Rabu, 28 Oktober 2009

Pemuda Pelaku Sejarah

oleh : Mahiruddin Siregar

Bangsa, tanah air dan bahasa Indonesia sejatinya baru terbentuk sejak Soempah Pemoeda diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928.

Sebelumnya, bangsa ini masih merupakan beberapa bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara yang saat itu masih merupakan anak jajahan Negeri Belanda.

Tanah air ini merupakan tanah dan air Nusantara, yang juga dikuasai oleh penjajah Belanda.

Bahasa persatuan Indonesia masih merupakan bahasa Melayu yang kemudian disepakati menjadi bahasa persatuan untuk Indonesia, dan kalau mau jujur sesungguhnya itu jugalah bahasa yang dipakai oleh penjajah Belanda saat itu.

Jadi sebenarnya sejarah bangsa Indonesia baru tercipta setelah Soempah Pemoeda itu.

Sejarah sebelum itu adalah sejarah anak bangsa Nusantara yang merupakan cikal bakal adanya bangsa Indonesia.

Berikutnya pemuda selalu berperan besar dalam menyelesaikan kemelut bangsa seperti pada saat memperjuangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, menyelesaikan kemelut G 30 S PKI, 30 September 1965, dan terakhir menggerakkan reformasi pada Mei 1998.

Maka tidak salah kalau kita meletakkan pemuda sebagai pencipta dan pelaku sejarah Indonesia...........

Kita akan selalu mengharapkan peran pemuda untuk Menyelamatkan Bangsa Indonesia dari segala keterpurukan,dan kita yakin bahwa mereka pasti bisa.

Selasa, 27 Oktober 2009

Industri Manufaktur Tumbuh Lamban

27/10/2009 - 15:15

MS Hidayat Diterjang Deindustrialisasi
Ahluwalia


INILAH.COM, Jakarta - Kabinet baru, menteri perindustrian baru, namun soal industri tetap masalah lama yang memusingkan, yakni gejala deindustrialisasi. Bisakah MS Hidayat mengatasi soal ini?

Menteri Perindustrian MS Hidayat harus bekerja cerdas dan ekstra keras karena perekonomian Indonesia mengalami proses deindustrialisasi. Industri manufaktur menghadapi berbagai hambatan internal dan eksternal, sehingga tidak dapat tumbuh secara optimal. Kendala eksternal tak kalah banyaknya. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur, fisik dan nonfisik, kurang memadai.

Ekonom Faisal Basri mengingatkan bahwa pasokan energi (bahan bakar minyak, listrik, dan gas) dimonopoli badan usaha milik negara (BUMN) yang memiliki kebijakan tidak selalu sejalan dengan kebijakan energi nasional. Kebijakan ekspor energi kurang mempertimbangkan kebutuhan di dalam negeri. Contoh, gas diekspor, sementara kebutuhan bahan baku industri petrokimia, keramik, dan lain-lain belum terpenuhi.

Tak mengherankan setelah peran industri manufaktur dalam menciptakan nilai tambah mencapai puncaknya pada 2004 dengan kontribusi 28,1% pada PDB, kini cenderung merosot. Sejak 2004, perannya terus turun hingga tinggal 27,1% pada 2007 dan sedikit meningkat menjadi 27,9% pada 2008.

Penurunan peran akan terus berlanjut sejalan dengan pertumbuhan yang lebih rendah dari pertumbuhan PDB. Banyak pihak menuding perbankan nasional kurang 'bersahabat' dengan industri. Perbankan lebih senang menyalurkan kredit ke sektor nonindustri yang memiliki risiko investasi tinggi, dan masa pengembalian investasi lama, ketimbang sektor lain yang lebih 'instan' dan berisiko rendah. Perbankan lebih tertarik pada pembiayaan konsumsi dan pembangunan properti.

Penyaluran kredit perbankan ke sektor industri secara nominal memang tetap tumbuh, tetapi persentasenya makin rendah. Pada 1985, hampir 40% kredit perbankan disalurkan ke sektor industri pengolahan. Pada 2008, industri manufaktur hanya memperoleh 16% kredit perbankan.

"Perbankan nasional hanya memberikan 16% dari total kredit ke sektor manufaktur, dan lebih condong mengucurkan kredit ke sektor konsumsi dan properti berisiko rendah," kata ekonom A Tony Prasentiantono dari Universitas Gadjah Mada.

Akibatnya, pertumbuhan PDB negeri ini sekitar 60% didorong sektor konsumsi. Konsumsi mendorong impor yang menguras devisa. Total impor pangan mencapai Rp55 triliun/tahun, termasuk impor garam sekitar Rp900 miliar.

Data dari Visi 2030 dan Roadmap 2015 menyebutkan, sejak krisis ekonomi (2000-2009), industri manufaktur nonmigas rata-rata tumbuh 5,7%. Sedikit lebih tinggi dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang 5,2%. Pertumbuhan sektor manufaktur 2004-2008 hanya 5,6%.

Gejala deindustrialisasi ini juga terlihat dari konsumsi BBM industri yang terus turun sejak 2000, juga konsumsi listrik industri. Per 2008, peran industri manufaktur tinggal 27,9% dari PDB setelah sempat mendekati 35%.

Untuk mengejar pertumbuhan 7%, pemerintah tak bisa lain harus mengutamakan sektor riil, khususnya manufaktur, pertanian, dan UKM. Manufaktur tak bisa lain revitalisasi industri serta membangun infrastruktur yang kini sangat tidak memadai.

Sejak krisis ekonomi 1997-1998, industri manufaktur mengalami penurunan pertumbuhan sangat drastis. Pada 10 tahun menjelang krisis (1987-1996), industri manufaktur nonmigas tumbuh rata-rata 12%/tahun, lima poin lebih tinggi dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada waktu itu (6,9%). Setelah krisis (2000-2008), industri manufaktur nonmigas rata-rata tumbuh 5,7%/tahun, sedikit lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan PDB (5,2%).

Belakangan, pertumbuhan industri manufaktur cenderung turun, bahkan menjadi lebih rendah dari pertumbuhan PDB. Inilah tantangan bagi Menteri Perindustrian MS Hidayat dalam memetakan masalah dan memecahkan problemnya.

Dalam periode 20 tahun ke depan, menurut Kadin, Indonesia dapat diciptakan sebagai negara industri maju dan bangsa niaga tangguh yang makmur dalam keadilan dan kemakmuran melalui kebangkitan kekuatan rekayasa, rancang bangun, manufaktur, dan jaringan penjualan produk industri nasional. Ini terutama dengan cara menghasilkan barang dan jasa berkualitas unggul yang menang bersaing dengan produk negara-negara di kawasan Asia, seperti Vietnam, Malaysia, dan Cina, baik di pasar domestik maupun regional.

Kebangkitan kekuatan industri nasional pengolah hasil sumber daya alam dengan produk olahan bermutu terjamin sehingga dapat tercapai swasembada pangan secara lestari dan berkemampuan ekspor.

Menteri Perindustrian MS Hidayat harus bergerak ke arah sana. [mor]

Kebijakan Impor Yang Mematikan

Selasa, 27 Oktober 2009 pukul 01:48:00
Hidup atau Mati

Muslimin Nasution
(Ketua Presidium ICMI)

''Apa yang hendak saya katakan ini adalah amat penting,'' ujar presiden Soekarno dalam pidato peletakan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian UI yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor. ''Oleh karena soal yang hendak saya bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan rakyat, camkan. Sekali lagi, camkan. Kalau kita tidak aanpakken soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal, dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka.'' Sesuai dengan pesannya, pidato ini sendiri diberi judul 'Soal Hidup atau Mati'.

Kekhawatiran presiden Soekarno didasari terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan kebutuhan pangan beras Indonesia saat itu. Presiden Soekarno kemudian menyampaikan gagasan, detail, dan lengkap dengan angka-angka, bagaimana cara menambah persediaan makanan rakyat dengan meningkatkan produksi dalam negeri. Presiden Soekarno sedikit pun tidak menawarkan opsi impor. Logikanya, bagaimana mungkin kita akan menyerahkan hidup mati kita kepada bangsa lain?

Saat ini, RI telah masuk jebakan impor pangan. Setiap tahun, lebih dari 5 miliar dolar AS atau setara Rp 50 triliun lebih devisa habis untuk mengimpor pangan, mulai dari gandum, kedelai, jagung, daging, telur, susu, sayuran, dan buah-buahan, bahkan garam yang kebutuhannya masih dapat dipenuhi oleh produsen garam lokal juga dimpor dengan nilai Rp 900 miliar. Begitu dahsyatnya ketergantungan kita kepada pangan impor, sampai-sampai pada tahun ini pernah ada rencana untuk melakukan impor daging dari Brasil dan India, dua negara yang jelas-jelas tidak bebas dari penyakit mulut dan kuku.

Tulisan ini sengaja mengambil judul dari judul pidato presiden Soekarno. Mudah-mudahan bisa mengingatkan kita semua bahwa sungguh memprihatinkan, ternyata kita tenggelam dalam masalah yang telah diingatkan sejak puluhan tahun lalu.

Dilihat dari sisi agroekologis, nyaris semua komoditas yang diimpor itu sesungguhnya dapat diproduksi di dalam negeri. Hanya gandum yang tidak bisa dibudidayakan secara meluas di sini, dengan catatan, gandum pun terbukti dapat disubstitusi sebagian atau seluruhnya dengan tepung lokal. Lahan, teknologi, modal, dan tenaga kerja untuk memproduksi pangan itu juga semuanya kita miliki. Lalu, mengapa masih mengimpor? Jawabnya, karena kita belum mempunyai kebijakan yang berpihak kepada penggunaan pangan lokal.

Dalam masalah keberpihakan ini, kita kalah dengan negara lain. Dibandingkan Nigeria, misalnya. Sewaktu terjadi lonjakan harga gandum dunia beberapa tahun lalu, presiden Nigeria mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan industri produsen terigu lokal mencampur 10 persen terigu dengan tepung ubi kayu. Nigeria adalah salah satu negara produsen utama ubi kayu di Afrika. Adanya kebijakan ini otomatis menciptakan captive market sebesar 200 ribu ton tepung ubi kayu lokal setiap tahunnya.

Di India, tak ada setetes susu impor pun yang boleh masuk ke negara itu tanpa seizin koperasi produsen susu di sana. Dengan kata lain, tanpa persetujuan para peternak lokal, tidak ada susu luar yang bisa dijual di India. Di Thailand, tidak ada produk pangan impor yang bisa masuk jika produk itu bisa diproduksi secara lokal. Raja Bhumibol sendiri yang akan turun tangan untuk membela produk negerinya ketika ada ancaman.

Jadi, solusinya cukup sederhana. Buatlah kebijakan yang mewajibkan penggunaan produk pangan dalam negeri untuk produk yang memang bisa dihasilkan di dalam negeri. Kemudian, diikuti dengan berbagai kebijakan pendukungnya, seperti kebijakan kredit yang disesuaikan dengan kondisi usaha pertanian, kebijakan jaminan pasar dan jaminan harga, kebijakan bantuan teknologi, dan kebijakan prorakyat sejenis.

Persoalannya, ketika kebijakan untuk mewajibkan penggunaan pangan lokal ini muncul, kebijakan ini akan dianggap bertentangan dengan konsep pasar bebas yang diusung kaum ekonom neoliberal. Padahal, kaum ekonom neoliberal sangat kuat pengaruhnya di pemerintahan. Ketika terjadi krisis beras tahun 2007 lalu, penulis pernah menawarkan program diversivikasi pangan untuk menggantikan impor kepada seorang tokoh kunci pengambil kebijakan ekonomi di pemerintahan. Tanggapan tokoh itu, selagi kita punya uang, mengapa kita tidak membelinya dari luar? Jika membeli dari luar lebih murah, mengapa harus susah-susah memproduksinya di dalam negeri yang jelas-jelas jika ini dilakukan merupakan tindakan yang tidak efisien?

Di sisi lain, kebijakan ini juga akan merugikan pihak-pihak tertentu. Pertama, negara eksportir pangan. Misalnya, jika kita menghentikan impor kedelai dan menggantinya dengan kedelai lokal, kita akan berhadapan dengan aksi negara-negara besar semacam AS. Beranikah pemerintah menghadapi respons balik dari mereka?

Kedua, importir lokal yang akan kehilangan sumber bisnisnya. Importir lokal ini adalah kelompok 'kuat' karena menguasai akses teknologi, permodalan, jaringan pasar, dan pembuat kebijakan sehingga oleh Amy Chua, pengarang buku terkenal World on Fire, disebut market dominant.

Di Indonesia, bisnis impor pangan dikuasai oleh market dominant itu. Sebagai gambaran, bisnis impor kedelai dikuasai hanya oleh lima perusahaan. Impor terigu dan jaringan pemasarannya dikuasai sebuah perusahaan. Demikian pula impor ubi kayu dan tapioka, penguasanya adalah sebuah perusahaan saja. Bisnis impor pangan lain, seperti jagung, gula, hingga garam, yang bermain juga hanya segelintir perusahaan.

Tentu saja, kebijakan impor pangan akan memperlemah kemampuan produksi pangan lokal. Produk-produk pangan dalam negeri yang dihasilkan oleh para petani harus bertarung sendirian dengan produk pangan impor yang bersubsidi besar. Siapakah yang akan menjadi pemenang dalam persaingan ini? Apakah para petani Indonesia yang saat ini hampir kehilangan segala bentuk subsidi dan insentif atau para petani dari negara-negara pengekspor pangan atau petani di negara industri yang didukung dengan subsidi berjumlah 300 miliar dolar AS?

Jawabannya sungguh jelas. Kalau diteruskan, kita tinggal menunggu malapetaka datang. Mudah-mudahan, kita tersadar dan segera kembali ke jalan yang benar.

Tantangan-tantangan yang akan dihadapi ketika kita memutuskan bebas dari ketergantungan impor pangan memang sungguh berat. Namun, itu bisa diatasi jika pemerintah bersedia dan berani memutus ketergantungan itu. Kebijakan pemerintah-lah yang menyebabkan terigu mampu menjadi komoditas pangan utama di negeri kita. Kebijakan pemerintah pula yang menyebabkan beras dapat menggantikan jagung, sagu, dan ubi kayu sebagai satu-satunya sumber karbohidrat rakyat. Jadi, kebijakan pemerintah bisa mengubah keadaan, bahkan mengubahnya secara drastis. Belum terlambat jika pemerintah mau mengeluarkan kebijakan yang bermanfaat, yang menyelamatkan kelangsungan hidup rakyatnya sendiri. Semoga presiden dan kabinet yang baru dapat memimpin rakyat melepaskan diri dari ketergantungan pangan untuk kemudian hidup sentosa dalam kemerdekaan pangan yang abadi.

(www.republika.co.id)

Infrastruktur dan Sektor Riil (II)

Percepatan Infrastruktur
Senin, 26 Oktober 2009 00:00 WIB


ADA tanda-tanda Tim Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu jilid II melangkah lebih cepat dan lebih fokus. Lebih cepat, hanya dua hari setelah dilantik, Menteri Koodinator Perekonomian Hatta Rajasa telah memimpin rapat koordinasi pertama jajaran menteri perkonomian dengan kalangan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia.

Lebih fokus, karena Tim Ekonomi benar-benar ingin ada percepatan infrastruktur sebagai prioritas. Untuk itu, pemerintah tengah meretas jalan mencari alternatif pendanaan melalui kebijakan pembiayaan bersama antara pemerintah dan swasta.

Mempercepat pembangunan infrastruktur jelas amat penting bagi negeri ini. Sebab, kondisinya amat memprihatinkan. Di dalam negeri, ia menghambat arus barang antardaerah. Di mata dunia, ia menurunkan daya saing kita. Hasil survei terbaru World Economic Forum yang berjudul Global Competitiveness Report 2008-2009 menunjukkan Indonesia menempati peringkat ke-86 dari 143 negara dalam hal infrastruktur.

Fakta di lapangan meneguhkan temuan tersebut. Dari sekitar 35 ribu kilometer jalan nasional, hanya sekitar 50% yang benar-benar dalam kondisi mantap. Sisanya, rusak ringan hingga parah.

Listrik pun tak kalah menyedihkan. Jangankan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, untuk menerangi rumah tangga saja tidak cukup. Di pelbagai ibu kota provinsi, listrik bergiliran hidup dan mati.

Semua itu nyata di hadapan kita. Akan tetapi, dari segi anggaran, kita seperti tak berdaya untuk mengatasinya. Alokasi anggaran infrastruktur kita baru sekitar 4% dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, idealnya 6% dari PDB.

Gambaran lain, di negara maju, hanya untuk biaya pemeliharaan infrastruktur disediakan sekitar 10%-17% dari PDB. Sedangkan di Indonesia, biaya pemeliharaannya kurang dari 1%. Padahal, rendahnya biaya pemeliharaan infrastruktur akan berpengaruh pada produktivitas belanja modal.

Karena itu, menjadikan percepatan infrastruktur sebagai prioritas merupakan langkah yang amat tepat. Dengan infrastruktur yang memadai, denyut nadi perekonomian masyarakat akan kian cepat bergerak.

Pembangunan dan perbaikan infrastruktur jalan, misalnya, akan mempercepat mobilitas sebagian besar transaksi bisnis masyarakat. Hal itu karena transportasi jalan melayani sekitar 92% angkutan penumpang dan 90% angkutan barang.

Percepatan infrastruktur juga memengaruhi gairah investasi di negeri ini, sekaligus meningkatkan iklim kemudahan berusaha. International Finance Corporation memang menaikkan 7 peringkat kemudahan berusaha di Indonesia pada 2009, dari peringkat 129 menjadi peringkat 122. Namun, kita masih kalah jika dibandingkan dengan Singapura yang berada di urutan pertama, Thailand yang mencapai peringkat 12, Malaysia ke-23, Vietnam ke-93, dan Brunei Darussalam ke-96.

Rakyat negeri ini sudah teramat lama menanti perubahan nasib mereka, dari miskin menuju makmur sejahtera. Karena itu, percepatan infrastruktur yang merupakan jembatan menuju kesejahteraan tepatlah menjadi prioritas serta haruslah diawasi dan dipastikan realisasinya.

(www.mediaindonesia.com)

Infrastruktur dan Sektor Riil (I)

Senin, 26 Oktober 2009

Menggerakkan Sektor Riil
Iman Sugema(InterCAFE IPB)

Kabinet baru telah terbentuk, dan mayoritas di tim ekonomi adalah muka baru serta politisi. Mereka punya 100 hari untuk segera membuktikan bisa berbuat lebih baik dibanding tim sebelumnya. Persepsi pelaku pasar keuangan dan sejumlah komponen masyarakat yang sedikit meragukan kemampuan mereka, harus segera dijawab dengan kerja nyata. Pencitraan memang bisa sedikit menolong, tetapi rakyat lebih membutuhkan karya nyata.

Adalah penting bagi tim yang baru untuk mengambil arah kebijakan yang relatif berbeda dengan tim yang lama, agar bisa mengatasi berbagai persoalan secara lebih kreatif dan cepat. Ada beberapa kebijakan dasar yang memerlukan perubahan, yakni sebagai berikut.

Pertama, terlalu banyak kebijakan yang bersifat antidomestik. Dikatakan demikian, karena sejumlah kebijakan bersifat merugikan pelaku domestik, menguntungkan pihak asing, bahkan mematikan para pengusaha kecil. Mungkin hanya di Indonesia saja yang memiliki kebijakan yang secara sistematis pelaku domestik terkerdilkan, sementara pihak asing banyak diberi kemudahan. Ke depan, kita lebih menginginkan perlakuan yang lebih adil dan lebih berpihak pada pengusaha domestik. Contoh yang paling nyata adalah di sektor energi dan perdagangan.

Pabrik pupuk seringkali kesulitan mendapatkan gas alam dan terpaksa beberapa pabrik harus ditutup. PLN beberapa kali mengalami kesulitan mendapatkan gas dan batu bara. Di lain pihak, kita jor-joran melakukan ekspor gas dan batu bara. Bahkan, lapangan minyak blok Cepu yang tadinya 100 persen merupakan milik Pertamina, kini diserahkan pengelolanya kepada asing. Lebih parah lagi, eksploitasi blok tersebut sangat lamban dan sebagai akibatnya menjadi sulit bagi kita untuk meningkatkan produksi minyak. Alhasil, impor minyak terus membengkak dan setiap ada kenaikan harga minyak dunia, kita menjadi sangat repot dalam menyesuaikan APBN karena pembengkakan anggaran subsidi. Kita dibikin repot oleh kebijakan kita sendiri.

Liberalisasi perdagangan juga seringkali tidak memikirkan dampaknya bagi pengusaha sektor riil. Contohnya, liberalisasi ekspor rotan mentah yang mengakibatkan para pengrajin rotan di Cirebon gulung tikar karena kesulitan bahan baku. Pengrajin kuningan juga kesulitan bahan baku karena kuningan bekas diperbolehkan untuk diekspor. Padahal, pasokan logam kuningan sangat terbatas.

Celakanya, kebijakan-kebijakan tersebut lebih menguntungkan pengrajin di luar negeri dan pedagang serta eksportir. Pedagang dan eksportir notabene kebanyakan adalah saudara kita yang berketurunan Tionghoa. Susahnya lagi menterinya adalah keturunan Tionghoa. Pejabat daerah dan di Departemen Perdagangan menjadi kurang berani untuk memprotes kebijakan seperti ini, karena takut dituduh menjegal kebijakan dengan isu rasial. Kita memang tidak boleh mencampuradukkan isu rasial dengan kebijakan ekonomi yang sehat. Kita harus melihatnya secara objektif, apakah kebijakan liberalisasi menguntungkan rakyat atau tidak, dan menggerakkan sektor riil atau tidak.

Kedua, berbagai kebijakan di sektor finansial telah sampai pada tahap di mana sektor finansial justru menjadi penghambat sektor riil. Uang menjadi semakin menumpuk tanpa bisa dimanfaatkan oleh sektor riil karena hanya berputar-putar di sektor finansial. Teorinya, sektor finansial menambah kemampuan sektor riil untuk berkembang. Teori ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.

Karena Menteri Keuangan menerbitkan surat utang dengan tingkat imbal hasil atau sampai 13 persen, suku bunga kredit sulit sekali turun. Walaupun Bank Indonesia telah berkali-kali menurunkan BI rate, pengucuran kredit perbankan masih juga lambat. Kebijakan suku bunga rendah yang diupayakan BI menjadi mandul karena bertubrukan dengan kebijakan Menteri Keuangan.

Derasnya aliran dana asing telah mendongkrak harga saham dan akumulasi SBI yang dikuasai asing. Tumpukan SBI mencerminkan besarnya dana nganggur yang tidak bisa dimanfaatkan secara produktif. Peningkatan harga saham yang terlalu fantastik, dapat menarik dana-dana dari pelaku usaha sehingga investasi di sektor riil justru ditinggalkan. Uang hanya berputar dari satu instrumen finansial ke instrumen lainnya tanpa pernah bersinggungan dengan aktivitas produktif.

Ketiga, keterlambatan dalam penyediaan infrastruktur dapat mengakibatkan lemahnya daya saing. Lambannya pembangunan pembangkit dan jaringan listrik tidak hanya telah menghambat investasi swasta, tetapi juga telah merugikan masyarakat dan pengusaha. Listrik yang byar-pet menyebabkan aktivitas usaha di sejumlah daerah menjadi terhambat. Bahkan, daerah yang menjadi lumbung energi, seperti Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, dan Riau masih belum menikmati kecukupan energi listrik. Kita tidak pernah melihat Singapura, Korea, dan Jepang yang gelap gulita karena pasokan energinya selalu kita cukupi. Ironis bukan?

Pembangunan dan perbaikan jaringan transportasi juga terkesan sangat lamban sehingga tidak mampu mengimbangi perkembangan aktivitas masyarakat. Jalan lintas di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi masih kurang memadai untuk memungkinkan pergerakan barang secara cepat dan murah. Pembangunan jalan tol dan kereta api di Jawa dan Sumatra tak kunjung terselesaikan. Perdagangan antarpulau juga menjadi mahal karena infrastruktur transportasi laut kurang berkembang. Lebih murah mengimpor jagung dari Amerika ketimbang mendatangkannya dari Gorontalo ke Surabaya.

Kalau seandainya tiga masalah tersebut bisa diselesaikan dalam satu tahun pertama, pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen di tahun-tahun berikutnya menjadi lebih mudah untuk dicapai. Tapi, itu hanya bisa terjadi kalau para menteri di tim ekonomi mampu mengubah haluan kebijakannya. Selamat mencoba.

(www.republika.co.id)

Selasa, 20 Oktober 2009

Nusantara Lebih Cocok ?

Pergaulan Kepulauan

Sesungguhnya demikian banyak fakta sejarah yang masih tersembunyi di balik waktu dan ketidaktahuan kita tentang peradaban yang pernah dan masih dikembangkan oleh masyarakat kepulauan Indonesia ini. Fakta-fakta dari banyak sekali momen historis yang monumental dari riwayat hidup kita yang obskur, dibalut mistik, berpengertian eklektik, atau gelap sama sekali. Bahkan, misalnya, sejarah yang belum jauh, katakanlah tentang Wali Songo, masih banyak dirundung keremangan. Begitu pun soal masuknya Islam, Gajah Mada, Sriwijaya, Ajisaka, kultur dan kerajaan Jawa purba, asal muasal Betawi, hingga siapa sebenarnya Imam Bonjol dan Kaum Padri, dan seterusnya.

Atau katakanlah seorang geograf Yunani asal Mesir yang hidup sekitar 1,5 milenium lalu, mencatat adanya ekspedisi dari Jawa membawa hasil-hasil bumi terbaiknya ke Afrika untuk ditukarkan dengan budak, pada 100 M. Menggambarkan di masa itu sesungguhnya telah berkembang sebuah peradaban yang cukup advanced dengan tingkat ekonomi (perdagangan) yang tinggi.

Atau sebagaimana para ahli membuktikan, kecakapan bahari masyarakat kepulauan ini memilki tradisi bahkan teknologi yang sangat tinggi, sejak masa purba. Sehingga perahu jung bukannya dipelajari dari Cina, tapi justru sebaliknya. Begitu pun teknologi pelayaran dan armada besar Cina, macam ekspedisi Ceng Ho, sesungguhnya belajar dari tradisi kelautan negeri ini. Tak mengherankan, karena tiga peradaban besar yang sangat mempengaruhi bangsa ini --Cina, India, dan Arab-- sesungguhnya adalah peradaban kontinental, bukan maritim.

Tak mengherankan, bila kata ''bahari'' dalam kosakata Melayu, bermakna dasar ''dahulu kala''. Sebuah penandaan tegas tentang kelautan sebagai identitas asli kita. Sehingga bisa jadi benar pendapat beberapa pengamat: kata Indonesia --yang berakar dari kata ''Indos'' (Indus/India) dan ''nesos'' (nusa/pulau)-- sangatlah berorientasi daratan. Kata ''nusantara'', ''tanah air'', atau ''dipantara'' dirasa jauh lebih cocok menggambarkan realitas historis dan geografis bangsa ini.

Dari paparan itu kita mendapatkan bukti bahwa di kepulauan ini, sejak ribuan tahun lalu, sudah berkembang satu bentuk pergaulan kebudayaan yang sangat terbuka dan kosmopolit, yang ditandai oleh berlangsungnya proses akulturasi yang penuh respek terhadap kultur asing. Negeri-negeri seputar kepulauan ini, seperti Formosa, Filipina, Singapura, Malaysia --dan sesungguhnya hingga Madagaskar dan Hawaii, menurut teori persebaran bahasa-- adalah bagian dari tradisi pergaulan kepulauan di atas.

Datangnya kultur kontinental yang datang dari Utara dan terutama Barat --hingga Eropa-- sejak masa sejarah, sesungguhnya cukup bertentangan dengan tradisi itu. Penetrasi kultur kontinental yang sangat kuat, melalui agama hingga kolonialisasi, dari materialiasi sampai kapitalisasi di 200 tahun belakangan, cukup mengguncang tradisi tersebut. Bahkan di banyak bagian sukses mengubah orientasi, pola berpikir, atau sikap mental kita. Kultur daratan, dengan bentuk kerajaan konsentris dan ketentaraan, misalnya, begitu dominan saat ini.

Menariknya, kultur adoptif itu kini merenggut habis kepercayaan diri negara tetangga, Malaysia. Sukses ekonomi mereka yang sangat ''Barat'' membuat negara itu memiliki cara berpikir ganjil: melihat identitas diri atau kebudayaannya subordinatif di hadapan ''kakak'' di sebelah rumahnya. Lalu dengan perasaan cemburu ia mengganggu sang ''kakak'', untuk meruntuhkan otoritas politik dan kulturalnya, untuk mendapatkan kekuatan politik/kulturalnya, di sisi kekuatan ekonomis yang dimilikinya.

Sebenarnya lumrah saja jika tari pendet, reog, wayang kulit, rasa sayange, dan sebagainya mereka tampilkan. Karena dalam pergaulan kepulauan, hal itu lumrah. Bangsa Melayu --sebagaimana Bangsa Batak, Jawa, Bugis, Bali, dan lainnya-- terbentuk dan dibentuk juga oleh anasir kultural di luarnya. Tak ada persoalan hak cipta, apalagi paten. Yang ada adalah masalah etika, ketika pergaulan kebudayaan kepulauan ini dicederai oleh cultural attitude salah satu anggotanya yang tidak sopan dan tak punya rasa hormat, bahkan pada tradisi yang telah menciptakan diri mereka sendiri.

Apalagi ketika penggunaan anasir kultural itu dilatari oleh kepentingan sempit politis, ideologis, atau industrialis, lewat pendekatan kontinental --yang memiliki sejarah perampokan budaya luar biasa-- pada sesama anggota peradaban kepulauan ini. Sebuah tepukan untuk memberi teguran dan ingatan pantas dilakukan. Teguran kebudayaan untuk kembali menghormati identitas awal kita bersama. Teguran yang sebenarnya juga mesti diberikan pada penguasa kita sendiri yang juga sudah ''lupa lautan'', atau mengingkari ''ketanahairannya'' sendiri.

Radhar Panca Dahana
Pekerja seni dan pemerhati budaya
[Perspektif, Gatra Nomor 47 Beredar Kamis, 1 Oktober 2009]

Redupnya Kearifan Lokal

Oleh : Mahiruddin Siregar

Kearifan lokal didesa-desa pelosok tanah air telah lama merupakan kebanggaan para putra daerah terhadap tanah kelahirannya.

Kearifan itu adalah pusaka yang sangat berharga yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur warga desa.

Kearifan itu adalah segala adat istiadat yang dilestarikan sejak dahulu, adat istiadat itu berupa aturan tidak tertulis, tetapi tetap dipatuhi. Pelanggaran adat berarti pengucilan diri sendiri. Karena hukuman yang diberikan oleh adat adalah mengucilkan pelaku pelanggar adat dari kehidupan bersama masyarakat desa.

Adat istiadat pada umumnya adalah tatanan hidup bersama yang nilainya sangat mulia dan luhur. Tatanan hidup itu diselenggarakan dengan hubungan kekeluargaan yang harmonis saling menghargai, saling membantu dan gotong royong serta dilakukan dengan tatacara yang sopan dan santun.

Puncak acara adat biasanya terlihat nampak jelas pada saat acara pesta, selamatan ataupun pada acara ritual duka cita, dll. Para tetua dan pemangku adat akan melaksanakan tata cara adat sesuai dengan keadaan dan kondisi yang terjadi apakah itu merupakan pesta suka ria, atau acara berduka cita, semuanya telah ada aturan adatnya masing-masing.

Setiap warga yang melaksanakan pesta atau yang ditimpa kemalangan sangat mengharapkan bantuan warga terutama para tetua dan pemangku adat agar acara yang dilaksanakan terselenggara dengan sempurna sesuai dengan adat yang berlaku. Sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri kalau acara dimaksud berjalan dengan sempurna seperti yang diharapkan.

Apa yang terjadi kini ? Masihkah ada kearifan lokal itu ?

Soal pesta adat masih tetap diadakan, malah semakin meriah mengikuti kemajuan ekonomi warga.

Tetapi yang dikejar bukan lagi kearifan lokal seperti diuraikan diatas, tetapi hanya sekedar mengejar kebanggaan. Pesta sekarang cenderung pesta pora belaka, tanpa nilai luhur kebersamaan dan gotong royong. Pelaksana pesta hanya ingin menunjukkan kemampuan ekonominya kepada para tetangganya.

Para pemangku adat pun sibuk mengalunkan pujian-pujian kepada pelaksana pesta. Untaian pepatah, pantun dan kata-kata bijak yang selama ini dialunkan dengan bahasa yang halus dan sopan, sekarang sudah jarang terdengar, yang ada adalah bahasa sanjungan secara pulgar dan miskin seni sastera atau bahasa sindiran kepada pihak yang tidak disukai secara keras dan kasar.

Dalam kehidupan sehari-hari juga, masyarakat desa yang dulu kita banggakan dan rindukan, sekarang sudah berubah total. Keramahan berkurang, hidup gotong royong sudah tidak ada, hidup individualis sudah makin ketara dan tegur sapa antar sesama sudah mulai berkurang.

Itulah gambaran desa-desa kita kini.

Dapatkah kita menghidupkan kembali kearifan lokal yang sudah mulai redup itu ? Sehingga kita kembali punya kerinduan untuk pulang kampung atau mudik ?

Saya rasa bisa, kalau kita para perantau ini, mau juga kembali kepada kehidupan yang penuh dengan kearifan lokal, karena diakui atau tidak redupnya kearifan itu akibat tingkah laku para perantau juga yang jauh dari kearifan itu.

Dan warga desa adalah para peniru dan pencontoh yang baik.

Senin, 19 Oktober 2009

Memantapkan Ketahanan Pangan

Republika.co.id, Sabtu, 17 Oktober 2009 pukul 01:28:00

Memantapkan Ketahanan Pangan


Khudori
(penulis buku)

Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2009 diperingati dengan tema Achieving Food Security in Times of Crisis. Di tingkat nasional, Indonesia memilih tema Memantapkan Ketahanan Pangan Nasional Mengantisipasi Krisis Global. Tema ini dipilih karena krisis kembar, krisis keuangan dan krisis pangan, belum berakhir. Bagi Indonesia, dengan jumlah warga miskin 32,5 juta jiwa dan pengangguran bejibun, kasus kelaparan, busung lapar, dan gizi buruk akan selalu mengintai. Keadaan bisa saja terlihat normal, namun pelbagai manifestasi kelaparan itu terus berlangsung karena tidak semuanya kasat mata.

Politik pangan pemerintah tertuang dalam UU No 7/1996 tentang Pangan. Dalam UU itu, pembangunan pangan diletakkan dalam konsep ketahanan pangan (food security). Istilah itu menunjuk pada kondisi terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutunya aman, merata dan terjangkau. Dalam konsep itu, ada empat pilar: aspek ketersediaan (food availibility), aspek stabilitas ketersediaan atau pasokan (stability of supplies), aspek keterjangkauan (access to supplies), dan aspek konsumsi pangan (food utilization).

Ketersediaan pangan (hewani dan nabati) secara agregat jauh dari cukup, bahkan melimpah. Hal ini bisa dilihat dari ketersediaan energi 3.035 kkal/kapita/hari dan protein 80,33 gram/kapita/hari. Asupan ini cukup membuat setiap orang mengalami obesitas, bahkan perut bergelambir-gelambir. Masalahnya, karena tidak semua daerah merupakan lumbung pangan, keandalan distribusi menjadi ujung tombak. Topografi yang beragam dan infrastruktur yang tidak merata, membuat distribusi pangan selalu dihadapkan dengan kelangkaan (shortage). Bagi warga miskin, selain tidak mampu mengakses pangan, aneka kondisi di atas membuat konsumsi pangan menjadi pertanyaan besar: bisakah ia makan?

Ini hanya salah satu aspek yang membuat ketahanan pangan Indonesia tidak kokoh. Aspek lainnya terkait masih tingginya tingkat konsumsi beras dan ketergantungan hampir semua perut penduduk negeri ini pada beras.

Tidak semua daerah menghasilkan beras. Surplus beras hanya terjadi di Jawa dan Sulawesi Selatan. Produksi beras juga tidak merata sepanjang tahun. Tanpa dukungan kelembagaan distribusi yang andal, insiden gizi buruk, busung lapar, dan pelbagai manifestasi kelaparan akan selalu merebak.

Ketika aspek distribusi dan keterjangkauan masih menjadi persoalan, diversifikasi pangan menjadi keniscayaan untuk membangun ketahanan pangan yang andal. Usaha ini sudah dirintis sejak 1960-an. Namun, sampai sekarang, diversifikasi pangan jauh dari berhasil.

Sejak 2007, tingkat konsumsi energi dan protein sudah melampaui rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi: konsumsi energi 2.000 kkal/kapita/hari dan protein 52 gram/kapita/hari. Masalahnya, konsumsi energi masih bertumpu pada pangan sumber karbohidrat, terutama padi-padian dengan pangan lebih 60 persen (angka ideal 50 persen).

Hal serupa terjadi pada konsumsi protein: pangsa protein dari pangan hewani rata-rata hanya 25 persen. Untuk mencapai kualitas sumber daya manusia yang baik dan bisa bersaing di era penuh kompetisi, idealnya pangsa protein hewani minimal 50 persen dari total konsumsi protein. Inilah yang membuat skor Pola Pangan Harapan (PPH) tidak beranjak jauh dari angka 80, jauh dari angka ideal (100). 'Prestasi' ini berlangsung sejak 1980-an.

Ironisnya, perubahan pangan justru mengarah ke pola yang tidak dikehendaki: pangan berbasis tepung terigu dan produk olahan impor. Ini tak hanya terjadi pada warga berpenghasilan tinggi di perkotaan, tapi juga warga berpendapatan rendah di perdesaan. Dari waktu ke waktu, konsumsi terigu terus naik. Diperkirakan, saat ini 17 kg/kapita/tahun. Terigu sepenuhnya kita impor. Hanya dalam 30 tahun, tingkat konsumsi terigu meningkat sekitar 500 persen. Impor gandum menguras devisa 2,371 miliar dolar AS (Rp 23,7 triliun). Ini bukan jumlah yang kecil. Anggaran Departemen Pertanian tahun ini hanya Rp 8,7 triliun.

Setidaknya, ada lima sebab diversifikasi pangan gagal. Pertama, beleid pangan bisa beras, seperti kedelai, jagung, ketela pohon, ubi jalar, sagu, sorgum, dan lainnya yang bersifatnya sekunder.

Tak banyak kebijakan spesifik untuk mengembangkan pangan nonberas, baik dari sisi riset, pengembangan aneka inovasi di on-farm, maupun off-farm, termasuk melindungi petani dari gempuran pasar global. Kedua, kebijakan diversifikasi pangan tidak konsisten, bahkan kontradiktif.

Aneka kampanye diversifikasi pangan elite atau pejabat tak menyentuh warga luas. Upaya penganekaragaman yang dilakukan pemerintah pun tampak paradoks, seperti terjadi pada program raskin, jatah beras PNS/TNI. Beleid paradoksal ini mempercepat pergeseran pola pangan beragam dan lokal ke pangan beras.

Ketiga, pola konsumsi dan penyediaan produksi/ketersediaan pangan warga tak seimbang. Produksi berbagai jenis pangan tidak dapat dihasilkan di semua wilayah dan tidak dapat dihasilkan tiap saat. Di sisi lain, konsumsi pangan dilakukan semua warga dan dibutuhkan tiap saat. Dari sisi konsumen, faktor produksi pangan lokal dan pendapatan masyarakat berperan amat penting dalam memengaruhi tingkat keragaman konsumsi pangan rumah tangga. Di sinilah pentingnya memprioritaskan produksi pangan lokal.

Keempat, sistem distribusi pangan tidak efisien. Ini bisa dilihat dari price margin: perbedaaan harga riil di tingkat produsen dan konsumen.

Sejumlah komoditas nilai price margin sudah cukup rendah. Namun, untuk komoditas pisang, beras, dan jagung, nilai price margin lebih 40 persen. Ini menandakan bahwa ketiga komoditas itu masih dibelit ongkos transaksi tinggi (Sawit, 2008), baik karena buruknya infrastruktur usai panen, pasar distortif, atau pungli.

Price margin yang tinggi membuat insentif berproduksi produsen rendah. Bagi konsumen, itu membuat harga mahal dan tidak mendorong diversifikasi pangan.

Kelima, liberalisasi sektor pangan kebablasan. Sekitar 83 persen jenis produk yang masuk ke Indonesia hanya dikenai applied tariff 0-10 persen, 15 persen produk jatuh pada applied tariff 15-20 persen, dan hanya satu persen produk menerapkan applied tariff di atas 30 persen (Sawit, 2007). Liberalisasi membuat pasar domestik langsung terintegrasi dengan pasar dunia. Padahal, harga pangan di pasar dunia bersifat distortif karena subsidi yang mahabesar. Sampai saat ini, Amerika menyubsidi pertanian 48,4 miliar dolar AS per tahun dan Uni Eropa 110,3 miliar euro per tahun. Untuk pendapatan petani beras di AS, 48 persen dari subsidi.

Untuk memantapkan ketahanan pangan, pemerintah bisa fokus membenahi lima hal: menghentikan kebijakan beras minded, mengembangkan (kembali) aneka pangan lokal, mengubah kebijakan diversifikasi pangan yang paradoksal (misalnya, raskin tidak diberikan dalam bentuk beras, tapi pangan lokal), membenahi sistem distribusi pangan, dan merancang ulang liberalisasi pangan. Sejumlah poin di atas tak mungkin dituntaskan hanya dalam lima tahun usia pemerintahan. Presiden SBY yang (kembali) diberi amanah memimpin negeri ini pada lima tahun mendatang bisa fokus membangun fondasi ketahanan pangan yang kokoh dengan mengerjakan hal-hal yang hasilnya tidak bisa langsung dituai di era pemerintahannya. Jika itu dilakukan, jasa SBY akan selalu (layak) dikenang.


Minggu, 11 Oktober 2009

Akibat Kelangkaan Wirausahawan

Sarjana Kok Menganggur!

Para Sarjana yang Baru Selesai Diwisuda pada Salah Satu Perguruan Tinggi (Antara/Andika Betha)Kebahagiaan Budi Susila hanya seumur jagung. Setengah tahun lalu, pemuda asal Klaten, Jawa Tengah, itu diwisuda menjadi sarjana ekonomi di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Namun kebahagiaan meluap-luap ketika meraih gelar ekademik itu sedikit demi sedikit pudar ditelan waktu. Pasalnya, Budi sudah bosan keluar-masuk perusahaan untuk berburu pekerjaan. Segala daya upaya sudah dikerahkan Budi, termasuk lewat relasi kekerabatan. Namun hasilnya nihil. "Percuma saya belajar sampai sarjana, ternyata cari kerja tetap susah," ujar Budi.

Padahal, Budi digadang-gadang orangtuanya dapat membiayai adik-adiknya sekolah. Maklum, keluarga Budi bukan tergolong keluarga mampu. Bahkan, untuk membiayai kuliahnya, Budi harus rela banting tulang bekerja sebagai tukang ojek di seputar Cililitan, Jakarta Timur. Kesulitan Budi mendapatkan pekerjaan membuat adik-adiknya terancam berhenti bersekolah. Sebab orangtua Budi hanya buruh tani dengan penghasilan pas-pasan untuk hidup sehari-hari.

Budi tidak sendirian. Menurut data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sampai Agustus tahun ini, tercatat ada 961.000 sarjana yang menganggur. Mereka berasal dari 2.900 perguruan tinggi dengan berbagai disiplin ilmu. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya, yang mencapai 740.000 sarjana. "Tiap tahun, ada sedikitnya 300 sarjana baru di Indonesia. Dari jumlah itu, rata-rata 20% jadi pengangguran," kata Rektor Universitas Katolik Atma Jaya, F.G. Winarno.

Ketua Jurusan Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya. Malang, Kusdi Raharjo, mengungkapkan data yang mengenaskan. Menurut dia, dari jumlah pengangguran di Indonesia pada saat ini yang mencapai 40 juta orang, sebanyak 2,6 juta di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,2 juta benar-benar menganggur (pengangguran terbuka) dan 1,4 juta lainnya setengah menganggur. "Mereka lulusan sarjana maupun diploma," kata Kusdi.

GATRA (Dok. GATRA)

Tingginya angka penangguran di kalangan terdidik itu, menurut Winarno, lantaran rendahnya keterampilan di luar kompetensi utama sebagai sarjana. Padahal, untuk menjadi lulusan yang siap kerja, keterampilan di luar bidang akademik, terutama yang berhubungan dengan entrepreneurship (kewirausahawan) sangat dibutuhkan.

Di Indonesia, kata Winarno, jumlah entrepreneur sangat minim. Pada 2007, baru tercatat 0,18% atau 400.000 dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta. Sebagai pembanding, jumlah entrepreneur di Amerika Serikat mencapai 2,14% pada 1983. Bahkan di Singapura, berdasarkan laporan Global Entrepreneurship Moneter (2005), pada 2001 mencapai jumlah entrepreneur 2,1% dan menjadi 7,2 % pada 2005.

Bandingkan dengan Indonesia, yang pada 2006 baru mencapai 0,18% atau hanya memiliki 400.000 entrepreneur dari jumlah penduduk 220 juta. "Jika mengacu pada jumlah ideal 2% saja, seharusnya jumlah wirausahawan di Indonesia mencapai 4,4 juta orang," ujar Winarno. Menurut dia, untuk menjadi negara yang dianggap makmur, Indonesia perlu meningkatkan jumlah entrepreneur menjadi 1,1% atau menjadi 4,4 juta entrepreneur.

Untuk itu, pemimpin yang akan datang harus terus mengupayakan program pendidikan keterampilan yang menunjang industri keratif, guna menekan angka pengangguran akibat kurangnya lapangan kerja. Menurut Winarno, calon sarjana kini dan masa depan harus bisa berpikir bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan. "Nah, tugas pemerintah selanjutnya adalah memfasilitasi sistem pendidikan yang menunjang lahirnya industri kreatif," ujar guru besar Institut Pertanian Bogor itu.

Pendidikan berbasis kompetensi menjadi sumbangan yang besar bagi calon-calon sarjana. Bila mereka mahir dalam bidang tertentu, seperti ICT, bahasa asing, kerajinan tangan, kesenian, dan bidang-bidang yang memicu lahirnya industri kreatif, maka para sarjana tersebut tidak akan menganggur dan selalu ada ide dalam melakukan kreativitas.

Untuk mengatasi kondisi memprihatinkan itu, Depdiknas meminta perguruan tinggi tak hanya memfokuskan perhatian pada riset, melainkan juga kewirausahaan. Namun tak gampang mencetak generasi Indonesia yang berjiwa wirausaha. "Dibutuhkan dana tidak sedikit, yakni sekitar Rp 10 trilyun," kata Ciputra, pendiri Universitas Ciputra Entrepreneurship Center.

Anggaran itu digunakan untuk memberikan pendidikan secara teori, pelatihan-pelatihan, serta modal awal untuk memulai bakat dan kemauan dalam berwirausaha.

Namun, menurut Ciputra, anggaran sebesar itu bisa dibilang bukan jumlah besar untuk nilai sebuah investasi. Jika dikalikan 15 tahun, akan menjadi Rp 150 trilyun. "Dalam kurun waktu tersebut, Indonesia akan berkembang cukup dasyat, bahkan bisa menjadi seperti Singapura dengan banyaknya masyarakat yang memiliki jiwa wirausaha," tuturnya.

Ciputra yang dikenal sebagai pengusaha sukses ini meyakini, pendidikan kewirausahaan membekali mahasiswa untuk mandiri dan tidak berorientasi menjadi pencari kerja ketika lulus dari perguruan tinggi. Karena itu, kampus-kampus di daerah juga harus bisa menjadi pusat kewirausahaan, sehingga tidak hanya berperan menyebarkan benih kewirausahaan kepada mahasiswa, melainkan juga kepada masyarakat. "Mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu jangan hanya diajari bekerja dengan baik, melainkan juga harus dipacu untuk bisa menjadi pemilik berbagai saha sesuai dengan latar belakang ilmu mereka," ia menegaskan.

Ciputra menjamin, pendidikan kewirausahaan akan memberi dampak yang baik bagi masa depan Indonesia, seperti terjadi di Singapura. "Kuncinya, pendidikan harus dijalankan dengan kreatif,"' kata pemilik berbagai usaha properti itu.

GATRA (Dok. GATRA)

Sejatinya, pemerintah tidak tinggal diam melihat kondisi memprihatiankan itu. Menurut Direktur Kelembagaan, Dirjen Dikti Depdiknas, Hendarman, pihaknya sedang menggalakkan workshop kewirausahaan bagi para dosen dan mahasiswa sebagai langkah kongkret untuk melengkapi dan memperkaya kegiatan pendidikan kewirausahaan di kampus.

Untuk program tersebut, Ditjen Dikti menganggarkan 1% dari anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah untuk pendidikan kewirausahaan. Pada tahun ini, anggaran yang disediakan untuk mengembangkan wirausaha di semua perguruan tinggi mencapai Rp 108 milyar.

Menurut Hendarman, dengan adanya workshop kewirausahaan, kebutuhan akan pendidikan wirausaha bisa terpenuhi. "Mereka dapat melayani masyarakat serta memberikan pendidikan kepada penganggur dan perajin," ungkapnya.

Pada tahun ini, ditargetkan 10.000 hingga 20.000 mahasiswa dari perguruan tinggi negeri dan swasta bisa mendapatkan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan di kampus. Para mahasiswa tidak sekadar diajarkan teori kewirausahaan oleh para dosen, melainkan juga dibimbing untuk menjalankan bisnis dan diberi pinjaman modal usaha.

Toh, menurut guru besar Universitas Indonesia (UI) bidang bisnis internasional, Ferdinand D. Saragih, tidak cukup hanya mengandalkan pelatihan wirausaha untuk mengatasi pengangguran terdidik. Ia juga menyarankan agar kurikulum sekolah bisnis diperbaiki sesuai dengan kebutuhan, seiring dengan arus globalisasi.

"Para pemimpin perusahaan bisnis masih terus menginginkan supaya business school mendesain ulang program studi bisnis untuk mengakomodasi tantangan-tantangan globalisasi," katanya. Kurikulum yang diinginkan institusi bisnis adalah kurikulum seperti yang diaplikasikan di Harvard Business School, MIT School of Management, Wharton School of Univesity of Pennsylvania.

Peneliti tracer study dari UI, Ahmad Syafiq, menganggap bahwa pemerintah perlu memiliki data dan informasi yang relevan, akurat, dan mutakhir mengenai hubungan antara dunia pendidikan tinggi dan dunia kerja. "Sejak dulu, pemerintah tidak pernah memiliki konsep yang tegas dan terencana tentang keterkaitan antara pendidikan dan lapangan kerja. Pendidikan dilaksanakan sebagai amanat konstitusi semata," ungkapnya.

Menurut Syafiq, dua departemen, yaitu Depdiknas dan Depnakertrans, perlu duduk bersama untuk melakukan kajian dan analisis tentang hubungan antara pendidikan tinggi dan dunia kerja. Di sisi lain, perguruan tinggi harus mengaplikasikan tracer study yang terinstitusionalisasi, sistematik, terstandar, komparabel, dan reguler, agar diperoleh masukan yang akurat mengenai situasi transisi lulusannya dari kampus menuju kerja.

Tracer study memiliki potensi manfaat yang sangat besar untuk mengetahui relevansi perguruan tinggi dan mengevaluasi proses, output, serta outcome pembelajaran. Sayang, sampai saat ini, tracer study masih dilaksanakan dan diperlakukan semata-mata sebagai syarat akreditasi.

Heru Pamuji
[Ekonomi, Gatra Nomor 47 Beredar Kamis, 1 Oktober 2009]