harus dengan aksi buruh yang menimbulkan kerusuhan. Ada beberapa yang patut disuarakan, seperti hak buruh dalam program jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek), penghapusan sistem kerja kontrak, dan pemenuhan upah yang layak.

Selain itu, yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah adalah desakan menunda pemberlakuan CAFTA (perdagangan bebas dengan ASEAN dan Cina). Beberapa industri kecil dan tradisional sudah 'melempar handuk', tanda menyerah. Nyata, kita belum siap bersaing dalam perdagangan bebas. Karena itu, pemerintah harus mencermati perkembangan kritis ini.

Yang tak kalah penting, pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, khususnya pasal yang mewajibkan setiap perusahaan wajib memberikan pesangon kepada pekerja yang diberikan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan apa pun. Pasal pesangon ini menjadi salah satu pemicu perusahaan melaksanakan sistem kontrak kepada sebagian besar pekerjanya.

Kasus kerusuhan Batam, baru-baru ini, tentu saja dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Buruh harus diperlakukan dengan adil, bukan berdasarkan identitas asal-usul seseorang, apakah tenaga asing atau tenaga yang berasal dari dalam negeri. Termasuk status sebagai buruh kontrak dan bukan sebagai tenaga tetap.

Apa pun, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap kebijakannya yang seringkali tidak berpihak kepada buruh. Juga harus bertanggung jawab terhadap ketidakadilan dalam hubungan tripartit (pengusaha, buruh/karyawan dan pemerintah).
(www.republika.co.id)

Selasa, 20 April 2010

Rahasia Rezeki

oleh : Mahiruddin Siregar

Manakala kita membicarakan soal rezeki, seringkali terjadi perbedaan pendapat apakah rezeki itu merupakan takdir dari Allah, atau merupakan hasil usaha dan kerja keras manusia ?

Pada hari Jumat yang lalu, saya shalat Jumat di masjid agung Al Azhar, tofik Khutbah adalah membahas misteri rezeki. Pertama sekali sang khatib menceritakan suatu kisah tentang dua orang bersahabat yang sedang duduk-duduk dan terlibat dalam satu perdebatan tentang rezeki. Salah seorang berpendapat bahwa bagimanapun rezeki itu sudah ditentukan oleh Allah SWT, mau kerja keras atau tidak Allah sudah menentukan takaran rezeki masing-masing insan ciptaan Nya,sedangkan temannya juga tetap bersikeras pada pendapatnya bahwa rezeki itu harus diusahakan, makin keras usaha makin banyak rezeki yang diberikan oleh Allah SWT.

Ditengah perdebatan tersebut tiba-tiba lewat seorang pedagang jeruk, dimana karena sesuatu hal gerobak jeruknya oleng dan hampir jatuh terbalik, untung saja salah satu dari dua orang itu segera membantu menahan gerobak tersebut hingga tidak sampai jatuh dan terbalik. Sebagai ucapan terima kasih, si pedagang membarikan 5 buah jeruk kepada teman yang menolong tersebut, dan kedua orang bersahabat itu memakan jeruk sampai habis.

Sehabis makan jeruk, perdebatan dilanjutkan lagi. "Coba kalau saya tidak berusaha membantu orang tadi apakah mungkin kita bisa makan jeruk hari ini ?" kata sipenolong dengan rasa penuh kemenangan. Namun tanpa disangka temannya yang satu lagi lebih merasa menang lagi dengan mengatakan "Buktinya saya yang tidak berusaha ikut menolong, malah menghabiskan 3 buah sedang anda hanya 2 buah jeruk saja " katanya sambil tersenyum.

Dari kisah diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat kedua orang yang berdebat tersebut sama-sama benar.

Sesungguhnya misteri rezeki itu adalah sebagai berikut :

Pertama, bahwa Allah telah menjamin bahwa semua insan ciptaannya termasuk manusia, akan memperoleh rezeki untuk menopang kehidupannya. Tidak ada makhluk hidup yang tidak dijamin rezekinya oleh Allah selama dia masih hidup. Jaminan rezeki berakhir setelah dia meninggal atau mati.Rezeki janis ini disebut dengan rezeki yang dijamin.

Kedua, rezeki yang dibagikan. Allah akan membagikan tambahan rezeki bagi orang-orang yang berusaha untuk mendapatkannya, sesuai dengan kemampuan, keahlian, dan kerja kerasnya. Barang siapa yang lebih mampu, lebih ahli dan lebih kerja keras akan memperoleh bagian yang lebih banyak, tanpa melihat apakah dia itu orang baik atau orang jahat, Allah tetap memberikan bagiannya masing-masing.Jika cara untuk mendapatkan bagian rezeki tersebut diridhoi Allah maka rezeki tersebut adalah halal, sedangkakn kalau caranya menyimpang dan tidak diridhoi oleh Allah, seperti curang, menipu, membohongi, mencuri, korupsi, dll, maka rezeki yang diperolehnya adalah haram.

Ketiga, rezeki yang dijanjikan. Allah telah menjanjikan rezeki bagi orang-orang baik dan suka menolong sesama makhluk, orang dermawan dan orang-orang yang membelanjakan hartanya dijalan Allah, dengan ikhlas. Mereka ini akan memperoleh imbalan berlipat ganda, berupa rezeki yang datang dari sumber yang tidak diduga sebelumnya. Rezeki semacam ini tidak dijanjikan kepada orang jahat, rakus, suka menipu, dll perbuatan yang tidak diridhoi oleh Allah SWT.

Akhirnya marilah kita berusaha untuk mencari rezeki yang halal, kemudian jangan segan untuk membelanjakannya dijalan Allah, Insya Allah akan dibalas dengan imbalan yang setimpal.

Jangan lupa setiap harta atau rezeki yang kita peroleh selama didunia, kelak diakhirat akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah SWT, dari mana asalnya dan dipergunakan untuk apa saja, jika semuanya sesuai dengan ketentuan dan ridho Allah, maka Alhamdulillah kita akan selamat, jika tidak, Naudzu billah..., siksa Allah sangatlah pedih.

Kamis, 08 April 2010

Impor Kedelai Bulog

Masih ingat ketika di awal-awal 2008 banyak industri tahu tempe limbung dihantam melambungnya harga kedelai dunia? Industri yang kebanyakan industri kecil itu tak bisa berbuat apa-apa ketika harga kedelai impor meroket, kecuali merumahkan karyawannya.

Harus diakui, ketergantungan kita terhadap kedelai impor masih sangat tinggi. Sampai saat ini produksi kedelai dalam negeri tercatat berada di kisaran satu juta ton per tahun. Sedangkan, kebutuhan domestik mencapai dua juta ton. Kekurangan pasokan kedelai itulah yang harus dipenuhi dari impor.

Tingginya ketergantungan itulah yang agaknya mendorong Perum Bulog untuk kembali menerjuni kegiatan impor beras, setelah terhenti sejak sebelas tahun lalu. Kembalinya Bulog mengimpor kedelai kemungkinan besar tak cuma lantaran ketergantungan impor yang makin tinggi, tapi juga karena dampaknya terhadap kestabilan harga kedelai di dalam negeri.

Dugaan kuat yang muncul terkait dengan ketergantungan impor tadi adalah adanya permainan jaringan perdagangan importir kedelai, yang menyebabkan harga domestik tidak stabil. Panen kedelai yang seharusnya bisa dinikmati petani sendiri, diduga selalu berbarengan membanjirnya kedelai impor di pasaran. Ini tentu mengganggu stabilitas harga dalam negeri, yang ujung-ujungnya merugikan petani.

Kembalinya Bulog mengimpor kedelai diharapkan mampu menstabilkan harga di pasaran sehingga petani dalam negeri dapat menikmati harga yang lebih baik. Bulog diharapkan mampu mengendalikan impor sekaligus mengawal agar kedelai bisa menjadi komoditas yang mencapai swasembada pada 2014. Wajar kalau kemudian kalangan legislatif pun melontarkan dukungan terhadap impor kedelai Bulog.

Hanya saja, kita juga perlu mengingatkan, impor kedelai sebagai instrumen stabilisasi harga, bukan satu-satunya cara. Bulog tetap perlu mengendalikan impor dengan cara mendorong peningkatan produksi kedelai di dalam negeri. Sehingga, keseimbangan harga dan pasokan bisa terjaga. Bersamaan dengan itu, Bulog dan instansi terkait lainnya, perlu menggencarkan sosialisasi demi mengangkat kembali kepercayaan petani untuk intensif menanam kedelai.

Di lain pihak, para pelaku industri agro yang menggunakan kedelai sebagai bahan, sudah saatnya menjadikan kedelai nonimpor pilihan utama produknya. Ini akan membantu menyerap kedelai petani negeri sendiri sekaligus meningkatkan kualitas panennya. Sudah saatnya pula ilmuwan pertanian bangkit; meneliti dan mengembangkan varietas kedelai unggul.

Kesiapan Bulog untuk kembali terjun ke kancah impor kedelai semestinya dipahami positif. Tapi, pengawasannya juga mesti sangat ketat. Jangan sampai Bulog justru terbawa arus permainan jaringan perdagangan importir kedelai. Kita tak ingin tujuan impor kedelai Bulog jadi melenceng lantaran tergiur keuntungan. Sebaliknya, Bulog harus mampu memotong habis jaringan perdagangan importir kedelai nakal, yang sering kali mengorbankan petani dan konsumen.

Kembalinya Bulog mengimpor kedelai sebagai upaya mengendalikan impor, bukan mencari keuntungan selayaknya menjadi momentum awal membangun kembali benteng ketahanan pangan negara agraris ini. Dalam era perdagangan bebas seperti sekarang, keberadaan benteng tersebut jelas mendesak. Kita ingin bangga mengonsumsi tahu dan tempe berbahan kedelai sendiri. Bukan kedelai bule.
(www.republika.co.id)

Rabu, 31 Maret 2010

Secercah Harapan Mulai Terbit


Oleh : Mahiruddin Siregar

Indonesia terpuruk, korupsi meraja lela, penegakan hukum lemah, birokrasi bertele-tele, perizinan sulit, kenaikan harga-harga tak terkendali, dan lain-lain kebobrokan yang terus menimpa, sehingga rakyat Indonesia dari hari- kehari masih terus semakin menderita dalam mengharungi kehidupan yang terasa sangat berat.

Reformasi telah berjalan lebih dari 1 dasawarsa, namun KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang dulu mau ditumpas, masih belum juga berkurang meskipun harus diakui bahwa telah ada beberapa koruptor yang dihukum, tetapi belum ada tanda-tanda KKN akan berkurang.

Kalau hanya berharap dari kemauan dan kemampuan pemerintah dan pejabat negara lainnya saja, sepertinya jauh api dari panggang. Mereka bergerak lamban, ragu dan takut.

Mau tidak mau social control dari masyarakat sipil sangat dibutuhkan, terutama dari golongan menengah, yang hidup dilingkungan swasta. Kelompok ini ternyata memiliki kekuatan yang sangat dahsyat untuk memaksa pemerintah dan para pejabatnya, membuka mata melihat kenyataan bahwa sesungguhnya sangat banyak kejanggalan yang mereka lakukan melalui rekayasa keji demi melanggengkan kekuasaan dan menambah kekayaan.

Kita ingat betapa dahsyatnya kekuatan 1 juta face booker yang memaksa pemerintah untuk menghentikan rekayasa hukum yang menjerat Bibit & Chandra sehingga keduanya bisa bebas dan kembali bertugas sebagai wakil ketua KPK.

Tak kalah dahsyat gerakan coin untuk Prita yang dapat mengumpulkan hampir Rp.1 milyar untuk membantu membayar denda kepada RS Omni International, yang akhirnya secara terpaksa RS Omni harus mencabut gugatannya dan kemudian Prita bebas dari jeratan hukum maupun denda, yang memang seharusnya tidak pantas dia alami.

Masih kelanjutan dari kasus Bibit & Chndra, yang memaksa Polri melengserkan Komjen Susno Duaji dari jabatannya sebagai Kabareskrim, buntutnya entah karena Susno tidak mau jadi pecundang sendirian, atau dengan kesyadaran sendiri demi membantu polri untuk mereformasi diri, maka beliaupun melaporkan kepada Satgas Pemberantasan Makelar Hukum, bahwa ditubuh polri ada praktek-praktek mafia dan makelar hukum, akibatnya dua jendral yang inisialnya disebutkan oleh Susno, meradang, kemudian balik mengadukan Susno sebagai pencemar nama baik, maka polri pun cepat bergerak menetapkan Susno sebagai tersengka pencemaran nama baik, padahal seharusnya yang perlu lebih cepat ditanggapi oleh polri adalah menyelidiki kebenaran adanya makelar kasus tersebut, kalau memang terbukti tidak ada, barulah urusan pencemaran nama baik dilakukan.

Dari nyanyian pak Susno itu terbukalah kepada umum bahwa bau tak sedap makelar hukum ditubuh polri kelihatannya benar-benar ada, dimana seorang Gayus Tambunan pegawai pajak golongan rendah yang memiliki Rp.25 m direkeningnya itu, akhirnya bebas dari tuntutan penggelapan.

Nah semakin melebar, ternyata sosok Gayus yang kini sudah kabur ke Singapura, akan menguak cerita lain tentang makelar-makelar hukum yang ada di polri, kejaksaan dan kehakiman, dan besar kemungkinan di tubuh Ditjan pajak sendiri atau Depkeu secara keseluruhan.

Kalau saja Gayus mau mengikuti cara Susno untuk bekerja sama membongkar praktek mafia pajak, karena publik yakin bahwa Gayus tidaklah bekerja sendiri, maka sedikit banyaknya dia akan tercatat oleh masyarakat, bukan semata sebagai koruptor tetapi bisa jadi sebagai "pahlawan" pembongkar korupsi pajak.

Rentetan kejadian seperti diatas, menurut saya akan membawa perubahan-perubahan perilaku masyarakat untuk lebih berani melawan kesewenangan para aparat yamg coba merekayasa hukum dan menyakiti rasa keadilan masyarakat. Jika keberanian ini semakin meluas keseluruh pelosok nusantara, saya yakin secara pelan dan pasti, pemerintah dan aparatnya akan berpikir seribu kali sebelum melakukan perbuatan terkutuk mereka.

Kita harus bersyukur bahwa salah satu hasil dari gerakan reformasi kita adalah kebebasan pers, masyarakat tahu ada praktek mafia hukum adalah berkat jasa media, baik cetak terlebih lagi elektronik.

Keberanian masyarakat dan media telah membawa secercah harapan untuk perubahan, menuju Indonesia maju dan jaya..........!!!

Selasa, 30 Maret 2010

Dorong Industri Hilir Sawit

EH Ismail

JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menargetkan pembangunan industri hilir berbasis kelapa sawit. Visi pembangunan industri hilir sawit itu tertuang dalam cetak biru pembangunan sawit nasional sampai 2020.

Pada tahun ini, pemerintah setidaknya bakal mendorong terwujudnya pembangunan industri hilir sawit di tiga lokasi khusus, yaitu di Semangke (Sumatra Utara), Kuala Enok dan Dumai (Riau), serta Malowi (Kalimantan Timur).

''Pembangunan industri hilir yang bahan bakunya sawit itu untuk meningkatkan pemakaian sawit di dalam negeri,'' kata Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Ahmad Mangga Barani, usai melakukan pertemuan dengan 18 perusahaan sawit nasional di Jakarta, Senin (29/3).

Industri hilir sawit, lanjut Mangga Barani, meliputi pembangunan infrastruktur pendukung perdagangan serta distribusi kelapa sawit berupa pelabuhan, pembangunan pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit menjadi minyak goreng, dan pembangunan industri biodiesel.

Pada 2020, pemerintah menargetkan produksi sawit nasional mencapai 40 juta ton per tahun. Dengan pengembangan industri hilir sawit, diharapkan terjadi keseimbangan pemanfaatan sawit dalam negeri dengan ekspor. Lonjakan pemanfaatan sawit nasional berpotensi membuka lapangan kerja baru pada dunia industri sawit.

Selama ini, kata dia, pemakaian sawit nasional relatif masih kecil. Dari sekitar 19 juta ton produksi total sawit per tahun, baru enam juta ton sawit yang digunakan di dalam negeri.

Mengenai pertemuan dengan 18 perusahaan sawit, Mangga Barani menerangkan, kegiatan itu dipicu kampanye Greenpeace terkait proses produksi sawit nasional. Greenpeace menyeru negara-negara Eropa untuk tidak membeli produk sawit Indonesia lantaran proses produksinya tidak memerhatikan konservasi lingkungan.

Secara khusus Greenpeace menyoroti lahan-lahan sawit milik PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT Smart) di Kalimantan Tengah. Produksi sawit PT Smart di Kalimantan Tengah selama ini dibeli oleh grup perusahaan Nestle dan Unilever.

Akibat kampanye Greenpeace, kata Mangga Barani, Unilever dan Nestle mengevaluasi kontrak dagang mereka dengan PT Smart. Perusahaan-perusahaan itu sedang membicarakan solusi bersama guna menjawab tudingan Greenpeace.

''Mereka sepakat membentuk tim independen yang bertugas memverifikasi lahan-lahan milik Smart. Tim ini yang akan menilai apakah tuduhan Greenpeace benar atau tidak.'' Pembentukan tim independen itu diharapkan selesai pada pekan ini.

Mangga Barani menambahkan, kasus yang menimpa PT Smart menjadi pelajaran bagi produsen sawit skala besar nasional untuk melakukan langkah sistematis bila terjadi masalah serupa. ''Pemerintah dan pengusaha-pengusaha sawit nasional telah menyamakan pandangan, produksi sawit akan terus kita genjot walaupun Greenpeace melakukan kampanye negatif.''

Indonesia dan Malaysia menjadi pemain utama produksi CPO di pasar global. ed: wachidah


Masih Ungguli Malaysia

Produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Indonesia pada 2010 diprediksi masih bisa mengalahkan Malaysia.
Indonesia diprediksi akan mampu memproduksi CPO hingga 23,2 juta ton pada 2010 atau naik 2,5 juta ton (10,7 persen) dibandingkan tahun sebelumnya.

Produksi Minyak Sawit Indonesia (Ton)

Tahun Volume

2006 15 juta
2007 17,27 juta
2008 19,33 juta
2009 20,2 juta
2010 21 juta *

Ket : *) prediksi

(www.republika.co.id)

Rabu, 24 Maret 2010

Maka Teruslah Bermimpi


Karena tidak ada perubahan,
tanpa ada mimpi-mimpi.

Maka jangan pernah bosan,
untuk selalu bermimpi.

Jika anda yakin bahwa mimpi,
akan tercapai,
maka akan ada usaha serius,
dan terus menerus,
hingga mimpipun,
jadi kenyataan................!!!

Jakarta, 24 Maret 2010

Mahiruddin Siregar.

Sabtu, 13 Maret 2010

Diplomasi Sapi

Jangan anggap remeh sapi. Hubungan dua negara, jika tak hati-hati mengelola sapi, bukan mustahil terganggu. Begitulah gambaran hubungan Indonesia dan Australia saat ini, setidaknya hubungan perdagangan kedua negara.

Menyusul swasembada beras, Kementerian Pertanian Indonesia meluncurkan Program Swasembada Sapi 2014. Melalui program ini, diharapkan Indonesia mampu memenuhi sendiri kebutuhan sapi potong dan daging domestik. Bersamaan dengan itu, impor sapi juga diperketat. Meski tak mudah, program ini diyakini bisa tercapai dan tentunya bakal menguntungkan peternak domestik.

Persoalan muncul ketika program tersebut tersiar sampai ke peternak-peternak sapi di Australia. Mereka menilai, Program Swasembada Sapi 2014 menjadi masalah besar. Pasalnya, Indonesia, sampai saat ini, tercatat sebagai pasar ekspor sapi terbesar Australia. Data Kementerian Pertanian menyebutkan, setiap tahunnya Indonesia mengimpor sekitar 650 ribu sapi hidup. Diperkirakan, sekitar 60 persen sampai 70 persen dari jumlah itu diimpor dari Australia.

Berdasarkan data tersebut, hampir bisa dipastikan pengetatan impor menuju Swasembada Sapi 2014 bakal merugikan peternak (pengekspor sapi) Australia. Wajar kalau kemudian perwakilan pemerintahan Negeri Kanguru itu intensif menemui pejabat di Kementerian Pertanian Indonesia. Tujuannya mudah ditebak, yaitu menyampaikan keberatan atas program tadi sekaligus melobi dan berdiplomasi agar upaya menuju swasembada sapi bisa ditekan.

Kita tentu saja berharap pemerintah tak mudah ditekan pihak luar. Potensi peternakan kita sangat besar dan mampu memenuhi kebutuhan negeri sendiri. Tak perlu impor. Swasembada sapi bukan hanya menguntungkan peternak negeri sendiri, tapi juga lebih terjangkau dari sisi harga. Dan, lantaran daging sudah menjadi kebutuhan pokok, swasembada sapi jelas tak bisa ditawar-tawar lagi.

Bagaimana dengan hubungan perdagangan sapi dengan Australia? Langkah Kementerian Pertanian Indonesia adalah menawarkan peternak sapi Australia berinvestasi di sini. Investasi tersebut cukup menguntungkan kedua negara. Peternak Australia tak perlu khawatir kehilangan banyak pangsa pasar karena tetap bisa mengekspor sapi-sapi dengan persyaratan tertentu.

Sebaliknya, petani domestik, selain bisa menyerap ahli teknologi pembibitan sapi, juga memenuhi sendiri kebutuhan sapi (daging) dalam negeri. Bisa diharapkan pula ada penyerapan tenaga kerja. Apa pun penawarannya, investasi tersebut harus menguntungkan Indonesia. Jangan sampai investasi justru melemahkan peternak sapi domestik.

Lawatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Australia kita harapkan dimanfaatkan antara lain untuk memainkan diplomasi demi membela kepentingan peternak sapi domestik. Melalui lawatan kali ini, pemerintah diharapkan bisa mendorong Pemerintah Australia agar mendorong para peternaknya memanfaatkan tawaran investasi tersebut. Apalagi, sampai saat ini, memang belum ada peternak negara tetangga itu untuk menanamkan modalnya di bidang pembibitan sapi.

Masa depan dan kesejahteraan peternak sapi domestik boleh jadi sangat bergantung pada 'diplomasi sapi' yang digencarkan ke Australia. Kita sudah seharusnya berkata dengan tegas kepada pemerintah dan peternak Australia bahwa kewajiban Pemerintah Indonesia adalah menyejahterakan para peternak domestiknya. Ditegaskan pula, negara mana pun tak punya alasan keberatan dengan program pemerintah untuk menjadikan peternak domestik menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
(www.republika.co.id)

Selasa, 09 Maret 2010

Gas untuk Lokal

Bagai ayam mati di lumbung padi. Perumpamaan itu tepat jika diterapkan pada kasus gas di Tanah Air kita ini. Potensi gas begitu besar, tetapi justru industri dalam negeri kekurangan pasokan, sampai ada yang tutup gara-gara tak kebagian, persis ayam mati di lumbung padi.

Persoalan ini pernah mencuat ketika pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda di Aceh tidak memperoleh pasokan gas dua tahun silam. Padahal, tidak jauh dari beroperasinya pabrik itu, masih di provinsi yang sama, ada lapangan gas yang produksinya jauh melampaui kebutuhan pabrik. Tapi, kemudian persoalan ini terlupakan begitu saja.

Kini, kita diingatkan lagi dengan perumpamaan ayam tersebut. Mulai 1 April 2010 nanti, PT Perusahaan Gas Negara (PGN) akan mengurangi pasok gas untuk industri lokal sebesar 20 persen. Berbagai alasan dikemukakan, seperti menurunnya pasokan dari hulu, pemenuhan permintaan ekspor, dan tidak terserapnya pasokan gas tahun lalu.

Tak pelak, keputusan tersebut merupakan pukulan berat bagi industri yang selama ini mengandalkan gas sebagai sumber energi. Bagaimanapun pengurangan pasokan tersebut akan berimbas pada kelangsungan hidup industri yang hidup mengandalkan gas, seperti pabrik baja, keramik, semen, dan pupuk.

Secara logika, pengurangan pasokan gas akan memaksa industri mengurangi utilisasi peralatan sehingga kapasitas pabrik tidak optimal. Ujung-ujungnya, pada kondisi terakhir, industri tersebut bisa-bisa melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan.

Ini memang ironi, karena jika dilihat dari skala produksi, jumlah produksi gas yang bisa ditarik dari dalam bumi Indonesia ini jauh melebihi kebutuhan gas nasional. Pada 2008, misalnya, dari produksi total 2.885 juta kaki kubik, yang dilokasikan ke dalam negeri 505 juta kaki kubik. Sebagian besar produksi gas tersebut justru diekspor untuk memenuhi kebutuhan industri negara lain.

Pemerintah sebenarnya sudah membuat data neraca cadangan migas 2010-2025, yang di dalamnya memuat data-data tentang suplai dan permintaan gas. Tetapi, sepertinya tidak dikemas secara komprehensif dengan pemetaan industri nasional yang semakin hari mulai banyak membutuhkan gas.

