Selasa, 26 Januari 2010

Paradigma Baru Stabilisasi

Senin, 25 Januari 2010 pukul 15:12:00

Oleh Iman Sugema

Ada satu hal penting yang mungkin luput dari perhatian Pansus Century, yakni pentingnya kita melakukan perubahan mendasar dalam pengelolaan ekonomi makro. Negara-negara maju saat ini sedang melakukan pembenahan besar-besaran terhadap kerangka kerja stabilisasi ekonomi pascakrisis global. Belajar dari krisis keuangan yang terjadi berulang-ulang, kini para ekonom dunia sedang sibuk merumuskan macro-prudential regulation atau peraturan mengenai kehati-hatian pengelolaan ekonomi makro. Salah satunya adalah pemerintahan Barack Obama yang mulai memandang penting pembatasan ruang gerak para spekulan di pasar finansial ataupun pasar komoditas.

Bagaimana dengan kita? Saya khawatir, pemerintah dan BI kembali ke business as ussual walaupun kita telah didera krisis finansial secara bertubi-tubi. BI kembali mendefinisikan tugas pokok kebijakan moneternya hanya dalam lingkup pengendalian inflasi. Departemen Keuangan mendefinisikan stabilitas hanya dalam konteks kesinambungan fiskal melalui pengelolaan anggaran yang bersifat ortodoks. Krisis keuangan seolah-olah tidak menyisakan bahan pelajaran bahwa pengelolaan kebijakan moneter dan fiskal yang sangat konvensional sudah ketinggalan zaman.
Lantas, bagaimana seharusnya? Tentu, jawabannya adalah kita harus mengadopsi macro-prudential regulation yang merupakan paradigma baru dalam melakukan stabilisasi perekonomian. Paradigma ini pada prinsipnya mengandung rumusan kehati-hatian pengelolaan makroekonomi agar perekonomian tidak mudah tergelincir ke jurang krisis. Berikut beberapa prinsip dasar yang menjadi pilar dalam paradigma ini.

Pertama, kerentanan finansial ( financial fragility ) atau bibit krisis finansial biasanya berkembang biak atau bersemi dalam periode di mana terjadi ''stabilitas'' ekonomi makro. Contohnya adalah dalam situasi di mana terjadi inflasi yang rendah secara berkepanjangan, konsumen yang memiliki kelebihan daya beli akan cenderung membelanjakan uang mereka dalam bentuk aset riil sehingga kemudian memicu kenaikan harga aset. Selanjutnya, kenaikan harga aset yang berada di atas tingkat inflasi barang akan semakin memicu gelombang pembelian aset yang kemudian harganya semakin melambung. Kemudian, terjadilah bubble harga aset. Bubble merupakan bibit dari terjadinya krisis dan contoh yang paling mutakhir adalah gelembung di sektor perumahan di Amerika Serikat.

Kedua, kerentanan finansial biasanya merupakan produk dari serangkaian kebijakan stabilisasi. Sebagaimana telah dibahas di atas, gelembung bisa timbul sebagai akibat samping dari kebijakan antiinflasi. Stabilitas harga barang justru memicu gelembung harga aset. Karena itu, stabilitas harga tidak bisa dijadikan sebagai sasaran akhir kebijakan moneter. Yang jadi tujuan akhir seharusya adalah tetap terkendalinya kerentanan finansial.

Ketiga, para pengambil kebijakan dan politikus biasanya terbuai dengan stabilitas semu sampai suatu keadaan yang memuncak, di mana krisis tidak lagi bisa dihindari tanpa pengaruh yang dahsyat terhadap rakyat biasa sekalipun. Inflasi yag rendah dan gelembung pasar finansial selalu dianggap sebagai prestasi. Silakan Anda simak pernyataan menteri keuangan dan gubernur BI sebelum tahun 2008. Pasti, mereka bilang bahwa bursa di Indonesia merupakan salah satu bursa yang memberikan return paling tinggi sedunia sehingga menjadi surga bagi investor global.

Padahal, itu merupakan semakin kuatnya indikasi bahwa pasar modal kita sangat rentan. Dan, betul saja, ketika pada pertengahan 2008 investor asing menarik diri dari Indonesia, harga saham langsung terperosok lebih dalam dibandingkan Wall Street sekalipun. Hal ini pula yang mengakibatkan menteri keuangan merasa bahwa Bank Century patut diselamatkan. Kalau mau jujur, bailout Century merupakan buah dari kegagalan menjaga kehati-hatian makroekonomi, selain tentunya sebagai akibat dari penjarahan oleh RT, HAW, dan RAR.

Keempat, kehati-hatian di tingkat mikro belum tentu sejalan dengan kehati-hatian di tingkat makro. Selalu ada asumsi yang salah bahwa kalau kita berhasil menjaga tingkat kesehatan bank dan lembaga keuangan lainnya, kesehatan ekonomi makro dapat terjamin. Kenyataannya tidak selalu demikian. Contoh yang paling nyata adalah ketika terjadi kekurangan likuiditas seperti yang terjadi sejak pertengahan 2008, setiap bank berupaya untuk menjaga likuiditas masing-masing dengan cara meningkatkan cadangan kas dan tidak mau memberikan pinjaman likuiditas ke bank lainnya.

Sebagai akibat dari keengganan untuk melakukan pinjaman antarbank, likuiditas menjadi betul-betul mengering. Dari contoh ini, kehati-hatian di tingkat makro terkadang menciptakan instabilitas di tingkat makro. Karena itu, sasaran akhirnya adalah terciptanya macro-prudential .

Keempat hal yang didiskusikan di atas merupakan sebagian dari asensi macro-prudential framework yang ternyata jauh berbeda dibandingkan kebijakan stabilisasi makro yang selama ini dilakukan di Indonesia. Saya sendiri tidak bisa jamin bahwa paradigma baru ini telah sepenuhnya mampu menjawab berbagai persoalan yang menyangkut krisis keuangan. Setidaknya, paradigma ini telah membangun kesadaran bahwa selama ini kebijakan makro pada umumnya berada di jalan yang salah. Kalau kita masih terus memakai pendekatan lama, niscaya krisis selalu akrab dengan kita. Semoga itu tidak usah terjadi.

(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar