Sabtu, 30 Januari 2010

Pembalakan Liar


Pers Malaysia: Tentara Indonesia Terlibat Pencurian Kayu
Sabtu, 30 Januari 2010 09:52 WIB

Kuala Lumpur, (ANTARA News) - Sebuah harian terbesar Malaysia menurunkan berita bahwa tentara Indonesia terlibat dalam pencurian kayu (pembalakan liar) yang menghancurkan hutan dan memberikan kontribusi pada pemanasan global.

Dengan mengutip laporan Pusat Kerjasama Kajian Asia Timur (CEACoS) di Universitas Indonesia mengungkapkan sepanjang 1999-2006, terjadi penggundulan hutan di Kalimantan Timur yang berbatasan dengan Malaysia yang melibatkan tentara Indonesia, mulai dari pangkat sersan hingga komandannya, demikian Utusan Malaysia, Sabtu.

Menurut Direktur Eksekutif CEACos Tirta N Mursitama, pemerintah Indonesia sebenarnya bisa mencapai target pengurangan pencemaran hingga 26 persen mulai tahun 2005 hingga tahun 2020 dengan menghentikan pembalakan hutan secara ilegal, tapi sukar dilakukan karena adanya keterliban tentara dalam pembalakan kayu liar.

LSM itu mengeluarkan kajiannya di Universitas Indonesia beberapa hari setelah pemerintah Indonesia minta bantuan dana kepada negara-negara maju sebesar 1 miliar dolar AS untuk program penghijauan guna mengurangi pemanasan global.

Pembalakan hutan secara liar yang melibatkan tentara untuk menjual hasil kayu kemudian tanahnya dialihkan untuk perkebunan kelapa sawit.

Menurut Mursitama, pejabat militer menerima uang dari tentara bawahan yang terlibat dalam penebangan hutan liar, sedangkan segelintir elit tentara mempunyai hubungan erat dengan "cukong" atau ketua sindikat pembalakan hutan dengan ilegal.

Bentuk keterlibatan tentara Indonesia lainnya adalah investasi di perusahaan perkayuan dan menerima suap untuk menguruskan ijin penebangan hutan dari departemen kehutanan.(*)

Kamis, 28 Januari 2010

Kesabaran adalah Kekuatan


oleh : Mahiruddin Siregar

Sabar artinya tetap konsisten berusaha,secara ulet, tekun dan tabah, untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan semula. Ikhlas dalam menghadapi semua masalah, dan mencoba untuk mencapai jalan keluar, sehingga hasilnya akan memberikan kepuasan dan kebanggaan.

Orang sabar tak mudah putus asa dan menyerah, tak cepat berubah pikiran, tak cepat ganti haluan, demi tujuan sejenak melalui jalan pintas.

Apakah kesabaran sama dengan kepasrahan dan keterpaksaan menerima nasib apa adanya ? Tidak. Anggapan itu jelas salah kaprah.

Tetapi adalah suatu kejujuran untuk mengakui dan menerima dengan ikhlas jika kita mengalami suatu kegagalan, dan orang sabar akan selalu berusaha untuk memperbaiki hal-hal yang membuat terjadinya kegagalan.

Apakah orang sabar tidak suka perubahan ?
Tidak. Orang sabar selalu berusaha untuk melakukan perubahan, karena demi penyempurnaan maka perubahan menjadi suatu keniscayaan.

Tetapi orang sabar tidak akan cepat berubah-ubah pikiran tanpa perhitungan dan pendalaman yang matang.

Sejarah telah membuktikan bahwa dalam setiap kompetisi, apakah itu dalam pertandingan olah raga atau dalam kehidupan yang lain, siapa yang lebih sabar akan keluar sebagai pemenang.

Jadi jelaslah bahwa kesabaran adalah kekuatan.

"Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar" (Al-Ayah)

Rabu, 27 Januari 2010

Atas


Senin, 25/01/2010 13:32 WIB
(www.eramuslim.com)

Sekumpulan anak-anak TK tampak begitu antusias ketika beberapa guru mereka mengajak ke sebuah taman. Sambil berjalan, mereka bernyanyi dan bersorak gembira. Hingga, tibalah mereka di suatu bangunan menara di areal taman yang penuh bunga.

Seorang wanita yang dipanggil anak-anak Bu Guru tiba-tiba berucap. “Anak-anak, kita akan menaiki tangga melingkar menuju puncak menara. Kalian akan menaiki tangga satu per satu. Hayo, berbaris!” suara sang guru sambil membimbing anak-anak berbaris.

Hampir semua anak-anak mendongak menatap ketinggian menara. Berbagai gejolak rasa pun mulai membuncah di dada mereka. Ada yang mulai pucat. Ada mulai gelisah. Ada juga yang tetap tenang.

Mulailah satu per satu mereka menapaki anak-anak tangga. Beberapa guru mengawasi mereka dari arah atas dan bawah barisan.

Setiba di puncak menara yang tingginya setara tiga lantai bangunan itu, anak-anak diajak guru-guru mereka untuk berpegangan di pagar besi. Seorang guru pun berucap, “Coba kalian lihat ke arah bawah!”

Saat itu, berbagai gejolak perasaan anak-anak yang semula hanya dalam hati, kini mulai tampak dalam wajah dan tingkah mereka. Ada yang tiba-tiba menangis. Ada yang memegangi erat-erat lengan guru-guru mereka. “Takut jatuh, Bu,” suara mereka kompak. Tapi, ada yang tampak santai-santai saja.

Ketika sang guru bertanya ke anak yang tetap tenang, dengan polos sang anak menjawab, “Aku sudah biasa naik tangga, Bu Guru. Kan rumahku di rumah susun tingkat empat!” jawab sang anak sambil senyum.

** Kepemimpinan adalah keadaan di mana seseorang berada pada posisi atas dibandingkan bawahannya. Dari posisi atas itulah, ia bisa melihat ruang-ruang yang jauh lebih luas daripada orang yang berada di posisi bawah.

Namun, justru di posisi itulah berbagai ketidaknyamanan akan lebih terasa dibandingkan dengan yang dibawah. Ada kekhawatiran jatuh yang mengurangi rasionalitas, rasa panik yang justru bisa melunturkan kehati-hatian, dan lain-lain.

Menarik apa yang diperlihatkan seorang anak yang tetap tenang walau di atas ketinggian. Ia memang sudah terlatih untuk berada di atas. Dan tidak takut jatuh, karena sadar kalau suatu saat ia akan turun dan kemudian naik lagi.

Baginya, atas atau bawah bukanlah posisi istimewa atau sebaliknya menakutkan. Melainkan, posisi wajar sebagaimana ia harus menaiki atau menuruni tangga-tangga hidup. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Pemerintah Resmi Canangkan Industri Hilir Sawit


24/01/2010 - 11:14

INILAH.COM, Dumai - Pemerintah resmi mencanangkan pengembangan klaster industri berbasis pertanian dan oleochemical di Kuala Enok dan Dumai di Kawasan Industri Dumai (KID) Sabtu (24/1).

Pencanangan itu dilakukan langsung Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Perindustrian MS Hidayat, Wakil Menteri Pertanian Bayu Krishnamurti dan pejabat daerah setempat. "Klaster industri hilir kelapa sawit ini nantinya menjadi salah satu penggerak roda perekonomian nasional yang berbasis kepada sumber daya alam terbarukan," ujar Hatta sebelum acara pencanangan itu.

Dia juga mengatakan, pengembangan klaster industri berbasis pertanian dan oleochemical pada dua lokasi yang berbeda di Riau itu merupakan salah satu rencana aksi dari revitalisasi industri.

Pengembangan klaster industri hilir kelapa sawit itu bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah yang memfokuskan pada tiga strategi pembangunan yakni peningkatan sumber daya alam.

Kemudian meningkatkan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga industri harus diintervensi melalui kebijakan tidak lagi menjual bahan baku (industri hulu) tetapi juga industri hilir dan terakhir meningkatkan daya saing perekonomian nasional.

Untuk meningkatkan daya saing, lanjut Menko Bidang Perekonomian, maka pemerintah telah membuat berbagai terobosan dalam program 100 hari pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu II dengan maksud menghilangkan seluruh hambatan pembangunan bidang ekonomi yang terjadi selama 2004-2009.

Melalui program tersebut terdapat 45 program dengan 130 rencana aksi dan dari jumlah itu untuk bidang ekonomi terdapat 19 program dengan 52 rencana aksi termasuk pencanangan klaster, penyelesaian masalah tata ruang dan sebagainya. "Salah satu revitalisasi yang kita lakukan di bidang industri adalah melakukan klaster-klaster ekonomi sehingga menghasilkan nilai tambah yang membawa berbagai dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi," jelasnya.

Gubernur Riau, Rusli Zainal, dalam lAporannya menyebutkan, Provinsi Riau dengan luas daerah 130 ribu meter per segi dengan 12 kabupaten/kota dan jumlah penduduk 5,2 juta jiwa memiliki bagi pengembangan industri hilir kelapa sawit.

Pada akhir tahun 2008, provinsi penghasil minyak dan gas itu memiliki luas perkebunan kelapa sawit sekitar 2,3 juta hektar dengan sebanyak 6 juta ton per tahun yang sebagian besar diekspor ke luar negeri dengan 91 negara tujuan. "Riau mulai mengembangkan perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1980-an dan kehilangan triliunan rupiah karena tidak mampu melaksanakan industri hilir dari satu komoditas perkebunan itu," ujarnya. [*/mre/hid]

Selasa, 26 Januari 2010

Ketika Hatiku Bergetar


Senin, 11 Januari 2010 14:04 WIB |
Ahmad Mukhlis Yusuf

Jumat siang itu udara Bandung terasa sejuk. Saat itu, aku tengah menyimak uraian khutbah Jumat di Masjid Al Azhar, Kelurahan Pasteur, Bandung. Aku berada di Bandung merayakan Idul Adha beberapa bulan lalu.

Penyampai khutbah sepertinya tuna netra, kusimpulkan dari jauh dari caranya menatap hadirin. Beliau menyampaikan uraian tentang makna ibadah Kurban dengan sangat menarik, terutama tentang komitmen setiap manusia yang beriman untuk ikhlas berkorban demi tujuan hidup yang lebih besar dan sejati.

Semakin aku menyimak isi khutbahnya, semakin larut aku pada ajakannya. Hatiku tiba-tiba bergetar oleh artikulasi penyampai khutbah yang mampu memberikan contoh-contoh pengorbanan manusia-manusia besar baik pada masa lalu maupun masa kini. Ajakannya untuk berbagi membuat sebagian besar jamaah yang hadir, yang umumnya bukan tuna netra, terdiam menyimak khusyu.

Beliau menyampaikan ajakan untuk meraih kebahagiaan spiritual sebagai kebahagiaan tertinggi, bila kita lebih banyak memberi dan berbagi, ketimbang mengharap menerima. Ada kebahagiaan pada nurani kita bilamana kita lebih banyak memberi, demikian katanya.

Aku merasakan getaran tambah kuat saat kata-katanya mengalir penuh makna sedalam M. Natsir (alm) dengan artikulasi sekelas salah satu komunikator terbaik di negeri ini yang kukagumi, Jalaludin Rachmat.

Subhanallah. Seorang tuna netra mengajak kita berbagi, padahal boleh jadi sebagian dari kita sering iba melihat mereka. Aku jadi teringat pada perbincanganku dengan para tuna netra sebelumnya, mereka selalu bilang tidak ingin dikasihani. Mereka hanya berharap mendapat kesempatan untuk berbuat.

Setelah shalat Jumat selesai, aku menghampirinya dan mengajaknya berkenalan, sembari berterima kasih atas isi khutbahnya. Nama beliau adalah H. Aan Zuhana (67 tahun), tinggal di Cibeber, Cimahi, Bandung. Beliau menyapaku dengan ramah, alhamdulillah harapanku berkenalan disambutnya dengan baik.

Aku mendapat nomor selular dan kartu namanya. Kukatakan padanya, suatu waktu aku ingin berkunjung ke rumahnya. Aku yakin, dari menyimak isi khutbahnya, beliau seorang yang amat berilmu.

Beliau mengajakku untuk mampir siang itu, selepas shalat Jumat itu. Beliau bilang di rumahnya ada acara bersama teman-teman tuna netranya. Aku memohon maaf padanya karena tidak dapat memenuhi undangan itu karena sudah ada janji lain. Dalam hati, aku mau mencari teman wartawan yang luang untuk mampir ke sana siang itu.

Alhamdulillah, ternyata salah seorang wartawan ANTARA Biro Jawa Barat yang waktunya luang. Namanya Ajat. Ajat selanjutnya meluncur ke sana. Sorenya aku telpon Ajat ingin tahu perkembangannya. Menurutnya, ada lebih dari 400 tuna netra berkumpul di kediaman Pak Aan dan para undangan memperoleh ceramah motivasi sekaligus memperoleh hidangan makan siang dari Pak Aan.

Para tuna netra tersebut berasal dari berbagai wilayah di Bandung dengan ragam profesi; guru, PNS, wiraswasta, karyawan swasta sebagian mengelola usaha pijat tradisional.

Menurut Ajat, banyak diantara tuna netra datang dengan pasangan masing-masing. Banyak diantara mereka juga mendapat pasangan yang bukan tuna netra. Subhanallah. Ya Allah, Engkau Maha Berkehendak, Engkau Maha Adil.

Ternyata betul keyakinanku saat menyimak khutbah Pak Aan bila beliau orang yang berilmu dan luar biasa. Menurut Ajat, Pak Aan adalah mantan Ketua DPP Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia (ITMI) yang amat dihormati lingkungan dan teman-temannya.

Sahabat, banyak orang-orang luar biasa di sekeliling kita. Tidak semua dikenal publik, lantaran tidak tersentuh media dan publikasi.

Mereka bukan pejabat publik atau selebritis yang menarik buat media. Namun, banyak tindakan mereka sungguh luar biasa, seperti yang dilakukan Pak Aan ini. Mereka tetap berkarya dan terus berbagi dengan orang lain.

Semoga Allah SWT meridhoi ikhtiar kebaikan yang dilakukan Pak Aan dan orang-orang lain yang memiliki ikhtiar sejenis, amien. (***)

Penulis adalah praktisi Manajemen, Pemerhati Kepemimpinan
(www.antaranews.com)

Paradigma Baru Stabilisasi

Senin, 25 Januari 2010 pukul 15:12:00

Oleh Iman Sugema

Ada satu hal penting yang mungkin luput dari perhatian Pansus Century, yakni pentingnya kita melakukan perubahan mendasar dalam pengelolaan ekonomi makro. Negara-negara maju saat ini sedang melakukan pembenahan besar-besaran terhadap kerangka kerja stabilisasi ekonomi pascakrisis global. Belajar dari krisis keuangan yang terjadi berulang-ulang, kini para ekonom dunia sedang sibuk merumuskan macro-prudential regulation atau peraturan mengenai kehati-hatian pengelolaan ekonomi makro. Salah satunya adalah pemerintahan Barack Obama yang mulai memandang penting pembatasan ruang gerak para spekulan di pasar finansial ataupun pasar komoditas.

Bagaimana dengan kita? Saya khawatir, pemerintah dan BI kembali ke business as ussual walaupun kita telah didera krisis finansial secara bertubi-tubi. BI kembali mendefinisikan tugas pokok kebijakan moneternya hanya dalam lingkup pengendalian inflasi. Departemen Keuangan mendefinisikan stabilitas hanya dalam konteks kesinambungan fiskal melalui pengelolaan anggaran yang bersifat ortodoks. Krisis keuangan seolah-olah tidak menyisakan bahan pelajaran bahwa pengelolaan kebijakan moneter dan fiskal yang sangat konvensional sudah ketinggalan zaman.
Lantas, bagaimana seharusnya? Tentu, jawabannya adalah kita harus mengadopsi macro-prudential regulation yang merupakan paradigma baru dalam melakukan stabilisasi perekonomian. Paradigma ini pada prinsipnya mengandung rumusan kehati-hatian pengelolaan makroekonomi agar perekonomian tidak mudah tergelincir ke jurang krisis. Berikut beberapa prinsip dasar yang menjadi pilar dalam paradigma ini.

Pertama, kerentanan finansial ( financial fragility ) atau bibit krisis finansial biasanya berkembang biak atau bersemi dalam periode di mana terjadi ''stabilitas'' ekonomi makro. Contohnya adalah dalam situasi di mana terjadi inflasi yang rendah secara berkepanjangan, konsumen yang memiliki kelebihan daya beli akan cenderung membelanjakan uang mereka dalam bentuk aset riil sehingga kemudian memicu kenaikan harga aset. Selanjutnya, kenaikan harga aset yang berada di atas tingkat inflasi barang akan semakin memicu gelombang pembelian aset yang kemudian harganya semakin melambung. Kemudian, terjadilah bubble harga aset. Bubble merupakan bibit dari terjadinya krisis dan contoh yang paling mutakhir adalah gelembung di sektor perumahan di Amerika Serikat.

Kedua, kerentanan finansial biasanya merupakan produk dari serangkaian kebijakan stabilisasi. Sebagaimana telah dibahas di atas, gelembung bisa timbul sebagai akibat samping dari kebijakan antiinflasi. Stabilitas harga barang justru memicu gelembung harga aset. Karena itu, stabilitas harga tidak bisa dijadikan sebagai sasaran akhir kebijakan moneter. Yang jadi tujuan akhir seharusya adalah tetap terkendalinya kerentanan finansial.

Ketiga, para pengambil kebijakan dan politikus biasanya terbuai dengan stabilitas semu sampai suatu keadaan yang memuncak, di mana krisis tidak lagi bisa dihindari tanpa pengaruh yang dahsyat terhadap rakyat biasa sekalipun. Inflasi yag rendah dan gelembung pasar finansial selalu dianggap sebagai prestasi. Silakan Anda simak pernyataan menteri keuangan dan gubernur BI sebelum tahun 2008. Pasti, mereka bilang bahwa bursa di Indonesia merupakan salah satu bursa yang memberikan return paling tinggi sedunia sehingga menjadi surga bagi investor global.

Padahal, itu merupakan semakin kuatnya indikasi bahwa pasar modal kita sangat rentan. Dan, betul saja, ketika pada pertengahan 2008 investor asing menarik diri dari Indonesia, harga saham langsung terperosok lebih dalam dibandingkan Wall Street sekalipun. Hal ini pula yang mengakibatkan menteri keuangan merasa bahwa Bank Century patut diselamatkan. Kalau mau jujur, bailout Century merupakan buah dari kegagalan menjaga kehati-hatian makroekonomi, selain tentunya sebagai akibat dari penjarahan oleh RT, HAW, dan RAR.

Keempat, kehati-hatian di tingkat mikro belum tentu sejalan dengan kehati-hatian di tingkat makro. Selalu ada asumsi yang salah bahwa kalau kita berhasil menjaga tingkat kesehatan bank dan lembaga keuangan lainnya, kesehatan ekonomi makro dapat terjamin. Kenyataannya tidak selalu demikian. Contoh yang paling nyata adalah ketika terjadi kekurangan likuiditas seperti yang terjadi sejak pertengahan 2008, setiap bank berupaya untuk menjaga likuiditas masing-masing dengan cara meningkatkan cadangan kas dan tidak mau memberikan pinjaman likuiditas ke bank lainnya.

Sebagai akibat dari keengganan untuk melakukan pinjaman antarbank, likuiditas menjadi betul-betul mengering. Dari contoh ini, kehati-hatian di tingkat makro terkadang menciptakan instabilitas di tingkat makro. Karena itu, sasaran akhirnya adalah terciptanya macro-prudential .

Keempat hal yang didiskusikan di atas merupakan sebagian dari asensi macro-prudential framework yang ternyata jauh berbeda dibandingkan kebijakan stabilisasi makro yang selama ini dilakukan di Indonesia. Saya sendiri tidak bisa jamin bahwa paradigma baru ini telah sepenuhnya mampu menjawab berbagai persoalan yang menyangkut krisis keuangan. Setidaknya, paradigma ini telah membangun kesadaran bahwa selama ini kebijakan makro pada umumnya berada di jalan yang salah. Kalau kita masih terus memakai pendekatan lama, niscaya krisis selalu akrab dengan kita. Semoga itu tidak usah terjadi.

(www.republika.co.id)

Senin, 25 Januari 2010

Wisata Sabang, Kaya Objek Miskin Kunjungan


| Sun, Jan 24, 2010 at 15:48 | Jakarta, matanews.com

Sabang memang tidak sama dengan Bali. Tapi wilayah kepulauan di ujung barat wilayah Indonesia ini memiliki panorama alam yang populer disebut ’surga bawah laut’ di kawasan Pulau Rubiah dan Iboih.

Hamparan pasir putih sepanjang pandangan mata seakan menjadi garis pemisah antara daratan dengan perairan laut. Pantai berpasir putih itu menjadi modal menarik minat kunjungan orang ke pulau di Provinsi Aceh.

Di sepanjang pantai berpasir putih itu memang tidak ada bule berpakaian bikini berjemur, beda dengan Pulau Dewata Bali karena aturan tidak diperbolehkan di negeri yang menjalankan Syariat Islam tersebut.

Itu membedakan antara Pulau Bali dengan Sabang. Kalau objek wisatanya sudah mendukung, tapi kunjungan wisman masih minim. Tidak semestinya pula hamparan pasir putih di pantai itu belum disebut objek wisata jika tanpa ada orang berpakaian bikini berjemur seperti di Bali.

Objek wisata di Sabang masih alami, baik potensi yang terkandung di daratan (gunung) maupun perairan lautnya. “Salah jika orang menilai pelaksanaan Syariat Islam menjadi salah satu hambatan memajukan sektor pariwisata di Aceh, khususnya di Sabang,” kata Kepala Dinas Pariwsata Sabang, Helmi Ali.

Siapapun boleh berenang di laut dan berjemur di pantai, asalkan tidak berpakaian bikini yang mencolok pandangan mata. “Tidak ada larangan jika wanita berpakaian sopan, misalnya berpakaian renang berjemur di pantai. Kita juga punya lokasi khusus bagi bule-bule itu, tapi masih sebatas wajar,” kata dia.

Sederetan objek wisata yang menjadi aset atau andalan menarik kunjungan wisatawan, antara lain Pulau Iboih, Rubiah, Klah, Lhueng Angen, pantai Tapak Gajah, Anoe Itam dan pemandian air panas.

Para wisatawan juga akan disuguhkan sebuah pemandangan menakjubkan yakni matahari tenggelam (sunset) jika berada di Tugu Kilometer Nol (0) ketika menjelang senja.

Tugu titik nol Indonesia ujung paling barat di Desa Ujung Ba`U tersebut berjarak sekitar 29 kilometer dari pusat Kota Sabang. Objek wisata titik nol tersebut sebelumnya dilengkapi dengan penunjuk arah negara ke berbagai belahan dunia.

Akan tetapi, penunjuk arah tersebut kini tidak lagi dijumpai di komplek tugu titik Nol Indonesia yang diresmikan Wakil Presiden RI Try Sutrisno di Banda Aceh pada tanggal 9 September 1997.

Peresmian di Kota Banda Aceh itu dikarenakan Wapres Try Sutrisno tidak berani datang langsung ke Sabang serta pergi ke Kilometer Nol. Kemudian, dalam rangka peresmian Tugu Kilometer Nol itu maka diadakan Jambore Iptek di pantai Gapang yang dihadiri BJ Habibie saat menjabat Menristek serta Syamsuddin Mahmud (Gubernur Aceh saat itu).

Selain panorama alam, sebuah pulau yang bernama Pulau Weh juga memiliki objek wisata sejarah berupa benteng-benteng peninggalan zaman Portugis, Belanda dan Jepang.

“Sabang tidak hanya menawarkan objek wisata alam, tapi juga terkenal dengan sebutan kota seribu benteng yang menghadap ke laut lepas, mulut Selat Malaka,” kata anggota DPRK Sabang, Muntadhir.

Tapi sayang, objek wisata sejarah benteng tersebut tidak pernah dirawat dan saat ini menjadi “kandang” hewan dan diselimuti rumput dan pohon liar.

Bahkan ada di antara benteng-benteng tersebut kini terancam ambruk ke laut, seperti di kawasan Sumur Tiga Kota Sabang.

Sabang juga telah ditetapkan sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Provinsi Aceh yang berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa tersebut. (*an/ham)

Minggu, 24 Januari 2010

Menunggu Perubahan


Oleh : Mahiruddin Siregar

Perubahan adalah suatu keniscayaan. Tidak ada yang tidak berubah didunia ini kecuali hukum perubahan itu sendiri.

Tanpa perubahan, hidup akan statis dan stagnan, jumud dan membosankan. Maka setiap orang dituntut untuk mengusahakan terjadinya perubahan, perubahan yang lebih baik daripada sebelumnya.

Setiap hari kita harus berubah, berubah dari yang tidak baik menjadi kurang baik, dari kurang baik menjadi baik, dari baik menjadi lebih baik, itulah tuntutan dari kehidupan.

Ingat hari ini harus lebih baik daripada kemarin, dan besok harus lebih baik daripada hari ini.

Adalah suatu kerugian jika hari ini masih sama dengan kemarin, dan menjadi celaka kalau lebih buruk daripada kemarin.

Artinya kalau kita tidak mampu berubah, maka akan menjadi korban daripada perubahan itu sendiri yang mau tidak mau tetap harus terjadi, sesuai tuntutan zaman.

Perubahan yang paling ideal adalah yang diusahakan bersama oleh seluruh manusia, sehingga hasilnya paling tidak akan dinikmati oleh mayoritas umat manusia.

Dan sebaliknya kalau perubahan itu digerakkan oleh sekelompok kecil manusia sesuai dengan keuntungan pribadi dan kelompoknya saja, maka mayoritas manusia lainnya akan menjadi korban daripada perubahan itu.

Mereka akan terus menerus sebagai obyek dan tak pernah menjadi subyek daripada kemajuan yang terjadi.

Jika demikian halnya, maka para korban dari perubahan itu, para obyek dari kemajuan itu, hanya bisa berharap dan berdoa semoga perubahan yang akan terjadi berikutnya, lebih memihak kepada kepentingan dan kebutuhan mereka.

Mereka inilah yang selalu menunggu perubahan.........!!!

Sabtu, 23 Januari 2010

Harga Beras Melonjak ?

Selasa, 19 Januari 2010 pukul 11:22:00

Gatot Irianto
(Kepala Badan Litbang Deptan)

Sejak pertengahan Desember 2009, harga beras merambat naik secara konsisten dan diprediksi masih terjadi sampai akhir Januari. Pertanyaan besar mengemuka: benarkah fenomena ini merupakan fenomena biasa atau merupakan respons pasar atas pasokan beras yang menurun, karena panen raya baru terjadi satu sampai dua bulan mendatang. Ketika harga beras naik sampai dengan awal tahun baru Januari 2010, pemerintah dan masyarakat masih bisa memaklumi karena ada dampak dari perayaan hari besar keagamaan dan tahun baru 2010. Kondisi ini masih dianggap sebagai fenomena biasa dan terjadi secara reguler. Namun, situasinya menjadi berbeda ketika harga beras terus merambat naik bahkan mulai melampaui ambang batas psikologis. Berdasarkan fakta tersebut, pertanyaan lebih detail mengemuka, yaitu (i) di mana dan ke mana hasil produksi padi yang menurut angka ramalan (ARAM) III mencapai 63.84 juta ton naik 5.83 persen (ii) mengapa kenaikan harga beras mengkhawatirkan berbagai pihak, termasuk pemerintah (iii) bagaimana pemecahannya agar efek dominonya dapat diantisipasi dan risikonya dapat diminimalkan.

Swasembada atau ditimbun
Kita harus percaya sepenuhnya bahwa ARAM III Badan Pusat Statistik (BPS) benar adanya. Argumen ini didasarkan pada fakta hasil pemantauan lapangan pasokan beras di pasar induk beras Cipinang, yakni pasokan beras dari daerah mengalir lancar dalam kuantitas normal.

Berdasarkan fakta dan ilustrasi tersebut, pertanyaan selanjutnya adalah ke mana beras itu berada? Paling tidak ada dua kemungkinan: disimpan masyarakat atau ditimbun tengkulak. Kemungkinan pertama sejalan dengan hasil pemantauan lapangan. Terjadinya banjir secara sistemis dari wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Jawa membawa dua implikasi dahsyat terhadap pasokan beras. Banjir bandang dan genangan yang diikuti longsor lalu puting beliung, dipastikan akan merendam padi sehingga menyebabkan volume panen berkurang, kualitasnya menurun, dan biaya panen lebih besar, keuntungan berkurang. Lebih jauh, banjir dan genangan juga merusak jalan dan memacetkan arus transportasi sehingga waktu tempuh ke pasar induk lebih lama, biaya angkut beras menjadi lebih mahal, dan kompensasinya harga beras harus disesuaikan. Terjadinya puting beliung di berbagai tempat dan longsor dipastikan berdampak terhadap peningkatan biaya angkut dan waktu tempuh beras, dari sentra produksi ke pasar induk beras. Menyikapi kondisi bencana alam yang semakin tinggi intensitasnya, masyarakat yang rawan banjir dan bencana lainnya biasanya secara psikologis akan melakukan pengamanan cadangan pangan. Sehingga, panen yang didapatkan sebagian besar disimpan untuk kebutuhan sendiri dan hanya sedikit yang dijual ke pasar. Implikasinya harga beras akan sedikit mengalami koreksi. Sentimen pasar ini menular ke berbagai wilayah sehingga harga beras konsisten merangkak naik.

Kemungkinan kedua, pedagang beras dan tengkulak memilih mengambil posisi wait and see, karena pemerintah baru saja mengumumkan kenaikan harga pokok (HPP) pembelian gabah pemerintah. Gabah kering panen/GKP naik 10 persen dari harga sebelumnya Rp 2.500 per kilogram. Menurut pemantauan lapangan di sebagian besar sentra produksi, harga GKP sudah melebihi HPP yang baru sehingga fenomena kenaikan harga beras masih dianggap biasa, dan diprediksi tidak akan berlangsung lama apalagi permanen.

Setelah jelas harga pupuk, harga gabah di lapangan terjadi keseimbangan dan awal panen raya bulan Februari atau Maret dimulai, diprediksi kenaikan harga beras kecil kemungkinannya terjadi. Ketika segala sesuatunya jelas kalkulasinya, spekulan akan melepas cadangan berasnya. Argumennya, cadangan beras Bulog saat ini yang mencapai 1.6 juta ton terlalu tangguh untuk dipermainkan para spekulan. Apalagi, dalam satu sampai dua bulan mendatang akan dimulai panen raya sehingga pilihan menyimpan beras dalam jumlah banyak, membutuhkan biaya besar dan sangat tidak menguntungkan. Mengapa kenaikan harga beras yang melampaui batas psikologis perlu mendapatkan perhatian khusus?

Pro kontra
Ada dua pendapat yang berbeda dalam menyikapi kenaikkan harga beras: (i) kenaikan harga beras yang melebihi ambang batas psikologi akan memacu inflasi, dan menyebabkan pemiskinan sistemis masyarakat miskin kota (ii) kenaikkan harga beras apabila dinikmati langsung oleh petani dan buruh tani justru harus didukung, karena dapat meningkatkan pendapatan petani dan buruh tani yang selama ini sulit terjadi secara signifikan.

Kenaikan harga beras yang mencapai Rp 500 sampai dengan Rp 1.000 per kilogram saat ini yang dianggap lampu kuning, sebenarnya perlu disikapi secara arif dan bijaksana. Artinya, harus dilihat lebih mendalam kasus per kasus apa yang terjadi. Gubernur, bupati, wali kota, camat, sampai lurah perlu melihat kondisi nyata di lapangan sebagai bagian dalam pelaksanaan otonomi daerah. Bisa saja fenomena naiknya harga beras ini di setiap daerah berbeda faktor determinannya. Misalnya, antara sentra produksi dan nonsentra produksi, daerah endemis banjir dan nonendemis banjir. Dengan demikian, penanganan yang dilakukan lebih akurat dan tidak dipukul rata. Untuk meredam dampak pemiskinan masyarakat kota akibat kenaikan harga beras, pemerintah perlu memfokuskan penanganan masyarakat miskin perkotaan dengan menaikkan daya belinya.

Ironis kalau kenaikan harga beras yang dinikmati langsung petani harus ditekan melalui operasi pasar. Artinya, petani yang sudah miskin dan marginal harus menyubsidi orang kaya, termasuk menyangga warga miskin kota yang secara umum akses terhadap sumber dayanya jauh lebih baik dibandingkan petani. Tugas menyangga masyarakat miskin kota bukan selayaknya ditanggung apalagi dibebankan ke petani, melainkan perlu ditangani secara terpisah.

Pemerintah akan lebih akurat apabila memisahkan pendekatan penanganan warga miskin kota dan pengelolaan pendapatan/kesejahteraan petani, melalui pengaturan harga pokok pembelian pemerintah baik gabah maupun beras. Optimalisasi program pemberdayaan masyarakat kota harus lebih banyak dilakukan, bukan sebaliknya menekan harga beras.

(www.republika.co.id)

Free Trade dan Fair Trade

Dunia industri di Tanah Air sedang dihinggapi rasa cemas yang cukup dalam. Adalah perdagangan bebas ASEAN-Cina (ASEAN-China Free Trade Agreement --ACFTA) yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari tahun ini yang membuat pelaku usaha ketar-ketir. Mereka khawatir industrinya tak dapat meraih benefit secara optimal atas pemberlakuan ACFTA itu. Maklum, semua sepakat, daya saing industri dalam negeri masih jauh dibandingkan dengan Cina yang kini menjadi raksasa baru.

Keperkasaan "negeri tirai bambu" itu di sektor industri memang tak perlu diragukan. Sebut saja industri baja, tekstil, makanan dan minuman, alas kaki, mainan anak-anak, petrochemical, hingga barang-barang elektronik yang mulai menggeser dominasi negara-negara maju menjadi bukti jelas jumawanya Cina. Bisa dibayangkan, apa jadinya industri dalam negeri kita jika produk-produk itu masuk ke Indonesia dengan tarif 0% seiring dengan dibelakukannya ACFTA?

Memang sejatinya ACFTA bisa memberikan manfaat, lantaran adanya proses integrasi jalur ekonomi di negara-negara kawasan tersebut. Persoalannya, Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah mendasar pada tataran makro dan mikroindustri.

Minimnya kemampuan memproduksi barang setengah jadi dan komponen serta terbatasnya pasokan bahan baku dan energi pendukungnya menjadi persoalan mendasar negeri kita. Kondisi ini diperparah dengan masih tingginya ketergantungan pada impor bahan baku dan penolong, kapasitas produksi yang tidak optimal, hingga kelemahan penerapan standardisasi. Ditambah problem klasik lainnya, yakni penguasaan pasar domestik yang lemah membuat struktur industri dalam negeri makin rapuh. Pelan tapi pasti, semua kelemahan itu telah berkontribusi pada proses deindustrialisasi.

Gejala deindustrialisasi cukup mendesak ditangani secara serius agar sektor manufaktur bisa menjadi motor ekonomi yang kompetitif. Dengan cara inilah, industri nasional bisa menjaga pasar domestik, sekaligus menjadi pemain yang diperhitungkan di pasar ekspor. Langkah ini bisa dimulai dengan melakukan restrukturisasi dan revitalisasi industri, yang diharapkan bisa memperkuat basis industri dalam negeri, khususnya industri berteknologi menengah, yang menjadi segmen industri kita paling rapuh.

Upaya agar deindustrialisasi tidak makin memburuk tentu bukan tugas Departemen Perindustrian semata. Pengembangan lingkungan bisnis, infrastruktur, investasi, dan pengembangan pasar membutuhkan kerja sama lintas sektoral. Krisis finansial global lalu pun makin meneguhkan bahwa intervensi pemerintah untuk mengoreksi kegagalan pasar sangat diperlukan. Pada konteks industrialisasi, pemerintah harus mengarahkan pertumbuhan pabrik-pabrik dengan regulasi dan insentif.

Indonesia harus melakukan reorientasi politik industri agar tidak kehilangan daya saingnya. Untuk itu, semua perangkat ekonomi nasional harus diarahkan bagi pengembangan sektor riil. Dukungan penguasaan teknologi dan peningkatan SDM pun tak kalah pentingnya, guna mendukung terciptanya value chain atau keterkaitan upstream dan downstream yang mantap serta mampu mendukung pengembangan keterkaitan antar dan inter-industri dalam negeri.

Selain memacu daya saing industri, penguatan pasar domestik pun sangat penting, terutama untuk menjaga pasar dalam negeri dari serbuan barang impor. Pemerintah harus lebih aktif melindungi industri dalam negeri dari persaingan tak sehat barang-barang impor. Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan sertifikasi dan standardisasi secara ketat terhadap produk impor. Selain menghapuskan segala bentuk rintangan di dunia usaha, perang terhadap barang-barang selundupan juga harus makin diintensifkan.

Selain itu, rendahnya daya saing ekspor Indonesia tampaknya lebih banyak dideterminasi oleh problem sisi penawaran ketimbang permintaan. Hambatan dari sisi penawaran mencakup masalah perburuhan dan ekonomi biaya tinggi, termasuk biaya intermediasi perbankan yang tinggi dan rumit. Bayangkan, suku bunga pinjaman di Cina hanya 1% hingga 2%. Bandingkan dengan suku bunga pinjaman di negeri kita yang mencapai 12%-18%. Bahkan kredit usaha kecil dipatok hingga 22%-24%.

Tentu berbagai terobosan itu sangat penting digulirkan guna menghilangkan rigiditas praktek-praktek rente ekonomi yang sangat terasa membebani daya saing. Selain dukungan daya saing industri, dalam menghadapi free trade juga perlu dukungan infrastruktur atau perangkat hukum, seperti kesiapan lembaga antidumping, sertifikasi, dan lembaga/orang-orang yang bisa melaksanakan standar-standar tersebut dalam rangka menjaga fair trade (perdagangan berkeadilan) atau mencegah adanya kecurangan dalam persaingan global.

Sugiharto
Chairman of Steering Committee The Indonesia Economic Intelligence
[Perspektif, Gatra Nomor 10 Beredar Kamis, 14 Januari 2010]