Selasa, 01 Desember 2009

Kemiskinan Semakin Parah

Senin, 30 November 2009 pukul 08:10:00
Kurban dan Kemiskinan

Kita menyaksikan pembagian daging kurban di sejumlah tempat diwarnai insiden. Warga yang datang melimpah. Tentu saja, hal itu menjadi tak cukup tertangani dengan baik oleh panitia. Terjadilah desak-desakan dan akhirnya sedikit kisruh. Untung, suasana yang tidak baik itu segera bisa dipulihkan.

Hal itu lebih banyak terjadi di kota-kota besar. Kita akan sulit menemukan suasana seperti itu di desa-desa. Pelaksanaan ibadah kurban, yang mengiringi Idul Adha, justru menjadi semacam pesta rakyat. Selain sebagian besar daging dibagikan ke masyarakat, panitia dan masyarakat desa berpesta bersama: nyate. Inilah suasana yang membuat semarak Idul Adha dan membuat kita kangen.

Kurban, selain bermakna semangat untuk berkorban apa saja untuk menuju takwa, juga berarti semangat untuk berbagi dengan sesama, terutama yang sudah mampu berkurban domba, sapi, kerbau, atau hewan sesembelihan lainnya, seperti ayam, kelinci, dan sebagainya. Banyak saudara kita yang belum beruntung sehingga belum mampu membeli daging. Idul Adha menjadi dinanti mereka untuk mencicipi daging setahun sekali.

Namun, akhir-akhir ini, suasana kurban kadang tercederai oleh insiden. Sebagian mengecam panitia yang tetap berlaku tradisional, padahal jumlah pengantre daging kurban kini menjadi ribuan. Sebagian mengecam, mengapa panitia yang tidak keliling membagi-bagikan daging itu ke rumah-rumah dan masih banyak lagi kritikan. Sebagian kritik itu ada benarnya, namun juga kita jangan gegabah menuding-nuding. Ada banyak faktor mengapa semua itu terjadi.

Jika di desa, panitia kurban ataupun kurban yang dikerjakan sendiri sudah tahu daging itu akan dibagikan di mana saja; di kota besar, seperti Jakartaapalagi di masjid-masjid tertentu makin impersonal. Belum lagi kini ditingkahi para penampung daging kurban: mereka sudah menunggu untuk membeli daging kurban dengan harga lebih murah daripada di pasar. Ada kompleksitas.

Sebetulnya, yang paling layak dicemaskan adalah kenyataan itu menunjukkan tingkat kemiskinan masyarakat kita makin parah. Para pengamat ekonomi menyebutkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi kita makin menganga. Sebagian kecil masyarakat kita bergerak cepat menghisap pendapatan nasional, sedangkan sebagian sangat besar makin terperosok. Jadi, pertumbuhan ekonomi yang konstan serta peningkatan pendapatan per kapita rata-rata sebetulnya lebih dinikmati segelintir orang.

Kebijakan ekonomi yang berorientasi ekspor telah berlaku menindas dan memiskinkan rakyat. Kita tak peduli dengan industri rotan karena kita hanya ingin gampangan dengan menjual rotan mentah. Akibatnya, Cina menjadi penikmat sebagai pengekspor industri rotan. Padahal, 80 persen rotan berasal dari hutan Indonesia. Ini hanya satu contoh. Mau lainnya? Ya, bailout Bank Century itu. Ini skandal yang jahat.

Jadi, persoalan kurban jangan dilihat sebagai persoalan panitia atau moralitas masyarakat kecil. Itu hanya ujung belaka. Justru, intinya adalah kesalahan kebijakan ekonomi. Justru, kisruh itu akibat elite yang tak berpihak pada pemerataan dan keadilan sosial.

Mari, kita jadikan Idul Adha ini sebagai pengingat bagi para penguasa untuk makin mengorbankan diri terhadap kepentingan masyarakat. Membuat kebijakan ekonomi yang tak gampangan adalah salah satunya.
(-)

(www.republika.co.id)

1 komentar:

  1. Orang miskin selalu jadi korban dimana-mana. Tetap semangat Pak.

    BalasHapus