Senin, 30 November 2009

Jakmania



Oleh : Mahiruddin Siregar

Jakmania adalah julukan bagi supporter fanatik Persija.

Setiap Persija turun merumput mereka pasti dengan setia datang berduyun-duyun untuk memberikan dukungan.

Apalagi kalau pertandingannya dilaksanakan di markas Persija yaitu Stadion Utama Senayan Jakarta, sudah dapat dipastikan bahwa seluruh stadion akan berwarna oranye, warna kesayangan Persija.

Bahkan sebelum memasuki stadion, jalanan Jakarta sering dimacetkan oleh kompoi oranye Jakmania, dan tidak jarang pula mereka bikin ulah yang bikin pusing petugas lalu lintas dan para pengguna jalan lainnya.

Beruntunglah Persija memiliki pendukung fanatik yang cukup banyak, sehingga dengan penuhnya lapangan oleh penonton pada setiap pertandingan akan memberikan pemasukan yang cukup memadai dari hasil penjualan karcis masuk, dimana akan sangat membantu untuk membiayai kesebelasan tersebut.

Di Indonesia saat ini bukan hanya Persija saja yang memiliki pendukung fanatik, tetapi kesebelasan lainnya juga seperti Persib, Persik, Arema, Persebaya, Sriwijaya FC, PSM, PSMS, dll.

Semoga hal ini sebagai pertanda akan majunya persepakbolaan Nusantara dimasa depan, sehingga dapat berkiprah untuk tingkat Internasional.

Sabtu, 28 November 2009

Indahnya Solidaritas

Sabtu, 28 November 2009 pukul 02:22:00
Solidaritas Sosial

Seluruh umat Muslim sedunia, kemarin merayakan salah satu perayaan paling akbar, yakni Idul Adha 1430 Hijriah. Inilah kesempatan emas bagi umat Islam untuk melaksanakan wujud solidaritas sosial terhadap sesamanya.

Idul Adha yang juga dikenal sebagai Hari Raya Kurban, memberikan peluang sebesar-besarnya bagi yang mampu untuk membantu sesamanya yang kurang beruntung, miskin, atau yang sedang mengalami musibah, seperti bencana alam. Kepekaan umat terhadap sesamanya, diuji dalam konteks ini.

Kurban bukan semata-mata prosesi penyembelihan hewan kurban, berupa kambing, domba, atau sapi. Tetapi lebih dari itu, yang beruntung memiliki harta dianjurkan untuk memberikan sebagian hartanya kepada kaum yang miskin. Itulah sesungguhnya ajaran Islam yang hakiki.

Idul Adha ini hanya sebuah momentum yang mesti dilanjutkan pada hari-hari lain. Kerelaan sebagai umat manusia, bukan berhenti hanya pada saat kita merayakan hari akbar ini saja. Seorang Muslim harus ikhlas melepaskan sebagian harta yang dimilikinya, untuk menjalankan apa yang ditetapkan Allah SWT, membantu sesamanya.

Kita mestinya tak terpaku pada kerelaan dalam bentuk harta atau fisik. Peluang bagi umat Islam untuk menjadi insan yang kamil (sempurna) terbuka seluas-luasnya. Saatnya, segenap lapisan masyarakat menggalang solidaritas untuk mengatasi krisis ekonomi global saat ini.

Ada harapan di ujung lorong yang gelap gulita ini. Dalam situasi krisis dan tantangan yang semakin menghimpit ini, manusia justru diingatkan agar terus bersemangat memecahkan persoalan yang menghimpit. Di sinilah solidaritas sosial diuji.

Apakah kita bisa tersenyum di atas penderitaan sesama? Di situlah keyakinan kita mendapatkan tantangan. Di situ pula keimanan kita sebagai hamba Allah mendapatkan pertanyaan besar. Dan tugas kita untuk menjawab dua pertanyaan itu dengan aksi nyata.

Krisis ekonomi yang terjadi saat ini, kembali menghadirkan ketimpangan sosial yang begitu jauh. Kita melihat dengan mata kepala, bagaimana sejumlah tokoh bangsa menghambur-hamburkan dananya untuk meraih jabatan tertentu. Seolah tak peduli bahwa di sekelilingnya masih banyak yang terjerat kemiskinan.

Kita lihat lagi, pada saat pemilu, baik di tingkat lokal hingga tingkat nasional, sejumlah elite bangsa ini rajin membantu kalangan tidak mampu. Tetapi kita semua tahu, langkah itu bukan gerakan keikhlasan, kerelaan, apalagi pengorbanan. Bukan itu semangat pengorbanan yang dibutuhkan.

Semangat penyembelihan seperti yang terkandung dalam hari raya kurban ini, menganjurkan kita dapat menyembelih keserakahan, ketamakan, keangkuhan, dan nafsu untuk menguasai harta dengan cara-cara yang tidak wajar, seperti korupsi.

Karena sesungguhnya, manusia yang derajatnya lebih tinggi adalah manusia yang hidupnya dapat lebih bermanfaat dan menyebarkan manfaat bagi kemaslahatan sesamanya.

Krisis ekonomi jilid kedua di era reformasi ini sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah dan elite negeri ini untuk berlomba-lomba memberikan contoh solidaritas sosial. Bukan solidaritas semu seperti yang dipertontonkan pada pemilu lalu.

(www.republika.co.id)

Manfaat Kurban

Sabtu, 28 November 2009 pukul 02:57:00
Kurban, Solusi Masalah Bangsa

Oleh Siwi Tri Puji, M Ghufron

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
La ilaha Illallahu wallahu Akbar
Allahu Akbar walillahilhamd

Gema puja-puji atas kebesaran Allah SWT terdengar bergemuruh di seluruh dunia. Ratusan juta Muslim, dari ujung delta Afrika, benua hijau Eropa, hingga pedalaman Asia, bermunajat menyebut keesaan Sang Penguasa Alam, mengenang keikhlasan Nabi Ibrahim atas putranya, Nabi Ismail, untuk disembelih yang kemudian diganti domba.

Di Abuja, Ibu Kota Nigeria, takbir tak henti-hentinya berkumandang. Air mata ribuan jamaah Shalat Id tak tertahankan membasahi wajah mereka ketika khatib dengan kusyuknya membacakan doa. Sementara di New York dan Washington, Amerika Serikat (AS), ribuan kaum Muslim mendatangi masjid-masjid dan sekolah-sekolah untuk melaksanakan Shalat Id.

Kalimat-kalimat segala puji bagi Allah juga terdengar dari dalam mal-mal dan pusat perbelanjaan di sejumlah kota di Eropa. Musim dingin membuat mereka memilih mal-mal itu untuk dijadikan pelaksanaan Shalat Id. Dan itu, kata beberapa jamaah di London (Inggris) dan Frankfurt (Jerman), tidak mempengaruhi kekhusyukan ibadah.

Dari Makkah, hujan yang mengguyur Arafah sehari sebelum pelaksanaan wukuf menjadi berkah tersendiri. Meski tenda-tenda dan karpet sempat basah, namun di hari wukuf, jejak hujan membuat Arafah lebih nyaman. Debu jauh berkurang dan udara lebih sejuk.

Di dalam tenda masing-masing, jamaah mengoptimalkan waktu wukuf dengan berzikir, berdoa, membaca Alquran, dan mengikuti tausiyah. Hampir semua maktab menyelenggarakan acara tausiyah dan doa bersama, yang merupakan puncak pelaksanaan ibadah haji.

''Umat Islam semestinya meneladani Rasulullah Muhammad SAW dalam beribadah, termasuk berhaji. Rasulullah tidak pernah mendahulukan ibadah-ibadah sunah individual, tetapi lebih menekankan ibadah-ibadah sosial,'' kata Naib Amirul Haj, KH Ali Mustafa Yaqub, dalam tausiyahnya di tenda Maktab 44, kemarin.

Itu sebabnya, papar KH Ali, dalam seumur hidupnya, Rasulullah berhaji hanya sekali. Namun, kata dia, ada umat yang mengaku sebagai pengikut Nabi SAW ingin beribadah haji setiap tahun, padahal kehidupan Muslim di sekitarnya masih sangat memprihatinkan.
''Jadi, pantaskah seorang Muslim yang kaya setiap tahun pergi ke Makkah untuk melakukan sesuatu yang tidak wajib? Hadis manakah yang menyuruh kita bolak-balik umrah, sementara kaum Muslimin sedang kelaparan,'' KH Ali mempertanyakan.

Suasana meriah penuh khusyuk juga terlihat di Tanah Air. Jutaan umat Islam mendatangi masjid-masjid dan lapangan-lapangan untuk menunaikan Shalat Id di seluruh pelosok negeri.

Di Jakarta, Masjid Istiqlal dibanjiri ratusan ribu umat, yang mayoritas berbalut pakaian serbaputih. Begitpun yang terlihat di banyak kota lainnya seperti di Bandung, Malang, Surabaya, Banjarmasin, Denpasar, Manado, Bandar Lampung, hingga Jayapura. Tak lupa, sejumlah khatib pun menyerukan pesan moral kepada para pemimpin bangsa di tengah krisis kepercayaan yang terjadi saat ini.

Khatib Shalat Idul Adha di Masjid Agung Kudus, Jawa Tengah, KH Ahmadi Abdullah Fattah, mengingatkan kepada para pemimpin negara untuk meneladani makna Hari Kurban, agar rakyat luas dapat merasakan hidup bahagia, adil, dan makmur. ''Kenyataannya, masih ditemui adanya para pemimpin yang tega mengorbankan kepentingan rakyat demi kepentingan pribadi,'' ujarnya.

Tindakan para pemimpin yang tidak patut diteladani tersebut, mendorong terjadinya tindak korupsi, penipuan, kekerasan, dan tindak kejahatan lainnya. Akibatnya, kata KH Ahmadi, masih banyak rakyat yang harus hidup menderita dan sengsara.

Berdasarkan ajaran Islam, ia menjelaskan, berkurban dapat dimaknai sebagai tindakan yang dilaksanakan dengan ikhlas, meskipun harus mengorbankan sesuatu yang sangat dicintai. ''Keteladanan Nabi Ibrahim yang diuji oleh Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan ujian keimanan untuk mengorbankan anak yang sangat dicintainya,'' ujarnya.

Seruan moral terhadap pemimpin bangsa juga disampaikan khatib Shalat Id di Universitas Muhammadiyah Malang, Ahsanul In'am. Kata dia, Idul Adha tahun ini diliputi keprihatinan berbagai persoalan bangsa. Melalui pelajaran kurban, jelas In'am, hikmah paling penting yang bisa diambil adalah kejujuran, perjuangan yang keras, dan keihlasan berkorban.

Nilai-nilai itu, sambungnya, telah luntur dan dilupakan saat pengelola bangsa ini memegang kekuasaan. Menurut dia, bangsa Indonesia telah kehilangan kejujuran, kesungguhan berjuang untuk kepentingan bangsa dan keikhlasan berkorban.

Eep Saefulloh Fatah, saat menjadi khatib di Ngurah Rai, meminta agar para pemimpin bangsa mampu mencerahkan dan menyejahterakan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik, dengan menerapkan prinsip kepemimpinan yang berakal.

''Berpegang pada prinsip untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat merupakan pengorbanan dalam kehidupan sehari-hari yang sejalan dengan makna Idul Adha,'' kata Eep di hadapan lebih dari lima ribuan umat Islam dari Denpasar dan sekitarnya.

Dari Lapangan Saburai Enggal, Bandar Lampung, khatib Wan Abbas Zakaria, menyatakan, ibadah kurban menjadi salah satu bentuk pemecahan masalah bangsa seperti kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, ketidakdilan, dan kesehatan.

Menurut dia, pada surat Al-Hajj ayat 36 dijelaskan bahwa penyembelihan hewan kurban tidak semata-mata untuk menegakkan hablum minallah (hubungan dengan Allah), tapi juga implikasi dari hablum minannas (hubungan dengan manusia).

Tiga karakter
D Masjid Istiqlal, guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Ridwan Lubis, mengatakan bahwa Islam terbentuk dari tiga karakter. ''Islam sebagai agama yang datang terakhir dibangun oleh tiga karakter yang membedakannya dari agama yang lain,'' kata Ridwan dalam ceramah kurban yang diikuti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono.

Ia menyebutkan, persamaan derajat sebagai karakter pertama Islam. Seluruh umat Islam, jelas Lubis, sama derajatnya, tidak peduli ras, garis keturunan, harta, dan kekuasaan. ''Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya,'' tegasnya.

Karakter kedua adalah keilmuan dan kehidupan bersahaja. ''Jika masyarakat sebelum Islam acap kali bertentangan dengan ilmu pengetahuan maka Islam datang dengan semangat selaras dengan keilmuan,'' kata Lubis.

Islam percaya seluruh tindakan manusia harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, dan oleh karena itu, pengetahuan tidak boleh lepas dari nilai-nilai. Karakter ketiga, Lubis menyebut kemajuan. Kata dia, Islam memperkenalkan konsep baru tentang kemajuan.

Soal kemajuan bangsa ini, Aburizal Bakrie, ketua umum Partai Golkar, mengatakan, Hari Kurban harus dijadikan momentum kebangkitan umat Islam.

Dan kini, di seluruh penjuru dunia, umat Muslim sedang merayakan kebahagian luar biasa. Si kaya telah berkurban atas nama Sang Pencipta, sementara si miskin tersenyum setelah mendapatkan seonggok daging kurban yang sangat berarti bagi mereka.

Pengorbanan itulah yang menjadi momentum indah tumbuhnya solidaritas sosial di antara umat Islam. c08/co1/antara, ed: damhuri

(www.republika.co.id)

Idul Adha



oleh : Mahiruddin Siregar

Allohu akbar,
Allohu akbar,
Allohu akbar,
Allohu akbar, walillahil hamdu.

Hari Raya Idul Adha atau Idul Qurban atau juga sering disebut Hari Raya Haji, merupakan hari raya terbesar dalam Islam.

Pada hari ini banyak yang diperingati sebagai napak tilas perjalanan sejarah terutama peristiwa penting yang dialami oleh Nabi Ibrahim, Ismail dan Siti Hajar.

Napak tilas tersebut terutama dilakukukan oleh para jemaah haji yang setiap tahunnya berjumlah 2 juta orang yang datang dari seluruh penjuru dunia, dan berkumpul ditanah suci Makkah dan sekitarnya. Mereka datang memenuhi panggilan Allah.

Labbaika Allhomma labbaik,
Labbaika lasyarika laka labbaik,
Innal hamda, wannikmata laka wal mulk,
Lasyarika laka.

Ritual ibadah haji cukup berat pelaksanaannya, mencakup kecukupan dan kekuatan pisik, kekuatan iman, dan kecukupan biaya. Ibadah ini adalah ibadah penyempurnaan keislaman seseorang. Karena itu Allah menjanjikan ganjaran yang setimpal bagi haji mabrur yaitu syurga jannatun naim.

Bagi yang tidak ikut melaksanakan ibadah haji, mereka juga melakukan ibadah sholat idul adha beramai-ramai ke lapangan atau masjid untuk mengagungkan asma Allah, besyukur, bertakbir, bertahlil dan bertahmid serta mendengar kan khotbah idul adha.

Sehabis itu mereka yang mampu melakukan ibadah penyembelihan hewan qurban, disediakan waktu selama 4 hari untuk memberikan kesempatan luang sehingga semua daging qurban dapat dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan usapan gizi yang baik dimana selama ini mereka sulit mendapatkannya karena keadaan ekonomi yang kurang mencukupi.

Kamis, 26 November 2009

Hewan Qurban



oleh : Mahiruddin Siregar

Ibadah Qurban bagi kaum muslim dapat menjadi sarana meningkatkan ekonomi rakyat, khusus bagi mereka yang bergerak dalam bidang usaha pengadaan hewan qurban, mulai dari para peternak, pedagang, tukang potong, dll.

Jadi ibadah Qurban mempunyai beberapa dimensi kebajikan antara lain sebagai ungkapan ketaqwaan kepada Sang Pencipta dan sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia yang telah diberikan oleh Nya, juga sebagai rasa kepedulian dan kasih sayang kepada kaum dhuafa yang kurang mampu untuk sekadar membeli sekerat daging, serta untuk meningkatkan ekonomi rakyat.

Rabu, 25 November 2009

Mengejar Nilai Tambah Komoditi Kakao

Selasa, 24 November 2009 pukul 11:39:00
'Bangkitkan Industri Kakao Indonesia'

LUWU -- Menteri Pertanian Suswono mengatakan industri kakao harus dibangkitkan dari tidurnya. ''Indonesia adalah eksportir biji kakao nomor tiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana,'' katanya di Luwu, Sulawesi Selatan, Senin (23/11).

Hal itu ia ungkapkan dalam sambutannya pada pencanangan Gerakan Nasional Kakao Fermentasi untuk Mendukung Industri Dalam Negeri. Dalam acara itu hadir Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Zaenal Bachruddin, Dirjen Perkebunan, dan Bupati Luwu Ade Mudzakkar.

Suswono mengatakan Indonesia masih sebatas sebagai eksportir biji kakao. Hal ini tentu tak memiliki nilai tambah karena belum diproses di industri. Untuk menunjukkan industri kakao tertidur, ia menyebut dari 16 unit industri kakao hanya tiga unit yang beroperasi. Lainnya, 3 unit berhenti total, 1 unit dalam perbaikan, dan 9 unit berhenti sementara.

Padahal disisi lain Indonesia menjadi importir kakao olahan. Karena itu ia mengatakan, ''Bila perlu tak ada lagi ekspor kakao dalam bentuk biji.'' Sedangkan negara-negara yang tak memiliki pohon kakao justru menjadi penikmat dari industri kakao.

Pada tahap awal, ia mendorong agar petani kakao melakukan sedikit sentuhan dengan mengenalkan proses fermentasi kakao. Yaitu proses pengeringan biji kakao dengan diperam terlebih dahulu dalam kotak tertutup. Setelah itu baru dijemur. Proses fermentasi ini akan menghasilkan biji kakao kering yang lebih sempurna dan menghasilkan cita rasa yang lebih baik serta aroma yang harum.

‘’Saat ini kakao menghasilkan 1.150 juta dolar (1,250 miliar rupiah) devisa, nomor tiga setelah kelapa sawit dan karet,’’ ujarnya. Ia berharap setelah fermentasi, devisa kakao meningkat jadi 2 miliar dolar per tahun.

Adapun Dirjen PPHP Zainal Bachruddin menyebutkan proses fermentasi akan memberi nilai tambah dan menaikkan daya saing biji kakao. Juga akan mendukung industri pengolahan dalam negeri. Menurutnya, pada 1968 luas kebun kakao hanya 12.855 ha, menjadi 1,5 juta ha pada 2008. Produksi kakao mencapai 721.780 ton pada 2008. nasihin, ed: budi r

(www.republika.co.id)

Senin, 23 November 2009

Lebih cepat, lebih baik.

Menghindari Jalur Lambat

Setelah mencoba bangkit dari krisis tahun 1997 dan disusul krisis keuangan global 2008, sebagai pemimpin negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cukup berhasil mengendalikan keadaan. Setidaknya terlihat dari stabilnya situasi politik dan ekonomi pada saat ini. Langkah Presiden SBY melakukan reformasi birokrasi hingga upaya pemberantasan korupsi telah menciptakan landasan yang kokoh bagi terciptanya pertumbuhan tinggi yang berkualitas dan berkelanjutan.

Meski demikian, bukan berarti masalah besar lainnya sirna. Beruntung, pemerintah menyadari hal itu. Lewat pergelaran National Summit atau Rembuk Nasional, pekan lalu pemerintah mencoba menampung beragam rekomendasi yang dijadikan sebagai masukan dalam program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Memang sudah saatnya pemerintah lebih fokus pada rencana aksi agar tidak kehilangan momentum dan meredupkan kembali optimisme. Pemerintah harus memiliki terobosan dan tidak sekadar melanjutkan program lima tahun lalu.

Menko Perekonomian yang baru berjanji akan bekerja habis-habisan membenahi sektor riil untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yang mampu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Target pertumbuhan ekonomi sekitar 7% pada 2014 pun diyakini bakal tercapai, meski sesungguhnya angka ini konservatif. Maklum, jika pemerintah bisa mengatasi bottle neck dalam perekonomian dan banyak terobosan, rasanya target itu tidak terlampau sulit dicapai.

Tentu kita sepakat bahwa kualitas pertumbuhan yang dicapai akan sangat mempengaruhi kemampuan mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Syarat keberhasilnnya, angka pertumbuhan harus lebih tinggi dari laju inflasi. Jika terbalik, dipastikan pengurangan angka kemiskinan tidak akan tercapai. Demikian pula, jika kualitas pertumbuhan yang dicapai lebih banyak ditopang oleh konsumsi daripada ekspor serta investasi dan sektor industri lebih padat modal, kemampuan menyerap pengangguran pun menjadi rendah.

Pemerintah juga harus memperkuat stabilitas sektor keuangan, termasuk pengelolaan moneter, yang diarahkan untuk menciptakan ruang yang lebih kondusif bagi perkembangan dunia usaha.

Investasi dalam beberapa tahun ini terindikasi kurang menggembirakan. Padahal, untuk menopang pertumbuhan ekonomi hingga 7% pada 2014, diperlukan investasi sekitar Rp 2.000 trilyun per tahun. Sementara itu, pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara hanya mampu mengisi sekitar 20%-nya. Sisanya, tentu dibutuhkan kucuran dana dari sektor usaha nasional (swasta dan BUMN) serta dana luar negeri.

Persoalan investasi memang sangat kompleks. Buruknya kondisi di sektor ini mendesak untuk segera dituntaskan. Semua hambatan yang menyumbat perekonomian itu akan menimbulkan ketidakpastian usaha dan investasi. Risiko bisnis yang tinggi akan membuat investor urung menanamkan modal. Sebaliknya, persoalan baru kini mulai muncul, seperti gonjang-ganjing perseteruan antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan yang dampaknya makin meluas.

Salah satu rekomendasi yang terhimpun dari acara Rembuk Nasional lalu adalah terkait masalah hukum dan perundang-undangan. Ini menunjukkan betapa salah satu sumbatan paling serius adalah persoalan unsur-unsur dari institusi. Jika institusi penegak hukum tidak mampu menghadirkan rasa keadilan dalam masyarakat dan menumbuhkan keyakinan pengusaha, kita akan tetap di jalur lambat dengan pertumbuhan yang tidak berkualitas.

Pemerintah juga harus fokus mengatasi persoalan industri manufaktur yang kini memasuki fase deindustrialisasi secara berlanjut, yang bisa memperburuk daya saing industri dan ekspor. Sektor manufaktur dalam dua tahun terakhir tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi. Idealnya, pertumbuhan sektor ini lebih dari 7%, agar target ekonomi bisa tumbuh lebih dari 6%.

Kini saatnya Indonesia memperbaiki faktor-faktor yang memberi kemudahan dalam memulai bisnis, sehingga kebijakan dan program di bidang investasi akan semakin baik. Di luar faktor finansial, keterbatasan infrastruktur, dan masalah konsistensi penegakan hukum, sudah saatnya masalah pasokan energi listrik serta meningkatnya persaingan antarnegara segera diatasi, agar tidak menyulitkan Indonesia untuk menarik investasi asing.

Upaya mempercepat penyerapan anggaran dengan perbaikan mekanisme perencanaan dan mempercepat pembelanjaannya pun diharapkan ikut memberi andil yang tak sedikit, agar negeri ini terhindar dari jalur lambat pertumbuhan ekonomi. Semoga!

Sugiharto
Chairman of Steering Committee The Indonesian Economic Intelligence
[Perspektif, Gatra Nomor 1 Beredar Kamis, 12 November 2009]

Minggu, 22 November 2009

Satu orang, tiga pohon !


200 Ribu Pohon untuk Indonesia Menanam

Headlines | Sun, Nov 22, 2009 at 14:07 | Jambi, matanews.com

Pemerintah Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, dalam waktu dekat melakukan penanaman 200.000 pohon sebagai bagian dari Gerakan Indonesia Menanam yang telah dicanangkan secara nasional.

Menurut Kepala Bidang Rehabilitasi Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Kerinci Abu Hasan ketika dikonfirmasi, Minggu, penanaman pohon sebanyak itu sebagai upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup di Kerinci.

Kerinci yang merupakan kabupaten yang berada di paling barat Provinsi Jambi atau berjarak 450 km dari Kota Jambi, dikenal memiliki hutan yang cukup luas, di antaranya Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

“Kegiatan Indonesia menanam di Kerinci direncanakan akan dilaksanakan pada awal Desember 2009,” katanya.

Pusat kegiatan Indonesia Menanam di lokasi pembangunan asrama Brimob, yaitu di Desa Belui Tinggi, Kecamatan Depati VII, karena tempatnya sangat strategis dan lahannya juga sudah kritis.

Kegiatan ini akan dibuka langsung Bupati Kerinci Murasman. Sebanyak 200.000 pohon dari berbagai jenis itu akan ditanam secara serentak di seluruh kecamatan di Kabupaten Kerinci yang dikoordinir camat.

“Kita di Kerinci menggunakan istilah `one man three tree`, yaitu satu orang akan menanam tiga batang pohon,” katanya.

Sementara itu, Camat Depati Tujuh Nafritman saat dihubungi mengatakan pihaknya siap menjadi tuan rumah pelaksanaan Indonesia Menanam yang berpusat di Desa Belui Tinggi.

Pihaknya sangat mendukung program yang telah digagas pemerintah pusat untuk melestarikan lingkungan hidup, apalagi saat ini ditengarai sudah banyak hutan di Kerinci yang telah ditebang.

Terbukti udara Kerinci sendiri tidak lagi sedingin beberapa tahun sebelumnya, padahal daerah ini berada di dataran tinggi, hal ini mengindikasikan hutannya sudah banyak yang ditebang.(*an/z)

Jumat, 20 November 2009

Indonesia & Perubahan Iklim


Indonesia Berhutan Luas, Berperan Dalam Konvensi Perubahan Iklim
Selasa, 17 November 2009 05:09 WIB |

Pekanbaru (ANTARA News) - Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki peranan penting dalam pertemuan Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, pada Desember 2009 karena punya hutan yang luas.

"Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam pertemuan Kopenhagen karena miliki hutan yang besar," kata Menteri Negara untuk Energi dan Perubahan Iklim Inggris, Joan Ruddock, di Pekanbaru, Senin.

Karena itu, ujar dia, pihaknya juga melakukan pertemuan untuk bernegosiasi ke sejumlah negara lain mengajak dan mengajak negara itu menghasilkan sesuatu keputusan yang efektif dan ambisius pada pertemuan Kopenhagen.

Ruddock berjanji, kesepakatan yang diambil Indonesia dalam pertemuan internasional itu akan didukung sepenuhnya dan membantu Indonesia seperti pendanaan dalam perubahan iklim.

Pihaknya juga telah menjadwalkan melakukan pertemuan dengan para menteri terkait selama berada di Indonesia terkait komitmen pengurangan emisi berkisar antara 26 persen hingga 40 persen pada tahun 2020.

Namun, jelas Ruddock, Inggris tidak akan membandingkan komitmen pengurangan emisi dengan negaranya yang menargetkan penurunan sebesar 34 persen pada tahun 2020 dan 80 persen tahun 2050.

"Sulit membandingkan target pengurangan emisi Indonesia dan Inggris karena kadar emisi Indonesia tinggi, sedangkan Inggris stabil," ujarnya.

Selama sehari berada di Riau, Ruddock, yang didampingi Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Martin Hatfull, juga meninjau langsung lahan gambut di Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Pihaknya juga melakukan pertemuan dengan para penggiat lingkungan dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal dan internasional di Pekanbaru.

"Kami juga mendengarkan LSM kenapa terjadi penebangan hutan dan melibatkan komunitas lokal untuk mengetahui rencana apa saja yang dilakukan demi mengurangi kerusakan hutan," ujarnya. (*)

COPYRIGHT © 2009

Satu pohon, perorang, pertahun


Dishutbun Siapkan 195 Ribu Bibit Kayu Penghijauan
Kamis, 19 November 2009 05:32 WIB |

Curup, Bengkulu (ANTARA News) - Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) kabupaten Rejang lebong, Provinsi Bengkulu, sedikitnya sudah menyiapkan 195 ribu bibit kayu untuk pencanangan program pemerintah pusat penanaman satu orang satu pohon.

"Ke 195 ribu bibit kayu ini diantaranya 93 persen jenis kayu- kayuan dan tujuh persen jenis tanaman buah- buahan," kata Kepala dinas Kehutanan dan Perkebunan Rejang Lebong, Nandang Sumantri, Rabu.

Saat ini terang Nandang, bibit telah disiapkan, tinggal menunggu di bagikan kepada masyarakat untuk ditanam di masing-masing lokasi lingkungan rumah warga.

Bibit kayu dan buah- buahan tersebut akan di bagikan ke 15 kecamatan di Rejang Lebong, selanjutnya diserahkan pada masyarakat secara gratis.

Selanjutnya pihak dinas kehutanan dan perkebunan akan menanamkan pada daerah aliran sungai yang ada di kabupaten Rejang lebong.

Bagi masyarakat yang menanam bibit program satu orang satu pohon, hasil nantinya silahkan dinikmati sendiri.

Ketua pelaksana program satu orang satu pohon Kabupaten Rejang lebong, Kadirman mengungkapkan, Program pusat tersebut sebagai upaya masyarakat dalam membantu terjadinya pemanasan bumi.

"Masing-masing kecamatan nantinya akan mendapat jatah pohon untuk ditanam dan di bagikan pada masyarakat.

Ia mengatakan pelaksanaan penanaman satu orang satu pohon akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 28 November 2009.

Lokasi penanaman secara serentak ini di hutan kota, tepatnya di Desa Duku Ulu, kecamatan Curup Timur.

Sedangkan bibit sebanyak 195 ribu batang yang di siapkan akan dibagikan di beberapa titik.

Antara lain, di kantor camat kecamatan Sindang Kelingi 40 ribu batang, kantor camat kecamatan Curup Selatan 35 ribu batang, kantor camat kecamatan Curup Utara 40 ribu batang, kantor kecamatan Curup Timur 40 ribu batang, dan Desa Baru Manis kecamatan Bermani Ulu 40 ribu batang.

"Pemerintah Rejang Lebong akan menargetkan program ini mencapai 220 ribu batang yang akan di tanam," kata Kadirman.(*)

COPYRIGHT © 2009

Rabu, 18 November 2009

Usaha Penggemukan Sapi (2)


Analisis Penggemukan Sapi Potong Simmental dan Limousin

Sering kami dimintai pendapat oleh rekan2 peternak baik pemula maupun yang berpengalaman tentang bagaimana pemilihan calon sapi yang bagus untuk dipelihara dengan tujuan digemukkan pada perusahaan kami. Pertanyaan ini meliputi mulai tentang jenis sapi (ras), bentuk tubuh, umur, berat badan, waktu pemeliharaan sampai panen dan kalkulasi harga jual maupun belinya. Di sini kami hanya ingin berbagi pengalaman saja dan share dengan sesama pelaku usaha peternakan sapi.

1.Jenis Ras dan bentuk tubuh. Sejatinya semua jenis ras punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tentang hal ini sudah banyak diulas di pelbagai literatur tentang sapi potong. Hanya kita sebagai Praktisi peternakan seyogyanya perlu memperhatikan nilai-nilai praktis dan ekonomis dari jenis ras tersebut baik dari sisi kekuatan finansial peternak, peruntukannya dan timing tepat penjualannya. Seperti kita ketahui, untuk ADG (penambahan Berat harian) bolehlah diakui memang sapi jenis limosin dan simmental F1 telah menjadi primadona yang mana ADGnya mampu mencapai 1,3-2kg/ harinya. Disusul di belakangnya silangan SIMPO dan LIMPO dengan ADG 1-1,7kg/hari. Berlanjut kemudian PO murni, Bali dan seterusnya yang lebih rendah penambahan berat hariannya dan struktur tubuhnya. Namun poin terpenting untuk tidak kita lupakan dari semua itu tentunya adalah Fisiologi dan kriteria performance sapi itu sendiri. Tampilan fisik yang ideal mencakup body frame, power depan dan belakang sapi akan mempengaruhi ADG, kemudahan pemeliharaan,dan harga purna jualnya.

2.Umur dan berat badan. Usia sapi yang ideal untuk digemukkan adalah mulai 1,5 sampai dengan 2,5 tahun. di sini kondisi sapi sudah mulai maksimal pertumbuhan tulangnya dan tinggal mengejar penambahan massa otot (daging) yang secara praktis dapat dilihat dari gigi yang sudah berganti besar 2 dan 4 buah. Sapi yang sudah berganti 6 gigi besarnya (3 tahun ke atas) juga cukup bagus. Hanya di usia ini sudah muncul gejala fatt (perlemakan) yang tentunya akan berpengaruh dengan nilai jual dari pelaku pemotongan ternak. Sapi apabila masih di bawah usia ideal penggemukan biasanya lebih lambat proses gemuknya dikarenakan selain bersamaan pertumbuhan tulang dan daging juga sangat rentan resiko penyusutan serta labil proses penambahan berat disebabkan adaptasi tempat yang baru, pergantian pola pakan dan teknis perawatan serta penyakit. Tentang variabel berat tubuh, pastinya akan kita lihat dulu dari jenis ras apa sapi yang akan kita pelihara. Sapi jenis limousin dan simmental maupun silangannya dengan PO kala umur 1,5 tahun sudah berbobot rata-rata 350-400 kg, sedang sapi PO murni hanya kisaran 185-275 kg. Nah, dari sini nantinya kita akan mulai berhitung tentang teknis penilaian ideal untuk mengukur sistem pemeliharaan dan transaksi jual beli.

3.Masa pemeliharaan. Sesuai pengalaman kami yang baru sedikit ini, kami menyarankan pada mitra peternak kami bahwa sapi yang akan digemukkan agar memakai mekanisme : apabila masa panen jangka pendek (k.l 100 hari) pilihlah jenis limousin, simmental dan silangannya (F1 maupun F2) dengan berat mulai 390-500 kg. Jika proporsional pemeliharaannya, sapi tersebut akan mampu bertambah minimal 100kg saat panennya. Namun kalau yang diinginkan masa panen jangka menegah dan panjang ( k.l 250 hari hingga lebih dari 1 tahun) disarankan agar memilih jenis F1 simmental dan limousin yang murni genetiknya dengan berat di bawah 350 kg. Kebanyakan peternak yang berpola seperti ini biasanya untuk investasi, pemurnian genetik indukannya atau bahkan sebagai hewan kesayangan (klangenan jawa.red). muncul satu pertanyaan yang menggelitik; lebih untung pola yang mana?

4.Perhitungan harga. Sapi untuk pemeliharaan jangka menengah (k.l 250 hari) dengan berat di bawah 300 kg rata-rata masih belum dapat mencapai rendemen karkas lebih dari 49%. Sehingga apabila ingin dijual, pembeli barunya biasanya masih akan meneruskan penggemukannya lagi.Jika kita analisa, sapi F1 umur 5-8 bulan harga pasaran rata-rata per mei 2009 adalah 7,5-10 juta dengan bobot 250-325 kg. Kita ambil tengah-tengahnya saja lalu kita konversikan dengan harga timbang hidup jatuhnya sekitar Rp.31.000;/kg timbang di pasar. Kenapa seperti itu ??? sapi dengan berat 380-525 kg seharga Rp.24.000/kg (sesuai harga loco di farm kami) adalah untuk kriteria jenis BAKALAN. Jadi di spek ini kita sudah mulai dapat mengukur standar perhitungan baik umur sapinya, prosentase rendemen karkasnya (berat daging tulang), capaian bobot maksimal, sampai dengan masa panennya. Beda halnya dengan berat 300kg ke bawah; karena itu masih tergolong jenis BIBIT.Jadi sistem transaksinya mirip seperti di bursa pelelangan yang harganya ditentukan berdasarkan kerelaan penjual dengan kepuasan dan jatuh hati sang pembeli. Maka disitulah kita baru dapatkan harga umum dan rata-rata kepantasan transaksi di pasar ataupun di peternak yag ketemunya ternyata di harga Rp.31.000.Kita tentu belum dapat mengukur standarisasi, berapa nanti capaian berat maksimal dan waktu panennya apalagi berapa rendemen karkasnya.Lain daripada itu, sistem pasar peternakan kita malah sudah tidak ada lagi sertifikasi /surat keterangan bibit saat sapi dijual yang berbeda saat zaman orde baru dulu, ironi memang.sehingga kita pasti akan kesulitan mencari blood link sapi, alamat peternak apalagi cara perawatan dan ransumnya.Kecuali kalau sapi tersebut kita beli langsung di breeder
Sedikit analogi: apakah anda mampu menaksir berapa ton padi dalam 1hektar yang akan anda panen saat umur benih baru ditancapkan 15 hari atau sebulan sekalipun? bagaimana dengan resiko hama, kelangkaan pupuk dan pengairannya? apakah anda bisa pastikan akan menuai panennya? ini analogy untuk BIBIT.
Nah sekarang, kesulitankah anda memprediksi, berapa ton gabah yang akan anda dapatkan saat padi anda telah berbulir siap menguning? ini kiasan untuk BAKALAN, kalaupun panen anda akhirnya kurang maksimal masihlah kita dapatkan gabah meski rendah mutu dan tidak banyak jumlahnya.Taruh kata untuk bibit yang beratnya dibawah 300 kg kalau selama dipelihara sapi tadi mencapai bobot 600kg (adakah jaminan????) maka akan diperoleh pendapatan sbb; 600 kg X Rp.24.000/kg (harga siap potong) : Rp. 14.400.000; – Rp. 9.300.000( harga bakalan) = Rp.5.100.000 selama l.k.250 hari. Bandingkan dengan pola 100 hari, disini apabila anda membeli bakalan,bobotnya rata-rata 430kg komposisi mix F1 dan F2. harga dasarnyapun masih logis di banding pola jangka panjang. Analisanya sebagai berikut : 430 kg X Rp.24.000 = Rp.10.300.000; Masa pemelihara 100 hari dicapai berat 560 kg (banyak yang menjamin..) dengan ADG 1,3kg X Rp.24.000; akan didapat penghasilan = Rp.13.440.000 – Rp.10.300.000 (modal pembelian) keuntungannya : Rp.3.100.000 selama 100 hari. Maka dalam 1 tahun kita akan dapat panen 3 kali.

Pola pemeliharaan di perusahaan kami dalam 1 tahun (menurut kalender Hijriyah) adalah : pada bulan muharram dilaksanakan pengadaan untuk sapi jenis simmental, limousin dan silangannya yang akan dipanen pada bulan Rabi’ul Akhir. Pengadaan ke II dilaksanakan di bulan Jumadil Awal dan akan dipanen nantinya pada bulan ramadlan. Di bulan Syawal kami lakukan pengadaan sapi jenis PO murni karena bulan Dzulhijjah harga sapi PO selisih Rp.3-4000/kg lebih mahal panenannya. Demikian rotasi ini senantiasa kami tetapkan sebagai acuan kerja.
Segala yang menyangkut istilah seperti tersebut di atas hanyalah sekedar teknis empiris yang pernah kami alami dan bukanlah istilah ilmiah yang jauh dari pengetahuan kami.
Semuanya ada kelebihan dan kekurangannya.Mohon dikoreksi untuk jadi evaluasi dan introspeksi kami agar ke depan lebih baik lagi dalam beternak.
Semoga bermanfaat.

sumber.lembusora.com

(www.ternakonline.wordpress.com)

Usaha Penggemukan Sapi (1)


Analisa Usaha Penggemukan Sapi
Wednesday, July 29, 2009
By abrianto

Analisa usaha penggemukan sapi potong.
Apakah usaha penggemukan sapi potong itu menguntungkan ?.
Kuncinya adalah ketrampilan dan pengetahuan untuk dapat memprediksi semua faktor yang saling berhubungan. Oleh sebab itu para peternak diharapkan untuk memiliki data-data lengkap mengenai Biaya yang harus dikeluarkan serta Pendapatan yang nantinya bakal dari peroleh dari usaha penggemukan sapi ini. Semakin detil data yang dimiliki akan semakin kecil pula resiko kerugian yang bakal dialami oleh peternak tersebut.

Pada intinya untuk perhitungan Rugi Laba, diperlukan data sbb :

1. Biaya Produksi, dibagi menjadi dua yaitu :
1. Biaya tetap, adalah biaya investasi yang besarnya tidak pernah berubah, seperti sewa lahan, bangunan kandang dan peralatan.
2. Biaya tidak tetap, diantaranya pembelian bakalan, pakan, upah tenaga kerja, rekening listrik, telepon dan transportasi.
3. Hasil Produksi, merupakan pendapatan yang diperoleh, dapat berupa pendapatan utama dan hasil ikutan.

Contoh sederhana analisa usaha penggemukan sapi potong jenis P.O (Peranakan Ongole) per satu periode (0,5 tahun = 180 hari), dengan asumsi biaya sbb:

A.BIAYA PRODUKSI

Biaya Tetap

* Biaya Sewa Lahan : 500 meter, Rp.2.000.000/tahun, jadi biaya per periode adalah Rp.2.000.000,- x 0,5 tahun = Rp.1.000.000,-
* Biaya Bangunan kandang : Rp.30.000.000 (bertahan 20 tahun),jadi penyusutan per periode adalah Rp.30.000.000,- : 20 tahun x 0,5 = Rp.750.000,-

Total Biaya Tetap

= Biaya Sewa Lahan + Biaya bangunan

= Rp.1.000.000,- + Rp. 750.000,- = Rp.1.750.000,-

= Rp.1.750.000,-

Biaya Tidak Tetap

* Biaya Pembelian 10 ekor Sapi bakalan P.O (Peranakan Ongole) berat 300 kg, harga Rp.23.500,-, jadi biaya pembelian sapi bakalan adalah 10 ekor x 300 kg x Rp.23.500,- = Rp.70.500.000,-,-
* Biaya Pakan Hijauan, 8 kg /ekor/hari, harga Rp.300,-/kg, jadi total biaya pakan untuk 10 ekor sapi per satu periode adalah : 8 kg x 10 ekor x 180 hari x Rp.300,- = Rp.4.320.000,-
* Biaya Pakan konsentrat, 5 kg/ekor/hari, harga Rp.2.000,-/kg, jadi total biaya konsentrat untuk 10 ekor sapi per satu periode adalah : 5 kg x 10 ekor x 180 hari x Rp.2.000,- = Rp.18.000.000,-
* Biaya Pakan Tambahan, berupa Garam dapur (NaCl), tepung tulang, kapur,dll seharga Rp.100,- / ekor/hari, jadi total biaya pakan tambahan untuk satu periode adalah : Rp.100,- x 10 ekor x 180 hari = Rp.180.000,-
* Biaya Tenaga kerja, 2 Orang, Rp.15.000,- / hari, jadi total biaya untuk tenaga kerja per satu periode adalah : 2 x Rp.15.000,- x 180 hari = Rp.5.400.000,-
* Biaya Lain-lain,seperti Rekening Listrik, Telepon,Obat-obatan, transportasi Rp.500.000,- / bulan, jadi total biaya lain-lain adalah : Rp.500.000 x 6 bulan = Rp.3.000.000,-

Jumlah Biaya Tidak Tetap = Biaya Pembelian sapi bakalan + Biaya pakan + Biaya Tenaga Kerja + Biaya lain-lain

= Rp.107.100.000,-

TOTAL BIAYA PRODUKSI

= Biaya tetap + Biaya Tidak Tetap

= Rp. 1.750.000,- + Rp.101.400.000,-

= Rp. 103.150.000,-

B. HASIL PRODUKSI / PENDAPATAN

* Hasil Penggemukan 10 ekor sapi dengan pertumbuhan berat rata2 adalah 0,8 kg/hari, jadi total berat setelah penggemukan adalah : (300 kg x 10 ekor) + ( 1 kg x 180 hari x 10 ekor) = 4.800 kg. Harga penjualan adalah Rp.23.000,-, jadi hasil penjualan sapi adalah : 4.800 x Rp.23.000,- = Rp.110.400.000,-
* Hasil penjualan kotoran Sapi, 7 kg x 10 ekor x 180 hari x Rp.250,- = Rp.3.150.000,-

TOTAL HASIL PRODUKSI = Rp.110.400.000,- + Rp.3.150.000,- = Rp.113.550.000,-

C. KEUNTUNGAN

Keuntungan = Total Pendapatan – Total Biaya

= Rp.113.550.000,- – Rp.103.150.000,-

= Rp.10.400.000,-


D. ANALISA BREAK EVENT POINT

Break Event Pont (BEP) disebut juga titik impas, merupakan perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan dengan total produksi.

BEP = total Biaya : total produksi

= Rp.103.150.000,- : 10 ekor

= Rp.10.315.000,- ekor

Dengan berat setelah penggemukan adalah 480 kg, maka

BEP adalah Rp10.315.000,- : 480 kg = Rp. 21.489,- / kg


E.ANALISA BENEFIT COST RATIO

Adalah perbandingan antara angka pendapatan dengan biaya yang dikeluarkan.

B/C Ratio = Total Pendapatan : Total biaya

= Rp.113.550.000,- : Rp. 103.150.000,-

= 1,1

Suatu usaha dikatakan layak apabila angka Benefit Cost ratio (B/C Ratio) lebih dari 1.

.

Sumber :

* A.S. Sudarmono, Sapi Potong (Penebar Swadaya,2008)
* iabeef.org

Tags: analisa usaha, penggemukan sapi, sapi potong

This entry was posted on Wednesday, July 29th, 2009 at 22:12 and is filed under ALL, PENELITIAN. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed.

(www.duniasapi.com)

Meningkatkan Investasi

Selasa, 17/11/2009 17:55 WIB
Optimalisasi Sukuk Sebagai Pintu Investasi
Irfan Syauqi Beik - suaraPembaca



Jakarta - Bangsa ini baru saja mengadakan forum National Summit pada tanggal 29-31 Oktober 2009 lalu. Meski pemberitaan kegiatan tersebut nampaknya masih kalah dengan pemberitaan konflik KPK versus Polri dan Kejagung namun forum tersebut telah menghasilkan sejumlah output yang diharapkan dapat menjadi acuan program kerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II untuk 5 tahun ke depan.

Forum semacam ini merupakan sebuah wahana yang tepat untuk menjembatani komunikasi antar stakeholder bangsa ini. Mulai dari pemerintah, kalangan dunia usaha, akademisi, praktisi, LSM, dan masyarakat lainnya. Harapannya pemerintah akan mendapat masukan yang konstruktif dalam pelaksanaan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pada forum tersebut sejumlah isu ekonomi telah dibahas. Meski sebagian isu tersebut --sebagaimana dikatakan ekonom Sunarsip, merupakan pending matters sebelum KB Jilid I terbentuk yaitu antara lain percepatan pembangunan infrastruktur, kebijakan energi, serta revitalisasi industri dan transportasi. Untuk merealisasikan hal tersebut dibutuhkan modal yang sangat besar.

Menurut Menko Perekonomian Hatta Radjasa dibutuhkan sekurang-kurangnya investasi Rp 2 ribu triliun setiap tahunnya selama lima tahun ke depan. Jika ini bisa dicapai maka Indonesia bisa mencapai angka pertumbuhan ekonomi 7 persen setiap tahun sebagai upaya untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.

Dengan kapasitas pemerintah yang hanya sanggup menyediakan dana investasi 10-15 persen saja dari total yang dibutuhkan maka peran sektor swasta menjadi sangat vital. Dibutuhkan adanya lompatan strategi yang luar biasa dari pemerintah untuk memenuhi target tersebut.

Sebuah misi yang sangat berat --jika tidak ingin mengatakannya sebagai mission impossible. Oleh sebab itu pemerintah perlu memikirkan sejumlah instrumen alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan tersebut. Atau paling tidak mampu mengurangi beban masalahnya.

Salah satu yang sangat penting adalah instrumen ekonomi syariah yang bernama sukuk. Sangat disayangkan bahwa isu ekonomi syariah sama sekali tidak disinggung dalam pembahasan di forum national summit.

Menstimulasi Sektor Riil
Sebagaimana diketahui bersama Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara merupakan instrumen yang keberadaannya diatur oleh UU No 19/2008 dan Peraturan Pemerintah No 57/2008. Hingga saat ini pemerintah telah melakukan penerbitan SBSN dengan nilai total Rp 19,8 triliun.

Dengan perincian antara lain SBSN seri ijarah fixed rate, sukuk ritel, sukuk global, dan surat dana haji Indonesia (SDHI). Diharapkan melalui penerbitan sukuk negara ini sebagian defisit pembiayaan APBN dapat diatasi. Yang menarik dari penerbitan SBSN sebelum ini adalah investor yang berasal dari bank konvensional (27,01% prosentasenya lebih besar dari investor yang berasal dari bank syariah (9,66%).

Namun demikian penerbitan sukuk negara yang ada masih belum optimal di dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan dalam membuka lapangan kerja baru. Hal tersebut dikarenakan orientasi penerbitan sukuk negara belum pada upaya untuk mendorong pertumbuhan sektor riil perekonomian. Melainkan sekedar menambal defisit APBN.

Oleh karena itu orientasi tersebut harus dirubah karena pemerintah sesungguhnya bisa menjadikan sukuk negara sebagai gerbang investasi di sektor riil. Termasuk investasi dalam pembangunan infrastruktur.

Agar hal tersebut dapat dicapai maka penulis menyarankan agar penerbitan SBSN difokuskan sebagai sumber dana untuk pembangunan infrastruktur dan transportasi. Seperti jalan, bandara, pelabuhan, dan lain-lain. Diharapkan ada multiplier effect yang dapat menggerakkan perekonomian negara jika pembangunan fasilitas-fasilitas tersebut menjadi prioritas.

Atau bisa juga penerbitan SBSN tersebut diarahkan pada pembangunan industri yang dapat membuka lapangan pekerjaan baru dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Misalnya penerbitan SBSN untuk mengembangkan industri pengolahan hasil laut dan perikanan, dan lain-lain.

Intinya agar instrumen SBSN ini digunakan pada hal-hal yang lebih produktif dan memiliki dampak lebih signifikan terhadap perekonomian terutama sektor riil. Untuk mengoptimalkan instrumen SBSN ini ada beberapa hal yang harus dilaksanakan.
Pertama, tim ekonomi KIB II harus menjadikan ekonomi dan keuangan syariah sebagai bagian utama dari kebijakan ekonomi nasional. Meski tidak disinggung dalam national summit bukan berarti ekonomi dan keuangan syariah diabaikan.

Kedua, optimalisasi potensi dana dalam negeri untuk investasi. Dengan berkembangnya pasar obligasi, perusahaan asuransi, dan dana pensiun maka ketersediaan dana jangka panjang domestik semakin besar. Belum lagi ditambah dengan tingginya saving masyarakat yang mencapai angka 34% dari GDP kita. Sehingga, kehadiran SBSN diharapkan dapat menyerap dana yang ada.

Ketiga, diplomasi ekonomi. Terutama yang berorientasi untuk menarik investor Timur Tengah, harus terus menerus ditingkatkan. Bahwa selama ini diplomasi ekonomi kita ke Timur Tengah belum optimal. Padahal potensi dana mereka sangat besar.

Keempat, perlunya peningkatan kualitas manajemen pengelolaan SBSN. Terutama ketika dana yang didapat disalurkan pada pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor produktif lainnya. Insya Allah, melalui upaya dan kebijakan yang terarah, sukuk negara bisa menjadi pintu investasi yang efektif dalam memajukan perekonomian nasional.

Irfan Syauqi Beik
Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
Kandidat Doktor Ekonomi Syariah IIU Malaysia
Jalan Gombak Kuala Lumpur 53100 Malaysia
Email: qibeiktop@yahoo.com

(www.detik.com)

Selasa, 17 November 2009

Lagi Masalah Ketahanan Pangan

Selasa, 17 November 2009 pukul 09:32:00
Menata Ulang Basis Produksi Pangan

Oleh Khudori (penulis buku Ironi Negeri Beras )


Salah satu persoalan besar bangsa ini di masa depan adalah bagaimana menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi perut semua warganya. Jika program keluarga berencana berhasil, pada 2030 penduduk Indonesia mencapai 425 juta jiwa. Agar semua perut kenyang dibutuhkan 59 juta ton beras. Karena luas tanam padi sekarang 11,6 juta hektare, pada saat itu diperlukan tambahan luas tanam baru sebesar 11,8 juta hektare.

Ini pekerjaan mahaberat.
Dewasa ini lahan pertanian kian sempit dan kelelahan. Keuntungan usaha tani di level on farm belum menjanjikan, produktivitas padi melandai, diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk semakin banyak, sementara akibat deraan kemiskinan konversi lahan pertanian berlangsung kian massif. Rentang 1992-2002, laju tahunan konversi lahan baru 110 ribu hektare, lalu melonjak jadi 145 ribu hektare per tahun, bahkan menurut data Deptan (Anton Apriyantono, 2008) mencapai 187 ribu hektare/tahun.

Bagaimana terus meningkatkan produksi pangan di saat pestisida mencemari sungai, danau, dan air tanah? Bagaimana menggenjot produksi pada saat erosi genetika demikian intensif, salinitas mencemari sawah dan hanya tersedia sedikit air irigasi? Bisakah produksi pangan didongkrak ketika air irigasi yang tersedia menurun 40-60 persen dalam 35 tahun ke depan? Belum lagi penyimpangan cuaca akibat pemanasan global yang membuat usaha tani kian sulit dikendalikan. Masih sanggupkah memberi makan?

Salah satu indikator penting untuk melihat kesanggupan memberi makan bisa didekati dari indeks luas panen per kapita. Dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara, indeks luasan panen per kapita di Indonesia termasuk yang terkecil, hanya 531 m2 per kapita, setara dengan Filipina (516) dan sedikit lebih luas dari Malaysia (315). Berbeda dengan Indonesia, Filipina dan Malaysia adalah pengimpor pangan reguler. Sedangkan negara-negara pengekspor pangan memiliki indeks luasan panen per kapita cukup besar: Vietnam 929 m2/kapita, Myanmar 1.285 m2/kapita, dan Thailand 1.606 m2/kapita.

Sudah tentu indeks luasan panen per kapita bukan semata-mata penentu besarnya produksi pangan. Luasan panen yang agak sempit dapat dikompensasi oleh produktivitas yang tinggi. Tapi, besarnya indeks luasan panen per kapita memberikan indikasi masih terdapat potensi peningkatan produksi, apabila produktivitas belum mencapai optimal.

Yang terjadi di Indonesia, indeks luasan panen per kapita kecil dengan produktivitas tinggi. Artinya, lahan kita sudah jenuh dan hampir semua teknologi sudah diadopsi. Padi, misalnya. Dilihat dari sudut pandang teknologi produksi, apa yang dihasilkan petani saat ini di beberapa sentra padi bisa dikatakan sudah mendekati batas frontier yang bisa dicapai di lapangan. Satu kajian menarik yang dilakukan oleh Mahbub Hossain dan Narciso dari International Rice Research Institute (2002) terlihat, rata-rata produktivitas usaha tani padi di lahan irigasi di Indonesia sudah mencapai 6,4 ton/hektare, ini kedua tertinggi di Asia Timur dan Asia Tenggara setelah Cina (7,6 ton/hektare). Potensi peningkatan produktivitas hanya sekitar 0,5-1,0 ton/hektare dengan input yang kian mahal.

Dalam waktu dekat berharap ada teknologi baru semanjur revolusi hijau rasanya mustahil. Tanpa penambahan lahan baru buat pangan, kita akan jadi bangsa ayam broiler, bangsa pengimpor pangan. Perluasan areal budi daya pangan harus dilakukan. Potensi untuk melakukan itu masih terbuka. Dari total luasan daratan Indonesia sebesar 191 juta hektare, sebagian besar (66,15 persen) merupakan kawasan hutan, sedangkan untuk pertanian dengan berbagai kondisi agroekologi sebesar 36,35 juta hektare (18,72 persen). Menurut Puslitbangtanak (2001), potensi luas lahan basah mencapai 24,5 juta hektare atau lebih tiga kali lipat luas sawah saat ini. Potensi pengembangan tanaman pangan semusim di lahan kering masih 25,3 juta hektare, sedangkan untuk tanaman perkebunan seluas 50,9 juta hektare. Potensi-potensi ini sesuai data BPN (2001): berdasarkan indeks rata-rata nasional penggunaan kawasan budi daya masih tersisa 57,74 persen kawasan budi daya berupa hutan.

Selama 400 tahun terakhir, evolusi pembangunan selalu dibimbing oleh jiwa yang meniadakan petani atau warga sebagai subjek pembangunan. Premis dasar kebijakan yang diyakini adalah usaha besar memiliki kapasitas lebih tinggi dari petani. Makanya, meskipun potensi kawasan budi daya berupa hutan masih cukup luas untuk basis produksi pangan lahan tersebut tidak diberikan ke petani, pekebun, warga pinggir hutan, atau kaum marjinal lainnya. Sebaliknya, berpuluh-puluh juta hektare hutan diserahkan pada pengusaha dan konglomerat dalam bentuk aneka konsesi dengan lama puluhan tahun: Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), atau eksploitasi tambang di hutan lindung.

Apa hasilnya? Data Departemen Kehutanan menunjukkan, sekitar 59 juta hektare dari 120 juta hektare hutan asli Indonesia habis. Laju deforestasi meningkat: dari 1,6 juta hektare/tahun (1985-1997), 2,1 juta/tahun (1997-2000), dan menjadi 2,8 juta/tahun (2001-2005). Kerugian negara mencapai Rp 30 triliun/tahun. Hutan telah dieksploitasi sejak 1970-an, tetapi itu tidak membuat masyarakat lokal dan kita semua kaya. Eksploitasi itu hanya menguntungkan segelintir pengusaha dan konglomerat. Sebaliknya, kita semua, terutama masyarakat lokal, telah merasakan dampak buruknya.

Pembukaan tambang di hutan, misalnya, akan menimbukan kerusakan permanen. Aktivitas penambangan memiliki daya musnah luar biasa. Tidak saja pada kawasan yang dibuka, tapi juga di kawasan hilir yang ditempati oleh komunitas-komunitas masyarakat. Nilai kerugian yang terjadi jauh lebih besar ketimbang keuntungan jangka pendek yang didapat. Ironisnya, aktivitas ini diizinkan pemerintah lewat PP No 2/2008. Padahal, UU No 41/1999 tentang Kehutanan melarang aktivitas tambang di hutan lindung.

Dengan PP ini perusahaan diizinkan membuka tambang di hutan lindung dengan tarif supermurah: Rp 1,2-3 juta per hektare/tahun. Karena tak ada klausul khusus buat 13 perusahaan, PP ini berpotensi merusak 11,4 juta hektare hutan lindung konsesi 158 perusahaan tambang lain. Penetapan kawasan hutan sebagai hutan lindung tentu tidak main-main karena berfungsi sebagai bagian ekosistem yang melindungi kehidupan manusia, bukan untuk tambang duit.

Kawasan hutan lindung tak bisa disubstitusi. Jangankan hutan lindung hancur, sekali hutan produksi hancur, kita segera menuai bencana. Orientasi yang keliru ini mesti diubah. HPH, HTI, atau tambang di hutan lindung harus dihentikan. Kawasan hutan telantar dan kebun-kebun tanpa izin mesti diubah untuk basis produksi pangan untuk digarap petani dan masyarakat lokal. Jika perusahaan tambang boleh, tentu mereka tak dilarang. Mana yang boleh dan mana yang dilarang ini akan menentukan kepentingan siapa yang didahulukan, dan kepentingan siapa yang dikorbankan. Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu II harus mewujudkannya. Hanya dengan cara ini, indeks luas tanam per kapita dan kesanggupan memberi makan akan membaik.

(www.republika.co.id)

Lestarikan Warisan Budaya Bangsa

Batik Indonesia Resmi Diakui UNESCO
Jumat, 2 Oktober 2009 20:44 WIB |

Jakarta (ANTARA News) - Batik Indonesia secara resmi diakui UNESCO dengan dimasukkan ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-benda Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) dalam Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (Fourth Session of the Intergovernmental Committee) tentang Warisan Budaya Tak-benda di Abu Dhabi.

Dalam siaran pers dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat, UNESCO mengakui batik Indonesia bersama dengan 111 nominasi mata budaya dari 35 negara, dan yang diakui dan dimasukkan dalam Daftar Representatif sebanyak 76 mata budaya.

Sebelumnya pada tahun 2003 dan 2005 UNESCO telah mengakui Wayang dan Keris sebagai Karya Agung Budaya Lisan dan Takbenda Warisan Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible Cultural Heritage of Humanity) yang pada tahun 2008 dimasukkan ke dalam Representative List.

Depbudpar menyatakan masuknya Batik Indonesia dalam UNESCO Representative List of Intangible Cultural Heritage of Humanity merupakan pengakuan internasional terhadap salah satu mata budaya Indonesia, sehingga diharapkan dapat memotivasi dan mengangkat harkat para pengrajin batik dan mendukung usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Depbudpar menyatakan upaya agar Batik Indonesia diakui UNESCO ini melibatkan para pemangku kepentingan terkait dengan batik, baik pemerintah, maupun para pengrajin, pakar, asosiasi pengusaha dan yayasan/lembaga batik serta masyarakat luas dalam penyusunan dokumen nominasi.

Perwakilan RI di negara anggota Tim Juri (Subsidiary Body), yaitu di Persatuan Emirat Arab, Turki, Estonia, Mexico, Kenya dan Korea Selatan serta UNESCO-Paris, memegang peranan penting dalam memperkenalkan batik secara lebih luas kepada para anggota Subsidiary Body, sehingga mereka lebih seksama mempelajari dokumen nominasi Batik Indonesia.

UNESCO mencatat Batik Indonesia dan satu usulan lainnya dari Spanyol merupakan dokumen nominasi terbaik dan dapat dijadikan contoh dalam proses nominasi mata budaya tak-benda di masa datang.

Depbudpar menyatakan upaya Pemerintah Indonesia ini merupakan komitmen sebagai negara pihak Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Takbenda, yang telah berlaku sejak 2003 dan diratifikasi oleh 114 negara (Indonesia meratifikasinya tahun 2007).

Konvensi dimaksud menekankan perlindungan warisan budaya takbenda, antara lain tradisi bertutur dan berekspresi, ritual dan festival, kerajinan tangan, musik, tarian, pagelaran seni tradisional, dan kuliner. Warisan yang masih hidup dan diturunkan dari generasi ke generasi, memberikan komunitas dan kelompok rasa identitas dan keberlangsungan, dan dianggap sebagai upaya untuk menghormati keanekaragaman budaya dan kreatifitas manusia.

UNESCO mengakui bahwa Batik Indonesia mempunyai teknik dan simbol budaya yang menjadi identitas rakyat Indonesia mulai dari lahir sampai meninggal, bayi digendong dengan kain batik bercorak simbol yang membawa keberuntungan, dan yang meninggal ditutup dengan kain batik.

Pakaian dengan corak sehari-hari dipakai secara rutin dalam kegiatan bisnis dan akademis, sementara itu berbagai corak lainnya dipakai dalam upacara pernikahan, kehamilan, juga dalam wayang, kebutuhan nonsandang dan berbagai penampilan kesenian. Kain batik bahkan memainkan peran utama dalam ritual tertentu.

Berbagai corak Batik Indonesia menandakan adanya berbagai pengaruh dari luar mulai dari kaligrafi Arab, burung phoenix dari China, bunga cherry dari Jepang sampai burung merak dari India atau Persia.

Tradisi membatik diturunkan dari generasi ke generasi, batik terkait dengan identitas budaya rakyat indonesia dan melalui berbagai arti simbolik dari warna dan corak mengekspresikan kreatifitas dan spiritual rakyat Indonesia.

UNESCO memasukkan Batik Indonesia ke dalam Representative List karena telah memenuhi kriteria, antara lain kaya dengan simbol-simbol dan filosofi kehidupan rakyat Indonesia; memberi kontribusi bagi terpeliharanya warisan budaya takbenda pada saat ini dan di masa mendatang.

Selanjutnya seluruh komponen masyarakat bersama pemerintah melakukan langkah-langkah secara berkesinambungan untuk perlindungan termasuk peningkatan kesadaran dan pengembangan kapasitas termasuk aktivitas pendidikan dan pelatihan.

Dalam menyiapkan nominasi, para pihak terkait telah melakukan berbagai aktivitas, termasuk melakukan penelitian di lapangan, pengkajian, seminar, dan sebagainya untuk mendiskusikan isi dokumen dan memperkaya informasi secara bebas dan terbuka.

Pemerintah telah memasukkan Batik Indonesia ke dalam Daftar Inventaris Mata Budaya Indonesia.
(*)

COPYRIGHT © 2009

Minggu, 15 November 2009

Raja Ampat



Oleh : Mahiruddin Siregar

Kepulauan Raja Ampat, tempat habitat spesies ikan dan hewan ataupun tumbuhan dan trumbu karang yang luar biasa banyaknya,....

Menurut hasil penelitian terbukti bahwa Raja Ampat memiliki keragaman hayati tertinggi didunia...........

Suatu asset bangsa yang tidak terhingga nilainya, yang sudah kesohor keseluruh dunia, terutama bagi para ilmuwan dan peneliti, serta bagi para petualang yang selalu haus untuk menikmati keindahan alam.............

Kita sebagai anak bangsa Indonesia harus mampu melindungi dan memelihara keasrian dan keindahan alam Raja Ampat, jangan sampai tergadai kepada bangsa asing, dan jangan pula sampai tercemar akibat tangan jahil dan kerakusan manusia yang tidak bertanggung jawab...........

Sabtu, 14 November 2009

Ini Juga Hasil Neoliberalisme

Pasar, Rente dan Kelompok Bisnis Amat Berkuasa
Kamis, 12 November 2009 07:27 WIB | Artikel

Jakarta (ANTARA News) - Anda bisa kaya dengan menciptakan kekayaan atau dengan mengambil kekayaan yang diciptakan orang lain. Jika pengambilan kekayaan orang lain itu ilegal, maka namanya mencuri atau menipu, namun jika legal namanya memburu rente.

Memburu rente itu banyak macamnya. Di jalan raya tertua di Eropa, sungai Rhine, puri-puri di perbukitan, terhampar kisah yang menceritakan bagaimana bandit-bandit bergelar aristokrat mengenakan pajak terhadap mereka yang melewati daerah kekuasaannya.

Di negara-negara miskin, fokus kehidupan politik dan bisnis, seringkali dipusatkan pada kegiatan pengumpulan pajak, ketimbang menciptakan kekayaan. Itulah yang menjelaskan mengapa sejumlah negara hidup miskin, sedangkan yang lainnya bergelimang kekayaan.

Namun, kebiasaan memburu rente menghasilkan kutukannya sendiri. Misal, kekayaan minyak atau mineral, justru lebih sering menurunkan standard kehidupan penduduk karena usaha dan talenta manusia dialihkan dari kegiatan menciptakan kekayaan menjadi kegiatan memburu rente. Yang menyedihkan, bantuan asing juga seringkali menciptakan kondisi serupa itu.

Memburu rente mengakibatkan kontrak-kontrak pemerintah disapu bersih atau asset-asset negara diambil alih, oleh oligarki dan kerabat politisi.

Pada negara berperekonomian lebih maju, memburu rente bentuknya lebih canggih. Contoh, dari sepuluh persen hasil penjualan senjata, Anda bisa mendapatkan tujuh persen penyertaan saham baru.

Rente secara tidak langsung diperoleh dari konsumen melalui kontrak-kontrak pemerintah, misalnya dari jasa perlindungan persaingan dari barang impor atau royalti hak cipta intelektual.

Rente juga bisa diperoleh dari pekerja bergaji tinggi di proyek-proyek padat karya milik pemerintah.

Rente hidup subur di tatanan ekonominya terpusat pada negara, perusahaan swasta besar, dan grup perusahaan yang berkongsi dan saling kongkalikong.

Pemusatan kuasa ekonomi kepada swasta membuat swasta itu berkesempatan memperkuat dirinya sendiri. Inilah fenomena umum yang terjadi di era keemasan Amerika.

Hasilnya, kaum super kaya, seperti keluarga Rockefeller, keluarga Carnegie, atau keluarga Vanderbil, menggunakan kekayaannya untuk memperkuat pengaruh politik dan kuasa ekonominya, dengan cara membajak pasar dan demokrasi.

Kini Amerika mempunyai generasi baru pemburu rente. Versi modern dari puri-puri sepanjang sungai Rhine di jaman silam, adalah graha-graha mewah (lounge) dan jet-jet canggih milik perusahaan raksasa. Penghuninya, para bankir investasi dan eksekutif perusahaan.

Kemudian, rente menuntut pengelolaan ekonomi didesentralisasi.

Desentralisasi ekonomi itu meliputi pembatasan peran negara dalam perekonomian, pemusatan kuasa ekonomi pada kelompok bisnis raksasa, dipeliharanya kecurigaan terus menerus terhadap batas-batas antara mana kewenangan pemerintah dengan mana wilayah industri, dan supervisi untuk membatasi kapasitas individu-individu rakus dalam organisasi raksasa yang berusaha mengeruk rente untuk dirinya sendiri.

Memburu rente harus dibedakan dari kegiatan ekonomi di pasar kompetitif dan rezim pasar bebas murni (laisser-faire).

Swastanisasi dan pengakhiran monopoli legal telah mengurangi perburuan rente yang dilakukan kelompok pejabat publik terorganisasi, sebaliknya skala perburuan rente oleh kalangan bisnis dan pelaku senior bisnis serta keuangan, justru meningkat tajam.

Buktiya bisa dilihat dari tumbuhnya lobi bisnis di parlemen; pada struktur industri seperti farmasi, media, wahana militer, dan tentu saja, jasa keuangan; dan pada ledakan bonus yang diterima eksekutif.

Mengingat inovasi tergantung pada produk baru, maka adalah penting mencegah terjadinya pemusatan kuasa ekonomi. Sikap probisnis harus dibedakan dari sikap propasar. (*)


Disadur dari John Kay/Financial Times

COPYRIGHT © 2009

Kamis, 12 November 2009

Provinsi Kepulauan

Menteri kelautan dan Perikanan Dukung Provinsi Kepulauan
By Republika Newsroom
Rabu, 11 November 2009 pukul 17:52:00


KUPANG--Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhamad menyatakan dukungannya terhadap rencana pembentukan provinsi kepulauan yang sedang diperjuangkan oleh tujuh provinsi. "Saya bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, yang masih menjabat sebagai gubernur di daerah masing-masing akan mendukung terus rencana pembentukan provinsi kepulauan tersebut," kata Fadel Mumamad, ketika menghadiri pertemuan kerja sama tujuh provinsi kepulauan di Kupang, Rabu.

Ketujuh provinsi yang memperjuangkan status kepulauan itu adalah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Bangka Belitung dan Kepulauan Riau. Badan provinsi kepulauan, katanya, merupakan salah satu mitra dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk pembangunan Indonesia ke depan.

Dia berharap, pertemuan Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan ini juga membahas tentang peningkatan pendapatan nelayan. "Banyak kendala untuk tingkatkan pendapatan nelayan. Jadi saya berharap masalah itu juga dibahas oleh badan ini," katanya.

Badan ini juga, merupakan forum perjuangan bersama, sehingga dia mengaku akan ikut berjuang, untuk meningkatkan anggaran bagi provinsi kepulauan. "Mudah-mudahan kita bersama bisa memajukan daerah kepulauan di Indonesia," katanya.

Sementara itu, Ketua Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan, Karel Ralahalu mengatakan, pembahasan tentang provinsi kepulauan ini difokuskan pada tiga agenda. Ketiga agenda dimaksud yakni pusulan revisi UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda), konsep kerja sama dibidang perikanan dan pariwisata serta penyusunan anggaran dasar (AD) dan rumah tangga (RT) dari badan ini.

Pembahasan soal usul revisi UU Pemda, katanya, sudah dilakukan sebanyak dua kali oleh tim teknis Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan di Jakarta. Bahkan, hasil pembahasan tersebut sudah dilakukan uji publik. "Agenda ini akan kita sempurnakan sebelum diajukan ke lembaga negara yang berkompeten untuk diusulkan masuk dalam revisi UU Pemda," katanya.

Dia menambahkan, hasil pembahasan tersebut, akan ditetapkan sebagai "Deklarasi Kupang" untuk selanjutnya diperjuangkan di tingkat pusat. ant/kpo

Buta dan Takut Laut

Sarwono: Bangsa Indonesia "Buta" Laut

Makassar, 11 November 2009 17:32
Mantan Menteri Kelautan dan Lingkungan Hidup (KLH) Sarwono Kusumaatmadja menilai, kondisi bangsa Indonesia yang "buta" laut, bahkan takut laut, menyebabkan potensi kelautan tidak tergarap dengan baik.

"Kondisi bangsa kita yang 'buta' laut, bahkan takut laut, sehingga kejayaan maritim di masa lalu, sulit dikembalikan. Begitu pula dengan potensi laut yang ada tidak digarap secara optimal," kata Sarwono, pada pertemuan kelompok ahli di Makassar, Rabu (11/11).

Menurut dia, selama ini bangsa Indonesia dicecoki dengan pemahaman bahwa posisi Indonesia yang strategis diantara dua benua dan menjadi lalulintas perdagangan dunia, namun kenyataannya peranannya sangat kecil dalam jalur lalulintas perdagangan dunia.

Ironisnya, lanjut anggota Dewan Kelautan Indonesia ini, negara tetangga Indonesia, Singapura yang tidak memiliki laut memanfaatkan habis-habisan jalur transportasi laut tersebut dan menikmati hasilnya.

Kondisi yang serupa pada India dan China yang keduanya adalah negara daratan, namun sudah tumbuh menjadi kekuatan maritim dengan menguasai perdaganan di segala sektor.

Dia mengatakan, Indonesia yang menamakan diri negara maritim, tidak memiliki sarana yang menjadi syarat sebagai negara maritim.

Ketiga syarat tersebut adalah memiliki armada niaga yang berbendera Indonesia yang mempunyai pengaruh di dunia, tidak mempunyai pelabuhan dan cluster yang kompetitif.

Sementara itu, Guru Besar Universitas Hasanuddin Prof Dr J. Salusu mengatakan, Indonesia adalah satu-satunya negara yang unik karena dua hal.

Pertama, dari segi ilmu bumi politik, Indonesia dikenal sebagai "fragmented state" yakni negara yang terpencar, tersebar dalam pulau-pulau, tetapi tetap dalam kesatuan yang utuh.

Kedua, sebagai negara "fragmented" terbesar, Indonesia justeru memiliki bentuk pemerintahan sebagai negara kesatuan. Kondisi ini kurang mampu meyakinkan para ahli politik-pemerintahan dari luar negeri.

Alasannya, negara Eropa saja yang jauh lebih kecil dari Indonesia dan terdiri atas daratan, justru membentuk pemerintahan "federal".

Untuk menjadi negara maritim yang sesungguhnya, Salusu mengatakan, setidaknya itu baru dicapai pada 2040. Itupun akan terwujud jika seluruh potensi pemerintah dan masyarakat digiring ke program dan perencanaan untuk membenahi semua persoalan kelautan di Indonesia. [TMA, Ant]

(www.gatra.com)

Selasa, 10 November 2009

Musim Panen



Oleh : Mahiruddin Siregar

Tidak ada yang paling membahagiakan bagi seorang petani, melebihi ketika musim panen
tiba.

Dulu sebelum kebutuhan manusia sebanyak dan sekompleks sekarang, para petani kalau sudah habis panen, apalagi kalau hasil panennya bagus, mereka akan memasuki masa-masa santai dan bersuka ria, karena boleh dikatakan sudah tidak ada pekerjaan berat lagi sampai tiba musim tanam berikutnya.

Pada musim ini akan dilakukan banyak pesta.

Kehidupan pada musim itu benar-benar penuh kebahagiaan dan ketenangan, dimana kebutuhan utama yaitu pangan sudah tercukupi sampai musim panen berikutnya. Kebutuhan lain paling untuk beli sekadar pakaian, dan keperluan dapur yang dapat dibeli dengan menjual kelebihan hasil panen.

Lauk pauk dan sayuran serta buah-buahan tidak perlu dibeli, karena dapat dipenuhi dengan memelihara ternak, memelihara ikan, berburu atau mencari ikan dilaut dan sungai serta berkebun sayur dan buah-buahan.

Hiburan hanya kesenian dan permainan tradisional yang tidak butuh biaya. Pendidikan juga paling dengan berguru secara tradisional kepada ahlinya yang juga tidak dipungut biaya.

Itulah zaman dulu, zaman kesederhanaan dan kebersahajaan, tapi penuh dengan kearifan.

Minggu, 08 November 2009

Inilah Neoliberalisme


Penjualan Pulau
Tanah Airku Laris Manis

Libur panjang Lebaran pada tahun ini dimanfaatkan Irfan Hasan, 40 tahun, untuk berwisata ke luar kota. Warga Kelurahan Panggang, Kecamatan Kota Jepara, Jawa Tengah, itu membawa istri dan seorang anaknya ke Kepulauan Karimunjawa. Karyawan sebuah pabrik mebel itu mengaku cukup lama tidak menginjakkan kaki di pulau tersebut. Padahal, lokasi Pulau Karimunjawa tidak jauh, masih di lingkup Kabupaten Jepara.

Sayang, liburannya kali ini membawa pulang kecewa. "Karimunjawa tak sebebas dahulu," katanya. Dahulu gugusan pulau di Karimunjawa masih perawan dan bebas dikunjungi. Berbagai macam burung dan binatang banyak dijumpai di sana. "Saya dahulu bisa naik perahu dari satu pulau ke pulau lain untuk melihat kijang dan burung-burung," katanya.

Kini aktivitas itu tak lagi bisa dilakukannya. Irfan mendapat kenyataan tidak lagi bisa leluasa mengunjungi pulau-pulau di kawasan yang elok itu. Di Pulau Menyawakan, misalnya, telah dibangun tempat peristirahatan indah nan mahal bernama Kura-kura Resort. Di dalamnya terdapat bungalo-bungalo cantik di tengah taman yang indah.

Pengunjungnya kebanyakan turis asing yang ingin berlibur sambil menikmati keindahan terumbu karang di dasar laut. Alhasil, turis bermodal cekak seperti Irfan Hasan tak boleh mendekat. "Orang sini sendiri kok dilarang ke Karimunjawa," ia menggerutu.

Sebagian pulau kecil di Karimunjawa memang telah menjelma menjadi tempat-tempat privat yang mewah. Pulau-pulau itu dikuasai perorangan dan menjadi tempat yang terlarang bagi pribumi yang tidak berkepentingan.

Kura-kura Resort di Pulau Menyawakan, misalnya, dilengkapi dermaga khusus yang tarif sandarnya Rp 150.000 per jam. Resor ini menyediakan tiga tipe kamar, yaitu superior seaview cottage, deluxe superior cottage, dan private pool villa. Harganya, US$ 250 hingga US$ 380 semalam. Ada cottage private pool villa bernuansa bulan madu dengan kolam renang sendiri yang tertutup tembok. Orang tidak akan peduli dengan yang terjadi di dalamnya.

Pulau-pulau itu menjadi tempat berlibur turis-turis asing yang sedang ogah diganggu. Mereka datang ke Karimunjawa dengan pesawat Cessna yang diterbangkan pengelola resor dari Bandar Udara Ahmad Yani, Semarang. Di jalur ini tidak ada penerbangan reguler.

Kura-kura Resort dimiliki Soren Lax, pria asal Swedia yang menikahi wanita pribumi asal Balikpapan, Kalimantan Timur. Melalui istrinya, ia menguasai lahan seluas 21 hektare atau seluas pulau itu.

Soren Lax membeli pulau itu pada 1999 dan kini berhasil menjualnya sebagai tempat wisata kelas atas. Di sana berdiri 15 bungalo dengan fasilitas lengkap untuk menyelam dan berbagai kesenangan bahari lainnya.

Selain Menyawakan, sejumlah pulau di kawasan Karimunjawa juga telah "diprivatisasi". Berdasarkan data dari Balai Taman Nasional Karimunjawa, pada saat ini ada delapan dari 27 pulau di Karimunjawa yang dikuasai satu pihak. Masing-masing memiliki luas 3-92 hektare.
Dua di antara pulau-pulau yang terjual itu dimiliki orang asing, yaitu Pulau Menyawakan dan Pulau Kumbang. Bila Pulau Menyawakan milik Soren Lax, Pulau Kumbang dimiliki ekspatriat asal Swedia, Mr. Jell, yang memegang hak milik atas nama istrinya yang berkewarganegaraan Indonesia. Di Pulau Karimunjawa sendiri banyak orang asing yang menguasai lahan cukup luas dan telah "ditanami" resor di atasnya. Misalnya Nirwana Resort dan Escape Hotel.

Menurut Kepala Balai Taman Nasional Karimunjawa, Harianto, pulau-pulau itu memang ada yang dimiliki orang per orang. Namun mereka bukan membeli pulaunya, melainkan hanya membeli tanah dan mengembangkannya.

Meskipun demikian, hal itu tetap menimbulkan kekhawatiran karena pemerintah daerah dan masyarakat tidak mengetahui apa yang sebetulnya dilakukan orang asing di pulau-pulau itu. Konsorsium Karimunjawa yang terdiri dari sejumlah LSM di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta menyoroti fenomena ini. Penguasaan pulau oleh satu pihak bisa menimbulkan ekses marjinalisasi penduduk lokal.

Menurut Koordinator Konsorsium Karimunjawa, Fatkhur Rahman, perpindahan kepemilikan tanah dari penduduk lokal kepada orang asing sangat mudah terjadi karena adanya kolusi antara oknum pemerintah dan calon pembeli. Pulau Karimunjawa, katanya, telah dikavling-kavling untuk resor yang eksklusif, sehingga orang Karimunjawa tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Berbeda dengan di Bali. Di Pulau Dewata itu, toko-toko dan kafe dimiliki orang lokal, sehingga efek ekonominya menyegarkan orang pribumi.

Di Karimunjawa, turis datang ke salah satu pulau, bersenang-senang, lalu pulang. Jangankan berbelanja di kota Kecamatan Karimunjawa, menginjakkan kaki pun tidak. Toko-toko suvenir di Karimunjawa hanya mengandalkan pembeli wisatawan domestik. Jadi, kalaupun ada dana yang bergulir dari resor-resor eksklusif itu, yang menerima adalah pengelola resor yang juga orang bule.

Namun hal itu dibantah Camat Karimunjawa, Nuryanto. Menurut dia, pengelolaan lahan Karimunjawa oleh pihak asing hanya berupa penanaman modal di bidang pariwisata. Ia mengaku telah mengecek satu per satu status kepemilikan orang asing atas pulau-pulau itu. Ternyata sertifikatnya atas nama orang lokal, entah itu istri atau orang kepercayaannya.

Hal itu dibenarkan Bupati Jepara, Hendro Martojo. Dia memastikan, meski dikelola pihak asing, pulau-pulau tersebut masih di bawah pengawasan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara. Para pengelola pulau-pulau itu bahkan sengaja diundang Pemkab Jepara agar menginvestasikan dana untuk mengembangkan wisata Karimunjawa.

GATRA (Dok. GATRA)

Kepulauan Karimunjawa terdiri dari 27 pulau yang berada di tiga desa. Luas totalnya mencapai 107.225 hektare. Luas daratannya saja sekitar 7.120 hektare. Penduduk asli tersebar di lima pulau, antara lain di Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau Nyamuk, dan Pulau Genting.

Adanya pembangunan resor mewah itu menjadi paradoks dengan kehidupan nelayan yang ada di sekitarnya. Seorang nelayan lokal, Sunarto, mengungkapkan bahwa sebagian resor itu menutup bibir pantai, sehingga nelayan tradisional tidak bisa menyandarkan perahu di garis pantai yang ada resornya.

GATRA (Dok. GATRA)

Penguasaan pulau-pulau oleh orang asing banyak pula terjadi di daerah lain di Indonesia. Beberapa pulau di Kepulauan Mentawai dikabarkan tengah ditawarkan melalui iklan dengan judul "Islands for Sale in Indonesia" di situs privateislandsonline.com.

Yang aneh di iklan tersebut, yang menawarkan pulau itu bukan warga negara Indonesia, melainkan orang asing yang memampang alamatnya di 550 Queen St. East Suite 330 Toronto ON M5A 1 V2, Kanada. Jadi, pulau-pulau itu bisa berpindah tangan dari orang asing ke orang asing lainnya.

Pulau Meriam Besar dan Pulau Panjang yang berada di Kabupaten Sumbawa Besar juga pernah dijual melalui situs internet. Namun, setelah hal itu disorot media, sertifikat atas nama orang asing akhirnya dibatalkan pemerintah daerah setempat.

Kepemilikan pulau oleh perorangan sebetulnya telah lama terjadi. Data dari Tim Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Fisik Kepulauan Seribu menunjukkan, tahun 2000 saja di Kepulauan Seribu terdapat 65 pulau yang dikuasai satu nama, termasuk orang asing. Hal ini dinilai mengancam eksistensi nelayan tradisional yang biasa berlayar di sekitar pulau itu.

Menurut hasil monitoring Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), banyak nelayan tradisional yang tidak boleh masuk ke zona pulau tertentu. Padahal, mereka secara tradisional melaut di sekitar pulau itu dan memanfaatkan pulau tersebut sebagai tempat berlindung dari angin atau gelombang tinggi.

GATRA (Dok. GATRA)

Di sisi lain, penguasaan pulau dan lahan oleh orang asing di Karimunjawa membawa dampak positif bagi pendapatan asli daerah. Menurut data Dinas Pariwisata Jepara, pada tahun ini hampir 10.000 turis datang ke Karimunjawa. Angkanya terus naik dari tahun ke tahun.

"Ini menimbulkan multiplier effect yang bagus bagi masyarakat lokal," ungkap Kepala Dinas Pariwisata Jepara, Chaeron Syariefudin. Bila satu turis membelanjakan uang rata-rata Rp 2,5 juta, maka penduduk bisa kecipratan uang tak kurang dari Rp 25 milyar per tahun.

Kehadiran orang asing di pulau-pulau itu, kata Chaeron, bukan membeli pulau mentah-mentah, melainkan membeli tanah, lalu mengembangkannya. Pulaunya sendiri tetap menjadi bagian dari NKRI. Pemiliknya membayar pajak dan tunduk pada peraturan yang berlaku.

Berkat peran orang asing itu, perekonomian lokal ikut mendapat manfaat karena arus wisatawan menjadi deras. "Tidak hanya resor mewah, rumah-rumah penduduk juga laku sebagai homestay," katanya kepada Gatra.

Penguasaan tanah dan pulau-pulau oleh orang asing sebetulnya legal. Cara yang paling lazim adalah dengan menikahi wanita lokal dan mengatasnamakan kepemilikan tanah kepada istrinya. Cara kedua adalah dengan mengurus hak pakai dalam jangka waktu tertentu.

Pada saat ini berlaku Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik (HM) atas tanah bagi rumah tinggal yang mengatur perubahan status pemilikan tanah untuk rumah tinggal dari HGB (hak guna bangunan) atau HP (hak pakai) menjadi HM, maksimal 5.000 meter persegi. Selain itu, ada Undang-Undang Pokok Agraria, yang memberi batasan maksimal kepemilikan tanah pertanian 20 hektare. Dua aturan itu mensyaratkan hak kepemilikan tanah harus atas nama warga negara Indonesia.

Jalur bagi orang asing juga tersedia. Yakni Peraturan Pemerintah Nomor 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Aturan ini memperbolehkan orang asing memiliki rumah tinggal atau hunian maksimal 25 tahun dan bisa diperpanjang satu kali untuk 20 tahun.

Selain menikahi wanita pribumi, cara ini lazim ditempuh orang asing. BPN Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Barat, misalnya, pernah mengeluarkan sertifikat HGB atas nama PT Reefseekers Khaternet Lestari yang dimiliki Ernest Lewandosky, warga Inggris.

Mujib Rahman
[Ekonomi, Gatra Nomor 51 Beredar Kamis, 29 Oktober 2009]

Kamis, 05 November 2009

Menghindari Rekayasa Keadilan

Rabu, 04 November 2009 pukul 14:28:00
Kembali ke Jalan Utama

Drama cicak-buaya-godzila belum berakhir. Pemutaran rekaman percakapan telepon antara Anggodo Widjojo dengan sejumlah pihak menjadi tontonan rakyat Indonesia. Inilah tontonan nasional paling menghebohkan dan paling kontroversial. Sedih, prihatin, dan makin menguatkan keyakinan bahwa salah satu faktor tersulit dalam pemberantasan korupsi adalah karena sapunya tak hanya kotor, tapi juga rusak serusak-rusaknya.

Pertama, kita menyaksikan bahwa memang benar dugaan kita selama ini. Penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) merupakan sesuatu yang bisa dibisniskan. Dari rekaman itu terlihat bahwa penyidik menyusun BAP dengan didikte dan dikerjakan bersama penjahat. Kedua, Jaksa Agung Muda menjadi 'konsultan' dari rencana jahat.

Ketiga, kita melihat bahwa dua institusi penegak hukum benar-benar rusak. Ini terlihat dari nama-nama yang terungkap maupun 'permainan' yang sedang mereka kerjakan. Hal itu juga terlihat dari pernyataan-pernyataan para petingginya sejak kasus ini pertama bergulir hingga hari ini: konsisten dan tak berubah. Pembentukan tim pencari fakta dan pemutaran rekaman belum mengubah konstelasi apa pun.

Rusak serusak-rusaknya. Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkannya. Mereka menyoal penyalahgunaan wewenang oleh Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Dan untuk membuktikan itu, mereka melakukannya dengan menyelewengkan amanah dan kewenangan yang ada.

Amanah sudah dilanggar karena bukannya memberantas koruptor mereka malah membela koruptor. Atas nama kuasa, mereka bisa seenaknya mengubah-ubah pasal tuduhan dan menahan orang hanya karena melakukan jumpa pers. Sudah rusak, diacak-acak pula. Kita harus mengakui bahwa institusi kepolisian dan kejaksaan telah rusak.

Namun, yang membuat kita prihatin kini mereka menyediakan diri untuk diacak-acak. Buron koruptor Anggoro Widjojo bisa mengaturnya dari Singapura. Saudaranya, Anggodo, bebas berkeliaran ke sana-kemari sebagai operatornya. Polri, Kejaksaan Agung, KPK, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diaduk-aduk. Semuanya adalah institusi penegak hukum.

Dua orang mereka bukan siapa-siapa bisa mengacak-acak empat institusi penting. Dan hingga kini, keduanya bebas berkeliaran. Belum ada perintah penangkapan. Padahal, kita sudah merasakan dampaknya: seluruh energi nasional tersedot. Mestinya kita fokus pada program 100 hari pemerintahan baru, kita justru bertengkar. Mestinya publik dan market menilai masa depan ekonomi, kini justru cemas terhadap rasa keadilan dan keamanan karena perilaku aparatnya. Kita menghadapi ketidakpercayaan yang luar biasa.

Karena itu, cukup sudah pelajaran di Mahkamah Konstitusi ini. Inilah pengadilan rakyat yang sangat bersejarah. Demokrasi yang telah maju bisa runtuh lagi karena penegakan hukum kita yang mampet, kotor, dan bau. Harus ada reformasi total di bidang penegakan hukum. Presiden, DPR, DPD, dan MPR harus melakukan langkah serius. Rakyat, yang kali ini menjadi kekuatan sipil yang luar biasa: melalui pers, LSM, facebook. Kita tahu DPR dan partai diam saja, pemerintah apalagi. Kini, saatnya kembali ke jalan utama. Jangan biarkan terus tersesat karena mabuk kuasa atau sakit hati dan dendam.

Untuk itu, pertama, bebaskan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto tanpa harus menunggu kerja tim pencari fakta. Semua sudah jelas dan gamblang. Kedua, ganti semua pejabat tinggi di kepolisian dan Kejaksaan Agung. Ketiga, kembalikan Chandra dan Bibit ke posisi semula di KPK. Keempat, lakukan reformasi menyeluruh di kepolisian dan kejaksaan. Kelima, jangan ganggu segala kewenangan yang dimiliki KPK. Keenam, tempatkan figur-figur bersih, berintegritas, dan bervisi untuk duduk di KPK, Polri, dan Kejaksaan. Mari kita selamatkan demokrasi untuk Indonesia yang maju, sejahtera, dan berkeadilan.

(www.republika.co.id)

Rabu, 04 November 2009

Markus


Anggodo & Dahsyatnya Kekuatan Markus
Haiyya, Cincai Lah...
IM Sumarsono



Istilahnya Markus. Kependekan dari Makelar Kasus. Hampir di setiap institusi penegak hukum, ada. Tak nampak tapi menjebak.

Akhir tahun 2004, saat SBY memulai pemerintahannya dengan JK, agenda penting yang menjadi target taktis adalah memberantas korupsi. Sebab, di situlah kehancuran republik ini dimulai.

Lalu, muncullah tema parsial di institusi penegakan hukum. Yaitu: berantas Markus alis Makelar Kasus!

Inilah, yang berabad-abad terjadi di Indonesia. Dalam terminologi kontekstual, Makelar Kasus ini merujuk pada suatu penyelesaian masalah di luar jalur.

Artinya, setiap kasus harus mempunyai ketetapan hukum. Tapi, tidak semuanya bisa diproses. Alasannya macam-macam. Bisa karena personil, karena waktu, karena pengetahuan atau karena ada permainan.

Di situlah Markus bermain. Ketika ada orang nggak mau repot dengan urusan proses hukum, Markus yang ambil alih. Ketika aparat penegak hukum main mata, Markus yang menterjemahkan.

Markus ada dan berkuasa. Tapi, Markus tak pernah nyata. Dia bergerak seperti hantu: menakutkan, menyeramkan, meski banyak juga yang butuh untuk kepentingan menakut-nakuti orang.

Nah, dalam kasus Anggodo Widjojo, pengacara KPK, Trimoelja D Soerjadi menyebut apa yang terjadi pada rekaman itu sebagai praktik yang lazim disebut Markus.

Rekaman yang diperdengarkan oleh Mahkamah Konstitusi selama hampir 4,5 jam ke seluruh Indonesia, memang luar biasa.

Sederet nama-nama penting di negeri ini, disebut dengan gaya obrolan pinggir jalan Suroboyoan:

''Lha, koen wis menang siki...''

''Wooo... iso tak pateni engkok.''

Yang menarik adalah pembelaan Anggodo, yang menjadi bintang utama dalam rekaman itu. Bahwa, tak satupun diantara sekian puluh pembicaraan itu, ada suara pejabat yang diajak bicara.

''Yang pejabat cuma Pak Wisnu. Itu juga karena dia teman saya. Kami bicara sebagai teman,'' kata Anggodo.

Nah, itulah yang menjadi sudut penting dari pendapat hukum Trimoelja. Bahwa, realitas Markus itu, modusnya selalu begitu.

Punya banyak nama penting, punya banyak nomor telepon penting, juga dengan gayanya yang SKSD (Sok Kenal Sok Dekat), menyebut nama-nama itu.

Inilah, yang publik mesti memahami, bahwa apa yang terjadi atas Anggodo, dan bagaimana dia memainkan KPK, Polri, Kejaksaan Agung, memang bukan sebuah fenomena baru. Ini sudah terjadi beradab-abad, dimana ketika hukum menemui kebuntuan dan aparat main mata, maka Markus menjadi layanan siap saji yang efektif.

Jadi, jangan heran kalau kemudian muncul istilah yang banyak dikutip orang jika punya masalah dengan proses hukum.

Yaitu:''Haiyya, Cincai... lah! Atul sikik-sikik... Situ senang, owe tenang!''

Inilah yang harusnya menjadi target penting bagi penegakkan hukum Indonesia, bahwa Markus masih berkuasa dan merajelela. Bukan sekadar Kriminalisasi KPK.[/]

Selasa, 03 November 2009

Target Ekonomi Terlalu Pesimis

Senin, 02 November 2009 pukul 00:33:00
National Summit, Apa Selanjutnya?

Oleh Sunarsip


Pemerintah baru saja selesai menggelar forum National Summit pada 29-31 Oktober 2009. Banyak hal yang didiskusikan pada forum tersebut, mulai dari ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Namun demikian, tampaknya isu ekonomi tetap menjadi fokus perhatian. Tentunya, ini tidak aneh karena memang muara dari seluruh kebijakan di harapkan bisa memberikan manfaat ekonomi bagi seluruh rakyat.

Forum seperti ini memang perlu digelar untuk menyatukan pandangan dari semua pihak. (Pemerintah perlu mendengar masukan dari berbagai pihak atas pengelolaan ekonomi ke depan. Terlebih lagi, tidak sedikit dari menteri ekonomi kita saat ini me rupakan wajah baru yang tentunya harus bisa cepat ‘match’ dengan eks pektasi masyarakat. Dengan kata lain, forum National Summit sesungguhnya lebih cocok disebut sebagai ‘’gelar perkara’‘ atas berbagai persoalan di Tanah Air.

Pertanyaannya, lalu apa langkah selanjutnya setelah forum ini selesai? Jawabnya, tentunya harus cepat bekerja dan segera mem berikan bukti. Terlebih lagi, target target ekonomi yang dikejar pemerintah juga tidak ringan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam forum ini menyatakan akan mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen, penurunan angka pengangguran menjadi lima hingga enam persen, dan angka kemiskinan menjadi delapan hingga 10 persen pada tahun 2014.

Tentunya target ini tidak ringan, sekalipun juga terlihat kurang ambisius. Penulis ka takan kurang ambisius karena negaranegara tetangga kita sudah pasang target tinggi sejak 2010. Vietnam, misalnya, pada tahun 2010 sudah pasang target pertumbuhan ekonomi 6,5 persen. Perdana Menteri India kemarin menyatakan, pada 2010 India menargetkan pertumbuhan ekonomi sembilan hingga 10 persen. Cina, bahkan lebih dahsyat lagi. Sekalipun belum pasang target untuk 2010, namun melihat kinerja ekonomi pada kuartal III 2009 sebesar 8,9 persen, penulis yakin target pertumbuhan Cina 2010 akan lebih fantastis di bandingkan 2009. Sementara itu, kita pada 2010 'hanya' pasang target pertumbuhan ekonomi 5,5 persen.

Mungkin ada yang bertanya, apakah kita memang perlu sedikit ambisius? Penulis berpendapat kita memang perlu (bahkan wajib) untuk sedikit ambisius dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi. Kenapa? Pertama, angka pertumbuhan 5,5 persen (katakanlah hingga enam persen), sesungguhnya tidak cukup untuk mengatasi problem sosial kita. Kita membutuhkan pertumbuhan ekonomi setidaknya tujuh persen untuk bisa menyerap tambahan tenaga kerja, plus mengurangi pengangguran yang ada saat ini. Dan tentunya, pertumbuhan minimal tujuh persen tersebut tidak bisa harus menunggu hingga 2014. Ini mengingat, problem sosial tersebut sudah dirasakan oleh rakyat kita.

Kedua, kita perlu membuat kebijakan terobosan atau reformasi di bidang ekonomi. Ekonomi kita memang telah pulih dari krisis 1997/98. Namun, dampak krisis 1997/98 terhadap struktur ekonomi kita luar biasa. Industri manufaktur, misalnya, banyak tergantung pada bahan baku impor yang kita saksikan kini banyak yang mati. Sek-tor pertanian yang di era 1980-an dan 1990-an menjadi primadona, kini pertumbuhan dan kontribusinya semakin menurun. Padahal, pertanian masih menjadi tumpuan karena penduduk yang hidup dari sektor ini masih besar.

Dan, struktur ekonomi akibat krisis inilah yang menyebabkan kita terjebak pada siklus pertumbuhan ekonomi rendah. Mari kita perhatikan, kinerja sektor ekonomi yang menjadi salah satu kontributor terbesar pada PDB kita: pertanian dan manufaktur. Ternyata, laju pertumbuhan kedua sektor ini berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pada 2008, pertumbuhan sektor pertanian hanya 4,77 persen dan sektor manufaktur 3,66 persen, sementara pertumbuhan ekonomi nasional 6,1 persen. Padahal, sebelum krisis 1997/98, pertumbuhan sektor manufaktur bisa di atas 12 persen (tahun 1980 bahkan 22 persen). Dan, penulis kira, ini adalah tugas pemerintah dan pelaku ekonomi untuk bisa memecahkan problem struktural tersebut.

Apakah bisa kita membuat lompatan dalam hal target pertumbuhan ekonomi dari sekarang (katakanlah empat persen) menjadi, misalnya 6,5 persen atau bahkan tujuh persen? Jawabnya, kenapa tidak? Mari kita tengok contoh berikut ini. Surat kabar Wall Street Journal edisi Asia (30 Oktober 2009) memberitakan bahwa pada kuartal III 2009, ekonomi Amerika Serikat (AS) tumbuh 3,5 persen. Padahal, sejak 2008 ekonomi AS mengalami pertumbuhan minus (kontraksi). Mengapa AS bisa mengalami lompatan pertumbuhan ekonomi yang begitu dratis? Jawabnya adalah karena AS berhasil melakukan terobosan kebijakan ekonomi, seperti cash for clunkers, stimulus proyek sosial, pendidikan, infrastruktur, termasuk proteksi perdagangannya.

Kesimpulannya, bisa tidaknya kita membuat lompatan kinerja ekonomi tergantung pada bagaimana upaya yang kita lakukan. Pertanyaannya, lalu apa yang harus dilakukan agar kita juga bisa membuat lompatan kinerja ekonomi? Salah satunya, seperti yang disampaikan Presiden RI: modal besar. Presiden menyatakan untuk mencapai tujuh persen, rata-rata selama lima tahun kita perlu investasi Rp 2.100-an triliun. Karena dari sektor pemerintah hanya sekitar 10-15 persen dari kebutuhan investasi, dibutuhkan peran swasta yang lebih besar. Itu artinya, langkah selanjutnya untuk mencapai lompatan kinerja ekonomi adalah kita perlu melakukan reformasi struktural terhadap iklim investasi: regulasi, birokrasi, perizinan, law enforcement, antikorupsi, dan sektoral.

Pada dasarnya, beberapa isu yang didiskusikan pada National Summit kemarin tidak seluruhnya hal baru. Bahkan, isu yang muncul dalam forum National Summit justru merupakan pending matters sebelum Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid 1 terbentuk, seperti RUU Keuangan Mikro dan revisi UU Ketenagakerjaan.

Sementara itu, isu-isu yang merupakan pending matters pada KIB Jilid 1 yang kembali muncul pada forum National Summit adalah percepatan pembangunan infrastruktur, kebijakan energi, serta revitalisasi industri dan transportasi.

Selain isu permodalan dan isu struktural di bidang investasi, kita juga membutuhkan berbagai kebijakan ekonomi yang sifatnya jangka pendek dan langsung dapat dirasakan rakyat.

Penulis kira, salah satu faktor yang menyebabkan tidak efektifnya program stimulus fiskal kita dalam beberapa tahun terakhir ini, karena kita terlalu berharap pada transmisi ekonomi yang ada, yaitu melalui industri. Padahal, mereka sendiri kondisinya perlu pertolongan.

Pekerjaan besar setelah forum National Summit berakhir adalah bagaimana merealisasikan seluruh isu yang muncul. Dan tentunya, langkah-langkah dan target yang hendak dicapai harus terencana secara baik dan terukur. Serta tak kalah penting, pasca-National Summit perlu ada perubahan mendasar dalam kebijakan ekonomi.

(www.republika.co.id)