Rabu, 30 Desember 2009

Raga tanpa Jiwa


oleh : Mahiruddin Siregar

Raga tanpa jiwa adalah mayat, bangkai atau boleh juga patung, boneka, dan sejenisnya.

Saya tertarik membicarakan hal ini, atas dasar perenungan mendalam tentang centang perenang hukum yang berlaku dinegeri ini, akhir-akhir ini.

Bukan hanya akhir-akhir ini, bahkan mungkin sudah lama berlangsung, tetapi dengan kebebasan pers yang boleh kita banggakan kemajuannya, maka semuanya borok hukum itu menjadi santapan sehari-hari bagi para pemirsa televisi, para pendengar radio, dan para pembaca media cetak dan para peselancar dunia maya.

Para penegak hukum kita sangatlah lihay menerapkan hukum formal literal, sesuai ayat dan fasal dalam masing-masing undang-undangnya dan terlihat tegas untuk menghukum para terdakwa yang berasal dari golongan ekonomi lemah, golongan wong cilik, golongan orang bodoh yang berhadapan dengan golongan mampu, berduit, sombong dan serakah.

Kalau sebuah rumah sakit besar merasa dirugikan dengan ulah masyarakat yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut, maka demi gengsi dicarilah pengacara handal untuk menuntut sipenulis keluhan tersebut dan dicarilah pasal pencemaran nama baik untuk menjeratnya. Urusan pengaduan dikepolisian, penyidikan dikejaksaan dan sampai pengadilan
sangat lah lancar. Semua penegak hukum kelihatan sangat getol demi penegakan hukum sesuai selera dan kepentingan mereka masing-masing........dengan satu tujuan yaitu wong cilik yang berani melawan tersebut harus dihukum seberat-beratnya. Rasa keadilan untuk sipelapor harus ditegakkan, enak saja seorang wong cilik berani mengeluhkan pelayanan rumah sakit ternama, kalau gak terima jangan berobat dong kerumah sakit itu, kira-kira begitulah rasa keadilan yang harus ditegakkan, dan jangan sampai ada lagi orang yang berani mengeluh atas pelayanan rumah sakit tersebut dikemudian hari. Titik.

Benar kalau dicari berbagai pasal dalam KUHAP, dan undang-undang yang berkenaan pastilah dapat dicari pembenaran bahwa rumah sakit telah dicemarkan nama baiknya. Juridis formalnya pasti dapat ditemukan, bahkan dapat pula dicari alasan untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa. Disini terlihat benar, bahwa hukum itu hendak digunakan untuk memuaskan satu fihak dan mengabaikan rasa keadilan fihak yang lain.

Untungnya masyarakat syadar bahwa telah terjadi sesuatu kesewenangan hukum, mereka bangkit mendukung dengan bantuan pers yang independent, sehingga hukum akhirnya berfihak kepada kebenaran dan keadilan....Bahwa benarlah tidak ada penghinaan dan fitnah yang dilontarkan oleh terdakwa, dia hanya mengeluhkan pelayanan yang tidak memuaskan bagi dirinya sebagai konsumen...........

Kasus serupa terjadi pula bagi seorang yang mengambil 3 buah kakao milik perkebunan besar, dua orang yang mengambil semangka untuk dimakan saat lapar dan haus, seorang yang dituduh mencuri aliran listrik untuk men-charge hp, dan masih banyak lagi hukum yang getol ditegakkan oleh para penegak hukum kepada para pelanggar hukum yang berasal dari wong cilik......

Padahal sesuai dengan apa yang pernah ditegaskan oleh pak Bismar Siregar, bahwa mereka para terdakwa tersebut bukanlah penjahat yang harus diganjar dengan hukuman demi keadilan, tetapi mereka hanyalah para pelanggar hukum yang tidak seharusnya diajukan kepengadilan tetapi cukup diadili secara adat dan kekeluargaan........

Dilain sisi kita menyaksikan begitu sulitnya penegak hukum kita untuk membawa para penjahat kakap kedepan pengadilan, seperti para koruptor, para makelar kasus, para penjahat ekonomi, yang skala kerugian akibat kejahatannya jauh tidak sebanding dengan kerugian yang diakibatkan oleh para wong cilik pelanggar hukum seperti disebutkan diatas.

Kenapa mereka tidak diadili ? Alasannya tidak ditemukannya bukti awal.

Apakah bukti awal itu akan jatuh dari langit.....kalau tidak diusahakan secara serius untuk menggali dan menemukannya.........??

Itulah ironi hukum kita.........Hukum kita hanya sebatas pasal-pasal dalam KUHAP, undang-undang, dll......yang tidak pernah diterapkan sesuai hati nurani, yang memenuhi rasa keadilan masyarakat luas.........

Hukum tanpa keadilan adalah ibarat seonggok badan (raga) tapa jiwa.

Senin, 28 Desember 2009

Menuju Indonesia yang Mandiri Energi


SITIZEN JOURNALISM
(inilah.com)
Seperti diketahui bahwa kebutuhan energi nasional diproyeksikan akan meningkat 2 kali lipat pada tahun 2025.

Sektor industri akan menjadi sektor yang terbesar mengkonsumsi energi, yaitu sekitar 45% dari total kebutuhan energi primer.

Sedangkan untuk kebutuhan listrik, Jawa Bali akan mengkonsumsi hampir 70% listrik nasional, dengan batubara yang masih menjadi andalan utama, meskipun penggunaan energi lain sudah dioptimalkan.

Sebelum berbicara lebih jauh perlu dipahami oleh kita semua bahwa masalah energi ini adalah tantangan bagi kita semua, tidak hanya pemerintah, tetapi juga tantangan bagi masyarakat umum. Terdapat anggapan yan keliru mengenai energi di Indonesia.

Anggapan yang keliru ini menjadi masalah karena anggapan ini telah dijadikan dasar oleh pemerintah dalam mengambil setiap keputusan. Apa saja anggapan yang keliru itu? Yang pertama adalah anggapan Indonesia adalah negara yang kaya minyak.

Padahal yang sebenarnya tidak. Indonesia lebih banyak memiliki energi lain seperti batu bara, gas alam, panas bumi, bahan bakar nabati (BBN), coalbed methane (CBM), panas matahari, arus laut, pasang surut laut, angin dan lain sebagainya.

Cadangan minyak Indonesia tersisa 3.7 miliar barel, jumlah ini diprediksi akan habis pada 10 tahun mendatang. Anggapan yang keliru lainnya adalah harga bahan bakar minyak (BBM) harus dijual dengan harga yang serendah mungkin. Maksud pemerintah menjual dengan harga serendah mungkin supaya tidak membebani masyarakat.

Tetapi yang kontraproduktif dengan kebijakan ini adalah dana pemerintah akan habis hanya untuk subsidi BBM. Semakin lama subsidi ini akan semakin membesar.

Peningkatan jumlah penduduk akan menjadikan konsumsi yang semakin meningkat dan menipisnya cadangan minyak akan memacu kenaikan harga BBM. Sehingga Indonesia mau tidak mau akan terus bergantung kepada BBM. Impor BBM pun tidak akan terhindarkan.

Untuk menuju Indonesia yang mandiri energi ini langkah bijak apa yang harus dilakukan?

Sangat tidak bijak kalau Indonesia sebagai negara net importer minyak dan tidak memiliki cadangan minyak melimpah menjual BBM dengan harga murah mengikuti negara negara timur tengah yang mempunyai produksi minyak melimpah.

Seperti yang kita ketahui sekarang subsidi BBM ini tidak tepat sasaran, subsidi ini banyak dinikmati oleh kalangan menengah atas.

Sebagai contoh di Jakarta banyak mobil-mobil mewah yang berseliweran yang menyebabkan kemacetan tersebut menggunakan BBM yang disubsidi oleh pemerintah. Lalu bagaimana dengan rakyat kecil yang akan terkena dampak pengurangan subsidi BBM ini? Pemerintah bisa mengalihkan subsidi BBM ini untuk pembangunan di sektor lain.

Pemerintah bisa menyediakan kendaraan umum yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Selain itu juga alihkan dana subsisi BBM ini untuk menyediakan pendidikan yang terjangkau dan pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau oleh masyarakat kalangan bawah.

Dengan adanya saranan angkutan yang murah, biaya pendidikan yang murah, juga layanan kesehatan yang terjangkau, ini akan sangat membantu masyarakat daripada subsidi BBM yang mayoritas dinikmati oleh orang yang tidak berhak.

Ketika subsidi BBM dikurangi dengan perlahan lahan, kebijakan ini akan menstimulus energi alternatif untuk berkembang. Energi alternatif ini tidak bisa berkembang kerena masalah harga. Kita ambil contoh bahan bakar nabati (BBN).

BBN tidak berkembang karena kalah bersaing dengan BBM yang disubsidi. Harga BBN dari biodiesel dan bioethanol sekarang adalah Rp. 5.500/liter. Harga ini kalah bersaing dengan BBM yang disubsidi yaitu premium dan solar yang dijual dengan harga Rp. 4.500/liter.

Panas bumi di Indonesia juga kurang berkembang, padahal cadangan panas bumi terbesar di dunia ada di Indonesia. Ini dikarenakan masalah harga. PLN keberatan membeli listrik dari panas bumi yang harga listriknya $8-10 sen/KWH. PLN lebih memilih menutupi kekuarang pasokan listriknya menggunakan listrik yang dari BBM.

Padahal harga listrik dari BBM ini lebih mahal yaitu sekitar $15-30 sen/KWH. Sementara listrik dijual dengan harga $ 6 sen/KWH. Lalu mengapa PLN lebih memilih listrik dari BBM daripada listrik dari panas bumi? Karena pemerintah hanya mensubsidi listrik yang berasal dari BBM, sedangkan listrik yang dibeli dari panas bumi tidak.

Seandainya listrik dijual dengan harga $ 9 sen/KWH maka panas bumi akan berkembang. Ini akan menjadikan pasokan energi listrik Indonesia terjamin. Tidak akan lagi ada pemadaman listrik.

Untuk keperluan rumah tangga, Indonesia bisa menggunakan gas kota. Dengan cadangan gas sekitar 170 triliun kaki kubik ini akan cukup untuk 50 tahun kedepan. Indonesia juga memiliki cadangan CBM yang jumlahnya lebih besar dari ini yaitu sekitar 300 hingga 400 triliun kaki kubik.

Selain untuk keperluan rumah tangga gas ini juga bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar gas yang bisa digunakan untuk transportasi.

Dengan kebijakan di atas, diharapkan masalah krisis energi secara perlahan-lahan akan teratasi.

hidayatus_syufyan@yahoo.com

Sabtu, 26 Desember 2009

Entrepreneurship Government

By Ir. H. Heppy Trenggono, MKomp.
Kamis, 03 Desember 2009 pukul 20:03:00


Bapak Mohamad Basyir Ahmad, Walikota Pekalongan bertemu dengan saya di sela-sela workshop yang diadakan oleh pengusaha-pengusaha di Semarang. Dalam pertemuan itu beliau mengungkapkan keinginannya untuk menerapkan sebuah konsep yang beliau sebut sebagai Entrepreneurship Government. "Ketika mulai menjabat walikota yang pertama kali saya terima adalah laporan keuangan mas, jadi untuk apa laporan keuangan tersebut kalau bukan untuk kita buat lebih baik?".

Saya mengenal Walikota pekalongan sebagai sosok yang sangat memahami pentingnya Entrepreneurship, suatu saat beliau juga pernah menyampaikan kegelisahaannya tentang menurunnya minat generasi muda Pekalongan dalam berusaha, dengan kata lain mereka saat ini lebih tertarik untuk menjadi pegawai daripada menjadi pengusaha, padahal selama ini pekalongan dikenal sebagai tempat kelahiran para pengusaha handal. "Mas Heppy, Ini S.O.S. mas, kita harus segera melakukan sesuatu" ujar beliau suatu saat.

Entrepreneurship Government, sungguh sebuah gagasan yang sangat brilliant apalagi lahir dari seorang walikota yang sedang menjabat. Saya ingat sebuah kisah ketika suatu saat Investor Australia ingin menanam modal di Indonesia. Semua studi kelayakan sudah dilakukan, kesepakatan sudah dibuat tinggal ditindak lanjuti dengan mengurus perijinan dan pelaksanaan proyek.

Hingga beberapa bulan semenjak kesepakatan tersebut proyek tidak kunjung terwujud, mengapa demikian? Investor tadi rupanya membatalkan investasinya ke Indonesia dan mengalihkan ke Vietnam. Apa yang terjadi dibalik semua itu. Ternyata begitu mendengar ada investor yang sedang mencari peluang investasi dua orang menteri dari Vietnam langsung terbang ke Australia dan menjelaskan berbagai prospek dan dukungan dari pemerintah Vietnam untuk membantu para Investor. Sebaliknya pihak Indonesia hanya menunggu dan mengharap sesuatu terjadi dengan sendirinya.

Sebagai Investor tentu dapat menilai dimana dia sebaiknya menginvestasikan uangnya. Nah, Apa yang dilakukan dua orang menteri Vietnam tersebut itulah yang disebut Entrepreneurship. Entrepreneurship adalah sebuah mentalitas, mentalitas yang menempatkan tanggung jawab 100% ada di pundak kita sendiri, mentalitas yang percaya bahwa kejayaan harus diraih dengan kerja keras dan kecerdasan berfikir, mentalitas yang percaya bahwa kesuksesan, kekayaan, dan kejayaan adalah sesuatu yang bisa diraih dan menjadi hak kita juga.

Entrepreneurship adalah mentalitas yang dimiliki orang yang mau melakukan sesuatu yang kebanyakan orang lain tidak mau melakukannya, tetapi Entrepreneurship akan membawa seseorang untuk dapat menikmati apa yang tidak dapat dinikmati oleh kebanyakan orang. Entrenpreneurship tidak hanya menjadi milik pengusaha, Entrepreneurship juga harus dimiliki oleh President, para Menteri, Walikota, Bupati, DPR, Pimpinan Lembaga Pemerintahan, Tokoh Masyarakat, Mahasiswa. Pendeknya Entreprenuership harus dimiliki semua orang, semua orang yang memiliki komitmen untuk hidup sejahtera.

China, 30 tahun lalu adalah sebuah negara dengan sistem sosialis yang jauh dari mentalitas kewirausahaan, masyarakatnya tidak dididik untuk menjadi masyarakat yang kreatif, rajin, dan produktif. Karena semua usaha adalah milik negara, bahkan sampai toko kelontongpun milik negara. Korupsi di negeri ini juga tidak kalah dahsyatnya dengan korupsi yang terjadi di negara-negara miskin dan berkembang lain.

Namun lihatlah, saat ini China telah bangkit menjadi raksasa perekonomian dunia yang baru. Pembangunan infrastruktur yang terus bertumbuh dengan cepat, investasi dari berbagai penjuru dunia masuk dengan deras, tak kurang 500 perusahaan besar dunia berkiprah dalam membangun negeri China, industry manufacturing dibangun dengan berbagai strategi.

Saat ini barang - barang produksi dari China telah menempatkan dirinya dengan penuh percaya diri di seluruh dunia, membawa China mencetak nilai ekspor yang fantastis, mencetak surplus perdagangan yang menjadikan China sebagai the New Superpower Country. Pertanyaanya, mungkinkan China menjadi demikian hebatnya jika pemimpinnya tidak memiliki mentalitas Entrepreneurship?

(www.republika.co.id)

Kamis, 24 Desember 2009

Inilah Wajah Hukum Kita

Energi Penggugat Rasa Keadilan

Cover GATRA Edisi 07/2010 (GATRA/Tim Desain)Basar Suyanto dan Kholil tertegun. Rasa sedih menggurat di wajah mereka, sesaat setelah mendengar vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Kediri, Jawa Timur, Rabu pekan lalu. "Bapak Basar dan Kholil sudah paham bahwa sampeyan dinyatakan bersalah mencuri semangka? Hukumannya masing-masing 15 hari, ya," kata Ketua Majelis Hakim Roro Budiarti Setyowati tanpa ekspresi.

Di benak keduanya, langsung terbayang pengalaman mengenaskan berada di balik jeruji besi Lembaga Pemasyarakatan Kediri. Selama dua bulan, keduanya melewatkan hari-hari tanpa didampingi keluarga. "Tapi sampeyan dihukum percobaan selama tiga bulan, jadi tidak perlu masuk penjara lagi," Roro menambahkan.

Pernyataan itu langsung disambut gembira oleh keduanya, "Allahu Akbar!" Mahasiswa Universitas Islam Kediri yang melakukan aksi unjuk rasa di depan pengadilan langsung merangsek masuk ke ruang sidang. Mereka ikut gembira atas putusan itu. Mahasiswa, yang sejak awal menuntut dibebaskannya Basar dan Kholil, juga membagikan buah semangka kepada para pengunjung sidang.

Tapi proses hukum yang dijalani keduanya telanjur mengundang sinisme masyarakat. Meski menjunjung tinggi supremasi hukum, akibat perbuatan yang nilai kerugiannya tak seberapa itu, Basar dan Kholil terpaksa meninggalkan keluarga, yang selama ini menggantungkan hidup dari hasil keringat keduanya, dan tinggal di balik jeruji besi. Padahal, masyarakat meyakini, keduanya tak akan melarikan diri layaknya koruptor kelas kakap yang berduit.

Kalimat-kalimat sinis pun terlontar di masyarakat. "Keadilan hanya milik orang berduit dan berkuasa," kata salah satu pengunjung sidang. Ungkapan itu bisa jadi cermin penegakan hukum di negeri ini, yang telanjur buram oleh sikap tak adil aparat penegak hukum. Betapa tidak, pada saat banyak koruptor melenggang bebas dan menikmati harta hasil jarahannya di luar negeri, segelintir masyarakat kelas bawah justru mendekam di penjara hanya karena mencuri barang yang nilainya tak seberapa dibandingkan dengan harta yang dijarah koruptor.

Hukum pun dipandang bak pedang bermata dua, yang tajam jika berhadapan dengan masyarakat kelas bawah tapi tumpul jika berhadapan dengan kebanyakan penguasa dan pemilik uang. Keadilan terkadang berubah menjadi sosok yang arogan terhadap masyarakat kelas bawah pencari keadilan. Simak saja kasus yang menimpa Minah, seorang nenek berusia 55 tahun di Banyumas, Jawa Tengah.

Nenek tujuh cucu dan buta huruf itu harus menerima kenyataan pahit. Gara-gara mencuri tiga buah kakao senilai tak lebih dari Rp 2.100 milik PT Rumpun Sari Antan, ia harus bolak-balik diperiksa polisi, jaksa, hingga pengadilan. Bahkan jaksa tanpa sungkan menetapkan Minah sebagai tahanan rumah.

Dalam sidang yang berlangsung pada medio November lalu, Minah akhirnya divonis satu setengah bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan. Majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, yang diketuai Bambang Lukomono, SH, MH, menilai perbuatan Minah telah memenuhi unsur pidana. Namun Bambang, yang sempat menitikkan air mata ketika membacakan vonis terhadap Minah, menyatakan bahwa majelis hakim juga mempertimbangkan latar belakang tindak pidana itu. "Ia sudah berkata jujur dan mengakui perbuatannya," kata Bambang.

Di luar itu semua, kasus yang paling menyedot perhatian banyak kalangan tak lain adalah kasus yang menimpa Prita Mulyasari. Kasus yang bermula dari e-mail Prita menyangkut pelayanan Rumah Sakit Omni International ini dijadikan momentum perlawanan masyarakat atas ketidakadilan aparat penegak hukum. Apalagi, ibu dua anak itu dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dinilai kontroversial. Prita juga sempat mendekam di bui selama 21 hari, meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil.

Kasus itu menimbulkan keprihatinan banyak kalangan. Dari politisi, kalangan LSM, masyarakat, hingga anak-anak. Mereka tergerak untuk menggalang bantuan bagi Prita yang dijadikan simbol perlawanan dalam penegakan hukum.

Aksi itu diwujudkan dengan pengumpulan koin dukungan bagi Prita. Hingga akhir pekan lalu, koin yang terkumpul mencapai Rp 825 juta. "Dukungan ini membuktikan, masyarakat ingin perkara ini tuntas, baik secara pidana maupun perdata. Dan jangan sampai ada lagi Prita-Prita yang lainnya," kata Slamet Juwono, pengacara Prita dari Kantor Hukum O.C. Kaligis & Associates.

Kondisi yang dihadapi Prita dan para pencari keadilan itu memang menggambarkan secara keseluruhan ironi dalam penegakan hukum di Tanah Air. Secara transparan, betapa banyak kasus pelanggaran hukum bernilai milyaran rupiah, bahkan trilyunan rupiah, hanya menjadi wacana dan debat terbuka di ruang-ruang publik tanpa ada tindakan tegas. Hal ini terlihat pada penanganan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara.

Pihak kepolisian, menurut Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Sulistyo Ishak, sesungguhnya mendukung upaya mediasi dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana ringan seperti yang terjadi belakangan ini. Sulistyo meminta masyarakat tidak menilai tindakan kepolisian sebagai bentuk diskriminatif. Kata mantan Dirlantas Polda Metro Jaya itu, polisi bekerja sesuai dengan kapasitasnya sebagai aparat penegak hukum.

Seperti masyarakat lainnya, menurut Sulistyo, polisi ikut terusik oleh munculnya kasus-kasus miris yang terjadi belakangan ini. "Terus terang, kami juga tidak tega dan kasihan," ujarnya. Sulistyo menyatakan bahwa polisi pun mengedepankan proses mediasi antara pelaku dan pelapor.

Sulistyo menyatakan, penetapan seseorang yang belum jelas jenis kesalahannya melanggar asas praduga tidak bersalah. Polisi pun membuka diri untuk selalu diawasi masyarakat. Setiap perilaku tak terpuji anggota Polri, menurut Sulistyo, akan ditindak tegas. Sejauh ini, pihak kepolisian telah memproses dan menindak anggotanya yang melakukan pelanggaran kode etik ataupun tindak pidana.

Hendri Firzani dan Mukhlison S. Widodo
[Laporan Utama, Gatra Nomor 7 Beredar Kamis, 24 Desember 2009]

Minggu, 13 Desember 2009

Hasil Karya Anak Bangsa

Terapi Kanker Nano Buatan Anak Negeri

Tidaklah sia-sia Andi Hamim Zaidan dan 10 rekannya menghabiskan waktu dua tahun berkutat di Laboratorium Photon Universitas Airlangga, Surabaya. Penelitian yang mereka lakukan menuai hasil menggembirakan. Mereka sukses membuat prototipe gold nanoparticle (GNP) berdiameter 20 nanometer dan 30 nanometer. Partikel berukuran supermini ini bisa menyusup ke dalam tubuh, lalu mencari dan menghancurkan sel-sel kanker.

Untuk mendeteksi lokasi sel kanker (selective cancer therapy), kata Zaidan, GNP dilengkapi dengan sensor pintar yang terbuat dari antigen atau polyetilenglycol (PEG). Setelah mengunci lokasi sel-sel kanker, tubuh pasien disinari dengan photothermal therapy (PTT). Proses radiasi gelombang elektromagnetik (lazimnya memakai sinar infra merah) mengubah energi cahaya menjadi panas yang sanggup membunuh sel-sel jahat itu.

"Pada saat ini, prototipe GNP kami belum dilengkapi dengan sensor pintar karena harus dikarakterisasi dulu sifat optik dan termalnya," ujar dosen Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya, itu.

Pada tahap karakterisasi, pihaknya menggandeng Laboratorium Optik Fisika Universitas Airlangga. Sebab diperlukan mikroskop elektron (jenisnya: SEM atau TEM) untuk melihat GNP secara visual. Alat ini masih sangat jarang di Indonesia.

Usai tahap karakterisasi, penelitian masuk ke tahap eksperimen terapi in vitro, dengan menumbuhkan sel kanker di luar tubuh induk (host). Setelah itu, GNP diujicobakan pada hewan sebelum bisa diterapkan pada pasien penderita kanker. Sejak tahap in vitro dan in vivo, Zaidan akan menggandeng rekan-rekan dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Bila dipakai sebagai terapi kanker, Zaidan menambahkan, sebaiknya bentuk partikel nano yang terbuat dari emas itu bulat atau batang. Ukurannya maksimal 50 nanometer agar bebas menembus masuk jaringan tubuh. Target penelitian mereka adalah menyintesis GNP berdiameter terkecil, yaitu 15 nanometer.

GATRA (Dok. GATRA)

Penelitian GNP sebagai alat terapi kanker bukan kali ini saja dilakukan. Beberapa negara melakukannya sejak beberapa tahun lalu. Namun, menurut Zaidan, risetnya berbeda dari sisi pengembangan teori dan metode sintesis. Pada tahap teori, mereka mengembangkan model PTT memakai GNP dan carbon nanotube (CNT) lengkap, mulai simulasi foton dalam jaringan sampai dosimetri terapi.

Dosimetri berarti penentuan cara pemaparan sinar, durasi, daya, dan panjang gelombang radiasi elektromagnetik. Model PTT memang terkait erat dengan photodynamic therapy (PDT). Bedanya, PTT tidak memerlukan oksigen untuk berinteraksi dengan sel atau jaringan target.

PTT juga bisa memakai cahaya dengan panjang gelombang yang kurang energik, sehingga tidak terlalu berbahaya untuk sel dan jaringan lain. "Belum ada teori yang lengkap untuk ini, apalagi yang memakai CNT," kata peraih gelar sarjana dan master dari Institut Teknologi Bandung itu.

Hal baru lainnya dari riset tim Zaidan adalah tidak menyintesis GNP dengan reaksi kimia seperti lazim dipakai dalam riset-riset di luar negeri. Alasannya, bahan baku untuk sintesis menggunakan reaksi kimia sangat mahal dan harus diimpor. Ia mencontohkan, ada satu bahan yang harganya mencapai Rp 3 juta per gram.

Karena itulah, tim Zaidan memilih mencari bahan baku lokal sebagai alat sintesis. Model sintesis baru ini lebih mudah dan lebih murah, tanpa mengurangi tingkat keakuratan dan punya efek samping minimal.

Perbandingannya, bila memakai bahan impor, produksi GNP membutuhkan dana US$ 250 sampai US$ 500 per mililiter. Bila memakai bahan lokal, biaya produksinya hanya Rp 25.000 per 100 mililiter atau 20 kali lipat lebih murah. "Jadi, prediksi saya, jika riset kami sudah mapan dan sudah bisa digunakan, biaya terapi tidak akan lebih dari Rp 50.000," ujar lajang kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, berusia 26 tahun itu.

Selain mengembangkan GNP sebagai alat terapi kanker, tim Zaidan juga tengah mengembangkan CNT sebagai agen selective cancer therapy dan diagnosis. Untuk diagnosis, mereka mencoba membuat contrast agent untuk magnetic resonance imaging (MRI) dan biomarker.

Kini penelitian CNT baru selesai pada tahap teori dan model. Selangkah di belakang GNP adalah yang telah masuk tahap eksperimen. Sumber dana penelitian itu berasal dari Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dan Universitas Airlangga.

Astari Yanuarti, dan Arif Sujatmiko (Surabaya)
[Ilmu dan Teknologi, Gatra Nomor 4 Beredar Kamis, 3 Desember 2009]

Mimpi Buruk Buat Petani Indonesia

Sabtu, 12 Desember 2009 pukul 14:24:00
Industri Pupuk di Ambang Kolaps

Agus Yulianto

Ketersediaan bahan baku gas pada 2012 menjadi kendala.

BANDUNG -- Industri pupuk Indonesia pada 2012, di ambang kolaps. Pasalnya, 20 pabrik pupuk yang beroperasi tersebut belum memiliki alternatif bahan baku gas. Padahal, kontrak pengadaan gas antara pihak terkait pengadaan dan pabrik pupuk, mayoritas akan berakhir pada 2012.

''Peningkatan pemanfaatan gas bumi domestik baru dimulai pada lima tahun terakhir. Padahal, cadangan gas bumi yang ada telah terkait kontrak jangka panjang,'' kata Heri Purnomo, mewakili Dirjen Migas, Dr Ing Evita H Legowo, pada Lokakarya Aspek Governance Sitem Produksi dan Distribusi Pupuk, yang diselenggarakan Kementerian Negara BUMN, Komite Kebijakan Publik (KKP) di Bandung, Jumat (11/12).

Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM), kata Heri, pada 2008, pemanfaatan gas bumi untuk domestik mencapai 3.769,2 mmscfd dan untuk pemenuhan ekspor mencapai 4.114,3 mmscfd. Sedangkan alokasi gas bumi untuk domestik dan ekspor berdasarkan Gas Sales Agreement (GSA) pada 2002 hingga Mei 2009, sebesar 64,1 persen untuk domestik dan 35,9 persen untuk ekspor.

Prioritas pemanfaatannya, sambung Heri, untuk peningkatan produksi migas (EOR), listrik, pupuk, dan industri. Sayangnya, kata dia, kontrak-kontrak pengadaan gas untuk industri pupuk ini belum banyak yang diperbaharui dan mayoritas akan berakhir pada 2012.

''Bila kondisi ini tidak segera dicarikan solusinya, maka semua pabrik pupuk akan defisit penyediaan gasnya. Dan itu akan mengancam kelangsungan pabrik tersebut,'' katanya.

Dia mencontohkan, Pupuk Iskandar Muda (PIM) dengan kapasitas produksi pupuk 1.170.000 ton per tahun, pada 2009 kebutuhan gas untuk PIM I sebesar 60 mmscfd dan PIM II sebesar 50 mmscfd. Kebutuhan gas sebagai bahan baku itu sudah tidak dipasok lagi dari Medco Blok A, tapi masih ada dari Swap kargo sebesar 50 mmscfd. Akibatnya, PIM masih kekurangan pasokan gas 60 mmscfd.

Namun, pada 2010, baik Medco blok A dan Swap kargo sudah tidak memasok lagi sehingga pasokan gas ke PIM pada tahun itu defisit 110 mmscfd. ''Tentunya, kita harus duduk bersama mencarikan jalan keluarnya, agar industri pupuk tidak kolaps,'' kata Heri.

Tak hanya PIM, Pupuk Sriwijaya (Pusri) juga mengalami hal serupa. Menurut Heri, pada 2012, kontrak Pertamina EP dengan Pusri akan berakhir. Namun, ungkap dia, hingga saat ini belum ada alternatif pasokan lainnya. Pada 2012 itu, Pusri akan mengalami defisit pasokan gas sebesar 88 mmscfd.

''Alternatif yang mungkin dapat dilakukan adalah relokasi pabrik ke sumber gas bumi (Donggi dan Senoro),'' katanya.

Yang lebih sedikit beruntung, kata Heri, adalah Pabrik Pupuk Kalimantan Timur (PKT). Dengan kapasitas produksi sebesar 2.865.000 ton pupuk per tahun (revitalisasi), PKT masih mendapat pasokan bahan baku gas dari Vico-Chevron dan Total (blok Mahakam). Meski demikian, karena pasokan gas yang dibutuhkan cukup besar, PTK masih mengalami defisit gas sebesar 9 mmscfd pada 2012.

Butuh jaminan
Dirut PT Pusri, Dadang Heru Kodri mengatakan, keberlangsungan seluruh pabrik pupuk di dalam negeri tergantung dari keterjaminan pasokan bahan baku gas. Sementara, melihat habisnya masa kontrak pasokan gas ke pabrik pupuk yang ada pada 2012, kata dia, maka bayang-bayang kehancuran pabrik pupuk dalam negeri semakin di depan mata.

Kata dia, dengan kebutuhan gas sebesar 225 mmscfd, pabrik Pusri II dipasok sebesar 45 mmscfd oleh Medco E&P Indonesia untuk periode 1 Januari 2008 hingga 31 Desember 2019.

Namun, untuk pabrik Pusri III, IV, dan IB dengan jumlah 166 mmscfd disuplai oleh Pertamian EP. Sedangkan 14 mmscfd dipasok dari PT Pertagas untuk Januari 2008-31 Desember 2012. ed: yeyen


Perlunya Evaluasi Soal Pupuk

Pada industri pupuk di Indonesia, ada beberapa persoalan yang timbul dari kebijakan publik yang kurang tepat. Persoalan-persoalan itu, kata Ketua Komite Kebijakan Publik di Kementerian Negara BUMN, Fachry Ali, harus segera diatasi dengan cara memperbaiki kebijakan publik yang ada. Ia pun menguraikan sederet poin yang perlu mendapat perhatian pemerintah.

1. Konsekuensi pupuk diperlakukan sebagai komoditas strategis, maka pemerintah memberi sibsidi harga kepada petani kecil. Akibatnya, terdapat tiga harga pupuk yang berlaku secara nasional, yakni harga subsidi untuk petani, harga perkebunan, dan harga ekspor.

2. Bahan baku gas dibeli berdasarkan harga pasar. Sedangkan harga pupuk diatur sesuai kebijakan pemerintah.

3. Demi ketahanan pangan, maka perlu jaminan ketersediaan pupuk dan keterjangkauan harga pupuk. Kondisi ini menyebabkan industri pupuk tidak dapat berkembang secara optimal. Padahal Indonesia sebagai negara agraris juga memiliki kelebihan yaitu bahan baku utama yang melimpah (gas dan batu bara) dan harga ekspor pupuk yang tinggi. Seharusnya, Indonesia menjadi pemasok pupuk dunia.

4. Program subsidi harga pupuk, menimbulkan moral hazard di semua lini ketersediaannya dari hulu hingga hilir. Agus Yul, ed: yeyen

(www.republika.co.id)

Mimpi Indonesia Untuk Produksi CBM

Jumat, 11 Desember 2009 pukul 14:01:00
Mimpi Indonesia Produsen CBM Pertama Dunia

Cepi Setiadi
Wartawan Republika

Pada 2015 Indonesia diprediksi bisa memproduksi CBM hingga 500 juta MMSCFD dan bisa meningkat menjadi 900 MMSCFD pada 2020. Pada 2025 diprediksi produksinya sudah menembus 1.500 MMSCFD.

Indonesia bukan negara miskin. Saat ini Indonesia menjadi satu dari segelintir negara di dunia yang memiliki kandungan potensi gas metana batubara (coal bed Methane/CBM). CBM tersimpan di lapisan-lapisan batu bara kategori rendah kalori (low-rank) pada kedalaman antara 400 - 1000 meter, tersebar di sebelas basin batu bara di kawasan Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi. Metana merupakan kandungan gas yang juga terdapat pada gas alam (LNG).

Estimasi potensi sumber daya CBM Indonesia sekitar 450 triliun kaki kubik (TCF). Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM), Evita Herawati Legowo, menyatakan, melihat potensi besar tersebut, Indonesia bertekad menjadi negara penghasil CBM pertama. ''Potensinya mencapai 453,3 TCF yang tersebar pada sebelas cekungan hidrokarbon. Pemerintah berupaya agar Indonesia dapat menjadi negara pertama yang mengembangkan LNG dari CBM'' kata Evita.

Dari sumber daya tersebut, cadangan CBM sebesar 112,47 TCF merupakan cadangan terbukti dan 57,60 TCF merupakan cadangan potensial. Menurut Evita jika CBM sudah diubah menjadi LNG, maka akan mudah pendistribusiannya ke seluruh Indonesia yang terdiri dari belasan ribu pulau ini.

Evita menjanjikan, LNG yang akan dihasilkan dari CBM tersebut akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Terutama untuk daerah atau pulau-pulau terpencil yang akan didistribusikan dengan menggunakan kapal-kapal kecil. ''LNG ini nantinya tidak hanya untuk pembangkit listrik semata, namun juga akan dialokasikan untuk pabrik pupuk dan lainnya,'' kata Evita.

Penegasan Evita ini memang perlu karena selama ini sebagian besar LNG Indonesia lebih banyak diekspor padahal masih banyak kawasan industri yang pasokan gasnya tak lancar. Pada 2015 Indonesia diprediksi bisa memproduksi CBM hingga 500 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dan bisa meningkat menjadi 900 MMSCFD pada 2020. Evita memperkirakan, pada 2025 perkiraan produksi CBM di Indonesia bisa mencapai 1.500 MMSCFD, setara dengan 18 persen laju produksi gas alam sepanjang Januari-Juli 2009 dari 43 wilayah kontrak kerja sama LNG.

Pemerintah pun terus mendorong pengembangan CBM. Hingga Agustus 2009, setidaknya 15 kontrak kerja CBM telah ditandatangani. Akhir November 2009 lalu pemerintah juga mengumumkan pemenang lelang penawaran langsung Wilayah Kerja Gas Metana Batu Bara (WK GMB) tahun 2009 sebanyak tiga perusahaan untuk tiga wilayah kerja GMB yang ditawarkan. Sehingga pada akhir 2009 setidaknya hampir 20 Kontrak Kerja CBM ditandatangani.

Selain tiga Wilayah Kerja GMB itu, telah ditetapkan pula dua kontraktor yang mengusahakan Gas Metana Batu Bara yang berasal dari wilayah kerja migas dan wilayah kuasa penambangan batu bara yang sudah ada yaitu untuk Muara Enim dan Batang Asin.

Proyek CBM di Indonesia sebetulnya sudah mulai dilakukan sejak satu dekade silam. Diawali dengan keluarnya Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi nomor 1669 tahun 1998 tentang pengusahaan CBM. Selanjutnya dilakukan studi kelayakan teknis dan ekonomis hingga tahun 2003.

Pada 2004 keluar Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pilot Project CBM Lapangan Rambutan, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan, yang dibiayai APBN melalui kerja sama dengan PT Medco E & P Indonesia yang menguasai wilayah kerja migas itu. CBM Rambutan merupakan pengembangan CBM pertama di Indonesia.

Selanjutnya pada 2006 keluar Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 033 yang direvisi menjadi Permen nomor 036 tahun 2008. Ini merupakan awal periode kontrak pertama CBM. Evita menjelaskan pada 2011 ditargetkan keluar PP CBM untuk listrik sehingga pembangkit listrik bisa memanfaatkan bahan bakar alternatif ini.

Pertengahan tahun 2009 Lapangan Rambutan sudah mulai berproduksi. Departemen ESDM memaparkan hasil penelitian Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas) Departemen ESDM. Tiga peneliri Lemigas yaitu Hadi Purnomo, Ego Syahrial, dan Panca Wahyudi, menyimpulkan potensi cadangan CBM di wilayah South Sumatera Basin ini diperkirakan sebesar 183 TCF, terbesar di Indonesia.

Mereka menguji lima sumur CBM yang dibor menembus empat buah lapisan batu bara (coal seam) pada interval kedalaman 400-600 meter. Serta satu coal seam di kedalaman 1.000 meter yang merupakan lapisan batu bara paling bawah dengan ketebalan tiap lapisan bervariasi antara 4-20 meter. Hasil kajian laboratorium terhadap inti sampel dari masing-masing lapisan memperlihatkan bahwa seam batu bara di sana mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi CBM.

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, gas yang keluar memiliki kandungan metana antara 93-97 persen. Sedangkan air dalam lapisan batu bara yang disedot melalui proses dewatering tergolong tak berbahaya (nontoxic) dengan kandungan logam berat masih di bawah ambang yang dipersyaratkan pada PP nomor 85 tahun 1999. Sedangkan konsentrasi klorida (Cl-) berkisar antara 200-800 ppm.

Saat ini kelima sumur pilot project CBM telah mulai mengeluarkan gas metana batu bara terutama di sumur CBM 3 dengan perkiraan produksi baru sekitar 100 meter kubik per hari yang diprediksikan akan terus mengalami peningkatan.


Kuncinya Infrastruktur Gas

Pengamat pertambangan, Kurtubi, menyatakan rencana pemerintah untuk menjadikan Indonesia menjadi negara pertama yang mengembangkan LNG dari CBM butuh waktu yang cukup panjang. ''Paling tidak butuh waktu sepuluh tahun,'' kata Kurtubi. Apalagi sampai saat ini CBM dalam skala besar belum ada realisasinya. Kurtubi bahkan menilai tekad pemerintah dalam hal ini terlalu utopis.

''Seharusnya yang perlu dipikirkan adalah konsentrasi manajemen perminyakan nasional, memang bisa aja mengembangkan CBM tapi itu bukan sebagai prioritas. Untuk CBM masih butuh waktu,'' kata dia.

Di atas kertas pengembangan CBM kata Kurtubi memang memungkinkan. Tetapi yang paling mendesak adalah pengolahan LNG sesuai pasal 33 UU nomor 22 tahun 2001 di mana pengolahan LNG bisa menguntungkan negara. Menurut Kurtubi, Australia saja yang memiliki cadangan batu bara lebih besar dari Indonesia belum mengarah ke pengembangan CBM. ''Ongkosnya masih mahal,'' tandas Kurtubi.

Sementara Ketua Komite Tetap Hulu Migas Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Sammy Hamzah, menyambut baik tekad pemerintah menjadi produsen CBM pertama dunia. Menurut Sammy, produksi CBM di Australia terkendala belum adanya kilang LNG untuk mengonversi CBM menjadi LNG di wilayah Australia Timur yang kaya potensi CBM.

Sedangkan di Bontang, Kalimantan Timur, sudah tersedia kilang LNG. ''Membangun kilang LNG sekarang enggak murah, seperti di Bontang itu bisa sampai 20 miliar dolar AS dan memakan waktu lima tahun,'' kata Presiden Direktur PT Energi Pasir Hitam Indonesia itu.

Oleh karena itu, jika pemerintah sukses mengekplorasi CBM di Kalimantan TImur, sangat mungkin sekali bisa dikonversi ke LNG dan bisa diekspor melalui Bontang. Meski demikian, Sammy mengakui bisnis CBM Lebih rumit karena tidak sekonvensional eksplorasi migas biasa. Saat ini Energi Pasir Hitam Indonesia bersama Medco E&P Indonesia dalam tahap eksplorasi tiga wilayah kerja CBM di Kalimantan Timur yaitu di Sekayu, Sangatta, dan Kutai Timur.

Jika ekplorasi CBM sukses, dirinya sangat optimistis tekad Indonesia menjai produsen CBM pertama bisa tercapai. Semenatra soal harga jual, Sammy memperkirakan hanya sedikit lebih rendah dari LNG. Walaupun sama-sama gas metana, namun kandungan kalori CBM lebih rendah dari LNG. Satu kaki kubik LNG bisa menghasilkan panas 1.00-1.100 BTU (British Thermal Unit) setara dengan 250 kilo kalori, sementara CBM sekitar 900-950 BTU.

Hal senada diungkapkan anggota Komisi VII DPR, Satya W Yudha. Menurutnya, target tersebut cukup realistis. Apalagi jika yang diandalkan Blok Sanga-sanga di Kalimantan Timur. ''Otomatis mengunakan Bontang di mana fasilitasnya sudah pasti ada sehingga masuk akal kalau dilihat dari sisi kesiapan,'' kata Satya. Namun jika mengandalkan CBM di Sumatera Selatan menurut Satya pemerintah agak sedikit mimpi. ''Fasilitasnya (kilang LNG) belum ada. Jika mau mengembangkan LNG tapi fasilitasnya belum, maka bisa kesalip sama negara lain,'' kata Satya mengingatkan.

(www.republika.co.id)

Selasa, 01 Desember 2009

Kemiskinan Semakin Parah

Senin, 30 November 2009 pukul 08:10:00
Kurban dan Kemiskinan

Kita menyaksikan pembagian daging kurban di sejumlah tempat diwarnai insiden. Warga yang datang melimpah. Tentu saja, hal itu menjadi tak cukup tertangani dengan baik oleh panitia. Terjadilah desak-desakan dan akhirnya sedikit kisruh. Untung, suasana yang tidak baik itu segera bisa dipulihkan.

Hal itu lebih banyak terjadi di kota-kota besar. Kita akan sulit menemukan suasana seperti itu di desa-desa. Pelaksanaan ibadah kurban, yang mengiringi Idul Adha, justru menjadi semacam pesta rakyat. Selain sebagian besar daging dibagikan ke masyarakat, panitia dan masyarakat desa berpesta bersama: nyate. Inilah suasana yang membuat semarak Idul Adha dan membuat kita kangen.

Kurban, selain bermakna semangat untuk berkorban apa saja untuk menuju takwa, juga berarti semangat untuk berbagi dengan sesama, terutama yang sudah mampu berkurban domba, sapi, kerbau, atau hewan sesembelihan lainnya, seperti ayam, kelinci, dan sebagainya. Banyak saudara kita yang belum beruntung sehingga belum mampu membeli daging. Idul Adha menjadi dinanti mereka untuk mencicipi daging setahun sekali.

Namun, akhir-akhir ini, suasana kurban kadang tercederai oleh insiden. Sebagian mengecam panitia yang tetap berlaku tradisional, padahal jumlah pengantre daging kurban kini menjadi ribuan. Sebagian mengecam, mengapa panitia yang tidak keliling membagi-bagikan daging itu ke rumah-rumah dan masih banyak lagi kritikan. Sebagian kritik itu ada benarnya, namun juga kita jangan gegabah menuding-nuding. Ada banyak faktor mengapa semua itu terjadi.

Jika di desa, panitia kurban ataupun kurban yang dikerjakan sendiri sudah tahu daging itu akan dibagikan di mana saja; di kota besar, seperti Jakartaapalagi di masjid-masjid tertentu makin impersonal. Belum lagi kini ditingkahi para penampung daging kurban: mereka sudah menunggu untuk membeli daging kurban dengan harga lebih murah daripada di pasar. Ada kompleksitas.

Sebetulnya, yang paling layak dicemaskan adalah kenyataan itu menunjukkan tingkat kemiskinan masyarakat kita makin parah. Para pengamat ekonomi menyebutkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi kita makin menganga. Sebagian kecil masyarakat kita bergerak cepat menghisap pendapatan nasional, sedangkan sebagian sangat besar makin terperosok. Jadi, pertumbuhan ekonomi yang konstan serta peningkatan pendapatan per kapita rata-rata sebetulnya lebih dinikmati segelintir orang.

Kebijakan ekonomi yang berorientasi ekspor telah berlaku menindas dan memiskinkan rakyat. Kita tak peduli dengan industri rotan karena kita hanya ingin gampangan dengan menjual rotan mentah. Akibatnya, Cina menjadi penikmat sebagai pengekspor industri rotan. Padahal, 80 persen rotan berasal dari hutan Indonesia. Ini hanya satu contoh. Mau lainnya? Ya, bailout Bank Century itu. Ini skandal yang jahat.

Jadi, persoalan kurban jangan dilihat sebagai persoalan panitia atau moralitas masyarakat kecil. Itu hanya ujung belaka. Justru, intinya adalah kesalahan kebijakan ekonomi. Justru, kisruh itu akibat elite yang tak berpihak pada pemerataan dan keadilan sosial.

Mari, kita jadikan Idul Adha ini sebagai pengingat bagi para penguasa untuk makin mengorbankan diri terhadap kepentingan masyarakat. Membuat kebijakan ekonomi yang tak gampangan adalah salah satunya.
(-)

(www.republika.co.id)

Senin, 30 November 2009

Jakmania



Oleh : Mahiruddin Siregar

Jakmania adalah julukan bagi supporter fanatik Persija.

Setiap Persija turun merumput mereka pasti dengan setia datang berduyun-duyun untuk memberikan dukungan.

Apalagi kalau pertandingannya dilaksanakan di markas Persija yaitu Stadion Utama Senayan Jakarta, sudah dapat dipastikan bahwa seluruh stadion akan berwarna oranye, warna kesayangan Persija.

Bahkan sebelum memasuki stadion, jalanan Jakarta sering dimacetkan oleh kompoi oranye Jakmania, dan tidak jarang pula mereka bikin ulah yang bikin pusing petugas lalu lintas dan para pengguna jalan lainnya.

Beruntunglah Persija memiliki pendukung fanatik yang cukup banyak, sehingga dengan penuhnya lapangan oleh penonton pada setiap pertandingan akan memberikan pemasukan yang cukup memadai dari hasil penjualan karcis masuk, dimana akan sangat membantu untuk membiayai kesebelasan tersebut.

Di Indonesia saat ini bukan hanya Persija saja yang memiliki pendukung fanatik, tetapi kesebelasan lainnya juga seperti Persib, Persik, Arema, Persebaya, Sriwijaya FC, PSM, PSMS, dll.

Semoga hal ini sebagai pertanda akan majunya persepakbolaan Nusantara dimasa depan, sehingga dapat berkiprah untuk tingkat Internasional.

Sabtu, 28 November 2009

Indahnya Solidaritas

Sabtu, 28 November 2009 pukul 02:22:00
Solidaritas Sosial

Seluruh umat Muslim sedunia, kemarin merayakan salah satu perayaan paling akbar, yakni Idul Adha 1430 Hijriah. Inilah kesempatan emas bagi umat Islam untuk melaksanakan wujud solidaritas sosial terhadap sesamanya.

Idul Adha yang juga dikenal sebagai Hari Raya Kurban, memberikan peluang sebesar-besarnya bagi yang mampu untuk membantu sesamanya yang kurang beruntung, miskin, atau yang sedang mengalami musibah, seperti bencana alam. Kepekaan umat terhadap sesamanya, diuji dalam konteks ini.

Kurban bukan semata-mata prosesi penyembelihan hewan kurban, berupa kambing, domba, atau sapi. Tetapi lebih dari itu, yang beruntung memiliki harta dianjurkan untuk memberikan sebagian hartanya kepada kaum yang miskin. Itulah sesungguhnya ajaran Islam yang hakiki.

Idul Adha ini hanya sebuah momentum yang mesti dilanjutkan pada hari-hari lain. Kerelaan sebagai umat manusia, bukan berhenti hanya pada saat kita merayakan hari akbar ini saja. Seorang Muslim harus ikhlas melepaskan sebagian harta yang dimilikinya, untuk menjalankan apa yang ditetapkan Allah SWT, membantu sesamanya.

Kita mestinya tak terpaku pada kerelaan dalam bentuk harta atau fisik. Peluang bagi umat Islam untuk menjadi insan yang kamil (sempurna) terbuka seluas-luasnya. Saatnya, segenap lapisan masyarakat menggalang solidaritas untuk mengatasi krisis ekonomi global saat ini.

Ada harapan di ujung lorong yang gelap gulita ini. Dalam situasi krisis dan tantangan yang semakin menghimpit ini, manusia justru diingatkan agar terus bersemangat memecahkan persoalan yang menghimpit. Di sinilah solidaritas sosial diuji.

Apakah kita bisa tersenyum di atas penderitaan sesama? Di situlah keyakinan kita mendapatkan tantangan. Di situ pula keimanan kita sebagai hamba Allah mendapatkan pertanyaan besar. Dan tugas kita untuk menjawab dua pertanyaan itu dengan aksi nyata.

Krisis ekonomi yang terjadi saat ini, kembali menghadirkan ketimpangan sosial yang begitu jauh. Kita melihat dengan mata kepala, bagaimana sejumlah tokoh bangsa menghambur-hamburkan dananya untuk meraih jabatan tertentu. Seolah tak peduli bahwa di sekelilingnya masih banyak yang terjerat kemiskinan.

Kita lihat lagi, pada saat pemilu, baik di tingkat lokal hingga tingkat nasional, sejumlah elite bangsa ini rajin membantu kalangan tidak mampu. Tetapi kita semua tahu, langkah itu bukan gerakan keikhlasan, kerelaan, apalagi pengorbanan. Bukan itu semangat pengorbanan yang dibutuhkan.

Semangat penyembelihan seperti yang terkandung dalam hari raya kurban ini, menganjurkan kita dapat menyembelih keserakahan, ketamakan, keangkuhan, dan nafsu untuk menguasai harta dengan cara-cara yang tidak wajar, seperti korupsi.

Karena sesungguhnya, manusia yang derajatnya lebih tinggi adalah manusia yang hidupnya dapat lebih bermanfaat dan menyebarkan manfaat bagi kemaslahatan sesamanya.

Krisis ekonomi jilid kedua di era reformasi ini sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah dan elite negeri ini untuk berlomba-lomba memberikan contoh solidaritas sosial. Bukan solidaritas semu seperti yang dipertontonkan pada pemilu lalu.

(www.republika.co.id)

Manfaat Kurban

Sabtu, 28 November 2009 pukul 02:57:00
Kurban, Solusi Masalah Bangsa

Oleh Siwi Tri Puji, M Ghufron

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
La ilaha Illallahu wallahu Akbar
Allahu Akbar walillahilhamd

Gema puja-puji atas kebesaran Allah SWT terdengar bergemuruh di seluruh dunia. Ratusan juta Muslim, dari ujung delta Afrika, benua hijau Eropa, hingga pedalaman Asia, bermunajat menyebut keesaan Sang Penguasa Alam, mengenang keikhlasan Nabi Ibrahim atas putranya, Nabi Ismail, untuk disembelih yang kemudian diganti domba.

Di Abuja, Ibu Kota Nigeria, takbir tak henti-hentinya berkumandang. Air mata ribuan jamaah Shalat Id tak tertahankan membasahi wajah mereka ketika khatib dengan kusyuknya membacakan doa. Sementara di New York dan Washington, Amerika Serikat (AS), ribuan kaum Muslim mendatangi masjid-masjid dan sekolah-sekolah untuk melaksanakan Shalat Id.

Kalimat-kalimat segala puji bagi Allah juga terdengar dari dalam mal-mal dan pusat perbelanjaan di sejumlah kota di Eropa. Musim dingin membuat mereka memilih mal-mal itu untuk dijadikan pelaksanaan Shalat Id. Dan itu, kata beberapa jamaah di London (Inggris) dan Frankfurt (Jerman), tidak mempengaruhi kekhusyukan ibadah.

Dari Makkah, hujan yang mengguyur Arafah sehari sebelum pelaksanaan wukuf menjadi berkah tersendiri. Meski tenda-tenda dan karpet sempat basah, namun di hari wukuf, jejak hujan membuat Arafah lebih nyaman. Debu jauh berkurang dan udara lebih sejuk.

Di dalam tenda masing-masing, jamaah mengoptimalkan waktu wukuf dengan berzikir, berdoa, membaca Alquran, dan mengikuti tausiyah. Hampir semua maktab menyelenggarakan acara tausiyah dan doa bersama, yang merupakan puncak pelaksanaan ibadah haji.

''Umat Islam semestinya meneladani Rasulullah Muhammad SAW dalam beribadah, termasuk berhaji. Rasulullah tidak pernah mendahulukan ibadah-ibadah sunah individual, tetapi lebih menekankan ibadah-ibadah sosial,'' kata Naib Amirul Haj, KH Ali Mustafa Yaqub, dalam tausiyahnya di tenda Maktab 44, kemarin.

Itu sebabnya, papar KH Ali, dalam seumur hidupnya, Rasulullah berhaji hanya sekali. Namun, kata dia, ada umat yang mengaku sebagai pengikut Nabi SAW ingin beribadah haji setiap tahun, padahal kehidupan Muslim di sekitarnya masih sangat memprihatinkan.
''Jadi, pantaskah seorang Muslim yang kaya setiap tahun pergi ke Makkah untuk melakukan sesuatu yang tidak wajib? Hadis manakah yang menyuruh kita bolak-balik umrah, sementara kaum Muslimin sedang kelaparan,'' KH Ali mempertanyakan.

Suasana meriah penuh khusyuk juga terlihat di Tanah Air. Jutaan umat Islam mendatangi masjid-masjid dan lapangan-lapangan untuk menunaikan Shalat Id di seluruh pelosok negeri.

Di Jakarta, Masjid Istiqlal dibanjiri ratusan ribu umat, yang mayoritas berbalut pakaian serbaputih. Begitpun yang terlihat di banyak kota lainnya seperti di Bandung, Malang, Surabaya, Banjarmasin, Denpasar, Manado, Bandar Lampung, hingga Jayapura. Tak lupa, sejumlah khatib pun menyerukan pesan moral kepada para pemimpin bangsa di tengah krisis kepercayaan yang terjadi saat ini.

Khatib Shalat Idul Adha di Masjid Agung Kudus, Jawa Tengah, KH Ahmadi Abdullah Fattah, mengingatkan kepada para pemimpin negara untuk meneladani makna Hari Kurban, agar rakyat luas dapat merasakan hidup bahagia, adil, dan makmur. ''Kenyataannya, masih ditemui adanya para pemimpin yang tega mengorbankan kepentingan rakyat demi kepentingan pribadi,'' ujarnya.

Tindakan para pemimpin yang tidak patut diteladani tersebut, mendorong terjadinya tindak korupsi, penipuan, kekerasan, dan tindak kejahatan lainnya. Akibatnya, kata KH Ahmadi, masih banyak rakyat yang harus hidup menderita dan sengsara.

Berdasarkan ajaran Islam, ia menjelaskan, berkurban dapat dimaknai sebagai tindakan yang dilaksanakan dengan ikhlas, meskipun harus mengorbankan sesuatu yang sangat dicintai. ''Keteladanan Nabi Ibrahim yang diuji oleh Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan ujian keimanan untuk mengorbankan anak yang sangat dicintainya,'' ujarnya.

Seruan moral terhadap pemimpin bangsa juga disampaikan khatib Shalat Id di Universitas Muhammadiyah Malang, Ahsanul In'am. Kata dia, Idul Adha tahun ini diliputi keprihatinan berbagai persoalan bangsa. Melalui pelajaran kurban, jelas In'am, hikmah paling penting yang bisa diambil adalah kejujuran, perjuangan yang keras, dan keihlasan berkorban.

Nilai-nilai itu, sambungnya, telah luntur dan dilupakan saat pengelola bangsa ini memegang kekuasaan. Menurut dia, bangsa Indonesia telah kehilangan kejujuran, kesungguhan berjuang untuk kepentingan bangsa dan keikhlasan berkorban.

Eep Saefulloh Fatah, saat menjadi khatib di Ngurah Rai, meminta agar para pemimpin bangsa mampu mencerahkan dan menyejahterakan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik, dengan menerapkan prinsip kepemimpinan yang berakal.

''Berpegang pada prinsip untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat merupakan pengorbanan dalam kehidupan sehari-hari yang sejalan dengan makna Idul Adha,'' kata Eep di hadapan lebih dari lima ribuan umat Islam dari Denpasar dan sekitarnya.

Dari Lapangan Saburai Enggal, Bandar Lampung, khatib Wan Abbas Zakaria, menyatakan, ibadah kurban menjadi salah satu bentuk pemecahan masalah bangsa seperti kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, ketidakdilan, dan kesehatan.

Menurut dia, pada surat Al-Hajj ayat 36 dijelaskan bahwa penyembelihan hewan kurban tidak semata-mata untuk menegakkan hablum minallah (hubungan dengan Allah), tapi juga implikasi dari hablum minannas (hubungan dengan manusia).

Tiga karakter
D Masjid Istiqlal, guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Ridwan Lubis, mengatakan bahwa Islam terbentuk dari tiga karakter. ''Islam sebagai agama yang datang terakhir dibangun oleh tiga karakter yang membedakannya dari agama yang lain,'' kata Ridwan dalam ceramah kurban yang diikuti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono.

Ia menyebutkan, persamaan derajat sebagai karakter pertama Islam. Seluruh umat Islam, jelas Lubis, sama derajatnya, tidak peduli ras, garis keturunan, harta, dan kekuasaan. ''Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya,'' tegasnya.

Karakter kedua adalah keilmuan dan kehidupan bersahaja. ''Jika masyarakat sebelum Islam acap kali bertentangan dengan ilmu pengetahuan maka Islam datang dengan semangat selaras dengan keilmuan,'' kata Lubis.

Islam percaya seluruh tindakan manusia harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, dan oleh karena itu, pengetahuan tidak boleh lepas dari nilai-nilai. Karakter ketiga, Lubis menyebut kemajuan. Kata dia, Islam memperkenalkan konsep baru tentang kemajuan.

Soal kemajuan bangsa ini, Aburizal Bakrie, ketua umum Partai Golkar, mengatakan, Hari Kurban harus dijadikan momentum kebangkitan umat Islam.

Dan kini, di seluruh penjuru dunia, umat Muslim sedang merayakan kebahagian luar biasa. Si kaya telah berkurban atas nama Sang Pencipta, sementara si miskin tersenyum setelah mendapatkan seonggok daging kurban yang sangat berarti bagi mereka.

Pengorbanan itulah yang menjadi momentum indah tumbuhnya solidaritas sosial di antara umat Islam. c08/co1/antara, ed: damhuri

(www.republika.co.id)

Idul Adha



oleh : Mahiruddin Siregar

Allohu akbar,
Allohu akbar,
Allohu akbar,
Allohu akbar, walillahil hamdu.

Hari Raya Idul Adha atau Idul Qurban atau juga sering disebut Hari Raya Haji, merupakan hari raya terbesar dalam Islam.

Pada hari ini banyak yang diperingati sebagai napak tilas perjalanan sejarah terutama peristiwa penting yang dialami oleh Nabi Ibrahim, Ismail dan Siti Hajar.

Napak tilas tersebut terutama dilakukukan oleh para jemaah haji yang setiap tahunnya berjumlah 2 juta orang yang datang dari seluruh penjuru dunia, dan berkumpul ditanah suci Makkah dan sekitarnya. Mereka datang memenuhi panggilan Allah.

Labbaika Allhomma labbaik,
Labbaika lasyarika laka labbaik,
Innal hamda, wannikmata laka wal mulk,
Lasyarika laka.

Ritual ibadah haji cukup berat pelaksanaannya, mencakup kecukupan dan kekuatan pisik, kekuatan iman, dan kecukupan biaya. Ibadah ini adalah ibadah penyempurnaan keislaman seseorang. Karena itu Allah menjanjikan ganjaran yang setimpal bagi haji mabrur yaitu syurga jannatun naim.

Bagi yang tidak ikut melaksanakan ibadah haji, mereka juga melakukan ibadah sholat idul adha beramai-ramai ke lapangan atau masjid untuk mengagungkan asma Allah, besyukur, bertakbir, bertahlil dan bertahmid serta mendengar kan khotbah idul adha.

Sehabis itu mereka yang mampu melakukan ibadah penyembelihan hewan qurban, disediakan waktu selama 4 hari untuk memberikan kesempatan luang sehingga semua daging qurban dapat dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan usapan gizi yang baik dimana selama ini mereka sulit mendapatkannya karena keadaan ekonomi yang kurang mencukupi.

Kamis, 26 November 2009

Hewan Qurban



oleh : Mahiruddin Siregar

Ibadah Qurban bagi kaum muslim dapat menjadi sarana meningkatkan ekonomi rakyat, khusus bagi mereka yang bergerak dalam bidang usaha pengadaan hewan qurban, mulai dari para peternak, pedagang, tukang potong, dll.

Jadi ibadah Qurban mempunyai beberapa dimensi kebajikan antara lain sebagai ungkapan ketaqwaan kepada Sang Pencipta dan sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia yang telah diberikan oleh Nya, juga sebagai rasa kepedulian dan kasih sayang kepada kaum dhuafa yang kurang mampu untuk sekadar membeli sekerat daging, serta untuk meningkatkan ekonomi rakyat.

Rabu, 25 November 2009

Mengejar Nilai Tambah Komoditi Kakao

Selasa, 24 November 2009 pukul 11:39:00
'Bangkitkan Industri Kakao Indonesia'

LUWU -- Menteri Pertanian Suswono mengatakan industri kakao harus dibangkitkan dari tidurnya. ''Indonesia adalah eksportir biji kakao nomor tiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana,'' katanya di Luwu, Sulawesi Selatan, Senin (23/11).

Hal itu ia ungkapkan dalam sambutannya pada pencanangan Gerakan Nasional Kakao Fermentasi untuk Mendukung Industri Dalam Negeri. Dalam acara itu hadir Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Zaenal Bachruddin, Dirjen Perkebunan, dan Bupati Luwu Ade Mudzakkar.

Suswono mengatakan Indonesia masih sebatas sebagai eksportir biji kakao. Hal ini tentu tak memiliki nilai tambah karena belum diproses di industri. Untuk menunjukkan industri kakao tertidur, ia menyebut dari 16 unit industri kakao hanya tiga unit yang beroperasi. Lainnya, 3 unit berhenti total, 1 unit dalam perbaikan, dan 9 unit berhenti sementara.

Padahal disisi lain Indonesia menjadi importir kakao olahan. Karena itu ia mengatakan, ''Bila perlu tak ada lagi ekspor kakao dalam bentuk biji.'' Sedangkan negara-negara yang tak memiliki pohon kakao justru menjadi penikmat dari industri kakao.

Pada tahap awal, ia mendorong agar petani kakao melakukan sedikit sentuhan dengan mengenalkan proses fermentasi kakao. Yaitu proses pengeringan biji kakao dengan diperam terlebih dahulu dalam kotak tertutup. Setelah itu baru dijemur. Proses fermentasi ini akan menghasilkan biji kakao kering yang lebih sempurna dan menghasilkan cita rasa yang lebih baik serta aroma yang harum.

‘’Saat ini kakao menghasilkan 1.150 juta dolar (1,250 miliar rupiah) devisa, nomor tiga setelah kelapa sawit dan karet,’’ ujarnya. Ia berharap setelah fermentasi, devisa kakao meningkat jadi 2 miliar dolar per tahun.

Adapun Dirjen PPHP Zainal Bachruddin menyebutkan proses fermentasi akan memberi nilai tambah dan menaikkan daya saing biji kakao. Juga akan mendukung industri pengolahan dalam negeri. Menurutnya, pada 1968 luas kebun kakao hanya 12.855 ha, menjadi 1,5 juta ha pada 2008. Produksi kakao mencapai 721.780 ton pada 2008. nasihin, ed: budi r

(www.republika.co.id)

Senin, 23 November 2009

Lebih cepat, lebih baik.

Menghindari Jalur Lambat

Setelah mencoba bangkit dari krisis tahun 1997 dan disusul krisis keuangan global 2008, sebagai pemimpin negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cukup berhasil mengendalikan keadaan. Setidaknya terlihat dari stabilnya situasi politik dan ekonomi pada saat ini. Langkah Presiden SBY melakukan reformasi birokrasi hingga upaya pemberantasan korupsi telah menciptakan landasan yang kokoh bagi terciptanya pertumbuhan tinggi yang berkualitas dan berkelanjutan.

Meski demikian, bukan berarti masalah besar lainnya sirna. Beruntung, pemerintah menyadari hal itu. Lewat pergelaran National Summit atau Rembuk Nasional, pekan lalu pemerintah mencoba menampung beragam rekomendasi yang dijadikan sebagai masukan dalam program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Memang sudah saatnya pemerintah lebih fokus pada rencana aksi agar tidak kehilangan momentum dan meredupkan kembali optimisme. Pemerintah harus memiliki terobosan dan tidak sekadar melanjutkan program lima tahun lalu.

Menko Perekonomian yang baru berjanji akan bekerja habis-habisan membenahi sektor riil untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yang mampu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Target pertumbuhan ekonomi sekitar 7% pada 2014 pun diyakini bakal tercapai, meski sesungguhnya angka ini konservatif. Maklum, jika pemerintah bisa mengatasi bottle neck dalam perekonomian dan banyak terobosan, rasanya target itu tidak terlampau sulit dicapai.

Tentu kita sepakat bahwa kualitas pertumbuhan yang dicapai akan sangat mempengaruhi kemampuan mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Syarat keberhasilnnya, angka pertumbuhan harus lebih tinggi dari laju inflasi. Jika terbalik, dipastikan pengurangan angka kemiskinan tidak akan tercapai. Demikian pula, jika kualitas pertumbuhan yang dicapai lebih banyak ditopang oleh konsumsi daripada ekspor serta investasi dan sektor industri lebih padat modal, kemampuan menyerap pengangguran pun menjadi rendah.

Pemerintah juga harus memperkuat stabilitas sektor keuangan, termasuk pengelolaan moneter, yang diarahkan untuk menciptakan ruang yang lebih kondusif bagi perkembangan dunia usaha.

Investasi dalam beberapa tahun ini terindikasi kurang menggembirakan. Padahal, untuk menopang pertumbuhan ekonomi hingga 7% pada 2014, diperlukan investasi sekitar Rp 2.000 trilyun per tahun. Sementara itu, pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara hanya mampu mengisi sekitar 20%-nya. Sisanya, tentu dibutuhkan kucuran dana dari sektor usaha nasional (swasta dan BUMN) serta dana luar negeri.

Persoalan investasi memang sangat kompleks. Buruknya kondisi di sektor ini mendesak untuk segera dituntaskan. Semua hambatan yang menyumbat perekonomian itu akan menimbulkan ketidakpastian usaha dan investasi. Risiko bisnis yang tinggi akan membuat investor urung menanamkan modal. Sebaliknya, persoalan baru kini mulai muncul, seperti gonjang-ganjing perseteruan antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan yang dampaknya makin meluas.

Salah satu rekomendasi yang terhimpun dari acara Rembuk Nasional lalu adalah terkait masalah hukum dan perundang-undangan. Ini menunjukkan betapa salah satu sumbatan paling serius adalah persoalan unsur-unsur dari institusi. Jika institusi penegak hukum tidak mampu menghadirkan rasa keadilan dalam masyarakat dan menumbuhkan keyakinan pengusaha, kita akan tetap di jalur lambat dengan pertumbuhan yang tidak berkualitas.

Pemerintah juga harus fokus mengatasi persoalan industri manufaktur yang kini memasuki fase deindustrialisasi secara berlanjut, yang bisa memperburuk daya saing industri dan ekspor. Sektor manufaktur dalam dua tahun terakhir tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi. Idealnya, pertumbuhan sektor ini lebih dari 7%, agar target ekonomi bisa tumbuh lebih dari 6%.

Kini saatnya Indonesia memperbaiki faktor-faktor yang memberi kemudahan dalam memulai bisnis, sehingga kebijakan dan program di bidang investasi akan semakin baik. Di luar faktor finansial, keterbatasan infrastruktur, dan masalah konsistensi penegakan hukum, sudah saatnya masalah pasokan energi listrik serta meningkatnya persaingan antarnegara segera diatasi, agar tidak menyulitkan Indonesia untuk menarik investasi asing.

Upaya mempercepat penyerapan anggaran dengan perbaikan mekanisme perencanaan dan mempercepat pembelanjaannya pun diharapkan ikut memberi andil yang tak sedikit, agar negeri ini terhindar dari jalur lambat pertumbuhan ekonomi. Semoga!

Sugiharto
Chairman of Steering Committee The Indonesian Economic Intelligence
[Perspektif, Gatra Nomor 1 Beredar Kamis, 12 November 2009]

Minggu, 22 November 2009

Satu orang, tiga pohon !


200 Ribu Pohon untuk Indonesia Menanam

Headlines | Sun, Nov 22, 2009 at 14:07 | Jambi, matanews.com

Pemerintah Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, dalam waktu dekat melakukan penanaman 200.000 pohon sebagai bagian dari Gerakan Indonesia Menanam yang telah dicanangkan secara nasional.

Menurut Kepala Bidang Rehabilitasi Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Kerinci Abu Hasan ketika dikonfirmasi, Minggu, penanaman pohon sebanyak itu sebagai upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup di Kerinci.

Kerinci yang merupakan kabupaten yang berada di paling barat Provinsi Jambi atau berjarak 450 km dari Kota Jambi, dikenal memiliki hutan yang cukup luas, di antaranya Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

“Kegiatan Indonesia menanam di Kerinci direncanakan akan dilaksanakan pada awal Desember 2009,” katanya.

Pusat kegiatan Indonesia Menanam di lokasi pembangunan asrama Brimob, yaitu di Desa Belui Tinggi, Kecamatan Depati VII, karena tempatnya sangat strategis dan lahannya juga sudah kritis.

Kegiatan ini akan dibuka langsung Bupati Kerinci Murasman. Sebanyak 200.000 pohon dari berbagai jenis itu akan ditanam secara serentak di seluruh kecamatan di Kabupaten Kerinci yang dikoordinir camat.

“Kita di Kerinci menggunakan istilah `one man three tree`, yaitu satu orang akan menanam tiga batang pohon,” katanya.

Sementara itu, Camat Depati Tujuh Nafritman saat dihubungi mengatakan pihaknya siap menjadi tuan rumah pelaksanaan Indonesia Menanam yang berpusat di Desa Belui Tinggi.

Pihaknya sangat mendukung program yang telah digagas pemerintah pusat untuk melestarikan lingkungan hidup, apalagi saat ini ditengarai sudah banyak hutan di Kerinci yang telah ditebang.

Terbukti udara Kerinci sendiri tidak lagi sedingin beberapa tahun sebelumnya, padahal daerah ini berada di dataran tinggi, hal ini mengindikasikan hutannya sudah banyak yang ditebang.(*an/z)

Jumat, 20 November 2009

Indonesia & Perubahan Iklim


Indonesia Berhutan Luas, Berperan Dalam Konvensi Perubahan Iklim
Selasa, 17 November 2009 05:09 WIB |

Pekanbaru (ANTARA News) - Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki peranan penting dalam pertemuan Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, pada Desember 2009 karena punya hutan yang luas.

"Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam pertemuan Kopenhagen karena miliki hutan yang besar," kata Menteri Negara untuk Energi dan Perubahan Iklim Inggris, Joan Ruddock, di Pekanbaru, Senin.

Karena itu, ujar dia, pihaknya juga melakukan pertemuan untuk bernegosiasi ke sejumlah negara lain mengajak dan mengajak negara itu menghasilkan sesuatu keputusan yang efektif dan ambisius pada pertemuan Kopenhagen.

Ruddock berjanji, kesepakatan yang diambil Indonesia dalam pertemuan internasional itu akan didukung sepenuhnya dan membantu Indonesia seperti pendanaan dalam perubahan iklim.

Pihaknya juga telah menjadwalkan melakukan pertemuan dengan para menteri terkait selama berada di Indonesia terkait komitmen pengurangan emisi berkisar antara 26 persen hingga 40 persen pada tahun 2020.

Namun, jelas Ruddock, Inggris tidak akan membandingkan komitmen pengurangan emisi dengan negaranya yang menargetkan penurunan sebesar 34 persen pada tahun 2020 dan 80 persen tahun 2050.

"Sulit membandingkan target pengurangan emisi Indonesia dan Inggris karena kadar emisi Indonesia tinggi, sedangkan Inggris stabil," ujarnya.

Selama sehari berada di Riau, Ruddock, yang didampingi Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Martin Hatfull, juga meninjau langsung lahan gambut di Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Pihaknya juga melakukan pertemuan dengan para penggiat lingkungan dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal dan internasional di Pekanbaru.

"Kami juga mendengarkan LSM kenapa terjadi penebangan hutan dan melibatkan komunitas lokal untuk mengetahui rencana apa saja yang dilakukan demi mengurangi kerusakan hutan," ujarnya. (*)

COPYRIGHT © 2009

Satu pohon, perorang, pertahun


Dishutbun Siapkan 195 Ribu Bibit Kayu Penghijauan
Kamis, 19 November 2009 05:32 WIB |

Curup, Bengkulu (ANTARA News) - Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) kabupaten Rejang lebong, Provinsi Bengkulu, sedikitnya sudah menyiapkan 195 ribu bibit kayu untuk pencanangan program pemerintah pusat penanaman satu orang satu pohon.

"Ke 195 ribu bibit kayu ini diantaranya 93 persen jenis kayu- kayuan dan tujuh persen jenis tanaman buah- buahan," kata Kepala dinas Kehutanan dan Perkebunan Rejang Lebong, Nandang Sumantri, Rabu.

Saat ini terang Nandang, bibit telah disiapkan, tinggal menunggu di bagikan kepada masyarakat untuk ditanam di masing-masing lokasi lingkungan rumah warga.

Bibit kayu dan buah- buahan tersebut akan di bagikan ke 15 kecamatan di Rejang Lebong, selanjutnya diserahkan pada masyarakat secara gratis.

Selanjutnya pihak dinas kehutanan dan perkebunan akan menanamkan pada daerah aliran sungai yang ada di kabupaten Rejang lebong.

Bagi masyarakat yang menanam bibit program satu orang satu pohon, hasil nantinya silahkan dinikmati sendiri.

Ketua pelaksana program satu orang satu pohon Kabupaten Rejang lebong, Kadirman mengungkapkan, Program pusat tersebut sebagai upaya masyarakat dalam membantu terjadinya pemanasan bumi.

"Masing-masing kecamatan nantinya akan mendapat jatah pohon untuk ditanam dan di bagikan pada masyarakat.

Ia mengatakan pelaksanaan penanaman satu orang satu pohon akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 28 November 2009.

Lokasi penanaman secara serentak ini di hutan kota, tepatnya di Desa Duku Ulu, kecamatan Curup Timur.

Sedangkan bibit sebanyak 195 ribu batang yang di siapkan akan dibagikan di beberapa titik.

Antara lain, di kantor camat kecamatan Sindang Kelingi 40 ribu batang, kantor camat kecamatan Curup Selatan 35 ribu batang, kantor camat kecamatan Curup Utara 40 ribu batang, kantor kecamatan Curup Timur 40 ribu batang, dan Desa Baru Manis kecamatan Bermani Ulu 40 ribu batang.

"Pemerintah Rejang Lebong akan menargetkan program ini mencapai 220 ribu batang yang akan di tanam," kata Kadirman.(*)

COPYRIGHT © 2009

Rabu, 18 November 2009

Usaha Penggemukan Sapi (2)


Analisis Penggemukan Sapi Potong Simmental dan Limousin

Sering kami dimintai pendapat oleh rekan2 peternak baik pemula maupun yang berpengalaman tentang bagaimana pemilihan calon sapi yang bagus untuk dipelihara dengan tujuan digemukkan pada perusahaan kami. Pertanyaan ini meliputi mulai tentang jenis sapi (ras), bentuk tubuh, umur, berat badan, waktu pemeliharaan sampai panen dan kalkulasi harga jual maupun belinya. Di sini kami hanya ingin berbagi pengalaman saja dan share dengan sesama pelaku usaha peternakan sapi.

1.Jenis Ras dan bentuk tubuh. Sejatinya semua jenis ras punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tentang hal ini sudah banyak diulas di pelbagai literatur tentang sapi potong. Hanya kita sebagai Praktisi peternakan seyogyanya perlu memperhatikan nilai-nilai praktis dan ekonomis dari jenis ras tersebut baik dari sisi kekuatan finansial peternak, peruntukannya dan timing tepat penjualannya. Seperti kita ketahui, untuk ADG (penambahan Berat harian) bolehlah diakui memang sapi jenis limosin dan simmental F1 telah menjadi primadona yang mana ADGnya mampu mencapai 1,3-2kg/ harinya. Disusul di belakangnya silangan SIMPO dan LIMPO dengan ADG 1-1,7kg/hari. Berlanjut kemudian PO murni, Bali dan seterusnya yang lebih rendah penambahan berat hariannya dan struktur tubuhnya. Namun poin terpenting untuk tidak kita lupakan dari semua itu tentunya adalah Fisiologi dan kriteria performance sapi itu sendiri. Tampilan fisik yang ideal mencakup body frame, power depan dan belakang sapi akan mempengaruhi ADG, kemudahan pemeliharaan,dan harga purna jualnya.

2.Umur dan berat badan. Usia sapi yang ideal untuk digemukkan adalah mulai 1,5 sampai dengan 2,5 tahun. di sini kondisi sapi sudah mulai maksimal pertumbuhan tulangnya dan tinggal mengejar penambahan massa otot (daging) yang secara praktis dapat dilihat dari gigi yang sudah berganti besar 2 dan 4 buah. Sapi yang sudah berganti 6 gigi besarnya (3 tahun ke atas) juga cukup bagus. Hanya di usia ini sudah muncul gejala fatt (perlemakan) yang tentunya akan berpengaruh dengan nilai jual dari pelaku pemotongan ternak. Sapi apabila masih di bawah usia ideal penggemukan biasanya lebih lambat proses gemuknya dikarenakan selain bersamaan pertumbuhan tulang dan daging juga sangat rentan resiko penyusutan serta labil proses penambahan berat disebabkan adaptasi tempat yang baru, pergantian pola pakan dan teknis perawatan serta penyakit. Tentang variabel berat tubuh, pastinya akan kita lihat dulu dari jenis ras apa sapi yang akan kita pelihara. Sapi jenis limousin dan simmental maupun silangannya dengan PO kala umur 1,5 tahun sudah berbobot rata-rata 350-400 kg, sedang sapi PO murni hanya kisaran 185-275 kg. Nah, dari sini nantinya kita akan mulai berhitung tentang teknis penilaian ideal untuk mengukur sistem pemeliharaan dan transaksi jual beli.

3.Masa pemeliharaan. Sesuai pengalaman kami yang baru sedikit ini, kami menyarankan pada mitra peternak kami bahwa sapi yang akan digemukkan agar memakai mekanisme : apabila masa panen jangka pendek (k.l 100 hari) pilihlah jenis limousin, simmental dan silangannya (F1 maupun F2) dengan berat mulai 390-500 kg. Jika proporsional pemeliharaannya, sapi tersebut akan mampu bertambah minimal 100kg saat panennya. Namun kalau yang diinginkan masa panen jangka menegah dan panjang ( k.l 250 hari hingga lebih dari 1 tahun) disarankan agar memilih jenis F1 simmental dan limousin yang murni genetiknya dengan berat di bawah 350 kg. Kebanyakan peternak yang berpola seperti ini biasanya untuk investasi, pemurnian genetik indukannya atau bahkan sebagai hewan kesayangan (klangenan jawa.red). muncul satu pertanyaan yang menggelitik; lebih untung pola yang mana?

4.Perhitungan harga. Sapi untuk pemeliharaan jangka menengah (k.l 250 hari) dengan berat di bawah 300 kg rata-rata masih belum dapat mencapai rendemen karkas lebih dari 49%. Sehingga apabila ingin dijual, pembeli barunya biasanya masih akan meneruskan penggemukannya lagi.Jika kita analisa, sapi F1 umur 5-8 bulan harga pasaran rata-rata per mei 2009 adalah 7,5-10 juta dengan bobot 250-325 kg. Kita ambil tengah-tengahnya saja lalu kita konversikan dengan harga timbang hidup jatuhnya sekitar Rp.31.000;/kg timbang di pasar. Kenapa seperti itu ??? sapi dengan berat 380-525 kg seharga Rp.24.000/kg (sesuai harga loco di farm kami) adalah untuk kriteria jenis BAKALAN. Jadi di spek ini kita sudah mulai dapat mengukur standar perhitungan baik umur sapinya, prosentase rendemen karkasnya (berat daging tulang), capaian bobot maksimal, sampai dengan masa panennya. Beda halnya dengan berat 300kg ke bawah; karena itu masih tergolong jenis BIBIT.Jadi sistem transaksinya mirip seperti di bursa pelelangan yang harganya ditentukan berdasarkan kerelaan penjual dengan kepuasan dan jatuh hati sang pembeli. Maka disitulah kita baru dapatkan harga umum dan rata-rata kepantasan transaksi di pasar ataupun di peternak yag ketemunya ternyata di harga Rp.31.000.Kita tentu belum dapat mengukur standarisasi, berapa nanti capaian berat maksimal dan waktu panennya apalagi berapa rendemen karkasnya.Lain daripada itu, sistem pasar peternakan kita malah sudah tidak ada lagi sertifikasi /surat keterangan bibit saat sapi dijual yang berbeda saat zaman orde baru dulu, ironi memang.sehingga kita pasti akan kesulitan mencari blood link sapi, alamat peternak apalagi cara perawatan dan ransumnya.Kecuali kalau sapi tersebut kita beli langsung di breeder
Sedikit analogi: apakah anda mampu menaksir berapa ton padi dalam 1hektar yang akan anda panen saat umur benih baru ditancapkan 15 hari atau sebulan sekalipun? bagaimana dengan resiko hama, kelangkaan pupuk dan pengairannya? apakah anda bisa pastikan akan menuai panennya? ini analogy untuk BIBIT.
Nah sekarang, kesulitankah anda memprediksi, berapa ton gabah yang akan anda dapatkan saat padi anda telah berbulir siap menguning? ini kiasan untuk BAKALAN, kalaupun panen anda akhirnya kurang maksimal masihlah kita dapatkan gabah meski rendah mutu dan tidak banyak jumlahnya.Taruh kata untuk bibit yang beratnya dibawah 300 kg kalau selama dipelihara sapi tadi mencapai bobot 600kg (adakah jaminan????) maka akan diperoleh pendapatan sbb; 600 kg X Rp.24.000/kg (harga siap potong) : Rp. 14.400.000; – Rp. 9.300.000( harga bakalan) = Rp.5.100.000 selama l.k.250 hari. Bandingkan dengan pola 100 hari, disini apabila anda membeli bakalan,bobotnya rata-rata 430kg komposisi mix F1 dan F2. harga dasarnyapun masih logis di banding pola jangka panjang. Analisanya sebagai berikut : 430 kg X Rp.24.000 = Rp.10.300.000; Masa pemelihara 100 hari dicapai berat 560 kg (banyak yang menjamin..) dengan ADG 1,3kg X Rp.24.000; akan didapat penghasilan = Rp.13.440.000 – Rp.10.300.000 (modal pembelian) keuntungannya : Rp.3.100.000 selama 100 hari. Maka dalam 1 tahun kita akan dapat panen 3 kali.

Pola pemeliharaan di perusahaan kami dalam 1 tahun (menurut kalender Hijriyah) adalah : pada bulan muharram dilaksanakan pengadaan untuk sapi jenis simmental, limousin dan silangannya yang akan dipanen pada bulan Rabi’ul Akhir. Pengadaan ke II dilaksanakan di bulan Jumadil Awal dan akan dipanen nantinya pada bulan ramadlan. Di bulan Syawal kami lakukan pengadaan sapi jenis PO murni karena bulan Dzulhijjah harga sapi PO selisih Rp.3-4000/kg lebih mahal panenannya. Demikian rotasi ini senantiasa kami tetapkan sebagai acuan kerja.
Segala yang menyangkut istilah seperti tersebut di atas hanyalah sekedar teknis empiris yang pernah kami alami dan bukanlah istilah ilmiah yang jauh dari pengetahuan kami.
Semuanya ada kelebihan dan kekurangannya.Mohon dikoreksi untuk jadi evaluasi dan introspeksi kami agar ke depan lebih baik lagi dalam beternak.
Semoga bermanfaat.

sumber.lembusora.com

(www.ternakonline.wordpress.com)

Usaha Penggemukan Sapi (1)


Analisa Usaha Penggemukan Sapi
Wednesday, July 29, 2009
By abrianto

Analisa usaha penggemukan sapi potong.
Apakah usaha penggemukan sapi potong itu menguntungkan ?.
Kuncinya adalah ketrampilan dan pengetahuan untuk dapat memprediksi semua faktor yang saling berhubungan. Oleh sebab itu para peternak diharapkan untuk memiliki data-data lengkap mengenai Biaya yang harus dikeluarkan serta Pendapatan yang nantinya bakal dari peroleh dari usaha penggemukan sapi ini. Semakin detil data yang dimiliki akan semakin kecil pula resiko kerugian yang bakal dialami oleh peternak tersebut.

Pada intinya untuk perhitungan Rugi Laba, diperlukan data sbb :

1. Biaya Produksi, dibagi menjadi dua yaitu :
1. Biaya tetap, adalah biaya investasi yang besarnya tidak pernah berubah, seperti sewa lahan, bangunan kandang dan peralatan.
2. Biaya tidak tetap, diantaranya pembelian bakalan, pakan, upah tenaga kerja, rekening listrik, telepon dan transportasi.
3. Hasil Produksi, merupakan pendapatan yang diperoleh, dapat berupa pendapatan utama dan hasil ikutan.

Contoh sederhana analisa usaha penggemukan sapi potong jenis P.O (Peranakan Ongole) per satu periode (0,5 tahun = 180 hari), dengan asumsi biaya sbb:

A.BIAYA PRODUKSI

Biaya Tetap

* Biaya Sewa Lahan : 500 meter, Rp.2.000.000/tahun, jadi biaya per periode adalah Rp.2.000.000,- x 0,5 tahun = Rp.1.000.000,-
* Biaya Bangunan kandang : Rp.30.000.000 (bertahan 20 tahun),jadi penyusutan per periode adalah Rp.30.000.000,- : 20 tahun x 0,5 = Rp.750.000,-

Total Biaya Tetap

= Biaya Sewa Lahan + Biaya bangunan

= Rp.1.000.000,- + Rp. 750.000,- = Rp.1.750.000,-

= Rp.1.750.000,-

Biaya Tidak Tetap

* Biaya Pembelian 10 ekor Sapi bakalan P.O (Peranakan Ongole) berat 300 kg, harga Rp.23.500,-, jadi biaya pembelian sapi bakalan adalah 10 ekor x 300 kg x Rp.23.500,- = Rp.70.500.000,-,-
* Biaya Pakan Hijauan, 8 kg /ekor/hari, harga Rp.300,-/kg, jadi total biaya pakan untuk 10 ekor sapi per satu periode adalah : 8 kg x 10 ekor x 180 hari x Rp.300,- = Rp.4.320.000,-
* Biaya Pakan konsentrat, 5 kg/ekor/hari, harga Rp.2.000,-/kg, jadi total biaya konsentrat untuk 10 ekor sapi per satu periode adalah : 5 kg x 10 ekor x 180 hari x Rp.2.000,- = Rp.18.000.000,-
* Biaya Pakan Tambahan, berupa Garam dapur (NaCl), tepung tulang, kapur,dll seharga Rp.100,- / ekor/hari, jadi total biaya pakan tambahan untuk satu periode adalah : Rp.100,- x 10 ekor x 180 hari = Rp.180.000,-
* Biaya Tenaga kerja, 2 Orang, Rp.15.000,- / hari, jadi total biaya untuk tenaga kerja per satu periode adalah : 2 x Rp.15.000,- x 180 hari = Rp.5.400.000,-
* Biaya Lain-lain,seperti Rekening Listrik, Telepon,Obat-obatan, transportasi Rp.500.000,- / bulan, jadi total biaya lain-lain adalah : Rp.500.000 x 6 bulan = Rp.3.000.000,-

Jumlah Biaya Tidak Tetap = Biaya Pembelian sapi bakalan + Biaya pakan + Biaya Tenaga Kerja + Biaya lain-lain

= Rp.107.100.000,-

TOTAL BIAYA PRODUKSI

= Biaya tetap + Biaya Tidak Tetap

= Rp. 1.750.000,- + Rp.101.400.000,-

= Rp. 103.150.000,-

B. HASIL PRODUKSI / PENDAPATAN

* Hasil Penggemukan 10 ekor sapi dengan pertumbuhan berat rata2 adalah 0,8 kg/hari, jadi total berat setelah penggemukan adalah : (300 kg x 10 ekor) + ( 1 kg x 180 hari x 10 ekor) = 4.800 kg. Harga penjualan adalah Rp.23.000,-, jadi hasil penjualan sapi adalah : 4.800 x Rp.23.000,- = Rp.110.400.000,-
* Hasil penjualan kotoran Sapi, 7 kg x 10 ekor x 180 hari x Rp.250,- = Rp.3.150.000,-

TOTAL HASIL PRODUKSI = Rp.110.400.000,- + Rp.3.150.000,- = Rp.113.550.000,-

C. KEUNTUNGAN

Keuntungan = Total Pendapatan – Total Biaya

= Rp.113.550.000,- – Rp.103.150.000,-

= Rp.10.400.000,-


D. ANALISA BREAK EVENT POINT

Break Event Pont (BEP) disebut juga titik impas, merupakan perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan dengan total produksi.

BEP = total Biaya : total produksi

= Rp.103.150.000,- : 10 ekor

= Rp.10.315.000,- ekor

Dengan berat setelah penggemukan adalah 480 kg, maka

BEP adalah Rp10.315.000,- : 480 kg = Rp. 21.489,- / kg


E.ANALISA BENEFIT COST RATIO

Adalah perbandingan antara angka pendapatan dengan biaya yang dikeluarkan.

B/C Ratio = Total Pendapatan : Total biaya

= Rp.113.550.000,- : Rp. 103.150.000,-

= 1,1

Suatu usaha dikatakan layak apabila angka Benefit Cost ratio (B/C Ratio) lebih dari 1.

.

Sumber :

* A.S. Sudarmono, Sapi Potong (Penebar Swadaya,2008)
* iabeef.org

Tags: analisa usaha, penggemukan sapi, sapi potong

This entry was posted on Wednesday, July 29th, 2009 at 22:12 and is filed under ALL, PENELITIAN. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed.

(www.duniasapi.com)

Meningkatkan Investasi

Selasa, 17/11/2009 17:55 WIB
Optimalisasi Sukuk Sebagai Pintu Investasi
Irfan Syauqi Beik - suaraPembaca



Jakarta - Bangsa ini baru saja mengadakan forum National Summit pada tanggal 29-31 Oktober 2009 lalu. Meski pemberitaan kegiatan tersebut nampaknya masih kalah dengan pemberitaan konflik KPK versus Polri dan Kejagung namun forum tersebut telah menghasilkan sejumlah output yang diharapkan dapat menjadi acuan program kerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II untuk 5 tahun ke depan.

Forum semacam ini merupakan sebuah wahana yang tepat untuk menjembatani komunikasi antar stakeholder bangsa ini. Mulai dari pemerintah, kalangan dunia usaha, akademisi, praktisi, LSM, dan masyarakat lainnya. Harapannya pemerintah akan mendapat masukan yang konstruktif dalam pelaksanaan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pada forum tersebut sejumlah isu ekonomi telah dibahas. Meski sebagian isu tersebut --sebagaimana dikatakan ekonom Sunarsip, merupakan pending matters sebelum KB Jilid I terbentuk yaitu antara lain percepatan pembangunan infrastruktur, kebijakan energi, serta revitalisasi industri dan transportasi. Untuk merealisasikan hal tersebut dibutuhkan modal yang sangat besar.

Menurut Menko Perekonomian Hatta Radjasa dibutuhkan sekurang-kurangnya investasi Rp 2 ribu triliun setiap tahunnya selama lima tahun ke depan. Jika ini bisa dicapai maka Indonesia bisa mencapai angka pertumbuhan ekonomi 7 persen setiap tahun sebagai upaya untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.

Dengan kapasitas pemerintah yang hanya sanggup menyediakan dana investasi 10-15 persen saja dari total yang dibutuhkan maka peran sektor swasta menjadi sangat vital. Dibutuhkan adanya lompatan strategi yang luar biasa dari pemerintah untuk memenuhi target tersebut.

Sebuah misi yang sangat berat --jika tidak ingin mengatakannya sebagai mission impossible. Oleh sebab itu pemerintah perlu memikirkan sejumlah instrumen alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan tersebut. Atau paling tidak mampu mengurangi beban masalahnya.

Salah satu yang sangat penting adalah instrumen ekonomi syariah yang bernama sukuk. Sangat disayangkan bahwa isu ekonomi syariah sama sekali tidak disinggung dalam pembahasan di forum national summit.

Menstimulasi Sektor Riil
Sebagaimana diketahui bersama Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara merupakan instrumen yang keberadaannya diatur oleh UU No 19/2008 dan Peraturan Pemerintah No 57/2008. Hingga saat ini pemerintah telah melakukan penerbitan SBSN dengan nilai total Rp 19,8 triliun.

Dengan perincian antara lain SBSN seri ijarah fixed rate, sukuk ritel, sukuk global, dan surat dana haji Indonesia (SDHI). Diharapkan melalui penerbitan sukuk negara ini sebagian defisit pembiayaan APBN dapat diatasi. Yang menarik dari penerbitan SBSN sebelum ini adalah investor yang berasal dari bank konvensional (27,01% prosentasenya lebih besar dari investor yang berasal dari bank syariah (9,66%).

Namun demikian penerbitan sukuk negara yang ada masih belum optimal di dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan dalam membuka lapangan kerja baru. Hal tersebut dikarenakan orientasi penerbitan sukuk negara belum pada upaya untuk mendorong pertumbuhan sektor riil perekonomian. Melainkan sekedar menambal defisit APBN.

Oleh karena itu orientasi tersebut harus dirubah karena pemerintah sesungguhnya bisa menjadikan sukuk negara sebagai gerbang investasi di sektor riil. Termasuk investasi dalam pembangunan infrastruktur.

Agar hal tersebut dapat dicapai maka penulis menyarankan agar penerbitan SBSN difokuskan sebagai sumber dana untuk pembangunan infrastruktur dan transportasi. Seperti jalan, bandara, pelabuhan, dan lain-lain. Diharapkan ada multiplier effect yang dapat menggerakkan perekonomian negara jika pembangunan fasilitas-fasilitas tersebut menjadi prioritas.

Atau bisa juga penerbitan SBSN tersebut diarahkan pada pembangunan industri yang dapat membuka lapangan pekerjaan baru dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Misalnya penerbitan SBSN untuk mengembangkan industri pengolahan hasil laut dan perikanan, dan lain-lain.

Intinya agar instrumen SBSN ini digunakan pada hal-hal yang lebih produktif dan memiliki dampak lebih signifikan terhadap perekonomian terutama sektor riil. Untuk mengoptimalkan instrumen SBSN ini ada beberapa hal yang harus dilaksanakan.
Pertama, tim ekonomi KIB II harus menjadikan ekonomi dan keuangan syariah sebagai bagian utama dari kebijakan ekonomi nasional. Meski tidak disinggung dalam national summit bukan berarti ekonomi dan keuangan syariah diabaikan.

Kedua, optimalisasi potensi dana dalam negeri untuk investasi. Dengan berkembangnya pasar obligasi, perusahaan asuransi, dan dana pensiun maka ketersediaan dana jangka panjang domestik semakin besar. Belum lagi ditambah dengan tingginya saving masyarakat yang mencapai angka 34% dari GDP kita. Sehingga, kehadiran SBSN diharapkan dapat menyerap dana yang ada.

Ketiga, diplomasi ekonomi. Terutama yang berorientasi untuk menarik investor Timur Tengah, harus terus menerus ditingkatkan. Bahwa selama ini diplomasi ekonomi kita ke Timur Tengah belum optimal. Padahal potensi dana mereka sangat besar.

Keempat, perlunya peningkatan kualitas manajemen pengelolaan SBSN. Terutama ketika dana yang didapat disalurkan pada pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor produktif lainnya. Insya Allah, melalui upaya dan kebijakan yang terarah, sukuk negara bisa menjadi pintu investasi yang efektif dalam memajukan perekonomian nasional.

Irfan Syauqi Beik
Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
Kandidat Doktor Ekonomi Syariah IIU Malaysia
Jalan Gombak Kuala Lumpur 53100 Malaysia
Email: qibeiktop@yahoo.com

(www.detik.com)

Selasa, 17 November 2009

Lagi Masalah Ketahanan Pangan

Selasa, 17 November 2009 pukul 09:32:00
Menata Ulang Basis Produksi Pangan

Oleh Khudori (penulis buku Ironi Negeri Beras )


Salah satu persoalan besar bangsa ini di masa depan adalah bagaimana menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi perut semua warganya. Jika program keluarga berencana berhasil, pada 2030 penduduk Indonesia mencapai 425 juta jiwa. Agar semua perut kenyang dibutuhkan 59 juta ton beras. Karena luas tanam padi sekarang 11,6 juta hektare, pada saat itu diperlukan tambahan luas tanam baru sebesar 11,8 juta hektare.

Ini pekerjaan mahaberat.
Dewasa ini lahan pertanian kian sempit dan kelelahan. Keuntungan usaha tani di level on farm belum menjanjikan, produktivitas padi melandai, diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk semakin banyak, sementara akibat deraan kemiskinan konversi lahan pertanian berlangsung kian massif. Rentang 1992-2002, laju tahunan konversi lahan baru 110 ribu hektare, lalu melonjak jadi 145 ribu hektare per tahun, bahkan menurut data Deptan (Anton Apriyantono, 2008) mencapai 187 ribu hektare/tahun.

Bagaimana terus meningkatkan produksi pangan di saat pestisida mencemari sungai, danau, dan air tanah? Bagaimana menggenjot produksi pada saat erosi genetika demikian intensif, salinitas mencemari sawah dan hanya tersedia sedikit air irigasi? Bisakah produksi pangan didongkrak ketika air irigasi yang tersedia menurun 40-60 persen dalam 35 tahun ke depan? Belum lagi penyimpangan cuaca akibat pemanasan global yang membuat usaha tani kian sulit dikendalikan. Masih sanggupkah memberi makan?

Salah satu indikator penting untuk melihat kesanggupan memberi makan bisa didekati dari indeks luas panen per kapita. Dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara, indeks luasan panen per kapita di Indonesia termasuk yang terkecil, hanya 531 m2 per kapita, setara dengan Filipina (516) dan sedikit lebih luas dari Malaysia (315). Berbeda dengan Indonesia, Filipina dan Malaysia adalah pengimpor pangan reguler. Sedangkan negara-negara pengekspor pangan memiliki indeks luasan panen per kapita cukup besar: Vietnam 929 m2/kapita, Myanmar 1.285 m2/kapita, dan Thailand 1.606 m2/kapita.

Sudah tentu indeks luasan panen per kapita bukan semata-mata penentu besarnya produksi pangan. Luasan panen yang agak sempit dapat dikompensasi oleh produktivitas yang tinggi. Tapi, besarnya indeks luasan panen per kapita memberikan indikasi masih terdapat potensi peningkatan produksi, apabila produktivitas belum mencapai optimal.

Yang terjadi di Indonesia, indeks luasan panen per kapita kecil dengan produktivitas tinggi. Artinya, lahan kita sudah jenuh dan hampir semua teknologi sudah diadopsi. Padi, misalnya. Dilihat dari sudut pandang teknologi produksi, apa yang dihasilkan petani saat ini di beberapa sentra padi bisa dikatakan sudah mendekati batas frontier yang bisa dicapai di lapangan. Satu kajian menarik yang dilakukan oleh Mahbub Hossain dan Narciso dari International Rice Research Institute (2002) terlihat, rata-rata produktivitas usaha tani padi di lahan irigasi di Indonesia sudah mencapai 6,4 ton/hektare, ini kedua tertinggi di Asia Timur dan Asia Tenggara setelah Cina (7,6 ton/hektare). Potensi peningkatan produktivitas hanya sekitar 0,5-1,0 ton/hektare dengan input yang kian mahal.

Dalam waktu dekat berharap ada teknologi baru semanjur revolusi hijau rasanya mustahil. Tanpa penambahan lahan baru buat pangan, kita akan jadi bangsa ayam broiler, bangsa pengimpor pangan. Perluasan areal budi daya pangan harus dilakukan. Potensi untuk melakukan itu masih terbuka. Dari total luasan daratan Indonesia sebesar 191 juta hektare, sebagian besar (66,15 persen) merupakan kawasan hutan, sedangkan untuk pertanian dengan berbagai kondisi agroekologi sebesar 36,35 juta hektare (18,72 persen). Menurut Puslitbangtanak (2001), potensi luas lahan basah mencapai 24,5 juta hektare atau lebih tiga kali lipat luas sawah saat ini. Potensi pengembangan tanaman pangan semusim di lahan kering masih 25,3 juta hektare, sedangkan untuk tanaman perkebunan seluas 50,9 juta hektare. Potensi-potensi ini sesuai data BPN (2001): berdasarkan indeks rata-rata nasional penggunaan kawasan budi daya masih tersisa 57,74 persen kawasan budi daya berupa hutan.

Selama 400 tahun terakhir, evolusi pembangunan selalu dibimbing oleh jiwa yang meniadakan petani atau warga sebagai subjek pembangunan. Premis dasar kebijakan yang diyakini adalah usaha besar memiliki kapasitas lebih tinggi dari petani. Makanya, meskipun potensi kawasan budi daya berupa hutan masih cukup luas untuk basis produksi pangan lahan tersebut tidak diberikan ke petani, pekebun, warga pinggir hutan, atau kaum marjinal lainnya. Sebaliknya, berpuluh-puluh juta hektare hutan diserahkan pada pengusaha dan konglomerat dalam bentuk aneka konsesi dengan lama puluhan tahun: Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), atau eksploitasi tambang di hutan lindung.

Apa hasilnya? Data Departemen Kehutanan menunjukkan, sekitar 59 juta hektare dari 120 juta hektare hutan asli Indonesia habis. Laju deforestasi meningkat: dari 1,6 juta hektare/tahun (1985-1997), 2,1 juta/tahun (1997-2000), dan menjadi 2,8 juta/tahun (2001-2005). Kerugian negara mencapai Rp 30 triliun/tahun. Hutan telah dieksploitasi sejak 1970-an, tetapi itu tidak membuat masyarakat lokal dan kita semua kaya. Eksploitasi itu hanya menguntungkan segelintir pengusaha dan konglomerat. Sebaliknya, kita semua, terutama masyarakat lokal, telah merasakan dampak buruknya.

Pembukaan tambang di hutan, misalnya, akan menimbukan kerusakan permanen. Aktivitas penambangan memiliki daya musnah luar biasa. Tidak saja pada kawasan yang dibuka, tapi juga di kawasan hilir yang ditempati oleh komunitas-komunitas masyarakat. Nilai kerugian yang terjadi jauh lebih besar ketimbang keuntungan jangka pendek yang didapat. Ironisnya, aktivitas ini diizinkan pemerintah lewat PP No 2/2008. Padahal, UU No 41/1999 tentang Kehutanan melarang aktivitas tambang di hutan lindung.

Dengan PP ini perusahaan diizinkan membuka tambang di hutan lindung dengan tarif supermurah: Rp 1,2-3 juta per hektare/tahun. Karena tak ada klausul khusus buat 13 perusahaan, PP ini berpotensi merusak 11,4 juta hektare hutan lindung konsesi 158 perusahaan tambang lain. Penetapan kawasan hutan sebagai hutan lindung tentu tidak main-main karena berfungsi sebagai bagian ekosistem yang melindungi kehidupan manusia, bukan untuk tambang duit.

Kawasan hutan lindung tak bisa disubstitusi. Jangankan hutan lindung hancur, sekali hutan produksi hancur, kita segera menuai bencana. Orientasi yang keliru ini mesti diubah. HPH, HTI, atau tambang di hutan lindung harus dihentikan. Kawasan hutan telantar dan kebun-kebun tanpa izin mesti diubah untuk basis produksi pangan untuk digarap petani dan masyarakat lokal. Jika perusahaan tambang boleh, tentu mereka tak dilarang. Mana yang boleh dan mana yang dilarang ini akan menentukan kepentingan siapa yang didahulukan, dan kepentingan siapa yang dikorbankan. Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu II harus mewujudkannya. Hanya dengan cara ini, indeks luas tanam per kapita dan kesanggupan memberi makan akan membaik.

(www.republika.co.id)