Rabu, 31 Maret 2010

Secercah Harapan Mulai Terbit


Oleh : Mahiruddin Siregar

Indonesia terpuruk, korupsi meraja lela, penegakan hukum lemah, birokrasi bertele-tele, perizinan sulit, kenaikan harga-harga tak terkendali, dan lain-lain kebobrokan yang terus menimpa, sehingga rakyat Indonesia dari hari- kehari masih terus semakin menderita dalam mengharungi kehidupan yang terasa sangat berat.

Reformasi telah berjalan lebih dari 1 dasawarsa, namun KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang dulu mau ditumpas, masih belum juga berkurang meskipun harus diakui bahwa telah ada beberapa koruptor yang dihukum, tetapi belum ada tanda-tanda KKN akan berkurang.

Kalau hanya berharap dari kemauan dan kemampuan pemerintah dan pejabat negara lainnya saja, sepertinya jauh api dari panggang. Mereka bergerak lamban, ragu dan takut.

Mau tidak mau social control dari masyarakat sipil sangat dibutuhkan, terutama dari golongan menengah, yang hidup dilingkungan swasta. Kelompok ini ternyata memiliki kekuatan yang sangat dahsyat untuk memaksa pemerintah dan para pejabatnya, membuka mata melihat kenyataan bahwa sesungguhnya sangat banyak kejanggalan yang mereka lakukan melalui rekayasa keji demi melanggengkan kekuasaan dan menambah kekayaan.

Kita ingat betapa dahsyatnya kekuatan 1 juta face booker yang memaksa pemerintah untuk menghentikan rekayasa hukum yang menjerat Bibit & Chandra sehingga keduanya bisa bebas dan kembali bertugas sebagai wakil ketua KPK.

Tak kalah dahsyat gerakan coin untuk Prita yang dapat mengumpulkan hampir Rp.1 milyar untuk membantu membayar denda kepada RS Omni International, yang akhirnya secara terpaksa RS Omni harus mencabut gugatannya dan kemudian Prita bebas dari jeratan hukum maupun denda, yang memang seharusnya tidak pantas dia alami.

Masih kelanjutan dari kasus Bibit & Chndra, yang memaksa Polri melengserkan Komjen Susno Duaji dari jabatannya sebagai Kabareskrim, buntutnya entah karena Susno tidak mau jadi pecundang sendirian, atau dengan kesyadaran sendiri demi membantu polri untuk mereformasi diri, maka beliaupun melaporkan kepada Satgas Pemberantasan Makelar Hukum, bahwa ditubuh polri ada praktek-praktek mafia dan makelar hukum, akibatnya dua jendral yang inisialnya disebutkan oleh Susno, meradang, kemudian balik mengadukan Susno sebagai pencemar nama baik, maka polri pun cepat bergerak menetapkan Susno sebagai tersengka pencemaran nama baik, padahal seharusnya yang perlu lebih cepat ditanggapi oleh polri adalah menyelidiki kebenaran adanya makelar kasus tersebut, kalau memang terbukti tidak ada, barulah urusan pencemaran nama baik dilakukan.

Dari nyanyian pak Susno itu terbukalah kepada umum bahwa bau tak sedap makelar hukum ditubuh polri kelihatannya benar-benar ada, dimana seorang Gayus Tambunan pegawai pajak golongan rendah yang memiliki Rp.25 m direkeningnya itu, akhirnya bebas dari tuntutan penggelapan.

Nah semakin melebar, ternyata sosok Gayus yang kini sudah kabur ke Singapura, akan menguak cerita lain tentang makelar-makelar hukum yang ada di polri, kejaksaan dan kehakiman, dan besar kemungkinan di tubuh Ditjan pajak sendiri atau Depkeu secara keseluruhan.

Kalau saja Gayus mau mengikuti cara Susno untuk bekerja sama membongkar praktek mafia pajak, karena publik yakin bahwa Gayus tidaklah bekerja sendiri, maka sedikit banyaknya dia akan tercatat oleh masyarakat, bukan semata sebagai koruptor tetapi bisa jadi sebagai "pahlawan" pembongkar korupsi pajak.

Rentetan kejadian seperti diatas, menurut saya akan membawa perubahan-perubahan perilaku masyarakat untuk lebih berani melawan kesewenangan para aparat yamg coba merekayasa hukum dan menyakiti rasa keadilan masyarakat. Jika keberanian ini semakin meluas keseluruh pelosok nusantara, saya yakin secara pelan dan pasti, pemerintah dan aparatnya akan berpikir seribu kali sebelum melakukan perbuatan terkutuk mereka.

Kita harus bersyukur bahwa salah satu hasil dari gerakan reformasi kita adalah kebebasan pers, masyarakat tahu ada praktek mafia hukum adalah berkat jasa media, baik cetak terlebih lagi elektronik.

Keberanian masyarakat dan media telah membawa secercah harapan untuk perubahan, menuju Indonesia maju dan jaya..........!!!

Selasa, 30 Maret 2010

Dorong Industri Hilir Sawit

EH Ismail

JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menargetkan pembangunan industri hilir berbasis kelapa sawit. Visi pembangunan industri hilir sawit itu tertuang dalam cetak biru pembangunan sawit nasional sampai 2020.

Pada tahun ini, pemerintah setidaknya bakal mendorong terwujudnya pembangunan industri hilir sawit di tiga lokasi khusus, yaitu di Semangke (Sumatra Utara), Kuala Enok dan Dumai (Riau), serta Malowi (Kalimantan Timur).

''Pembangunan industri hilir yang bahan bakunya sawit itu untuk meningkatkan pemakaian sawit di dalam negeri,'' kata Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Ahmad Mangga Barani, usai melakukan pertemuan dengan 18 perusahaan sawit nasional di Jakarta, Senin (29/3).

Industri hilir sawit, lanjut Mangga Barani, meliputi pembangunan infrastruktur pendukung perdagangan serta distribusi kelapa sawit berupa pelabuhan, pembangunan pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit menjadi minyak goreng, dan pembangunan industri biodiesel.

Pada 2020, pemerintah menargetkan produksi sawit nasional mencapai 40 juta ton per tahun. Dengan pengembangan industri hilir sawit, diharapkan terjadi keseimbangan pemanfaatan sawit dalam negeri dengan ekspor. Lonjakan pemanfaatan sawit nasional berpotensi membuka lapangan kerja baru pada dunia industri sawit.

Selama ini, kata dia, pemakaian sawit nasional relatif masih kecil. Dari sekitar 19 juta ton produksi total sawit per tahun, baru enam juta ton sawit yang digunakan di dalam negeri.

Mengenai pertemuan dengan 18 perusahaan sawit, Mangga Barani menerangkan, kegiatan itu dipicu kampanye Greenpeace terkait proses produksi sawit nasional. Greenpeace menyeru negara-negara Eropa untuk tidak membeli produk sawit Indonesia lantaran proses produksinya tidak memerhatikan konservasi lingkungan.

Secara khusus Greenpeace menyoroti lahan-lahan sawit milik PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT Smart) di Kalimantan Tengah. Produksi sawit PT Smart di Kalimantan Tengah selama ini dibeli oleh grup perusahaan Nestle dan Unilever.

Akibat kampanye Greenpeace, kata Mangga Barani, Unilever dan Nestle mengevaluasi kontrak dagang mereka dengan PT Smart. Perusahaan-perusahaan itu sedang membicarakan solusi bersama guna menjawab tudingan Greenpeace.

''Mereka sepakat membentuk tim independen yang bertugas memverifikasi lahan-lahan milik Smart. Tim ini yang akan menilai apakah tuduhan Greenpeace benar atau tidak.'' Pembentukan tim independen itu diharapkan selesai pada pekan ini.

Mangga Barani menambahkan, kasus yang menimpa PT Smart menjadi pelajaran bagi produsen sawit skala besar nasional untuk melakukan langkah sistematis bila terjadi masalah serupa. ''Pemerintah dan pengusaha-pengusaha sawit nasional telah menyamakan pandangan, produksi sawit akan terus kita genjot walaupun Greenpeace melakukan kampanye negatif.''

Indonesia dan Malaysia menjadi pemain utama produksi CPO di pasar global. ed: wachidah


Masih Ungguli Malaysia

Produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Indonesia pada 2010 diprediksi masih bisa mengalahkan Malaysia.
Indonesia diprediksi akan mampu memproduksi CPO hingga 23,2 juta ton pada 2010 atau naik 2,5 juta ton (10,7 persen) dibandingkan tahun sebelumnya.

Produksi Minyak Sawit Indonesia (Ton)

Tahun Volume

2006 15 juta
2007 17,27 juta
2008 19,33 juta
2009 20,2 juta
2010 21 juta *

Ket : *) prediksi

(www.republika.co.id)

Rabu, 24 Maret 2010

Maka Teruslah Bermimpi


Karena tidak ada perubahan,
tanpa ada mimpi-mimpi.

Maka jangan pernah bosan,
untuk selalu bermimpi.

Jika anda yakin bahwa mimpi,
akan tercapai,
maka akan ada usaha serius,
dan terus menerus,
hingga mimpipun,
jadi kenyataan................!!!

Jakarta, 24 Maret 2010

Mahiruddin Siregar.

Sabtu, 13 Maret 2010

Diplomasi Sapi

Jangan anggap remeh sapi. Hubungan dua negara, jika tak hati-hati mengelola sapi, bukan mustahil terganggu. Begitulah gambaran hubungan Indonesia dan Australia saat ini, setidaknya hubungan perdagangan kedua negara.

Menyusul swasembada beras, Kementerian Pertanian Indonesia meluncurkan Program Swasembada Sapi 2014. Melalui program ini, diharapkan Indonesia mampu memenuhi sendiri kebutuhan sapi potong dan daging domestik. Bersamaan dengan itu, impor sapi juga diperketat. Meski tak mudah, program ini diyakini bisa tercapai dan tentunya bakal menguntungkan peternak domestik.

Persoalan muncul ketika program tersebut tersiar sampai ke peternak-peternak sapi di Australia. Mereka menilai, Program Swasembada Sapi 2014 menjadi masalah besar. Pasalnya, Indonesia, sampai saat ini, tercatat sebagai pasar ekspor sapi terbesar Australia. Data Kementerian Pertanian menyebutkan, setiap tahunnya Indonesia mengimpor sekitar 650 ribu sapi hidup. Diperkirakan, sekitar 60 persen sampai 70 persen dari jumlah itu diimpor dari Australia.

Berdasarkan data tersebut, hampir bisa dipastikan pengetatan impor menuju Swasembada Sapi 2014 bakal merugikan peternak (pengekspor sapi) Australia. Wajar kalau kemudian perwakilan pemerintahan Negeri Kanguru itu intensif menemui pejabat di Kementerian Pertanian Indonesia. Tujuannya mudah ditebak, yaitu menyampaikan keberatan atas program tadi sekaligus melobi dan berdiplomasi agar upaya menuju swasembada sapi bisa ditekan.

Kita tentu saja berharap pemerintah tak mudah ditekan pihak luar. Potensi peternakan kita sangat besar dan mampu memenuhi kebutuhan negeri sendiri. Tak perlu impor. Swasembada sapi bukan hanya menguntungkan peternak negeri sendiri, tapi juga lebih terjangkau dari sisi harga. Dan, lantaran daging sudah menjadi kebutuhan pokok, swasembada sapi jelas tak bisa ditawar-tawar lagi.

Bagaimana dengan hubungan perdagangan sapi dengan Australia? Langkah Kementerian Pertanian Indonesia adalah menawarkan peternak sapi Australia berinvestasi di sini. Investasi tersebut cukup menguntungkan kedua negara. Peternak Australia tak perlu khawatir kehilangan banyak pangsa pasar karena tetap bisa mengekspor sapi-sapi dengan persyaratan tertentu.

Sebaliknya, petani domestik, selain bisa menyerap ahli teknologi pembibitan sapi, juga memenuhi sendiri kebutuhan sapi (daging) dalam negeri. Bisa diharapkan pula ada penyerapan tenaga kerja. Apa pun penawarannya, investasi tersebut harus menguntungkan Indonesia. Jangan sampai investasi justru melemahkan peternak sapi domestik.

Lawatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Australia kita harapkan dimanfaatkan antara lain untuk memainkan diplomasi demi membela kepentingan peternak sapi domestik. Melalui lawatan kali ini, pemerintah diharapkan bisa mendorong Pemerintah Australia agar mendorong para peternaknya memanfaatkan tawaran investasi tersebut. Apalagi, sampai saat ini, memang belum ada peternak negara tetangga itu untuk menanamkan modalnya di bidang pembibitan sapi.

Masa depan dan kesejahteraan peternak sapi domestik boleh jadi sangat bergantung pada 'diplomasi sapi' yang digencarkan ke Australia. Kita sudah seharusnya berkata dengan tegas kepada pemerintah dan peternak Australia bahwa kewajiban Pemerintah Indonesia adalah menyejahterakan para peternak domestiknya. Ditegaskan pula, negara mana pun tak punya alasan keberatan dengan program pemerintah untuk menjadikan peternak domestik menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
(www.republika.co.id)

Selasa, 09 Maret 2010

Gas untuk Lokal

Bagai ayam mati di lumbung padi. Perumpamaan itu tepat jika diterapkan pada kasus gas di Tanah Air kita ini. Potensi gas begitu besar, tetapi justru industri dalam negeri kekurangan pasokan, sampai ada yang tutup gara-gara tak kebagian, persis ayam mati di lumbung padi.

Persoalan ini pernah mencuat ketika pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda di Aceh tidak memperoleh pasokan gas dua tahun silam. Padahal, tidak jauh dari beroperasinya pabrik itu, masih di provinsi yang sama, ada lapangan gas yang produksinya jauh melampaui kebutuhan pabrik. Tapi, kemudian persoalan ini terlupakan begitu saja.

Kini, kita diingatkan lagi dengan perumpamaan ayam tersebut. Mulai 1 April 2010 nanti, PT Perusahaan Gas Negara (PGN) akan mengurangi pasok gas untuk industri lokal sebesar 20 persen. Berbagai alasan dikemukakan, seperti menurunnya pasokan dari hulu, pemenuhan permintaan ekspor, dan tidak terserapnya pasokan gas tahun lalu.

Tak pelak, keputusan tersebut merupakan pukulan berat bagi industri yang selama ini mengandalkan gas sebagai sumber energi. Bagaimanapun pengurangan pasokan tersebut akan berimbas pada kelangsungan hidup industri yang hidup mengandalkan gas, seperti pabrik baja, keramik, semen, dan pupuk.

Secara logika, pengurangan pasokan gas akan memaksa industri mengurangi utilisasi peralatan sehingga kapasitas pabrik tidak optimal. Ujung-ujungnya, pada kondisi terakhir, industri tersebut bisa-bisa melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan.

Ini memang ironi, karena jika dilihat dari skala produksi, jumlah produksi gas yang bisa ditarik dari dalam bumi Indonesia ini jauh melebihi kebutuhan gas nasional. Pada 2008, misalnya, dari produksi total 2.885 juta kaki kubik, yang dilokasikan ke dalam negeri 505 juta kaki kubik. Sebagian besar produksi gas tersebut justru diekspor untuk memenuhi kebutuhan industri negara lain.

Pemerintah sebenarnya sudah membuat data neraca cadangan migas 2010-2025, yang di dalamnya memuat data-data tentang suplai dan permintaan gas. Tetapi, sepertinya tidak dikemas secara komprehensif dengan pemetaan industri nasional yang semakin hari mulai banyak membutuhkan gas.

Masalah ini harus segera diselesaikan. Ironi-ironi semacam ini tidak boleh lagi dibiarkan menggelinding. Industri dalam negeri harus menjadi prioritas pasokan gas. Apalagi, kini industri di Indonesia juga sedang kritis karena menghadapi perdagangan bebas Cina-ASEAN. Jika tidak dibenahi dari hulu, industri akan makin terbengkalai.

Ada gagasan agar untuk memenuhi pasokan dalam negeri dilakukan dengan mengimpor gas dari negara lain. Masalahnya, apakah harga gas di luar 'bersedia' lebih murah dari dalam negeri? Lagi pula, mengapa harus impor ketika produk dalam negeri sebetulnya berlimpah ruah.

Kementerian Perindustrian menyatakan keprihatinan akan kondisi ini. Dibutuhkan pula, keprihatinan yang sama pada kementerian lain, seperti kementerian energi dan sumber daya mineral serta terutama menteri koordinator ekonomi. Masalah pasokan gas ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Masih ada waktu untuk mengubah kebijakan yang akan diberlakukan per 1 April tersebut.
(www.republika.co.id)

Kamis, 04 Maret 2010

Indonesia Jangan Sampai Alami Filipinanisasi


INILAH.COM, Jakarta - Indonesia dikhawatirkan bisa menjadi Filipina kedua di Asia bila pembangunan ekonominya tak mengalami inovasi dan kemajuan. Mengapa?

"Sejauh ini, terkesan pembangunan institusinya bermasalah, partai-partai politik bermasalah dan korupsi-kolusi masih merajalela," kata Sjamsu Rahardja PhD, ekonom pada Bank Dunia dan pendiri Paramadina Public Policy Institute.

Namun demikian, Sjamsu Rahardja yang mantan peneliti senior LPEM UI dan alumnus Georgetown University, AS, itu melihat Indonesia punya prospek ke depan asal reformasi terus diperdalam di segala bidang.

Sjamsu meyakini bangsa Indonesia masih punya masa depan karena demokratisasi akan terus mendorong publik mendesak pemerintah agar bekerja lebih baik dan efisien, KKN diberantas dan kreatiftas rakyat bisa berkembang. "Yang penting, momentum bagi pemberantasan korupsi dan penguatan good governance terus dipelihara oleh masyarakat madani," kata Samsju Rahardja.

Berikut ini wawancara Ahluwalia dari INILAH.COM dengan Syamsu di sebuah restoran di Jakarta, Kamis (25/2).

Anda melihat Indonesia masih bisa bersaing di Asia ke depan?

Saya yakin masih bisa. Kita bisa maju. Dengan potensi kekayaan alam dan SDM yang luar biasa, kita punya peluang bersaing dengan negara-negara tetangga di Asia. Namun saya khawatir, jika mencermati perkembangan birokrasi, partai politik, dan pemerintahan era reformasi, jangan-jangan kita berjalan di tempat seperti Filipina. Asal tahu saja dulu pada 1960-an Filipina pertumbuhan ekonominya bagus, namun pada tahun-tahun sekarang ini Filipina menjadi negeri paling tertinggal di Asia, dan sudah dikalahkan oleh Indonesia. Filipina berjalan di tempat, politiknya dikuasai bos-bos (bosisme) dan pembangunan ekonominya hanya menggumpal di kalangan orang kaya. Saya cemas kalau Indonesia lantas mengalami 'Filipinanisasi’ yakni kemunduran ala Manila.

Maksud Anda?

Demokratisasi kita idealnya untuk membangun good governance dan good corporate governance. Namun yang muncul kok cenderung begitu-begitu saja, kayak jalan di tempat. Berbagai departemen berambisi menyalurkan kredit sendiri-sendiri, masing-masing ingin berperan sendiri. Sementara desentralisasi dan demokratisasi masih dalam proses menuju yang lebih baik dan riil. Terus terang institusi-intitusi kita belum efektif men-delivery program nyata ke rakyat. Kelas menengah baru juga belum tumbuh kuat, terutama kaum enterpreuner masih lemah.

Sementara drama penyampaian pandangan akhir fraksi soal kasus dana talangan Bank Century Rp6,7 triliun, Selasa lalu, diyakini berdampak politik dan membuat rakyat berharap lebih jauh. Kalau kemudian ternyata kasus Century tidak ada bukti, tentu rakyat juga kecewa kepada parpol-parpol di parlemen. Tapi dampak Bank Century amat luas di masyarakat. Rakyat ingin hukum ditegakkan dan korupsi dibasmi. Kalau ternyata tidak ada pejabat tinggi yang terbukti bersalah, misalnya, atau tidak tuntas, tidak akuntabel dan tak transparan, tentu rakyat kecewa.

Anda bilang soal pentingnya memelihara momentum membasmi korupsi. Maksud Anda?

Saya kira, kita harus terus memelihara momentum bagi good governance. Kita harus menjaga momentum untuk memelihara sikap antikorupsi dan membasmi korupsi baik di parlemen, lembaga yudisial, dan legislatif, Momentum-momentum itu harus dipelihara dan diperkuat sebab sektor swasta dan rakyat butuh transparansi dan akuntabilitas, dan pemerintah tak bisa bersikap semaunya lagi. Yang penting lagi reformasi kelembagaan di tataran yudisial merupakan keharusan. Lembaga yudisial harus ditata dan direformasi agar efektif dan kredibel. [mor]

Senin, 01 Maret 2010

Nafsu Besar, Niat Kecil


Pembangunan Nasional Tertatih-tatih
Nyoman Brahmandita

INILAH.COM, Jakarta - Jargon percepatan pembangunan perlu dikritisi kembali karena tidak sejalan dengan proses pembangunan. Bagaimana mungkin pembangunan bisa berlangsung pesat, bila pemerintah lamban memutuskan rencana pembangunan.

Sekadar contoh, pembangunan banjir kanal timur di wilayah DKI Jakarta. Proyek ini sudah berlangsung cukup lama karena terkendala pembebasan lahan. Banjir besar sudah terlanjur berkali-kali menenggelamkan pemukiman tetapi kanal itu tak kunjung rampung.

Demikian halnya pembangunan monorail di Jakarta. Yang ada justru tiang-tiang pancang yang teronggok kaku di tengah-tengah jalan. Bukannya mengatasi kemacetan lalu lintas, tiang-tiang beton itu malah membuat wajah Jakarta jadi semakin kusut.

Kini, tiang beton monorail itu lebih layak disebut sebagai monumen kebodohan birokrat. Proyek monorail itu mangkrak, lantaran investor tidak mendapatkan jaminan kepastian dukungan fiskal dari pemerintah. Serupa tapi tak sama, adalah proyek sub way di Jakarta yang juga tak jelas nasibnya.

Ada pula proyek pembangunan jalan tol trans Jawa. Jalan tol ini dalam angan-angan masyarakat bakal mengurangi beban jalan raya pos (De Grote Postweg) Anyer-Panarukan yang dibangun Gubernur Jenderal Hermann Willem Daendels.

Tetapi seperti pepatah, nafsu besar tetapi niat kurang, jalan tol trans Jawa itu pun tersendat-sendat. Masalah paling besar adalah soal pembebasan lahan. Kabarnya, pemerintah akan mengeluarkan semacam peraturan mengenai pembebasan lahan. Tetapi toh sampai sekarang peraturan itu tidak juga ditetapkan.

Di Jakarta dan Pulau Jawa saja banyak kasus pembangunan yang molor berlarut-larut karena tidak adanya ketegasan sikap pemerintah, padahal proyeknya ada di depan hidung pemerintah pusat. Apalagi yang di luar Pulau Jawa, yang notabene jauh dari pantaun pemerintah pusat.

Contohnya adalah pembangunan proyek kilang LNG dari lapangan gas Donggi-Senoro di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Seharusnya, kelanjutan proyek Donggi-Senoro ini bakal diputuskan dalam sidang kabinet paling lambat Februari 2010, agar kilang itu bisa beroperasi pada 2013.

Namun kenyataan bicara lain. Sampai kalender Februari berakhir, keputusan belum juga diambil. Kata Menko Perekonomian, keputusan belum bisa diambil lantaran studi teknoekonomi atas proyek tersebut belum kelar. Alhasil, proses pembangunan proyek bernilai Rp50 triliun itu juga bakal molor.

Dalam beberapa kasus itu, pemerintah terkesan tidak berani bersikap tegas dan mengulur-ulur waktu. Seolah pemerintah tidak cukup memiliki kemampuan mengambil keputusan yang cepat, namun tetap tepat dan bijak. Wajar bila masyarakat merasa gregetan melihat kelambanan proses pembangunan.

Dalam kasus Donggi-Senoro tadi, misalnya, DPRD setempat sampai merasa perlu menyuarakan desakan kepada pemerintah pusat agar cepat-cepat memutuskan pembangunan kilang gas itu.

Bila kilang LNG Donggi-Senoro segera dibangun dan beroperasi, akan memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang sangat besar bagi perekonomian daerah maupun nasional. Akan terjadi penciptaan lapangan kerja di daerah itu, yang berarti pula mengurangi angka pengangguran nasional. Hasil gas dari lapangan gas itu, juga akan meningkatkan perolehan devisa bagi negara.

Alasan itu sangat mudah dipahami. Investasi senilai Rp50 triliun yang tertanam dalam proyek kilang LNG itu tentu akan memberikan pengaruh ekonomi signifikan bagi Kabupaten Banggai, maupun Propinsi Sulawesi Tengah.

Coba bayangkan. Seandainya selama tiga tahun masa konstruksi itu, hanya 5% atau Rp2,5 triliun dari total investasinya yang benar-benar berputar dalam sistem perekonomian setempat, maka efek penggandanya tentu akan sangat besar. Uang yang beredar akan meningkatkan kesejahteraan mereka.

Belum lagi, bila gas Donggi-Senoro sudah benar-benar menyembur dan diproduksi. Maka kas pemda setempat akan menggelembung dengan cepat, karena diisi dana bagi hasil migas yang menjadi hak daerah.

Nilai dana bagi hasil migas itu tentu sangat besar dibandingkan PAD Kabupaten Banggai yang saat ini cuma Rp 18 miliar. Belum lagi bila potensi dana bagi hasil itu digabungkan dengan multiplier effect dari 5% dana investasi kilang LNG yang beredar di masyarakat setempat.

Bisa dibayangkan, pemerintah kabupaten dan provinsi setempat tentu akan memiliki kemampuan anggaran berlipat ganda. Dengan sendirinya juga memiliki kemampuan sangat besar melakukan pembangunan. Tentu dengan catatan, bila peningkatan anggaran itu tidak disertai peningkatan korupsi oknum-oknum pemerintah.

Ujung-ujungnya, yang diuntungkan potensi sumber daya alam nan berlimpah ruah itu adalah rakyat juga. Bukankah ini esensi dari otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang merupakan keniscayaan dalam era reformasi? Bukankah, karena alasan itu pula, masyarakat Banggai meminta daerahnya dimekarkan menjadi kabupaten tersendiri? [mdr]