Selasa, 09 Maret 2010

Gas untuk Lokal

Bagai ayam mati di lumbung padi. Perumpamaan itu tepat jika diterapkan pada kasus gas di Tanah Air kita ini. Potensi gas begitu besar, tetapi justru industri dalam negeri kekurangan pasokan, sampai ada yang tutup gara-gara tak kebagian, persis ayam mati di lumbung padi.

Persoalan ini pernah mencuat ketika pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda di Aceh tidak memperoleh pasokan gas dua tahun silam. Padahal, tidak jauh dari beroperasinya pabrik itu, masih di provinsi yang sama, ada lapangan gas yang produksinya jauh melampaui kebutuhan pabrik. Tapi, kemudian persoalan ini terlupakan begitu saja.

Kini, kita diingatkan lagi dengan perumpamaan ayam tersebut. Mulai 1 April 2010 nanti, PT Perusahaan Gas Negara (PGN) akan mengurangi pasok gas untuk industri lokal sebesar 20 persen. Berbagai alasan dikemukakan, seperti menurunnya pasokan dari hulu, pemenuhan permintaan ekspor, dan tidak terserapnya pasokan gas tahun lalu.

Tak pelak, keputusan tersebut merupakan pukulan berat bagi industri yang selama ini mengandalkan gas sebagai sumber energi. Bagaimanapun pengurangan pasokan tersebut akan berimbas pada kelangsungan hidup industri yang hidup mengandalkan gas, seperti pabrik baja, keramik, semen, dan pupuk.

Secara logika, pengurangan pasokan gas akan memaksa industri mengurangi utilisasi peralatan sehingga kapasitas pabrik tidak optimal. Ujung-ujungnya, pada kondisi terakhir, industri tersebut bisa-bisa melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan.

Ini memang ironi, karena jika dilihat dari skala produksi, jumlah produksi gas yang bisa ditarik dari dalam bumi Indonesia ini jauh melebihi kebutuhan gas nasional. Pada 2008, misalnya, dari produksi total 2.885 juta kaki kubik, yang dilokasikan ke dalam negeri 505 juta kaki kubik. Sebagian besar produksi gas tersebut justru diekspor untuk memenuhi kebutuhan industri negara lain.

Pemerintah sebenarnya sudah membuat data neraca cadangan migas 2010-2025, yang di dalamnya memuat data-data tentang suplai dan permintaan gas. Tetapi, sepertinya tidak dikemas secara komprehensif dengan pemetaan industri nasional yang semakin hari mulai banyak membutuhkan gas.

Masalah ini harus segera diselesaikan. Ironi-ironi semacam ini tidak boleh lagi dibiarkan menggelinding. Industri dalam negeri harus menjadi prioritas pasokan gas. Apalagi, kini industri di Indonesia juga sedang kritis karena menghadapi perdagangan bebas Cina-ASEAN. Jika tidak dibenahi dari hulu, industri akan makin terbengkalai.

Ada gagasan agar untuk memenuhi pasokan dalam negeri dilakukan dengan mengimpor gas dari negara lain. Masalahnya, apakah harga gas di luar 'bersedia' lebih murah dari dalam negeri? Lagi pula, mengapa harus impor ketika produk dalam negeri sebetulnya berlimpah ruah.

Kementerian Perindustrian menyatakan keprihatinan akan kondisi ini. Dibutuhkan pula, keprihatinan yang sama pada kementerian lain, seperti kementerian energi dan sumber daya mineral serta terutama menteri koordinator ekonomi. Masalah pasokan gas ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Masih ada waktu untuk mengubah kebijakan yang akan diberlakukan per 1 April tersebut.
(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar