Minggu, 13 Desember 2009

Mimpi Buruk Buat Petani Indonesia

Sabtu, 12 Desember 2009 pukul 14:24:00
Industri Pupuk di Ambang Kolaps

Agus Yulianto

Ketersediaan bahan baku gas pada 2012 menjadi kendala.

BANDUNG -- Industri pupuk Indonesia pada 2012, di ambang kolaps. Pasalnya, 20 pabrik pupuk yang beroperasi tersebut belum memiliki alternatif bahan baku gas. Padahal, kontrak pengadaan gas antara pihak terkait pengadaan dan pabrik pupuk, mayoritas akan berakhir pada 2012.

''Peningkatan pemanfaatan gas bumi domestik baru dimulai pada lima tahun terakhir. Padahal, cadangan gas bumi yang ada telah terkait kontrak jangka panjang,'' kata Heri Purnomo, mewakili Dirjen Migas, Dr Ing Evita H Legowo, pada Lokakarya Aspek Governance Sitem Produksi dan Distribusi Pupuk, yang diselenggarakan Kementerian Negara BUMN, Komite Kebijakan Publik (KKP) di Bandung, Jumat (11/12).

Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM), kata Heri, pada 2008, pemanfaatan gas bumi untuk domestik mencapai 3.769,2 mmscfd dan untuk pemenuhan ekspor mencapai 4.114,3 mmscfd. Sedangkan alokasi gas bumi untuk domestik dan ekspor berdasarkan Gas Sales Agreement (GSA) pada 2002 hingga Mei 2009, sebesar 64,1 persen untuk domestik dan 35,9 persen untuk ekspor.

Prioritas pemanfaatannya, sambung Heri, untuk peningkatan produksi migas (EOR), listrik, pupuk, dan industri. Sayangnya, kata dia, kontrak-kontrak pengadaan gas untuk industri pupuk ini belum banyak yang diperbaharui dan mayoritas akan berakhir pada 2012.

''Bila kondisi ini tidak segera dicarikan solusinya, maka semua pabrik pupuk akan defisit penyediaan gasnya. Dan itu akan mengancam kelangsungan pabrik tersebut,'' katanya.

Dia mencontohkan, Pupuk Iskandar Muda (PIM) dengan kapasitas produksi pupuk 1.170.000 ton per tahun, pada 2009 kebutuhan gas untuk PIM I sebesar 60 mmscfd dan PIM II sebesar 50 mmscfd. Kebutuhan gas sebagai bahan baku itu sudah tidak dipasok lagi dari Medco Blok A, tapi masih ada dari Swap kargo sebesar 50 mmscfd. Akibatnya, PIM masih kekurangan pasokan gas 60 mmscfd.

Namun, pada 2010, baik Medco blok A dan Swap kargo sudah tidak memasok lagi sehingga pasokan gas ke PIM pada tahun itu defisit 110 mmscfd. ''Tentunya, kita harus duduk bersama mencarikan jalan keluarnya, agar industri pupuk tidak kolaps,'' kata Heri.

Tak hanya PIM, Pupuk Sriwijaya (Pusri) juga mengalami hal serupa. Menurut Heri, pada 2012, kontrak Pertamina EP dengan Pusri akan berakhir. Namun, ungkap dia, hingga saat ini belum ada alternatif pasokan lainnya. Pada 2012 itu, Pusri akan mengalami defisit pasokan gas sebesar 88 mmscfd.

''Alternatif yang mungkin dapat dilakukan adalah relokasi pabrik ke sumber gas bumi (Donggi dan Senoro),'' katanya.

Yang lebih sedikit beruntung, kata Heri, adalah Pabrik Pupuk Kalimantan Timur (PKT). Dengan kapasitas produksi sebesar 2.865.000 ton pupuk per tahun (revitalisasi), PKT masih mendapat pasokan bahan baku gas dari Vico-Chevron dan Total (blok Mahakam). Meski demikian, karena pasokan gas yang dibutuhkan cukup besar, PTK masih mengalami defisit gas sebesar 9 mmscfd pada 2012.

Butuh jaminan
Dirut PT Pusri, Dadang Heru Kodri mengatakan, keberlangsungan seluruh pabrik pupuk di dalam negeri tergantung dari keterjaminan pasokan bahan baku gas. Sementara, melihat habisnya masa kontrak pasokan gas ke pabrik pupuk yang ada pada 2012, kata dia, maka bayang-bayang kehancuran pabrik pupuk dalam negeri semakin di depan mata.

Kata dia, dengan kebutuhan gas sebesar 225 mmscfd, pabrik Pusri II dipasok sebesar 45 mmscfd oleh Medco E&P Indonesia untuk periode 1 Januari 2008 hingga 31 Desember 2019.

Namun, untuk pabrik Pusri III, IV, dan IB dengan jumlah 166 mmscfd disuplai oleh Pertamian EP. Sedangkan 14 mmscfd dipasok dari PT Pertagas untuk Januari 2008-31 Desember 2012. ed: yeyen


Perlunya Evaluasi Soal Pupuk

Pada industri pupuk di Indonesia, ada beberapa persoalan yang timbul dari kebijakan publik yang kurang tepat. Persoalan-persoalan itu, kata Ketua Komite Kebijakan Publik di Kementerian Negara BUMN, Fachry Ali, harus segera diatasi dengan cara memperbaiki kebijakan publik yang ada. Ia pun menguraikan sederet poin yang perlu mendapat perhatian pemerintah.

1. Konsekuensi pupuk diperlakukan sebagai komoditas strategis, maka pemerintah memberi sibsidi harga kepada petani kecil. Akibatnya, terdapat tiga harga pupuk yang berlaku secara nasional, yakni harga subsidi untuk petani, harga perkebunan, dan harga ekspor.

2. Bahan baku gas dibeli berdasarkan harga pasar. Sedangkan harga pupuk diatur sesuai kebijakan pemerintah.

3. Demi ketahanan pangan, maka perlu jaminan ketersediaan pupuk dan keterjangkauan harga pupuk. Kondisi ini menyebabkan industri pupuk tidak dapat berkembang secara optimal. Padahal Indonesia sebagai negara agraris juga memiliki kelebihan yaitu bahan baku utama yang melimpah (gas dan batu bara) dan harga ekspor pupuk yang tinggi. Seharusnya, Indonesia menjadi pemasok pupuk dunia.

4. Program subsidi harga pupuk, menimbulkan moral hazard di semua lini ketersediaannya dari hulu hingga hilir. Agus Yul, ed: yeyen

(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar