Kamis, 05 November 2009

Menghindari Rekayasa Keadilan

Rabu, 04 November 2009 pukul 14:28:00
Kembali ke Jalan Utama

Drama cicak-buaya-godzila belum berakhir. Pemutaran rekaman percakapan telepon antara Anggodo Widjojo dengan sejumlah pihak menjadi tontonan rakyat Indonesia. Inilah tontonan nasional paling menghebohkan dan paling kontroversial. Sedih, prihatin, dan makin menguatkan keyakinan bahwa salah satu faktor tersulit dalam pemberantasan korupsi adalah karena sapunya tak hanya kotor, tapi juga rusak serusak-rusaknya.

Pertama, kita menyaksikan bahwa memang benar dugaan kita selama ini. Penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) merupakan sesuatu yang bisa dibisniskan. Dari rekaman itu terlihat bahwa penyidik menyusun BAP dengan didikte dan dikerjakan bersama penjahat. Kedua, Jaksa Agung Muda menjadi 'konsultan' dari rencana jahat.

Ketiga, kita melihat bahwa dua institusi penegak hukum benar-benar rusak. Ini terlihat dari nama-nama yang terungkap maupun 'permainan' yang sedang mereka kerjakan. Hal itu juga terlihat dari pernyataan-pernyataan para petingginya sejak kasus ini pertama bergulir hingga hari ini: konsisten dan tak berubah. Pembentukan tim pencari fakta dan pemutaran rekaman belum mengubah konstelasi apa pun.

Rusak serusak-rusaknya. Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkannya. Mereka menyoal penyalahgunaan wewenang oleh Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Dan untuk membuktikan itu, mereka melakukannya dengan menyelewengkan amanah dan kewenangan yang ada.

Amanah sudah dilanggar karena bukannya memberantas koruptor mereka malah membela koruptor. Atas nama kuasa, mereka bisa seenaknya mengubah-ubah pasal tuduhan dan menahan orang hanya karena melakukan jumpa pers. Sudah rusak, diacak-acak pula. Kita harus mengakui bahwa institusi kepolisian dan kejaksaan telah rusak.

Namun, yang membuat kita prihatin kini mereka menyediakan diri untuk diacak-acak. Buron koruptor Anggoro Widjojo bisa mengaturnya dari Singapura. Saudaranya, Anggodo, bebas berkeliaran ke sana-kemari sebagai operatornya. Polri, Kejaksaan Agung, KPK, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diaduk-aduk. Semuanya adalah institusi penegak hukum.

Dua orang mereka bukan siapa-siapa bisa mengacak-acak empat institusi penting. Dan hingga kini, keduanya bebas berkeliaran. Belum ada perintah penangkapan. Padahal, kita sudah merasakan dampaknya: seluruh energi nasional tersedot. Mestinya kita fokus pada program 100 hari pemerintahan baru, kita justru bertengkar. Mestinya publik dan market menilai masa depan ekonomi, kini justru cemas terhadap rasa keadilan dan keamanan karena perilaku aparatnya. Kita menghadapi ketidakpercayaan yang luar biasa.

Karena itu, cukup sudah pelajaran di Mahkamah Konstitusi ini. Inilah pengadilan rakyat yang sangat bersejarah. Demokrasi yang telah maju bisa runtuh lagi karena penegakan hukum kita yang mampet, kotor, dan bau. Harus ada reformasi total di bidang penegakan hukum. Presiden, DPR, DPD, dan MPR harus melakukan langkah serius. Rakyat, yang kali ini menjadi kekuatan sipil yang luar biasa: melalui pers, LSM, facebook. Kita tahu DPR dan partai diam saja, pemerintah apalagi. Kini, saatnya kembali ke jalan utama. Jangan biarkan terus tersesat karena mabuk kuasa atau sakit hati dan dendam.

Untuk itu, pertama, bebaskan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto tanpa harus menunggu kerja tim pencari fakta. Semua sudah jelas dan gamblang. Kedua, ganti semua pejabat tinggi di kepolisian dan Kejaksaan Agung. Ketiga, kembalikan Chandra dan Bibit ke posisi semula di KPK. Keempat, lakukan reformasi menyeluruh di kepolisian dan kejaksaan. Kelima, jangan ganggu segala kewenangan yang dimiliki KPK. Keenam, tempatkan figur-figur bersih, berintegritas, dan bervisi untuk duduk di KPK, Polri, dan Kejaksaan. Mari kita selamatkan demokrasi untuk Indonesia yang maju, sejahtera, dan berkeadilan.

(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar