Minggu, 13 Desember 2009

Mimpi Indonesia Untuk Produksi CBM

Jumat, 11 Desember 2009 pukul 14:01:00
Mimpi Indonesia Produsen CBM Pertama Dunia

Cepi Setiadi
Wartawan Republika

Pada 2015 Indonesia diprediksi bisa memproduksi CBM hingga 500 juta MMSCFD dan bisa meningkat menjadi 900 MMSCFD pada 2020. Pada 2025 diprediksi produksinya sudah menembus 1.500 MMSCFD.

Indonesia bukan negara miskin. Saat ini Indonesia menjadi satu dari segelintir negara di dunia yang memiliki kandungan potensi gas metana batubara (coal bed Methane/CBM). CBM tersimpan di lapisan-lapisan batu bara kategori rendah kalori (low-rank) pada kedalaman antara 400 - 1000 meter, tersebar di sebelas basin batu bara di kawasan Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi. Metana merupakan kandungan gas yang juga terdapat pada gas alam (LNG).

Estimasi potensi sumber daya CBM Indonesia sekitar 450 triliun kaki kubik (TCF). Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM), Evita Herawati Legowo, menyatakan, melihat potensi besar tersebut, Indonesia bertekad menjadi negara penghasil CBM pertama. ''Potensinya mencapai 453,3 TCF yang tersebar pada sebelas cekungan hidrokarbon. Pemerintah berupaya agar Indonesia dapat menjadi negara pertama yang mengembangkan LNG dari CBM'' kata Evita.

Dari sumber daya tersebut, cadangan CBM sebesar 112,47 TCF merupakan cadangan terbukti dan 57,60 TCF merupakan cadangan potensial. Menurut Evita jika CBM sudah diubah menjadi LNG, maka akan mudah pendistribusiannya ke seluruh Indonesia yang terdiri dari belasan ribu pulau ini.

Evita menjanjikan, LNG yang akan dihasilkan dari CBM tersebut akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Terutama untuk daerah atau pulau-pulau terpencil yang akan didistribusikan dengan menggunakan kapal-kapal kecil. ''LNG ini nantinya tidak hanya untuk pembangkit listrik semata, namun juga akan dialokasikan untuk pabrik pupuk dan lainnya,'' kata Evita.

Penegasan Evita ini memang perlu karena selama ini sebagian besar LNG Indonesia lebih banyak diekspor padahal masih banyak kawasan industri yang pasokan gasnya tak lancar. Pada 2015 Indonesia diprediksi bisa memproduksi CBM hingga 500 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dan bisa meningkat menjadi 900 MMSCFD pada 2020. Evita memperkirakan, pada 2025 perkiraan produksi CBM di Indonesia bisa mencapai 1.500 MMSCFD, setara dengan 18 persen laju produksi gas alam sepanjang Januari-Juli 2009 dari 43 wilayah kontrak kerja sama LNG.

Pemerintah pun terus mendorong pengembangan CBM. Hingga Agustus 2009, setidaknya 15 kontrak kerja CBM telah ditandatangani. Akhir November 2009 lalu pemerintah juga mengumumkan pemenang lelang penawaran langsung Wilayah Kerja Gas Metana Batu Bara (WK GMB) tahun 2009 sebanyak tiga perusahaan untuk tiga wilayah kerja GMB yang ditawarkan. Sehingga pada akhir 2009 setidaknya hampir 20 Kontrak Kerja CBM ditandatangani.

Selain tiga Wilayah Kerja GMB itu, telah ditetapkan pula dua kontraktor yang mengusahakan Gas Metana Batu Bara yang berasal dari wilayah kerja migas dan wilayah kuasa penambangan batu bara yang sudah ada yaitu untuk Muara Enim dan Batang Asin.

Proyek CBM di Indonesia sebetulnya sudah mulai dilakukan sejak satu dekade silam. Diawali dengan keluarnya Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi nomor 1669 tahun 1998 tentang pengusahaan CBM. Selanjutnya dilakukan studi kelayakan teknis dan ekonomis hingga tahun 2003.

Pada 2004 keluar Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pilot Project CBM Lapangan Rambutan, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan, yang dibiayai APBN melalui kerja sama dengan PT Medco E & P Indonesia yang menguasai wilayah kerja migas itu. CBM Rambutan merupakan pengembangan CBM pertama di Indonesia.

Selanjutnya pada 2006 keluar Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 033 yang direvisi menjadi Permen nomor 036 tahun 2008. Ini merupakan awal periode kontrak pertama CBM. Evita menjelaskan pada 2011 ditargetkan keluar PP CBM untuk listrik sehingga pembangkit listrik bisa memanfaatkan bahan bakar alternatif ini.

Pertengahan tahun 2009 Lapangan Rambutan sudah mulai berproduksi. Departemen ESDM memaparkan hasil penelitian Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas) Departemen ESDM. Tiga peneliri Lemigas yaitu Hadi Purnomo, Ego Syahrial, dan Panca Wahyudi, menyimpulkan potensi cadangan CBM di wilayah South Sumatera Basin ini diperkirakan sebesar 183 TCF, terbesar di Indonesia.

Mereka menguji lima sumur CBM yang dibor menembus empat buah lapisan batu bara (coal seam) pada interval kedalaman 400-600 meter. Serta satu coal seam di kedalaman 1.000 meter yang merupakan lapisan batu bara paling bawah dengan ketebalan tiap lapisan bervariasi antara 4-20 meter. Hasil kajian laboratorium terhadap inti sampel dari masing-masing lapisan memperlihatkan bahwa seam batu bara di sana mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi CBM.

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, gas yang keluar memiliki kandungan metana antara 93-97 persen. Sedangkan air dalam lapisan batu bara yang disedot melalui proses dewatering tergolong tak berbahaya (nontoxic) dengan kandungan logam berat masih di bawah ambang yang dipersyaratkan pada PP nomor 85 tahun 1999. Sedangkan konsentrasi klorida (Cl-) berkisar antara 200-800 ppm.

Saat ini kelima sumur pilot project CBM telah mulai mengeluarkan gas metana batu bara terutama di sumur CBM 3 dengan perkiraan produksi baru sekitar 100 meter kubik per hari yang diprediksikan akan terus mengalami peningkatan.


Kuncinya Infrastruktur Gas

Pengamat pertambangan, Kurtubi, menyatakan rencana pemerintah untuk menjadikan Indonesia menjadi negara pertama yang mengembangkan LNG dari CBM butuh waktu yang cukup panjang. ''Paling tidak butuh waktu sepuluh tahun,'' kata Kurtubi. Apalagi sampai saat ini CBM dalam skala besar belum ada realisasinya. Kurtubi bahkan menilai tekad pemerintah dalam hal ini terlalu utopis.

''Seharusnya yang perlu dipikirkan adalah konsentrasi manajemen perminyakan nasional, memang bisa aja mengembangkan CBM tapi itu bukan sebagai prioritas. Untuk CBM masih butuh waktu,'' kata dia.

Di atas kertas pengembangan CBM kata Kurtubi memang memungkinkan. Tetapi yang paling mendesak adalah pengolahan LNG sesuai pasal 33 UU nomor 22 tahun 2001 di mana pengolahan LNG bisa menguntungkan negara. Menurut Kurtubi, Australia saja yang memiliki cadangan batu bara lebih besar dari Indonesia belum mengarah ke pengembangan CBM. ''Ongkosnya masih mahal,'' tandas Kurtubi.

Sementara Ketua Komite Tetap Hulu Migas Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Sammy Hamzah, menyambut baik tekad pemerintah menjadi produsen CBM pertama dunia. Menurut Sammy, produksi CBM di Australia terkendala belum adanya kilang LNG untuk mengonversi CBM menjadi LNG di wilayah Australia Timur yang kaya potensi CBM.

Sedangkan di Bontang, Kalimantan Timur, sudah tersedia kilang LNG. ''Membangun kilang LNG sekarang enggak murah, seperti di Bontang itu bisa sampai 20 miliar dolar AS dan memakan waktu lima tahun,'' kata Presiden Direktur PT Energi Pasir Hitam Indonesia itu.

Oleh karena itu, jika pemerintah sukses mengekplorasi CBM di Kalimantan TImur, sangat mungkin sekali bisa dikonversi ke LNG dan bisa diekspor melalui Bontang. Meski demikian, Sammy mengakui bisnis CBM Lebih rumit karena tidak sekonvensional eksplorasi migas biasa. Saat ini Energi Pasir Hitam Indonesia bersama Medco E&P Indonesia dalam tahap eksplorasi tiga wilayah kerja CBM di Kalimantan Timur yaitu di Sekayu, Sangatta, dan Kutai Timur.

Jika ekplorasi CBM sukses, dirinya sangat optimistis tekad Indonesia menjai produsen CBM pertama bisa tercapai. Semenatra soal harga jual, Sammy memperkirakan hanya sedikit lebih rendah dari LNG. Walaupun sama-sama gas metana, namun kandungan kalori CBM lebih rendah dari LNG. Satu kaki kubik LNG bisa menghasilkan panas 1.00-1.100 BTU (British Thermal Unit) setara dengan 250 kilo kalori, sementara CBM sekitar 900-950 BTU.

Hal senada diungkapkan anggota Komisi VII DPR, Satya W Yudha. Menurutnya, target tersebut cukup realistis. Apalagi jika yang diandalkan Blok Sanga-sanga di Kalimantan Timur. ''Otomatis mengunakan Bontang di mana fasilitasnya sudah pasti ada sehingga masuk akal kalau dilihat dari sisi kesiapan,'' kata Satya. Namun jika mengandalkan CBM di Sumatera Selatan menurut Satya pemerintah agak sedikit mimpi. ''Fasilitasnya (kilang LNG) belum ada. Jika mau mengembangkan LNG tapi fasilitasnya belum, maka bisa kesalip sama negara lain,'' kata Satya mengingatkan.

(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar