Senin, 28 Desember 2009

Menuju Indonesia yang Mandiri Energi


SITIZEN JOURNALISM
(inilah.com)
Seperti diketahui bahwa kebutuhan energi nasional diproyeksikan akan meningkat 2 kali lipat pada tahun 2025.

Sektor industri akan menjadi sektor yang terbesar mengkonsumsi energi, yaitu sekitar 45% dari total kebutuhan energi primer.

Sedangkan untuk kebutuhan listrik, Jawa Bali akan mengkonsumsi hampir 70% listrik nasional, dengan batubara yang masih menjadi andalan utama, meskipun penggunaan energi lain sudah dioptimalkan.

Sebelum berbicara lebih jauh perlu dipahami oleh kita semua bahwa masalah energi ini adalah tantangan bagi kita semua, tidak hanya pemerintah, tetapi juga tantangan bagi masyarakat umum. Terdapat anggapan yan keliru mengenai energi di Indonesia.

Anggapan yang keliru ini menjadi masalah karena anggapan ini telah dijadikan dasar oleh pemerintah dalam mengambil setiap keputusan. Apa saja anggapan yang keliru itu? Yang pertama adalah anggapan Indonesia adalah negara yang kaya minyak.

Padahal yang sebenarnya tidak. Indonesia lebih banyak memiliki energi lain seperti batu bara, gas alam, panas bumi, bahan bakar nabati (BBN), coalbed methane (CBM), panas matahari, arus laut, pasang surut laut, angin dan lain sebagainya.

Cadangan minyak Indonesia tersisa 3.7 miliar barel, jumlah ini diprediksi akan habis pada 10 tahun mendatang. Anggapan yang keliru lainnya adalah harga bahan bakar minyak (BBM) harus dijual dengan harga yang serendah mungkin. Maksud pemerintah menjual dengan harga serendah mungkin supaya tidak membebani masyarakat.

Tetapi yang kontraproduktif dengan kebijakan ini adalah dana pemerintah akan habis hanya untuk subsidi BBM. Semakin lama subsidi ini akan semakin membesar.

Peningkatan jumlah penduduk akan menjadikan konsumsi yang semakin meningkat dan menipisnya cadangan minyak akan memacu kenaikan harga BBM. Sehingga Indonesia mau tidak mau akan terus bergantung kepada BBM. Impor BBM pun tidak akan terhindarkan.

Untuk menuju Indonesia yang mandiri energi ini langkah bijak apa yang harus dilakukan?

Sangat tidak bijak kalau Indonesia sebagai negara net importer minyak dan tidak memiliki cadangan minyak melimpah menjual BBM dengan harga murah mengikuti negara negara timur tengah yang mempunyai produksi minyak melimpah.

Seperti yang kita ketahui sekarang subsidi BBM ini tidak tepat sasaran, subsidi ini banyak dinikmati oleh kalangan menengah atas.

Sebagai contoh di Jakarta banyak mobil-mobil mewah yang berseliweran yang menyebabkan kemacetan tersebut menggunakan BBM yang disubsidi oleh pemerintah. Lalu bagaimana dengan rakyat kecil yang akan terkena dampak pengurangan subsidi BBM ini? Pemerintah bisa mengalihkan subsidi BBM ini untuk pembangunan di sektor lain.

Pemerintah bisa menyediakan kendaraan umum yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Selain itu juga alihkan dana subsisi BBM ini untuk menyediakan pendidikan yang terjangkau dan pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau oleh masyarakat kalangan bawah.

Dengan adanya saranan angkutan yang murah, biaya pendidikan yang murah, juga layanan kesehatan yang terjangkau, ini akan sangat membantu masyarakat daripada subsidi BBM yang mayoritas dinikmati oleh orang yang tidak berhak.

Ketika subsidi BBM dikurangi dengan perlahan lahan, kebijakan ini akan menstimulus energi alternatif untuk berkembang. Energi alternatif ini tidak bisa berkembang kerena masalah harga. Kita ambil contoh bahan bakar nabati (BBN).

BBN tidak berkembang karena kalah bersaing dengan BBM yang disubsidi. Harga BBN dari biodiesel dan bioethanol sekarang adalah Rp. 5.500/liter. Harga ini kalah bersaing dengan BBM yang disubsidi yaitu premium dan solar yang dijual dengan harga Rp. 4.500/liter.

Panas bumi di Indonesia juga kurang berkembang, padahal cadangan panas bumi terbesar di dunia ada di Indonesia. Ini dikarenakan masalah harga. PLN keberatan membeli listrik dari panas bumi yang harga listriknya $8-10 sen/KWH. PLN lebih memilih menutupi kekuarang pasokan listriknya menggunakan listrik yang dari BBM.

Padahal harga listrik dari BBM ini lebih mahal yaitu sekitar $15-30 sen/KWH. Sementara listrik dijual dengan harga $ 6 sen/KWH. Lalu mengapa PLN lebih memilih listrik dari BBM daripada listrik dari panas bumi? Karena pemerintah hanya mensubsidi listrik yang berasal dari BBM, sedangkan listrik yang dibeli dari panas bumi tidak.

Seandainya listrik dijual dengan harga $ 9 sen/KWH maka panas bumi akan berkembang. Ini akan menjadikan pasokan energi listrik Indonesia terjamin. Tidak akan lagi ada pemadaman listrik.

Untuk keperluan rumah tangga, Indonesia bisa menggunakan gas kota. Dengan cadangan gas sekitar 170 triliun kaki kubik ini akan cukup untuk 50 tahun kedepan. Indonesia juga memiliki cadangan CBM yang jumlahnya lebih besar dari ini yaitu sekitar 300 hingga 400 triliun kaki kubik.

Selain untuk keperluan rumah tangga gas ini juga bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar gas yang bisa digunakan untuk transportasi.

Dengan kebijakan di atas, diharapkan masalah krisis energi secara perlahan-lahan akan teratasi.

hidayatus_syufyan@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar