Sabtu, 23 Januari 2010

Free Trade dan Fair Trade

Dunia industri di Tanah Air sedang dihinggapi rasa cemas yang cukup dalam. Adalah perdagangan bebas ASEAN-Cina (ASEAN-China Free Trade Agreement --ACFTA) yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari tahun ini yang membuat pelaku usaha ketar-ketir. Mereka khawatir industrinya tak dapat meraih benefit secara optimal atas pemberlakuan ACFTA itu. Maklum, semua sepakat, daya saing industri dalam negeri masih jauh dibandingkan dengan Cina yang kini menjadi raksasa baru.

Keperkasaan "negeri tirai bambu" itu di sektor industri memang tak perlu diragukan. Sebut saja industri baja, tekstil, makanan dan minuman, alas kaki, mainan anak-anak, petrochemical, hingga barang-barang elektronik yang mulai menggeser dominasi negara-negara maju menjadi bukti jelas jumawanya Cina. Bisa dibayangkan, apa jadinya industri dalam negeri kita jika produk-produk itu masuk ke Indonesia dengan tarif 0% seiring dengan dibelakukannya ACFTA?

Memang sejatinya ACFTA bisa memberikan manfaat, lantaran adanya proses integrasi jalur ekonomi di negara-negara kawasan tersebut. Persoalannya, Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah mendasar pada tataran makro dan mikroindustri.

Minimnya kemampuan memproduksi barang setengah jadi dan komponen serta terbatasnya pasokan bahan baku dan energi pendukungnya menjadi persoalan mendasar negeri kita. Kondisi ini diperparah dengan masih tingginya ketergantungan pada impor bahan baku dan penolong, kapasitas produksi yang tidak optimal, hingga kelemahan penerapan standardisasi. Ditambah problem klasik lainnya, yakni penguasaan pasar domestik yang lemah membuat struktur industri dalam negeri makin rapuh. Pelan tapi pasti, semua kelemahan itu telah berkontribusi pada proses deindustrialisasi.

Gejala deindustrialisasi cukup mendesak ditangani secara serius agar sektor manufaktur bisa menjadi motor ekonomi yang kompetitif. Dengan cara inilah, industri nasional bisa menjaga pasar domestik, sekaligus menjadi pemain yang diperhitungkan di pasar ekspor. Langkah ini bisa dimulai dengan melakukan restrukturisasi dan revitalisasi industri, yang diharapkan bisa memperkuat basis industri dalam negeri, khususnya industri berteknologi menengah, yang menjadi segmen industri kita paling rapuh.

Upaya agar deindustrialisasi tidak makin memburuk tentu bukan tugas Departemen Perindustrian semata. Pengembangan lingkungan bisnis, infrastruktur, investasi, dan pengembangan pasar membutuhkan kerja sama lintas sektoral. Krisis finansial global lalu pun makin meneguhkan bahwa intervensi pemerintah untuk mengoreksi kegagalan pasar sangat diperlukan. Pada konteks industrialisasi, pemerintah harus mengarahkan pertumbuhan pabrik-pabrik dengan regulasi dan insentif.

Indonesia harus melakukan reorientasi politik industri agar tidak kehilangan daya saingnya. Untuk itu, semua perangkat ekonomi nasional harus diarahkan bagi pengembangan sektor riil. Dukungan penguasaan teknologi dan peningkatan SDM pun tak kalah pentingnya, guna mendukung terciptanya value chain atau keterkaitan upstream dan downstream yang mantap serta mampu mendukung pengembangan keterkaitan antar dan inter-industri dalam negeri.

Selain memacu daya saing industri, penguatan pasar domestik pun sangat penting, terutama untuk menjaga pasar dalam negeri dari serbuan barang impor. Pemerintah harus lebih aktif melindungi industri dalam negeri dari persaingan tak sehat barang-barang impor. Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan sertifikasi dan standardisasi secara ketat terhadap produk impor. Selain menghapuskan segala bentuk rintangan di dunia usaha, perang terhadap barang-barang selundupan juga harus makin diintensifkan.

Selain itu, rendahnya daya saing ekspor Indonesia tampaknya lebih banyak dideterminasi oleh problem sisi penawaran ketimbang permintaan. Hambatan dari sisi penawaran mencakup masalah perburuhan dan ekonomi biaya tinggi, termasuk biaya intermediasi perbankan yang tinggi dan rumit. Bayangkan, suku bunga pinjaman di Cina hanya 1% hingga 2%. Bandingkan dengan suku bunga pinjaman di negeri kita yang mencapai 12%-18%. Bahkan kredit usaha kecil dipatok hingga 22%-24%.

Tentu berbagai terobosan itu sangat penting digulirkan guna menghilangkan rigiditas praktek-praktek rente ekonomi yang sangat terasa membebani daya saing. Selain dukungan daya saing industri, dalam menghadapi free trade juga perlu dukungan infrastruktur atau perangkat hukum, seperti kesiapan lembaga antidumping, sertifikasi, dan lembaga/orang-orang yang bisa melaksanakan standar-standar tersebut dalam rangka menjaga fair trade (perdagangan berkeadilan) atau mencegah adanya kecurangan dalam persaingan global.

Sugiharto
Chairman of Steering Committee The Indonesia Economic Intelligence
[Perspektif, Gatra Nomor 10 Beredar Kamis, 14 Januari 2010]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar