Rabu, 30 Desember 2009

Raga tanpa Jiwa


oleh : Mahiruddin Siregar

Raga tanpa jiwa adalah mayat, bangkai atau boleh juga patung, boneka, dan sejenisnya.

Saya tertarik membicarakan hal ini, atas dasar perenungan mendalam tentang centang perenang hukum yang berlaku dinegeri ini, akhir-akhir ini.

Bukan hanya akhir-akhir ini, bahkan mungkin sudah lama berlangsung, tetapi dengan kebebasan pers yang boleh kita banggakan kemajuannya, maka semuanya borok hukum itu menjadi santapan sehari-hari bagi para pemirsa televisi, para pendengar radio, dan para pembaca media cetak dan para peselancar dunia maya.

Para penegak hukum kita sangatlah lihay menerapkan hukum formal literal, sesuai ayat dan fasal dalam masing-masing undang-undangnya dan terlihat tegas untuk menghukum para terdakwa yang berasal dari golongan ekonomi lemah, golongan wong cilik, golongan orang bodoh yang berhadapan dengan golongan mampu, berduit, sombong dan serakah.

Kalau sebuah rumah sakit besar merasa dirugikan dengan ulah masyarakat yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut, maka demi gengsi dicarilah pengacara handal untuk menuntut sipenulis keluhan tersebut dan dicarilah pasal pencemaran nama baik untuk menjeratnya. Urusan pengaduan dikepolisian, penyidikan dikejaksaan dan sampai pengadilan
sangat lah lancar. Semua penegak hukum kelihatan sangat getol demi penegakan hukum sesuai selera dan kepentingan mereka masing-masing........dengan satu tujuan yaitu wong cilik yang berani melawan tersebut harus dihukum seberat-beratnya. Rasa keadilan untuk sipelapor harus ditegakkan, enak saja seorang wong cilik berani mengeluhkan pelayanan rumah sakit ternama, kalau gak terima jangan berobat dong kerumah sakit itu, kira-kira begitulah rasa keadilan yang harus ditegakkan, dan jangan sampai ada lagi orang yang berani mengeluh atas pelayanan rumah sakit tersebut dikemudian hari. Titik.

Benar kalau dicari berbagai pasal dalam KUHAP, dan undang-undang yang berkenaan pastilah dapat dicari pembenaran bahwa rumah sakit telah dicemarkan nama baiknya. Juridis formalnya pasti dapat ditemukan, bahkan dapat pula dicari alasan untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa. Disini terlihat benar, bahwa hukum itu hendak digunakan untuk memuaskan satu fihak dan mengabaikan rasa keadilan fihak yang lain.

Untungnya masyarakat syadar bahwa telah terjadi sesuatu kesewenangan hukum, mereka bangkit mendukung dengan bantuan pers yang independent, sehingga hukum akhirnya berfihak kepada kebenaran dan keadilan....Bahwa benarlah tidak ada penghinaan dan fitnah yang dilontarkan oleh terdakwa, dia hanya mengeluhkan pelayanan yang tidak memuaskan bagi dirinya sebagai konsumen...........

Kasus serupa terjadi pula bagi seorang yang mengambil 3 buah kakao milik perkebunan besar, dua orang yang mengambil semangka untuk dimakan saat lapar dan haus, seorang yang dituduh mencuri aliran listrik untuk men-charge hp, dan masih banyak lagi hukum yang getol ditegakkan oleh para penegak hukum kepada para pelanggar hukum yang berasal dari wong cilik......

Padahal sesuai dengan apa yang pernah ditegaskan oleh pak Bismar Siregar, bahwa mereka para terdakwa tersebut bukanlah penjahat yang harus diganjar dengan hukuman demi keadilan, tetapi mereka hanyalah para pelanggar hukum yang tidak seharusnya diajukan kepengadilan tetapi cukup diadili secara adat dan kekeluargaan........

Dilain sisi kita menyaksikan begitu sulitnya penegak hukum kita untuk membawa para penjahat kakap kedepan pengadilan, seperti para koruptor, para makelar kasus, para penjahat ekonomi, yang skala kerugian akibat kejahatannya jauh tidak sebanding dengan kerugian yang diakibatkan oleh para wong cilik pelanggar hukum seperti disebutkan diatas.

Kenapa mereka tidak diadili ? Alasannya tidak ditemukannya bukti awal.

Apakah bukti awal itu akan jatuh dari langit.....kalau tidak diusahakan secara serius untuk menggali dan menemukannya.........??

Itulah ironi hukum kita.........Hukum kita hanya sebatas pasal-pasal dalam KUHAP, undang-undang, dll......yang tidak pernah diterapkan sesuai hati nurani, yang memenuhi rasa keadilan masyarakat luas.........

Hukum tanpa keadilan adalah ibarat seonggok badan (raga) tapa jiwa.

Senin, 28 Desember 2009

Menuju Indonesia yang Mandiri Energi


SITIZEN JOURNALISM
(inilah.com)
Seperti diketahui bahwa kebutuhan energi nasional diproyeksikan akan meningkat 2 kali lipat pada tahun 2025.

Sektor industri akan menjadi sektor yang terbesar mengkonsumsi energi, yaitu sekitar 45% dari total kebutuhan energi primer.

Sedangkan untuk kebutuhan listrik, Jawa Bali akan mengkonsumsi hampir 70% listrik nasional, dengan batubara yang masih menjadi andalan utama, meskipun penggunaan energi lain sudah dioptimalkan.

Sebelum berbicara lebih jauh perlu dipahami oleh kita semua bahwa masalah energi ini adalah tantangan bagi kita semua, tidak hanya pemerintah, tetapi juga tantangan bagi masyarakat umum. Terdapat anggapan yan keliru mengenai energi di Indonesia.

Anggapan yang keliru ini menjadi masalah karena anggapan ini telah dijadikan dasar oleh pemerintah dalam mengambil setiap keputusan. Apa saja anggapan yang keliru itu? Yang pertama adalah anggapan Indonesia adalah negara yang kaya minyak.

Padahal yang sebenarnya tidak. Indonesia lebih banyak memiliki energi lain seperti batu bara, gas alam, panas bumi, bahan bakar nabati (BBN), coalbed methane (CBM), panas matahari, arus laut, pasang surut laut, angin dan lain sebagainya.

Cadangan minyak Indonesia tersisa 3.7 miliar barel, jumlah ini diprediksi akan habis pada 10 tahun mendatang. Anggapan yang keliru lainnya adalah harga bahan bakar minyak (BBM) harus dijual dengan harga yang serendah mungkin. Maksud pemerintah menjual dengan harga serendah mungkin supaya tidak membebani masyarakat.

Tetapi yang kontraproduktif dengan kebijakan ini adalah dana pemerintah akan habis hanya untuk subsidi BBM. Semakin lama subsidi ini akan semakin membesar.

Peningkatan jumlah penduduk akan menjadikan konsumsi yang semakin meningkat dan menipisnya cadangan minyak akan memacu kenaikan harga BBM. Sehingga Indonesia mau tidak mau akan terus bergantung kepada BBM. Impor BBM pun tidak akan terhindarkan.

Untuk menuju Indonesia yang mandiri energi ini langkah bijak apa yang harus dilakukan?

Sangat tidak bijak kalau Indonesia sebagai negara net importer minyak dan tidak memiliki cadangan minyak melimpah menjual BBM dengan harga murah mengikuti negara negara timur tengah yang mempunyai produksi minyak melimpah.

Seperti yang kita ketahui sekarang subsidi BBM ini tidak tepat sasaran, subsidi ini banyak dinikmati oleh kalangan menengah atas.

Sebagai contoh di Jakarta banyak mobil-mobil mewah yang berseliweran yang menyebabkan kemacetan tersebut menggunakan BBM yang disubsidi oleh pemerintah. Lalu bagaimana dengan rakyat kecil yang akan terkena dampak pengurangan subsidi BBM ini? Pemerintah bisa mengalihkan subsidi BBM ini untuk pembangunan di sektor lain.

Pemerintah bisa menyediakan kendaraan umum yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Selain itu juga alihkan dana subsisi BBM ini untuk menyediakan pendidikan yang terjangkau dan pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau oleh masyarakat kalangan bawah.

Dengan adanya saranan angkutan yang murah, biaya pendidikan yang murah, juga layanan kesehatan yang terjangkau, ini akan sangat membantu masyarakat daripada subsidi BBM yang mayoritas dinikmati oleh orang yang tidak berhak.

Ketika subsidi BBM dikurangi dengan perlahan lahan, kebijakan ini akan menstimulus energi alternatif untuk berkembang. Energi alternatif ini tidak bisa berkembang kerena masalah harga. Kita ambil contoh bahan bakar nabati (BBN).

BBN tidak berkembang karena kalah bersaing dengan BBM yang disubsidi. Harga BBN dari biodiesel dan bioethanol sekarang adalah Rp. 5.500/liter. Harga ini kalah bersaing dengan BBM yang disubsidi yaitu premium dan solar yang dijual dengan harga Rp. 4.500/liter.

Panas bumi di Indonesia juga kurang berkembang, padahal cadangan panas bumi terbesar di dunia ada di Indonesia. Ini dikarenakan masalah harga. PLN keberatan membeli listrik dari panas bumi yang harga listriknya $8-10 sen/KWH. PLN lebih memilih menutupi kekuarang pasokan listriknya menggunakan listrik yang dari BBM.

Padahal harga listrik dari BBM ini lebih mahal yaitu sekitar $15-30 sen/KWH. Sementara listrik dijual dengan harga $ 6 sen/KWH. Lalu mengapa PLN lebih memilih listrik dari BBM daripada listrik dari panas bumi? Karena pemerintah hanya mensubsidi listrik yang berasal dari BBM, sedangkan listrik yang dibeli dari panas bumi tidak.

Seandainya listrik dijual dengan harga $ 9 sen/KWH maka panas bumi akan berkembang. Ini akan menjadikan pasokan energi listrik Indonesia terjamin. Tidak akan lagi ada pemadaman listrik.

Untuk keperluan rumah tangga, Indonesia bisa menggunakan gas kota. Dengan cadangan gas sekitar 170 triliun kaki kubik ini akan cukup untuk 50 tahun kedepan. Indonesia juga memiliki cadangan CBM yang jumlahnya lebih besar dari ini yaitu sekitar 300 hingga 400 triliun kaki kubik.

Selain untuk keperluan rumah tangga gas ini juga bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar gas yang bisa digunakan untuk transportasi.

Dengan kebijakan di atas, diharapkan masalah krisis energi secara perlahan-lahan akan teratasi.

hidayatus_syufyan@yahoo.com

Sabtu, 26 Desember 2009

Entrepreneurship Government

By Ir. H. Heppy Trenggono, MKomp.
Kamis, 03 Desember 2009 pukul 20:03:00


Bapak Mohamad Basyir Ahmad, Walikota Pekalongan bertemu dengan saya di sela-sela workshop yang diadakan oleh pengusaha-pengusaha di Semarang. Dalam pertemuan itu beliau mengungkapkan keinginannya untuk menerapkan sebuah konsep yang beliau sebut sebagai Entrepreneurship Government. "Ketika mulai menjabat walikota yang pertama kali saya terima adalah laporan keuangan mas, jadi untuk apa laporan keuangan tersebut kalau bukan untuk kita buat lebih baik?".

Saya mengenal Walikota pekalongan sebagai sosok yang sangat memahami pentingnya Entrepreneurship, suatu saat beliau juga pernah menyampaikan kegelisahaannya tentang menurunnya minat generasi muda Pekalongan dalam berusaha, dengan kata lain mereka saat ini lebih tertarik untuk menjadi pegawai daripada menjadi pengusaha, padahal selama ini pekalongan dikenal sebagai tempat kelahiran para pengusaha handal. "Mas Heppy, Ini S.O.S. mas, kita harus segera melakukan sesuatu" ujar beliau suatu saat.

Entrepreneurship Government, sungguh sebuah gagasan yang sangat brilliant apalagi lahir dari seorang walikota yang sedang menjabat. Saya ingat sebuah kisah ketika suatu saat Investor Australia ingin menanam modal di Indonesia. Semua studi kelayakan sudah dilakukan, kesepakatan sudah dibuat tinggal ditindak lanjuti dengan mengurus perijinan dan pelaksanaan proyek.

Hingga beberapa bulan semenjak kesepakatan tersebut proyek tidak kunjung terwujud, mengapa demikian? Investor tadi rupanya membatalkan investasinya ke Indonesia dan mengalihkan ke Vietnam. Apa yang terjadi dibalik semua itu. Ternyata begitu mendengar ada investor yang sedang mencari peluang investasi dua orang menteri dari Vietnam langsung terbang ke Australia dan menjelaskan berbagai prospek dan dukungan dari pemerintah Vietnam untuk membantu para Investor. Sebaliknya pihak Indonesia hanya menunggu dan mengharap sesuatu terjadi dengan sendirinya.

Sebagai Investor tentu dapat menilai dimana dia sebaiknya menginvestasikan uangnya. Nah, Apa yang dilakukan dua orang menteri Vietnam tersebut itulah yang disebut Entrepreneurship. Entrepreneurship adalah sebuah mentalitas, mentalitas yang menempatkan tanggung jawab 100% ada di pundak kita sendiri, mentalitas yang percaya bahwa kejayaan harus diraih dengan kerja keras dan kecerdasan berfikir, mentalitas yang percaya bahwa kesuksesan, kekayaan, dan kejayaan adalah sesuatu yang bisa diraih dan menjadi hak kita juga.

Entrepreneurship adalah mentalitas yang dimiliki orang yang mau melakukan sesuatu yang kebanyakan orang lain tidak mau melakukannya, tetapi Entrepreneurship akan membawa seseorang untuk dapat menikmati apa yang tidak dapat dinikmati oleh kebanyakan orang. Entrenpreneurship tidak hanya menjadi milik pengusaha, Entrepreneurship juga harus dimiliki oleh President, para Menteri, Walikota, Bupati, DPR, Pimpinan Lembaga Pemerintahan, Tokoh Masyarakat, Mahasiswa. Pendeknya Entreprenuership harus dimiliki semua orang, semua orang yang memiliki komitmen untuk hidup sejahtera.

China, 30 tahun lalu adalah sebuah negara dengan sistem sosialis yang jauh dari mentalitas kewirausahaan, masyarakatnya tidak dididik untuk menjadi masyarakat yang kreatif, rajin, dan produktif. Karena semua usaha adalah milik negara, bahkan sampai toko kelontongpun milik negara. Korupsi di negeri ini juga tidak kalah dahsyatnya dengan korupsi yang terjadi di negara-negara miskin dan berkembang lain.

Namun lihatlah, saat ini China telah bangkit menjadi raksasa perekonomian dunia yang baru. Pembangunan infrastruktur yang terus bertumbuh dengan cepat, investasi dari berbagai penjuru dunia masuk dengan deras, tak kurang 500 perusahaan besar dunia berkiprah dalam membangun negeri China, industry manufacturing dibangun dengan berbagai strategi.

Saat ini barang - barang produksi dari China telah menempatkan dirinya dengan penuh percaya diri di seluruh dunia, membawa China mencetak nilai ekspor yang fantastis, mencetak surplus perdagangan yang menjadikan China sebagai the New Superpower Country. Pertanyaanya, mungkinkan China menjadi demikian hebatnya jika pemimpinnya tidak memiliki mentalitas Entrepreneurship?

(www.republika.co.id)

Kamis, 24 Desember 2009

Inilah Wajah Hukum Kita

Energi Penggugat Rasa Keadilan

Cover GATRA Edisi 07/2010 (GATRA/Tim Desain)Basar Suyanto dan Kholil tertegun. Rasa sedih menggurat di wajah mereka, sesaat setelah mendengar vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Kediri, Jawa Timur, Rabu pekan lalu. "Bapak Basar dan Kholil sudah paham bahwa sampeyan dinyatakan bersalah mencuri semangka? Hukumannya masing-masing 15 hari, ya," kata Ketua Majelis Hakim Roro Budiarti Setyowati tanpa ekspresi.

Di benak keduanya, langsung terbayang pengalaman mengenaskan berada di balik jeruji besi Lembaga Pemasyarakatan Kediri. Selama dua bulan, keduanya melewatkan hari-hari tanpa didampingi keluarga. "Tapi sampeyan dihukum percobaan selama tiga bulan, jadi tidak perlu masuk penjara lagi," Roro menambahkan.

Pernyataan itu langsung disambut gembira oleh keduanya, "Allahu Akbar!" Mahasiswa Universitas Islam Kediri yang melakukan aksi unjuk rasa di depan pengadilan langsung merangsek masuk ke ruang sidang. Mereka ikut gembira atas putusan itu. Mahasiswa, yang sejak awal menuntut dibebaskannya Basar dan Kholil, juga membagikan buah semangka kepada para pengunjung sidang.

Tapi proses hukum yang dijalani keduanya telanjur mengundang sinisme masyarakat. Meski menjunjung tinggi supremasi hukum, akibat perbuatan yang nilai kerugiannya tak seberapa itu, Basar dan Kholil terpaksa meninggalkan keluarga, yang selama ini menggantungkan hidup dari hasil keringat keduanya, dan tinggal di balik jeruji besi. Padahal, masyarakat meyakini, keduanya tak akan melarikan diri layaknya koruptor kelas kakap yang berduit.

Kalimat-kalimat sinis pun terlontar di masyarakat. "Keadilan hanya milik orang berduit dan berkuasa," kata salah satu pengunjung sidang. Ungkapan itu bisa jadi cermin penegakan hukum di negeri ini, yang telanjur buram oleh sikap tak adil aparat penegak hukum. Betapa tidak, pada saat banyak koruptor melenggang bebas dan menikmati harta hasil jarahannya di luar negeri, segelintir masyarakat kelas bawah justru mendekam di penjara hanya karena mencuri barang yang nilainya tak seberapa dibandingkan dengan harta yang dijarah koruptor.

Hukum pun dipandang bak pedang bermata dua, yang tajam jika berhadapan dengan masyarakat kelas bawah tapi tumpul jika berhadapan dengan kebanyakan penguasa dan pemilik uang. Keadilan terkadang berubah menjadi sosok yang arogan terhadap masyarakat kelas bawah pencari keadilan. Simak saja kasus yang menimpa Minah, seorang nenek berusia 55 tahun di Banyumas, Jawa Tengah.

Nenek tujuh cucu dan buta huruf itu harus menerima kenyataan pahit. Gara-gara mencuri tiga buah kakao senilai tak lebih dari Rp 2.100 milik PT Rumpun Sari Antan, ia harus bolak-balik diperiksa polisi, jaksa, hingga pengadilan. Bahkan jaksa tanpa sungkan menetapkan Minah sebagai tahanan rumah.

Dalam sidang yang berlangsung pada medio November lalu, Minah akhirnya divonis satu setengah bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan. Majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, yang diketuai Bambang Lukomono, SH, MH, menilai perbuatan Minah telah memenuhi unsur pidana. Namun Bambang, yang sempat menitikkan air mata ketika membacakan vonis terhadap Minah, menyatakan bahwa majelis hakim juga mempertimbangkan latar belakang tindak pidana itu. "Ia sudah berkata jujur dan mengakui perbuatannya," kata Bambang.

Di luar itu semua, kasus yang paling menyedot perhatian banyak kalangan tak lain adalah kasus yang menimpa Prita Mulyasari. Kasus yang bermula dari e-mail Prita menyangkut pelayanan Rumah Sakit Omni International ini dijadikan momentum perlawanan masyarakat atas ketidakadilan aparat penegak hukum. Apalagi, ibu dua anak itu dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dinilai kontroversial. Prita juga sempat mendekam di bui selama 21 hari, meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil.

Kasus itu menimbulkan keprihatinan banyak kalangan. Dari politisi, kalangan LSM, masyarakat, hingga anak-anak. Mereka tergerak untuk menggalang bantuan bagi Prita yang dijadikan simbol perlawanan dalam penegakan hukum.

Aksi itu diwujudkan dengan pengumpulan koin dukungan bagi Prita. Hingga akhir pekan lalu, koin yang terkumpul mencapai Rp 825 juta. "Dukungan ini membuktikan, masyarakat ingin perkara ini tuntas, baik secara pidana maupun perdata. Dan jangan sampai ada lagi Prita-Prita yang lainnya," kata Slamet Juwono, pengacara Prita dari Kantor Hukum O.C. Kaligis & Associates.

Kondisi yang dihadapi Prita dan para pencari keadilan itu memang menggambarkan secara keseluruhan ironi dalam penegakan hukum di Tanah Air. Secara transparan, betapa banyak kasus pelanggaran hukum bernilai milyaran rupiah, bahkan trilyunan rupiah, hanya menjadi wacana dan debat terbuka di ruang-ruang publik tanpa ada tindakan tegas. Hal ini terlihat pada penanganan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara.

Pihak kepolisian, menurut Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Sulistyo Ishak, sesungguhnya mendukung upaya mediasi dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana ringan seperti yang terjadi belakangan ini. Sulistyo meminta masyarakat tidak menilai tindakan kepolisian sebagai bentuk diskriminatif. Kata mantan Dirlantas Polda Metro Jaya itu, polisi bekerja sesuai dengan kapasitasnya sebagai aparat penegak hukum.

Seperti masyarakat lainnya, menurut Sulistyo, polisi ikut terusik oleh munculnya kasus-kasus miris yang terjadi belakangan ini. "Terus terang, kami juga tidak tega dan kasihan," ujarnya. Sulistyo menyatakan bahwa polisi pun mengedepankan proses mediasi antara pelaku dan pelapor.

Sulistyo menyatakan, penetapan seseorang yang belum jelas jenis kesalahannya melanggar asas praduga tidak bersalah. Polisi pun membuka diri untuk selalu diawasi masyarakat. Setiap perilaku tak terpuji anggota Polri, menurut Sulistyo, akan ditindak tegas. Sejauh ini, pihak kepolisian telah memproses dan menindak anggotanya yang melakukan pelanggaran kode etik ataupun tindak pidana.

Hendri Firzani dan Mukhlison S. Widodo
[Laporan Utama, Gatra Nomor 7 Beredar Kamis, 24 Desember 2009]

Minggu, 13 Desember 2009

Hasil Karya Anak Bangsa

Terapi Kanker Nano Buatan Anak Negeri

Tidaklah sia-sia Andi Hamim Zaidan dan 10 rekannya menghabiskan waktu dua tahun berkutat di Laboratorium Photon Universitas Airlangga, Surabaya. Penelitian yang mereka lakukan menuai hasil menggembirakan. Mereka sukses membuat prototipe gold nanoparticle (GNP) berdiameter 20 nanometer dan 30 nanometer. Partikel berukuran supermini ini bisa menyusup ke dalam tubuh, lalu mencari dan menghancurkan sel-sel kanker.

Untuk mendeteksi lokasi sel kanker (selective cancer therapy), kata Zaidan, GNP dilengkapi dengan sensor pintar yang terbuat dari antigen atau polyetilenglycol (PEG). Setelah mengunci lokasi sel-sel kanker, tubuh pasien disinari dengan photothermal therapy (PTT). Proses radiasi gelombang elektromagnetik (lazimnya memakai sinar infra merah) mengubah energi cahaya menjadi panas yang sanggup membunuh sel-sel jahat itu.

"Pada saat ini, prototipe GNP kami belum dilengkapi dengan sensor pintar karena harus dikarakterisasi dulu sifat optik dan termalnya," ujar dosen Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya, itu.

Pada tahap karakterisasi, pihaknya menggandeng Laboratorium Optik Fisika Universitas Airlangga. Sebab diperlukan mikroskop elektron (jenisnya: SEM atau TEM) untuk melihat GNP secara visual. Alat ini masih sangat jarang di Indonesia.

Usai tahap karakterisasi, penelitian masuk ke tahap eksperimen terapi in vitro, dengan menumbuhkan sel kanker di luar tubuh induk (host). Setelah itu, GNP diujicobakan pada hewan sebelum bisa diterapkan pada pasien penderita kanker. Sejak tahap in vitro dan in vivo, Zaidan akan menggandeng rekan-rekan dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Bila dipakai sebagai terapi kanker, Zaidan menambahkan, sebaiknya bentuk partikel nano yang terbuat dari emas itu bulat atau batang. Ukurannya maksimal 50 nanometer agar bebas menembus masuk jaringan tubuh. Target penelitian mereka adalah menyintesis GNP berdiameter terkecil, yaitu 15 nanometer.

GATRA (Dok. GATRA)

Penelitian GNP sebagai alat terapi kanker bukan kali ini saja dilakukan. Beberapa negara melakukannya sejak beberapa tahun lalu. Namun, menurut Zaidan, risetnya berbeda dari sisi pengembangan teori dan metode sintesis. Pada tahap teori, mereka mengembangkan model PTT memakai GNP dan carbon nanotube (CNT) lengkap, mulai simulasi foton dalam jaringan sampai dosimetri terapi.

Dosimetri berarti penentuan cara pemaparan sinar, durasi, daya, dan panjang gelombang radiasi elektromagnetik. Model PTT memang terkait erat dengan photodynamic therapy (PDT). Bedanya, PTT tidak memerlukan oksigen untuk berinteraksi dengan sel atau jaringan target.

PTT juga bisa memakai cahaya dengan panjang gelombang yang kurang energik, sehingga tidak terlalu berbahaya untuk sel dan jaringan lain. "Belum ada teori yang lengkap untuk ini, apalagi yang memakai CNT," kata peraih gelar sarjana dan master dari Institut Teknologi Bandung itu.

Hal baru lainnya dari riset tim Zaidan adalah tidak menyintesis GNP dengan reaksi kimia seperti lazim dipakai dalam riset-riset di luar negeri. Alasannya, bahan baku untuk sintesis menggunakan reaksi kimia sangat mahal dan harus diimpor. Ia mencontohkan, ada satu bahan yang harganya mencapai Rp 3 juta per gram.

Karena itulah, tim Zaidan memilih mencari bahan baku lokal sebagai alat sintesis. Model sintesis baru ini lebih mudah dan lebih murah, tanpa mengurangi tingkat keakuratan dan punya efek samping minimal.

Perbandingannya, bila memakai bahan impor, produksi GNP membutuhkan dana US$ 250 sampai US$ 500 per mililiter. Bila memakai bahan lokal, biaya produksinya hanya Rp 25.000 per 100 mililiter atau 20 kali lipat lebih murah. "Jadi, prediksi saya, jika riset kami sudah mapan dan sudah bisa digunakan, biaya terapi tidak akan lebih dari Rp 50.000," ujar lajang kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, berusia 26 tahun itu.

Selain mengembangkan GNP sebagai alat terapi kanker, tim Zaidan juga tengah mengembangkan CNT sebagai agen selective cancer therapy dan diagnosis. Untuk diagnosis, mereka mencoba membuat contrast agent untuk magnetic resonance imaging (MRI) dan biomarker.

Kini penelitian CNT baru selesai pada tahap teori dan model. Selangkah di belakang GNP adalah yang telah masuk tahap eksperimen. Sumber dana penelitian itu berasal dari Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dan Universitas Airlangga.

Astari Yanuarti, dan Arif Sujatmiko (Surabaya)
[Ilmu dan Teknologi, Gatra Nomor 4 Beredar Kamis, 3 Desember 2009]

Mimpi Buruk Buat Petani Indonesia

Sabtu, 12 Desember 2009 pukul 14:24:00
Industri Pupuk di Ambang Kolaps

Agus Yulianto

Ketersediaan bahan baku gas pada 2012 menjadi kendala.

BANDUNG -- Industri pupuk Indonesia pada 2012, di ambang kolaps. Pasalnya, 20 pabrik pupuk yang beroperasi tersebut belum memiliki alternatif bahan baku gas. Padahal, kontrak pengadaan gas antara pihak terkait pengadaan dan pabrik pupuk, mayoritas akan berakhir pada 2012.

''Peningkatan pemanfaatan gas bumi domestik baru dimulai pada lima tahun terakhir. Padahal, cadangan gas bumi yang ada telah terkait kontrak jangka panjang,'' kata Heri Purnomo, mewakili Dirjen Migas, Dr Ing Evita H Legowo, pada Lokakarya Aspek Governance Sitem Produksi dan Distribusi Pupuk, yang diselenggarakan Kementerian Negara BUMN, Komite Kebijakan Publik (KKP) di Bandung, Jumat (11/12).

Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM), kata Heri, pada 2008, pemanfaatan gas bumi untuk domestik mencapai 3.769,2 mmscfd dan untuk pemenuhan ekspor mencapai 4.114,3 mmscfd. Sedangkan alokasi gas bumi untuk domestik dan ekspor berdasarkan Gas Sales Agreement (GSA) pada 2002 hingga Mei 2009, sebesar 64,1 persen untuk domestik dan 35,9 persen untuk ekspor.

Prioritas pemanfaatannya, sambung Heri, untuk peningkatan produksi migas (EOR), listrik, pupuk, dan industri. Sayangnya, kata dia, kontrak-kontrak pengadaan gas untuk industri pupuk ini belum banyak yang diperbaharui dan mayoritas akan berakhir pada 2012.

''Bila kondisi ini tidak segera dicarikan solusinya, maka semua pabrik pupuk akan defisit penyediaan gasnya. Dan itu akan mengancam kelangsungan pabrik tersebut,'' katanya.

Dia mencontohkan, Pupuk Iskandar Muda (PIM) dengan kapasitas produksi pupuk 1.170.000 ton per tahun, pada 2009 kebutuhan gas untuk PIM I sebesar 60 mmscfd dan PIM II sebesar 50 mmscfd. Kebutuhan gas sebagai bahan baku itu sudah tidak dipasok lagi dari Medco Blok A, tapi masih ada dari Swap kargo sebesar 50 mmscfd. Akibatnya, PIM masih kekurangan pasokan gas 60 mmscfd.

Namun, pada 2010, baik Medco blok A dan Swap kargo sudah tidak memasok lagi sehingga pasokan gas ke PIM pada tahun itu defisit 110 mmscfd. ''Tentunya, kita harus duduk bersama mencarikan jalan keluarnya, agar industri pupuk tidak kolaps,'' kata Heri.

Tak hanya PIM, Pupuk Sriwijaya (Pusri) juga mengalami hal serupa. Menurut Heri, pada 2012, kontrak Pertamina EP dengan Pusri akan berakhir. Namun, ungkap dia, hingga saat ini belum ada alternatif pasokan lainnya. Pada 2012 itu, Pusri akan mengalami defisit pasokan gas sebesar 88 mmscfd.

''Alternatif yang mungkin dapat dilakukan adalah relokasi pabrik ke sumber gas bumi (Donggi dan Senoro),'' katanya.

Yang lebih sedikit beruntung, kata Heri, adalah Pabrik Pupuk Kalimantan Timur (PKT). Dengan kapasitas produksi sebesar 2.865.000 ton pupuk per tahun (revitalisasi), PKT masih mendapat pasokan bahan baku gas dari Vico-Chevron dan Total (blok Mahakam). Meski demikian, karena pasokan gas yang dibutuhkan cukup besar, PTK masih mengalami defisit gas sebesar 9 mmscfd pada 2012.

Butuh jaminan
Dirut PT Pusri, Dadang Heru Kodri mengatakan, keberlangsungan seluruh pabrik pupuk di dalam negeri tergantung dari keterjaminan pasokan bahan baku gas. Sementara, melihat habisnya masa kontrak pasokan gas ke pabrik pupuk yang ada pada 2012, kata dia, maka bayang-bayang kehancuran pabrik pupuk dalam negeri semakin di depan mata.

Kata dia, dengan kebutuhan gas sebesar 225 mmscfd, pabrik Pusri II dipasok sebesar 45 mmscfd oleh Medco E&P Indonesia untuk periode 1 Januari 2008 hingga 31 Desember 2019.

Namun, untuk pabrik Pusri III, IV, dan IB dengan jumlah 166 mmscfd disuplai oleh Pertamian EP. Sedangkan 14 mmscfd dipasok dari PT Pertagas untuk Januari 2008-31 Desember 2012. ed: yeyen


Perlunya Evaluasi Soal Pupuk

Pada industri pupuk di Indonesia, ada beberapa persoalan yang timbul dari kebijakan publik yang kurang tepat. Persoalan-persoalan itu, kata Ketua Komite Kebijakan Publik di Kementerian Negara BUMN, Fachry Ali, harus segera diatasi dengan cara memperbaiki kebijakan publik yang ada. Ia pun menguraikan sederet poin yang perlu mendapat perhatian pemerintah.

1. Konsekuensi pupuk diperlakukan sebagai komoditas strategis, maka pemerintah memberi sibsidi harga kepada petani kecil. Akibatnya, terdapat tiga harga pupuk yang berlaku secara nasional, yakni harga subsidi untuk petani, harga perkebunan, dan harga ekspor.

2. Bahan baku gas dibeli berdasarkan harga pasar. Sedangkan harga pupuk diatur sesuai kebijakan pemerintah.

3. Demi ketahanan pangan, maka perlu jaminan ketersediaan pupuk dan keterjangkauan harga pupuk. Kondisi ini menyebabkan industri pupuk tidak dapat berkembang secara optimal. Padahal Indonesia sebagai negara agraris juga memiliki kelebihan yaitu bahan baku utama yang melimpah (gas dan batu bara) dan harga ekspor pupuk yang tinggi. Seharusnya, Indonesia menjadi pemasok pupuk dunia.

4. Program subsidi harga pupuk, menimbulkan moral hazard di semua lini ketersediaannya dari hulu hingga hilir. Agus Yul, ed: yeyen

(www.republika.co.id)

Mimpi Indonesia Untuk Produksi CBM

Jumat, 11 Desember 2009 pukul 14:01:00
Mimpi Indonesia Produsen CBM Pertama Dunia

Cepi Setiadi
Wartawan Republika

Pada 2015 Indonesia diprediksi bisa memproduksi CBM hingga 500 juta MMSCFD dan bisa meningkat menjadi 900 MMSCFD pada 2020. Pada 2025 diprediksi produksinya sudah menembus 1.500 MMSCFD.

Indonesia bukan negara miskin. Saat ini Indonesia menjadi satu dari segelintir negara di dunia yang memiliki kandungan potensi gas metana batubara (coal bed Methane/CBM). CBM tersimpan di lapisan-lapisan batu bara kategori rendah kalori (low-rank) pada kedalaman antara 400 - 1000 meter, tersebar di sebelas basin batu bara di kawasan Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi. Metana merupakan kandungan gas yang juga terdapat pada gas alam (LNG).

Estimasi potensi sumber daya CBM Indonesia sekitar 450 triliun kaki kubik (TCF). Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM), Evita Herawati Legowo, menyatakan, melihat potensi besar tersebut, Indonesia bertekad menjadi negara penghasil CBM pertama. ''Potensinya mencapai 453,3 TCF yang tersebar pada sebelas cekungan hidrokarbon. Pemerintah berupaya agar Indonesia dapat menjadi negara pertama yang mengembangkan LNG dari CBM'' kata Evita.

Dari sumber daya tersebut, cadangan CBM sebesar 112,47 TCF merupakan cadangan terbukti dan 57,60 TCF merupakan cadangan potensial. Menurut Evita jika CBM sudah diubah menjadi LNG, maka akan mudah pendistribusiannya ke seluruh Indonesia yang terdiri dari belasan ribu pulau ini.

Evita menjanjikan, LNG yang akan dihasilkan dari CBM tersebut akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Terutama untuk daerah atau pulau-pulau terpencil yang akan didistribusikan dengan menggunakan kapal-kapal kecil. ''LNG ini nantinya tidak hanya untuk pembangkit listrik semata, namun juga akan dialokasikan untuk pabrik pupuk dan lainnya,'' kata Evita.

Penegasan Evita ini memang perlu karena selama ini sebagian besar LNG Indonesia lebih banyak diekspor padahal masih banyak kawasan industri yang pasokan gasnya tak lancar. Pada 2015 Indonesia diprediksi bisa memproduksi CBM hingga 500 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dan bisa meningkat menjadi 900 MMSCFD pada 2020. Evita memperkirakan, pada 2025 perkiraan produksi CBM di Indonesia bisa mencapai 1.500 MMSCFD, setara dengan 18 persen laju produksi gas alam sepanjang Januari-Juli 2009 dari 43 wilayah kontrak kerja sama LNG.

Pemerintah pun terus mendorong pengembangan CBM. Hingga Agustus 2009, setidaknya 15 kontrak kerja CBM telah ditandatangani. Akhir November 2009 lalu pemerintah juga mengumumkan pemenang lelang penawaran langsung Wilayah Kerja Gas Metana Batu Bara (WK GMB) tahun 2009 sebanyak tiga perusahaan untuk tiga wilayah kerja GMB yang ditawarkan. Sehingga pada akhir 2009 setidaknya hampir 20 Kontrak Kerja CBM ditandatangani.

Selain tiga Wilayah Kerja GMB itu, telah ditetapkan pula dua kontraktor yang mengusahakan Gas Metana Batu Bara yang berasal dari wilayah kerja migas dan wilayah kuasa penambangan batu bara yang sudah ada yaitu untuk Muara Enim dan Batang Asin.

Proyek CBM di Indonesia sebetulnya sudah mulai dilakukan sejak satu dekade silam. Diawali dengan keluarnya Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi nomor 1669 tahun 1998 tentang pengusahaan CBM. Selanjutnya dilakukan studi kelayakan teknis dan ekonomis hingga tahun 2003.

Pada 2004 keluar Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pilot Project CBM Lapangan Rambutan, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan, yang dibiayai APBN melalui kerja sama dengan PT Medco E & P Indonesia yang menguasai wilayah kerja migas itu. CBM Rambutan merupakan pengembangan CBM pertama di Indonesia.

Selanjutnya pada 2006 keluar Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 033 yang direvisi menjadi Permen nomor 036 tahun 2008. Ini merupakan awal periode kontrak pertama CBM. Evita menjelaskan pada 2011 ditargetkan keluar PP CBM untuk listrik sehingga pembangkit listrik bisa memanfaatkan bahan bakar alternatif ini.

Pertengahan tahun 2009 Lapangan Rambutan sudah mulai berproduksi. Departemen ESDM memaparkan hasil penelitian Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas) Departemen ESDM. Tiga peneliri Lemigas yaitu Hadi Purnomo, Ego Syahrial, dan Panca Wahyudi, menyimpulkan potensi cadangan CBM di wilayah South Sumatera Basin ini diperkirakan sebesar 183 TCF, terbesar di Indonesia.

Mereka menguji lima sumur CBM yang dibor menembus empat buah lapisan batu bara (coal seam) pada interval kedalaman 400-600 meter. Serta satu coal seam di kedalaman 1.000 meter yang merupakan lapisan batu bara paling bawah dengan ketebalan tiap lapisan bervariasi antara 4-20 meter. Hasil kajian laboratorium terhadap inti sampel dari masing-masing lapisan memperlihatkan bahwa seam batu bara di sana mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi CBM.

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, gas yang keluar memiliki kandungan metana antara 93-97 persen. Sedangkan air dalam lapisan batu bara yang disedot melalui proses dewatering tergolong tak berbahaya (nontoxic) dengan kandungan logam berat masih di bawah ambang yang dipersyaratkan pada PP nomor 85 tahun 1999. Sedangkan konsentrasi klorida (Cl-) berkisar antara 200-800 ppm.

Saat ini kelima sumur pilot project CBM telah mulai mengeluarkan gas metana batu bara terutama di sumur CBM 3 dengan perkiraan produksi baru sekitar 100 meter kubik per hari yang diprediksikan akan terus mengalami peningkatan.


Kuncinya Infrastruktur Gas

Pengamat pertambangan, Kurtubi, menyatakan rencana pemerintah untuk menjadikan Indonesia menjadi negara pertama yang mengembangkan LNG dari CBM butuh waktu yang cukup panjang. ''Paling tidak butuh waktu sepuluh tahun,'' kata Kurtubi. Apalagi sampai saat ini CBM dalam skala besar belum ada realisasinya. Kurtubi bahkan menilai tekad pemerintah dalam hal ini terlalu utopis.

''Seharusnya yang perlu dipikirkan adalah konsentrasi manajemen perminyakan nasional, memang bisa aja mengembangkan CBM tapi itu bukan sebagai prioritas. Untuk CBM masih butuh waktu,'' kata dia.

Di atas kertas pengembangan CBM kata Kurtubi memang memungkinkan. Tetapi yang paling mendesak adalah pengolahan LNG sesuai pasal 33 UU nomor 22 tahun 2001 di mana pengolahan LNG bisa menguntungkan negara. Menurut Kurtubi, Australia saja yang memiliki cadangan batu bara lebih besar dari Indonesia belum mengarah ke pengembangan CBM. ''Ongkosnya masih mahal,'' tandas Kurtubi.

Sementara Ketua Komite Tetap Hulu Migas Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Sammy Hamzah, menyambut baik tekad pemerintah menjadi produsen CBM pertama dunia. Menurut Sammy, produksi CBM di Australia terkendala belum adanya kilang LNG untuk mengonversi CBM menjadi LNG di wilayah Australia Timur yang kaya potensi CBM.

Sedangkan di Bontang, Kalimantan Timur, sudah tersedia kilang LNG. ''Membangun kilang LNG sekarang enggak murah, seperti di Bontang itu bisa sampai 20 miliar dolar AS dan memakan waktu lima tahun,'' kata Presiden Direktur PT Energi Pasir Hitam Indonesia itu.

Oleh karena itu, jika pemerintah sukses mengekplorasi CBM di Kalimantan TImur, sangat mungkin sekali bisa dikonversi ke LNG dan bisa diekspor melalui Bontang. Meski demikian, Sammy mengakui bisnis CBM Lebih rumit karena tidak sekonvensional eksplorasi migas biasa. Saat ini Energi Pasir Hitam Indonesia bersama Medco E&P Indonesia dalam tahap eksplorasi tiga wilayah kerja CBM di Kalimantan Timur yaitu di Sekayu, Sangatta, dan Kutai Timur.

Jika ekplorasi CBM sukses, dirinya sangat optimistis tekad Indonesia menjai produsen CBM pertama bisa tercapai. Semenatra soal harga jual, Sammy memperkirakan hanya sedikit lebih rendah dari LNG. Walaupun sama-sama gas metana, namun kandungan kalori CBM lebih rendah dari LNG. Satu kaki kubik LNG bisa menghasilkan panas 1.00-1.100 BTU (British Thermal Unit) setara dengan 250 kilo kalori, sementara CBM sekitar 900-950 BTU.

Hal senada diungkapkan anggota Komisi VII DPR, Satya W Yudha. Menurutnya, target tersebut cukup realistis. Apalagi jika yang diandalkan Blok Sanga-sanga di Kalimantan Timur. ''Otomatis mengunakan Bontang di mana fasilitasnya sudah pasti ada sehingga masuk akal kalau dilihat dari sisi kesiapan,'' kata Satya. Namun jika mengandalkan CBM di Sumatera Selatan menurut Satya pemerintah agak sedikit mimpi. ''Fasilitasnya (kilang LNG) belum ada. Jika mau mengembangkan LNG tapi fasilitasnya belum, maka bisa kesalip sama negara lain,'' kata Satya mengingatkan.

(www.republika.co.id)

Selasa, 01 Desember 2009

Kemiskinan Semakin Parah

Senin, 30 November 2009 pukul 08:10:00
Kurban dan Kemiskinan

Kita menyaksikan pembagian daging kurban di sejumlah tempat diwarnai insiden. Warga yang datang melimpah. Tentu saja, hal itu menjadi tak cukup tertangani dengan baik oleh panitia. Terjadilah desak-desakan dan akhirnya sedikit kisruh. Untung, suasana yang tidak baik itu segera bisa dipulihkan.

Hal itu lebih banyak terjadi di kota-kota besar. Kita akan sulit menemukan suasana seperti itu di desa-desa. Pelaksanaan ibadah kurban, yang mengiringi Idul Adha, justru menjadi semacam pesta rakyat. Selain sebagian besar daging dibagikan ke masyarakat, panitia dan masyarakat desa berpesta bersama: nyate. Inilah suasana yang membuat semarak Idul Adha dan membuat kita kangen.

Kurban, selain bermakna semangat untuk berkorban apa saja untuk menuju takwa, juga berarti semangat untuk berbagi dengan sesama, terutama yang sudah mampu berkurban domba, sapi, kerbau, atau hewan sesembelihan lainnya, seperti ayam, kelinci, dan sebagainya. Banyak saudara kita yang belum beruntung sehingga belum mampu membeli daging. Idul Adha menjadi dinanti mereka untuk mencicipi daging setahun sekali.

Namun, akhir-akhir ini, suasana kurban kadang tercederai oleh insiden. Sebagian mengecam panitia yang tetap berlaku tradisional, padahal jumlah pengantre daging kurban kini menjadi ribuan. Sebagian mengecam, mengapa panitia yang tidak keliling membagi-bagikan daging itu ke rumah-rumah dan masih banyak lagi kritikan. Sebagian kritik itu ada benarnya, namun juga kita jangan gegabah menuding-nuding. Ada banyak faktor mengapa semua itu terjadi.

Jika di desa, panitia kurban ataupun kurban yang dikerjakan sendiri sudah tahu daging itu akan dibagikan di mana saja; di kota besar, seperti Jakartaapalagi di masjid-masjid tertentu makin impersonal. Belum lagi kini ditingkahi para penampung daging kurban: mereka sudah menunggu untuk membeli daging kurban dengan harga lebih murah daripada di pasar. Ada kompleksitas.

Sebetulnya, yang paling layak dicemaskan adalah kenyataan itu menunjukkan tingkat kemiskinan masyarakat kita makin parah. Para pengamat ekonomi menyebutkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi kita makin menganga. Sebagian kecil masyarakat kita bergerak cepat menghisap pendapatan nasional, sedangkan sebagian sangat besar makin terperosok. Jadi, pertumbuhan ekonomi yang konstan serta peningkatan pendapatan per kapita rata-rata sebetulnya lebih dinikmati segelintir orang.

Kebijakan ekonomi yang berorientasi ekspor telah berlaku menindas dan memiskinkan rakyat. Kita tak peduli dengan industri rotan karena kita hanya ingin gampangan dengan menjual rotan mentah. Akibatnya, Cina menjadi penikmat sebagai pengekspor industri rotan. Padahal, 80 persen rotan berasal dari hutan Indonesia. Ini hanya satu contoh. Mau lainnya? Ya, bailout Bank Century itu. Ini skandal yang jahat.

Jadi, persoalan kurban jangan dilihat sebagai persoalan panitia atau moralitas masyarakat kecil. Itu hanya ujung belaka. Justru, intinya adalah kesalahan kebijakan ekonomi. Justru, kisruh itu akibat elite yang tak berpihak pada pemerataan dan keadilan sosial.

Mari, kita jadikan Idul Adha ini sebagai pengingat bagi para penguasa untuk makin mengorbankan diri terhadap kepentingan masyarakat. Membuat kebijakan ekonomi yang tak gampangan adalah salah satunya.
(-)

(www.republika.co.id)