Masalah ini harus segera diselesaikan. Ironi-ironi semacam ini tidak boleh lagi dibiarkan menggelinding. Industri dalam negeri harus menjadi prioritas pasokan gas. Apalagi, kini industri di Indonesia juga sedang kritis karena menghadapi perdagangan bebas Cina-ASEAN. Jika tidak dibenahi dari hulu, industri akan makin terbengkalai.

Ada gagasan agar untuk memenuhi pasokan dalam negeri dilakukan dengan mengimpor gas dari negara lain. Masalahnya, apakah harga gas di luar 'bersedia' lebih murah dari dalam negeri? Lagi pula, mengapa harus impor ketika produk dalam negeri sebetulnya berlimpah ruah.

Kementerian Perindustrian menyatakan keprihatinan akan kondisi ini. Dibutuhkan pula, keprihatinan yang sama pada kementerian lain, seperti kementerian energi dan sumber daya mineral serta terutama menteri koordinator ekonomi. Masalah pasokan gas ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Masih ada waktu untuk mengubah kebijakan yang akan diberlakukan per 1 April tersebut.
(www.republika.co.id)

Kamis, 04 Maret 2010

Indonesia Jangan Sampai Alami Filipinanisasi


INILAH.COM, Jakarta - Indonesia dikhawatirkan bisa menjadi Filipina kedua di Asia bila pembangunan ekonominya tak mengalami inovasi dan kemajuan. Mengapa?

"Sejauh ini, terkesan pembangunan institusinya bermasalah, partai-partai politik bermasalah dan korupsi-kolusi masih merajalela," kata Sjamsu Rahardja PhD, ekonom pada Bank Dunia dan pendiri Paramadina Public Policy Institute.

Namun demikian, Sjamsu Rahardja yang mantan peneliti senior LPEM UI dan alumnus Georgetown University, AS, itu melihat Indonesia punya prospek ke depan asal reformasi terus diperdalam di segala bidang.

Sjamsu meyakini bangsa Indonesia masih punya masa depan karena demokratisasi akan terus mendorong publik mendesak pemerintah agar bekerja lebih baik dan efisien, KKN diberantas dan kreatiftas rakyat bisa berkembang. "Yang penting, momentum bagi pemberantasan korupsi dan penguatan good governance terus dipelihara oleh masyarakat madani," kata Samsju Rahardja.

Berikut ini wawancara Ahluwalia dari INILAH.COM dengan Syamsu di sebuah restoran di Jakarta, Kamis (25/2).

Anda melihat Indonesia masih bisa bersaing di Asia ke depan?

Saya yakin masih bisa. Kita bisa maju. Dengan potensi kekayaan alam dan SDM yang luar biasa, kita punya peluang bersaing dengan negara-negara tetangga di Asia. Namun saya khawatir, jika mencermati perkembangan birokrasi, partai politik, dan pemerintahan era reformasi, jangan-jangan kita berjalan di tempat seperti Filipina. Asal tahu saja dulu pada 1960-an Filipina pertumbuhan ekonominya bagus, namun pada tahun-tahun sekarang ini Filipina menjadi negeri paling tertinggal di Asia, dan sudah dikalahkan oleh Indonesia. Filipina berjalan di tempat, politiknya dikuasai bos-bos (bosisme) dan pembangunan ekonominya hanya menggumpal di kalangan orang kaya. Saya cemas kalau Indonesia lantas mengalami 'Filipinanisasi’ yakni kemunduran ala Manila.

Maksud Anda?

Demokratisasi kita idealnya untuk membangun good governance dan good corporate governance. Namun yang muncul kok cenderung begitu-begitu saja, kayak jalan di tempat. Berbagai departemen berambisi menyalurkan kredit sendiri-sendiri, masing-masing ingin berperan sendiri. Sementara desentralisasi dan demokratisasi masih dalam proses menuju yang lebih baik dan riil. Terus terang institusi-intitusi kita belum efektif men-delivery program nyata ke rakyat. Kelas menengah baru juga belum tumbuh kuat, terutama kaum enterpreuner masih lemah.

Sementara drama penyampaian pandangan akhir fraksi soal kasus dana talangan Bank Century Rp6,7 triliun, Selasa lalu, diyakini berdampak politik dan membuat rakyat berharap lebih jauh. Kalau kemudian ternyata kasus Century tidak ada bukti, tentu rakyat juga kecewa kepada parpol-parpol di parlemen. Tapi dampak Bank Century amat luas di masyarakat. Rakyat ingin hukum ditegakkan dan korupsi dibasmi. Kalau ternyata tidak ada pejabat tinggi yang terbukti bersalah, misalnya, atau tidak tuntas, tidak akuntabel dan tak transparan, tentu rakyat kecewa.

Anda bilang soal pentingnya memelihara momentum membasmi korupsi. Maksud Anda?

Saya kira, kita harus terus memelihara momentum bagi good governance. Kita harus menjaga momentum untuk memelihara sikap antikorupsi dan membasmi korupsi baik di parlemen, lembaga yudisial, dan legislatif, Momentum-momentum itu harus dipelihara dan diperkuat sebab sektor swasta dan rakyat butuh transparansi dan akuntabilitas, dan pemerintah tak bisa bersikap semaunya lagi. Yang penting lagi reformasi kelembagaan di tataran yudisial merupakan keharusan. Lembaga yudisial harus ditata dan direformasi agar efektif dan kredibel. [mor]

Senin, 01 Maret 2010

Nafsu Besar, Niat Kecil


Pembangunan Nasional Tertatih-tatih
Nyoman Brahmandita

INILAH.COM, Jakarta - Jargon percepatan pembangunan perlu dikritisi kembali karena tidak sejalan dengan proses pembangunan. Bagaimana mungkin pembangunan bisa berlangsung pesat, bila pemerintah lamban memutuskan rencana pembangunan.

Sekadar contoh, pembangunan banjir kanal timur di wilayah DKI Jakarta. Proyek ini sudah berlangsung cukup lama karena terkendala pembebasan lahan. Banjir besar sudah terlanjur berkali-kali menenggelamkan pemukiman tetapi kanal itu tak kunjung rampung.

Demikian halnya pembangunan monorail di Jakarta. Yang ada justru tiang-tiang pancang yang teronggok kaku di tengah-tengah jalan. Bukannya mengatasi kemacetan lalu lintas, tiang-tiang beton itu malah membuat wajah Jakarta jadi semakin kusut.

Kini, tiang beton monorail itu lebih layak disebut sebagai monumen kebodohan birokrat. Proyek monorail itu mangkrak, lantaran investor tidak mendapatkan jaminan kepastian dukungan fiskal dari pemerintah. Serupa tapi tak sama, adalah proyek sub way di Jakarta yang juga tak jelas nasibnya.

Ada pula proyek pembangunan jalan tol trans Jawa. Jalan tol ini dalam angan-angan masyarakat bakal mengurangi beban jalan raya pos (De Grote Postweg) Anyer-Panarukan yang dibangun Gubernur Jenderal Hermann Willem Daendels.

Tetapi seperti pepatah, nafsu besar tetapi niat kurang, jalan tol trans Jawa itu pun tersendat-sendat. Masalah paling besar adalah soal pembebasan lahan. Kabarnya, pemerintah akan mengeluarkan semacam peraturan mengenai pembebasan lahan. Tetapi toh sampai sekarang peraturan itu tidak juga ditetapkan.

Di Jakarta dan Pulau Jawa saja banyak kasus pembangunan yang molor berlarut-larut karena tidak adanya ketegasan sikap pemerintah, padahal proyeknya ada di depan hidung pemerintah pusat. Apalagi yang di luar Pulau Jawa, yang notabene jauh dari pantaun pemerintah pusat.

Contohnya adalah pembangunan proyek kilang LNG dari lapangan gas Donggi-Senoro di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Seharusnya, kelanjutan proyek Donggi-Senoro ini bakal diputuskan dalam sidang kabinet paling lambat Februari 2010, agar kilang itu bisa beroperasi pada 2013.

Namun kenyataan bicara lain. Sampai kalender Februari berakhir, keputusan belum juga diambil. Kata Menko Perekonomian, keputusan belum bisa diambil lantaran studi teknoekonomi atas proyek tersebut belum kelar. Alhasil, proses pembangunan proyek bernilai Rp50 triliun itu juga bakal molor.

Dalam beberapa kasus itu, pemerintah terkesan tidak berani bersikap tegas dan mengulur-ulur waktu. Seolah pemerintah tidak cukup memiliki kemampuan mengambil keputusan yang cepat, namun tetap tepat dan bijak. Wajar bila masyarakat merasa gregetan melihat kelambanan proses pembangunan.

Dalam kasus Donggi-Senoro tadi, misalnya, DPRD setempat sampai merasa perlu menyuarakan desakan kepada pemerintah pusat agar cepat-cepat memutuskan pembangunan kilang gas itu.

Bila kilang LNG Donggi-Senoro segera dibangun dan beroperasi, akan memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang sangat besar bagi perekonomian daerah maupun nasional. Akan terjadi penciptaan lapangan kerja di daerah itu, yang berarti pula mengurangi angka pengangguran nasional. Hasil gas dari lapangan gas itu, juga akan meningkatkan perolehan devisa bagi negara.

Alasan itu sangat mudah dipahami. Investasi senilai Rp50 triliun yang tertanam dalam proyek kilang LNG itu tentu akan memberikan pengaruh ekonomi signifikan bagi Kabupaten Banggai, maupun Propinsi Sulawesi Tengah.

Coba bayangkan. Seandainya selama tiga tahun masa konstruksi itu, hanya 5% atau Rp2,5 triliun dari total investasinya yang benar-benar berputar dalam sistem perekonomian setempat, maka efek penggandanya tentu akan sangat besar. Uang yang beredar akan meningkatkan kesejahteraan mereka.

Belum lagi, bila gas Donggi-Senoro sudah benar-benar menyembur dan diproduksi. Maka kas pemda setempat akan menggelembung dengan cepat, karena diisi dana bagi hasil migas yang menjadi hak daerah.

