Minggu, 27 September 2009

Jadikan Mudik Sebagai Ajang Pemberdayaan Masyarakat Desa

Oleh : Mahiruddin Siregar

Sudah banyak analisis dan opini para pengamat mengenai manfaat dari acara mudik tahunan yang terjadi di Indonesia ataupun belahan dunia lainnya.

Napak tilas, silaturrahim, mengembalikan nilai luhur sebagai makhluk sosial yang senang bermasyarakat setelah setahun hidup dalam dunia persaingan dan individualis, mempererat tali persaudaraan, dan memuaskan kerinduan terhadap tanah kelahiran, dll, itulah semuanya manfaat daripada acara mudik tahunan, yang walaupun berat pelaksanaannya dan banyak menghabiskan energi serta penuh resiko dalam perjalanan, namun dari tahun ketahun kaum urban masih akan terus melakukannya sebagai tradisi yang mengasyikkan.

Secara ekonomi juga terjadi aliran uang dari kota kedesa, yang walaupun jumlahnya hanya sebagian kecil daripada jumlah keseluruhan biaya konsumsi yang dikeluarkan oleh para pemudik pada acara pulang kampung tersebut sejak saat persiapan dan selama perjalanan dan pada saat berada dikampung sampai balik kembali dikota asal.

Perlu digaris bawahi bahwa nilai tambah secara ekonomis bagi desa hanyalah sebatas biaya yang dikeluarkan oleh pemudik pada saat berada atau stay didesa tersebut termasuk ampau yang dibagikan kepada sanak keluarga, atau mungkin ada tambahan kalau ada pemudik yang telah mengirimkan terlebih dulu biaya persiapan dikampung kepada para keluarga yang akan menjamunya disana.

Kalau kita samakan bahwa pemudik sebagai wisatawan tahunan, maka yang dapat memberdayakan masyarakat desa hanyalah devisa yang mengalir dari kota kedesa yang dibawa oleh pemudik tersebut, dan selanjutnya devisa tersebut berputar didesa, sebagai tambahan segar bagi pergerakan roda ekonomi didesa.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka sudah saatnya acara mudik tahunan yang bersifat massal dan kolosal tersebut dapat ditata dan dikelola lebih baik lagi demi mengoptimalkan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat desa, dengan kata lain uang atau devisa yang mengalir dari kota kedesa bisa lebih banyak lagi.

Biasanya para pemudik banyak membawa barang dari kota kedesa, berupa buah tangan atau bekal keluarga selama berada dikampung.

Lihatlah para pemudik yang berebut tempat dikereta, bus, kapal laut maupun pesawat, umumnya membawa beberapa kotak kardus berisi barang disamping tas dan koper yang berisi penuh. Tidak berbeda, para pemudik dengan kendaraan pribadi mobil atau sepeda motor, juga membawa kotak kardus dan tas dan koper yang terisi penuh.

Bawaan yang banyak dan berat sudah pasti membuat perjalanan terasa tak nyaman. Sebaiknya bawaan tersebut dikurangi, sehingga yang dibawa hanya buah tangan dan makanan khas dari kota tempat asal pemudik saja, yang lain bisa dibeli didesa tempat tujuan, atau diberikan dalam bentuk uang tunai saja sebagai buah tangan.

Untuk memenuhi kebutuhan belanja pemudik selama didesa, mestinya harus tersedia toko-toko serba ada didesa yang buka siang dan malam, dengan stok yang cukup dan dengan harga yang wajar.

Dalam hal mencukupi kebutuhan pemudik selama didesa inilah yang perlu menjadi perhatian serius bagi masyarakat desa dan kalau perlu diorganisir oleh perangkat desa atau pemerintah daerah setempat.

Kebutuhan pemudik dapat berkembang menjadi tempat-tempat wisata, hiburan, restoran, toko oleh-oleh khas dari desa dan daerah tersebut, dll. Jika semua ini dikelola secara serius. rapi, dan berkesinambungan, niscaya para pemudik akan terbiasa gemar membelanjakan uangnya lebih banyak didesa ketimbang membawa barang dari kota.

Jika perlu pemerintah daerah setempat dapat berpartipsipasi aktif untuk memberikan pengertian kepada para pemudik agar mempunyai kebanggaan tersendiri dapat ikut serta memberdayakan masyarakat desanya, dengan banyak membelanjakan uangnya didesa kelahirannya tersebut.

Hasilnya, pemudik nyaman, desa berkembang dan Indonesia maju......................!!!

Minggu, 20 September 2009

Idul Fitri Hari Kemenangan

Oleh : Mahiruddin Siregar


Allohu akbar, Allohu akbar, Allohu akbar,
La ilaha illallohu Allohu akbar,
Allohu akbar, walillahil hamdu.


Sepulang dari perang badar,

Rasulullah SAW bersabda :
"Kita baru saja pulang dari jihad kecil, menuju jihad besar".

Para sahabat terheran-heran mendengar sabda tersebut, mengingat begitu beratnya jihad pada perang badar yang dengan ijin Allah dimenangkan oleh pasukan muslimin, namun rupanya masih ada jihad yang lebih berat lagi. Kiranya jihad apa ya Rasullullah yang lebih besar daripada perang badar yang baru saja kita menangkan ?

Rasulullah menjawab :
"Jihad yang lebih besar adalah perang melawan hawa nafsu".

Ya, menundukkan hawa nafsu memang sangatlah beratnya, bahkan jauh lebih berat daripada mengalahkan musuh, yang meskipun jumlahnya jauh lebih banyak, seperti terjadi pada perang badar tersebut.

Musuh dalam perang melawan manusia dapat terlihat nyata dan jelas, tetapi tidak dalam melawan hawa nafsu, karena dibalik hawa nafsu terdapat kekuatan syetan yang bentuknya tak nampak.

Bahkan dalam perang melawan musuh yang nyata sekalipun, seorang pejuang masih harus mengalahkan hawa nafsunya sendiri terlebih dahulu, yaitu nafsu untuk meninggalkan peperangan karena takut mati, dll. Mungkin itulah sebabnya Rasulullah SAW menegaskan hal tersebut lewat hadisnya seperti diatas.

Perlu diingat bahwa perang badar berlangsung pada bulan Ramadhan, bulan dimana umat Islam diwajibkan untuk menahan diri untuk tidak melakukan beberapa nikmat pada siang hari yang pada bulan lainnya dihalalkan, seperti makan, minum dan hubungan seksual.

Untuk menjalankan itu tentu umat Islam harus berperang melawan hawa nafsunya sendiri, bahkan tidak cukup hanya itu, tetapi agar tidak membatalkan pahala puasa harus juga menahan diri dari segala perbuatan yang tidak diridhoi oleh Allah SWT, seperti : marah, dusta, gossip, caci-maki dan mengejek.

Meski kelihatannya sepele namun sesungguhnya amatlah berat rasanya menahan diri dari perbuatan-perbuatan tersebut.

Tak hanya menahan diri dari perbuatan tercela, tetapi juga agar nilai puasa kita sempurna, kita harus banyak melakukan perbuatan terpuji seperti ibadah sunnah shalat taraweh, tadarus al-Quran, memberikan infaq dan sedekah kepada para dhuafa, peduli kepada sesama, berlaku adil dan jujur dan tetap bekerja keras seperti hari-hari sebelumnya.

Bisa jadi jihad besar yang dituju setelah selesai jihad kecil perang badar adalah melanjutkan ibadah puasa pada waktu itu.
Allahu aklam.

Hari ini 1 Sawal 1430 umat Islam seluruh dunia baru saja menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan. Ibadah dimana kita perperang, jihad besar menahan dan menundukkan hawa nafsu.
Insya Allah kita telah berhasil memperoleh kemenangan besar, sehingga hari ini adalah hari kemenangan kita, hari yang suci dan Fitri,

maka melalui tulisan singkat ini, ijinkan saya menghaturkan ucapan :

"Taqobbal Allahu minna wa minkum,
Selamat Hari Raya Idul Fitri,
Minal aidin wal faidzin,
Mohon maaf lahir dan batin".

semoga semua amal ibadah yang kita lakukan diterima oleh Allah SWT,
Amin.







Kamis, 17 September 2009

Mudik

Republika.co.id, Selasa, 15 September 2009 pukul 01:49:00

Mudik


Awal pekan ini, arus mudik mulai meningkat. Kita kembali menyaksikan fenomena terbesar negara ini; mudik. Jumlahnya dari tahun ke tahun terus meningkat, dengan beragam moda transportasi, mulai dari darat, laut, sampai udara. Mengarungi arus kemacetan berjam-jam, berdesakan di kereta api, kapal laut maupun udara, semua jadi tak berarti diguyur semangat Ramadhan dan Idul Fitri.

Mudik, dalam batas-batas tertentu, boleh jadi merupakan fenomena sosial ekonomi yang positif. Mudik memberi andil yang besar dalam menjaga nilai-nilai kekeluargaan, solidaritas, dan harmoni sosial. Mudik juga menjaga nilai-nilai kultural antara pemudik dan daerah asalnya. Dampak ekonomi mudik juga tidak bisa dipandang remeh. Bersamaan dengan mudik, triliunan rupiah uang mengalir setiap tahunnya ke daerah asal pemudik yang menggerakkan roda perekonomian lokal. Belum lagi konsumsi seperti di sektor transportasi, komunikasi, perdagangan, hotel, dan restoran.

Bergeraknya roda perekonomian tersebut tampak nyata. Pemudik tak akan pulang kampung ke halaman dengan tangan kosong. Hasil jerih payah selama sekitar setahun, seakan memang disiapkan untuk saat-saat seperti ini. Dana segar maupun dalam bentuk barang, dengan cepat mengalami perpindahan dari Ibu Kota ke daerah-daerah. Dari daerah kembali menyebar bahkan sampai ke daerah-daerah terpencil, menggerakkan kegiatan perekonomian lokal.

Di sisi lain, mudik memaksa pemerintah dan seluruh instansi terkait mempersiapkan infrastruktur terutama terkait transportasi dan komunikasi yang teramat dibutuhkan bagi pemudik. Semua pihak, dengan segala daya dikerahkan agar fenomena mudik berjalan lancar. Pendek kata, mudik mampu mendorong pergerakan roda perekonomian--baik di kota-kota besar maupun di daerah--lebih cepat dari biasanya. Mudik secara ekonomi mempunyai efek multiplier yang sangat besar.

Sayang, fenomena sebesar mudik hanya bisa kita saksikan sekali dalam setahun. Hanya saat mudiklah kita bisa menyaksikan bagaimana perekonomian lokal, formal maupun informal, mampu bergerak bersamaan tanpa saling mematikan. Bahkan, yang terjadi justru saling menopang. Perusahaan besar dan kecil beramai-ramai memberikan kemudahan perpindahan kegiatan perekonomian dan pusat ke daerah. Perusahaan besar dan kecil, berlomba-lomba melancarkan redistribusi ekonomi, penyebaran kegiatan ekonomi secara merata ke hampir seluruh daerah.

Kita tentu sangat berharap redistribusi ekonomi itu tetap bisa terlihat meski masa-masa mudik sudah usai. Kita tentu menginginkan fenomena positif mudik tersebut bisa terjadi setiap waktu. Infrastruktur yang siap pakai, nyaman dan aman, serta penyebaran kegiatan perekonomian ke daerah-daerah bisa kita saksikan setiap saat. Sehingga, perekonomian secara dapat benar-benar bergerak dan tumbuh secara mandiri, mengandalkan sektor-sektor perekonomian yang riil.

Sudah saatnya pemerintah memikirkan upaya-upaya redistribusi ekonomi dengan kontinuitas yang terjaga. Kegiatan-kegiatan usaha dan pusat-pusat bisnis, sudah waktunya dikembangkan di daerah-daerah. Sehingga, tak cuma terpusat di kota-kota besar, khususnya Ibu Kota. Peluang-peluang investasi usaha terutama sektor riil, di daerah perlu dibuka selebar-lebarnya, tanpa harus menggerogoti nilai dan norma kedaerahan. Sehingga, sumber daya di daerah bisa benar-benar dioptimalkan dan mampu menghidupkan ekonomi lokal, yang ujung-ujungnya mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Mudik adalah pelajaran berharga jika serius ingin menghapus kesenjangan ekonomi pusat dan daerah.

Sabtu, 12 September 2009

Sengketa Budaya Anak Nusantara

Oleh : Mahiruddin Siregar


(peta nusantara, by masjid nusantara, ww.flickr.com)


Indonesia dan Malaysia adalah dua negara serumpun disamping Brunai Darussalam, Singapura, Papua Newgini dan Timor Leste ditambah beberapa suku bangsa di Filipina (bangsa Moro) dan Thailand (bangsa Pattani). Semuanya adalah anak bangsa yang mendiami wilayah Nusantara.

Mereka hidup damai dan sejahtera selama berabad-abad, meskipun mereka terdiri dari beberapa kerajaan yang silih berganti memiliki kekuasaan dominan diantara sesamanya. Kerajaan yang paling berpengaruh dan paling luas daerah kekuasaannya adalah Majapahit dan Sriwijaya.

Tapi sayang seribu kali sayang, kedamaian dan rasa persaudaraan itu dirusak dengan terjadinya bencana besar yang dibawa oleh kaum penjajah yang mencaplok dan membagi-bagi Nusantara menjadi beberapa negara koloni dibawah kekuasaan Belanda, Inggris , Portugis dan Spanyol.

Setelah berabad-abad dibawah kungkungan para penjajah, negara-negara anak jajahan itu akhirnya dapat memerdekakan diri masing-masing, tetapi tetap terpecah belah sesuai dengan wilayah pada saat penjajahan, tidak ada lagi Satu Negara dibawah naungan Nusantara Raya.

Akibatnya diantara negara-negara anak Nusantara tersebut terjadi persaingan sengit dalam hal ekonomi, politik dan budaya.

Awalnya persoalan budaya tidak begitu penting untuk diperebutkan, tetapi akhir-akhir ini peninggalan budaya nenek moyang yang terus dilestarikan dapat menjadi aset berharga untuk memajukan pariwisata, sekaligus menjadi penghasil devisa yang sangat besar bagi negara yang dapat memanfaatkannya.

Indonesia sangat dikenal oleh dunia internasional berkat keindahan alam dan budaya pulau dewata Bali, yang telah menjadi andalan pariwisata utama Indonesia sejak lama. Begitu juga beberapa daerah wisata lainnya seperti Yogyakarta, Danau Toba, Tana Toraja, Taman Laut Bunaken, dll. Semuanya juga telah lama terkenal sebagai kekayaan wisata Indonesia.

Akhir-akhir ini negeri jiran Malaysia, yang secara ekonomis sedikit lebih maju daripada Indonesia, mulai melirik dan memanfaatkan dunia pariwisata (tourism) sebagai andalan pemasukan devisa negaranya. Tidak tanggung-tanggung, mereka sangat getol mengiklankan Visit Malaysia dengan jargon Trully Asia.

Dalam hal management dan kecukupan fasilitas dan finansial mereka lebih unggul daripada Indonesia, tetapi dalam hal kekayaan budaya, Indonesia jauh lebih unggul.
Buktinya budaya Indonesia sangat digemari dinegari jiran tersebut, mulai dari tari-tarian, film dan musik. Jangan heran kalau hampir semua musisi Indonesia sangat banyak digemari oleh warga Malaysia, sampai-sampai musisi Malaysia menjadi gerah karena hampir semua stasion radio disana lebih suka memutar lagu-lagu Indonesia daripada lagu-lagu Malaysia. Sehingga ada ungkapan kalau sudah diatas jam 22.00 mendengar radiao-radio di Malaysia seperti berada di Jakarta saja.

Miskinnya identitas diri dan budaya anak Malaysia mengakibatkan mereka sering sekali mengakui budaya asal Indonesia sebagai budaya Malaysia sendiri, seperti batik, angklung, lagu Rasa Sayange, reog Ponorogo dan terakhir tari Pendet yang berasal dari Bali.

Mereka beralasan bahwa budaya tersebut telah lama ada di Malaysia, yang katanya merupakan warisan budaya Nusantara, dimana Malaysia juga adalah salah satu bagian dari Nusantara.

Statement itu ada benarnya, sebab kedua bangsa sebetulnya hampir sama dalam banyak hal mulai dari perawakan dan warna kulit, bahasa, pakaian, makanan, dll, sehingga apa yang disukai oleh orang Indonesia sangat besar kemungkinan disukai juga oleh orang Malaysia. Contohnya lagu-lagu Indonesia seperti disebutkan diatas sangat disenangi oleh rakyat Malaysia, dan sebaliknya ada beberapa lagu Malaysia yang digemari di Indonesia.

Bahkan lagu kebangsaan Malaysia "Negaraku" , meskipun judul dan liriknya berbeda, konon lagu tersebut sangat mirip dengan lagu pop Indonesia tahun 1930-an yaitu Terang Boelan. Lagu ini sempat menjadi theme song film Terang Boelan pada tahun 1938. Film dan lagu Terang Boelan sangat terkenal sampai ke Malaysia yang pada waktu itu masih bernama Malaya.

Hiruk pikuk mengenai sengketa budaya antara anak Nusantara tersebut yang bagi sebagian besar anak bangsa Indonesia merupakan "pencurian" budaya Indonesia oleh Malaysia sungguh sangat menghabiskan energi untuk mendudukkan perkaranya secara jernih.

Terlebih lagi selain klaim budaya tersebut Malaysia juga suka mengklaim wilayah Indonesia sebagai wilayah mereka, sehingga akibat kelalaian Indonesia, dua pulau pindah tangan menjadi milik Malaysia yaitu Sipadan dan Ligitan. Dan kini sedang dalam sengketa pula kepemilikan pulau Ambalat.

Masih banyak lagi perkara-perkara yang menjadikan konflik antara Indonesia dan Malaysia seperti masalah TKI, Manohara dan putra mahkota Klantan, Noordin M Top gembong teroris dari Malaysia yang beroperasi di Indonesia, dll.

Saya rasa masalah-masalah seperti tersebut diatas akan terus terjadi dan berulang dikemudian hari, sebagaimana masalah antar tetangga. Walaupun dapat diselesaikan satu masalah, masalah yang lain akan timbul kembali, selama masalah pokok dan utama tidak dipecahkan.

Kita adalah bangsa yang sama, memiliki ras, tradisi dan budaya yang sama, kenapa kita tidak bersatu saja lagi dibawah Negara Nusantara Raya ?

Jika itu terjadi, saya yakin sengketa anak Nusantara akan berakhir dengan sendirinya.