Senin, 09 Agustus 2010

"Tanpa Redenominasi Rupiah Jadi Mainan"

Hadi Suprapto, Anggi Kusumadewi

VIVAnews - The Indonesian Economic Intelligence (IEI) menilai bahwa kebijakan menyederhanakan nominal rupiah atau redenominasi yang baru-baru ini diwacanakan oleh Bank Indonesia, perlu untuk diambil.

"Redenominasi penting dilakukan karena nilai tukar rupiah terus menurun," ujar Ekonom Kepala IEI Sunarsip, di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu 8 Agustus 2010.

Nilai tukar rupiah terus menurun, baik karena depresiasi (penurunan secara natural) maupun devaluasi (penurunan akibat kebijakan). Dengan demikian, mata uang rupiah relatif kurang memiliki kemampuan untuk melakukan apresiasi.

Nilai tukar rupiah, menurut Sunarsip, tidak kompetitif dibandingkan dengan mata uang negara-negara lain. Kondisi tersebut menyebabkan rupiah mudah dikalahkan oleh kekuatan mata uang negara lain. Rupiah bahkan kerapkali dimanfaatkan oleh para spekulator untuk melakukan transaksi carry trade.

"Artinya, spekulator seringkali memanfaatkan selisih atau disparitas nilai mata uang antara valas dengan rupiah, untuk mengambil keuntungan dari transaksi perdagangan valas. Dengan kata lain, mata uang kita jadi mainan," terang Sunarsip.

Ia mengingatkan, tren yang berlangsung selama ini adalah, apabila nilai suatu mata uang semakin melemah, maka ia cenderung akan terus melemah. "Lihat saja di Zimbabwe, sampai-sampai ada selembar uang berniat 1 triliun," kata Sunarsip.

Sunarsip juga menyatakan, selain bertujuan untuk penyederhanaan dalam pencatatan, redenominasi secara psikologis ekonomi juga dapat meningkatkan bargaining position (posisi tawar) nilai tukar rupiah terhadap mata uang lainnya.

IEI berpendapat, masyarakat tidak perlu khawatir dengan redenominasi karena kebijakan itu tidak menaikkan atau menurunkan pendapatan maupun harga barang. "Redenominasi adalah kebijakan penyesuaian, baik dari sisi moneter (mata uang) maupun dari sisi riil (harga barang). Jadi, penyesuaian tidak hanya dari satu sisi, sehingga tidak ada yang dirugikan di sini," jelas Sunarsip.

"Redenominasi bukan sanering seperti yang dilakukan Indonesia pada masa Orde Lama tahun 1960-an," tandasnya. Sanering berbeda dengan redenominasi, karena sanering adalah pemotongan nilai mata uang tanpa diimbangi penyesuaian nilai riil (harga barang).

"Jadi uang Rp1.000 menjadi senilai Rp1, padahal harga barang tetap dan tidak ikut diturunkan. Iitulah sanering," ujar Sunarsip. Oleh karena itu, katanya, tak heran apabila saat itu banyak orang Indonesia yang mendadak kaya dan mendadak miskin. "Dalam sanering, mereka yang mempunyai banyak simpanan di bank akan miskin mendadak, sedangkan mereka yang memiliki banyak simpanan emas, akan kaya mendadak," jelasnya.

Sementara redenominasi tidak demikian, karena perubahan nilai mata uang diikuti dengan perubahan harga barang. "Intinya, tidak ada perubahan apapun dalam redenominasi. Tidak perlu khawatir akan adanya kenaikan atau penurunan harga barang, maupun penurunan tingkat pendapatan," tutur Sunarsip. (hs)
• VIVAnews

Rabu, 04 Agustus 2010

BI Melaju dengan Redenominasi

Oleh Palupi Annisa Auliani

Bank Indonesia (BI) ternyata serius dengan wacana penyederhanaan penulisan mata uang (redenominasi) yang pernah disampaikan dua bulan lalu. Usulan untuk menghapus tiga angka nol dari uang rupiah itu segera disampaikan ke Presiden dan DPR. Hasil kajian yang telah dilakukan selama enam tahun terakhir ini dijadwalkan mulai diimplementasikan pada 2013 dan rampung 2020.

Deputi Gubernur BI Budi Rochadi mengatakan, usulan ini akan diajukan ke Presiden dalam dua bulan ke depan. Bisa saja usulan ini disandingkan dengan pembahasan RUU Mata Uang yang kini bergulir di DPR. Keputusan redenominasi memang bukan hanya keputusan ekonomi, melainkan sudah masuk ranah politik. "Tugas BI adalah menyiapkan programnya. Keputusannya tak hanya di BI, tapi juga di Presiden dan harus dilengkapi peraturan perundang-undangan (melibatkan DPR)," kata Budi, Selasa (3/8).

Bagi negara yang berkembang, inflasi yang tinggi membuat nilai uang terhadap barang semakin luntur dalam waktu cepat. Akibatnya, dibutuhkan transaksi dengan uang kertas yang nilainya semakin besar. Bila 25 tahun lalu nilai terbesar uang rupiah masih Rp 10 ribu, kini sudah Rp 100 ribu. Dikhawatirkan tak lama lagi bank sentral harus mengeluarkan uang rupiah berdenominasi Rp 200 ribu dan Rp 500 ribu.

Saat ini, mata uang dengan denominasi terbesar dipegang Dong Vietnam dengan nilai 500 ribu. Semakin besarnya angka yang dituliskan dalam uang rupiah dinilai tak praktis dan membingungkan. Karena itu, BI pun memunculkan wacana agar tiga angka nol dihapus sehingga Rp 1.000 uang sekarang nantinya cukup dituliskan Rp 1 uang baru dengan nilai dan daya beli yang sama.

Pjs Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, redenominasi harus dilakukan untuk mengatasi inefisiensi dalam transaksi dan pencatatannya, baik untuk pembayaran tunai maupun nontunai. "Sebenarnya soal teknis, soal digit angka transaksi berlangsung, semakin lama semakin merepotkan di kegiatan ekonomi kita," kata Darmin.

Pencatatan pembukuan semakin mahal biayanya dan semakin lama aplikasi maupun infrastrukturnya. Darmin mencontohkan, pencatatan pendapatan domestik bruto akan bermasalah jika sudah tembus Rp 10 ribu triliun dengan denominasi saat ini. Peralatan hitung akan kesulitan mengakomodasi jumlah digit sebanyak itu.

Makanya, mumpung belum terlalu repot BI berpendapat saat ini adalah waktu yang tepat untuk menggulirkan rencana redenominasi. "BI melihat ini sudah momennya untuk dibicarakan, karena ini proses sangat panjang. (Dan sekarang) pertumbuhan ekonomi sangat baik, walau inflasi sedang naik tapi masih terkendali," kata Darmin.

Wacana redenominasi sudah berada di tahap finalisasi riset dan studi yang diharapkan rampung tahun ini. Menurut Darmin, redenominasi ini untuk mengantisipasi kondisi tujuh sampai 10 tahun ke depan. Prosesnya butuh waktu lama. Turki, misalnya, berhasil melakukan redenominasi dalam waktu 10 tahun.

BI pun sudah menyiapkan rancangan penjadwalan rangkaian proses redenominasi ini. Setelah selesai persiapan dan studi, tahun 2011 dan 2012 adalah masa sosialisasi, serta persiapan sistem akuntansi dan pencatatan. Darmin optimistis dua tahun mencukupi untuk ketiga hal itu. Setelah itu, mulai 2013 masa transisi redenominasi dimulai.

Dalam fase transisi ini, uang baru dengan denominasi yang lebih sederhana akan mulai beredar bersama uang lama. Transaksi bisa dilakukan dengan dua jenis uang atau bahkan campuran keduanya. Maka, setiap toko harus membuat dua label harga untuk setiap barang, dengan denominasi uang lama dan uang baru. Misalnya, harga suatu barang Rp 10 ribu harus dituliskan label Rp 10 untuk uang baru dan Rp 10 ribu untuk uang lama.

BI memperkirakan, masa transisi akan berlangsung tiga tahun dari 2013-2015. Kemudian, selama dua tahun dari 2016 sampai menjelang 2018 akan dilakukan penarikan uang lama. "Penarikan selesai 2018. Tahap terakhir 2019-2021, tapi saya pikir 2020 cukup, mulai dihilangkan tulisan 'rupiah baru'. Langsung ditulis rupiah, tapi dengan nilai yang lebih tinggi," kata Darmin.

Penarikan uang akan dilakukan secara alamiah karena BI juga tak ingin jumlah uang yang beredar di masyarakat terlalu besar. Uang rusak masuk ke BI diganti dengan uang baru sampai lama-lama uang lama habis.

Rencana BI ini tak pelak membuat pemerintah langsung bereaksi untuk meredam dampaknya, khawatir masyarakat akan resah karena teringat praktik sanering (pemotongan uang) tahun 1952, 1959, dan 1966. Ketika itu sanering tak hanya sekadar menyederhanakan penulisan mata uang, tapi juga sekaligus memangkas nilainya. Dua sanering pertama memangkas nilai uang menjadi setengahnya, sanering terakhir menyunat nilai uang tinggal seperseribu.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan bahwa pemerintah belum mempunyai rencana untuk redenominasi seperti diwacanakan oleh BI. Menurut Hatta, ada pandangan di mata masyarakat kebijakan ini serupa dengan sanering. Padahal, redenominasi sangat berbeda dengan sanering. "Kalau ini menjadi wacana di BI bisa saja, tapi wacana yang dikembangkan bukan berarti segera akan dijalankan, karena pemerintah tidak mempunyai rencana seperti itu," ujar Hatta.

Wakil Presiden Boediono meminta masyarakat tidak perlu panik dan terpengaruh oleh hasil studi BI tersebut. "Karena statusnya hanyalah sebagai studi, dan tadi studi itu saya cek lagi. Memang berlanjut tapi belum selesai," kata Boediono seusai bertemu Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo.

Seluruh hasil studi tersebut akan dibahas pemerintah dengan mengambil masukan dari publik sampai ada hasil definitif. Boediono juga mengingatkan, redenominasi memang dilakukan ketika ekonomi sedang baik seperti saat ini, bukan saat ekonomi memburuk seperti peristiwa sanering di masa lalu. "Tetapi sekali lagi statusnya adalah studi. Sekarang yang penting jaga suasana kestabilan dan ketenangan, tidak usah terpengaruh oleh hasil studi. Prosesnya akan panjang untuk menjadi sebuah kebijakan," tegas Boediono.
teguh firmansyah/yasmina hasni ed: rahmad budi harto
(www.republika.co.id)