Nilai dana bagi hasil migas itu tentu sangat besar dibandingkan PAD Kabupaten Banggai yang saat ini cuma Rp 18 miliar. Belum lagi bila potensi dana bagi hasil itu digabungkan dengan multiplier effect dari 5% dana investasi kilang LNG yang beredar di masyarakat setempat.

Bisa dibayangkan, pemerintah kabupaten dan provinsi setempat tentu akan memiliki kemampuan anggaran berlipat ganda. Dengan sendirinya juga memiliki kemampuan sangat besar melakukan pembangunan. Tentu dengan catatan, bila peningkatan anggaran itu tidak disertai peningkatan korupsi oknum-oknum pemerintah.

Ujung-ujungnya, yang diuntungkan potensi sumber daya alam nan berlimpah ruah itu adalah rakyat juga. Bukankah ini esensi dari otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang merupakan keniscayaan dalam era reformasi? Bukankah, karena alasan itu pula, masyarakat Banggai meminta daerahnya dimekarkan menjadi kabupaten tersendiri? [mdr]

Kamis, 25 Februari 2010

Swasembada Daging



oleh : Mahiruddin Siregar

Tidak ada jalan lain untuk mencapai swasembada daging, kecuali Indonesia harus mengembangkan usaha peternakan dengan serius dan terencana. Bahkan kalau setiap warga petani yang masih punya lahan kosong +/- 100m2, dapat dididik dan dibina memelihara sekitar 5 ekor sapi saja, maka kebutuhan daging nasional akan tercukupi. malah kita dapat mengekspor kelebihannya.

Masihkah kita harus terus tergantung dengan negara lain, hanya untuk bisa makan daging sapi saja ?

Terlalu...............!!!

Selasa, 23 Februari 2010

Mentan: Australia Keberatan Indonesia Swasembada Daging

Kamis,18 Februari 2010 (www.kampoengternak.or.id)

Jakarta - Pemerintah Australia secara resmi, menyatakan keberatan sekaligus kuatir terhadap program swasembada daging sapi 2014 yang dicanangkan Kementerian Pertanian sebagai salah satu program unggulan dalam lima tahun ke depan.

"Mereka menyatakan kekuatirannya dan keberatan atas program pemerintah tersebut," kata Menteri Pertanian Suswono di Jakarta, Selasa.

Dikatakannya, Duta Besar Australia telah melakukan pertemuan khusus dengan pihaknya guna membahas penerapan program swasembada daging 2014 yang nantinya akan ditindaklanjuti dengan kehadiran para pengusaha Australia ke Kementerian Pertanian.

Suswono mengungkapkan pada pertemuan itu disinggung Indonesia merupakan salah satu pangsa pasar terbesar produk peternakan negeri tetangga tersebut dan keberhasilan dari program yang dicanangkan oleh Kabinet Indonesia Bersatu jilid II dinilai akan mengancam stabilitasi ekspor produk ternak Australia.

"Saya menyatakan kepada mereka agar para pengusaha Australia datang dan berinvestasi di ternak sapi Indonesia," katanya.

Dalam seminar bertajuk "Arah dan Kebijakan Pembangunan Pertanian 2010-2014" yang digelar Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) itu Mentan menyatakan program swasembada daging membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk di dalamnya para investor.

Beberapa waktu sebelumnya tiga negara produsen jeroan sapi, yakni Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat melakukan protes atas kebijakan Pemerintah Indonesia yang akan mengurangi dan melarang impor jeroan dari negara tersebut.

Sementara itu Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) menilai sikap keberatan yang disampaikan oleh pemerintah Australia terkait dengan program swasembada daging 2014 karena tidak mau kehilangan pasar di Indonesia.

Ketua Umum PPSKI Teguh Boediyana menyatakan kekhawatiran yang berujung pada keberatan itu terkait dengan bisnis apalagi selama ini 70 persen produk peternakan baik daging maupun sapi hidup dari Australia dipasok ke Indonesia.

Menurut dia pada tahun lalu realisasi ekspor sapi hidup dari Australia mencapai 700.000 ekor naik dari 2008 yang hanya 620.000 ekor. "Australia tidak akan mau kehilangan pasar yang besar ini," katanya.

Perbaikan data
Pada kesempatan itu, dia menyatakan, program swasembada yang diterapkan oleh pemerintah patut mendapatkan dukungan namun demikian program itu harus diawali dengan perbaikan data populasi ternak sapi di dalam negeri.

"Saya sudah sampaikan ke Mentan bahwa selama enam bulan ini yang harus dilakukan adalah melakukan pendataan populasi ternak," kata ketua PPSKI itu.

Teguh menyatakan pendataan populasi ternak menjadi penting mengingat saat ini data populasi yang dimiliki Kementerian Pertanian dengan pelaku usaha berbeda.

Perbedaan data populasi, tambahnya, akan berakibat fatal pada saat pengambilan kebijakan. "Jangan sampai target swasembada daging 2014 kembali gagal seperti yang terjadi sebelumnya. Sudah dua kali gagal program ini," kata Teguhnya. (ANTARA, 16/2/2010)