Sabtu, 28 November 2009

Manfaat Kurban

Sabtu, 28 November 2009 pukul 02:57:00
Kurban, Solusi Masalah Bangsa

Oleh Siwi Tri Puji, M Ghufron

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
La ilaha Illallahu wallahu Akbar
Allahu Akbar walillahilhamd

Gema puja-puji atas kebesaran Allah SWT terdengar bergemuruh di seluruh dunia. Ratusan juta Muslim, dari ujung delta Afrika, benua hijau Eropa, hingga pedalaman Asia, bermunajat menyebut keesaan Sang Penguasa Alam, mengenang keikhlasan Nabi Ibrahim atas putranya, Nabi Ismail, untuk disembelih yang kemudian diganti domba.

Di Abuja, Ibu Kota Nigeria, takbir tak henti-hentinya berkumandang. Air mata ribuan jamaah Shalat Id tak tertahankan membasahi wajah mereka ketika khatib dengan kusyuknya membacakan doa. Sementara di New York dan Washington, Amerika Serikat (AS), ribuan kaum Muslim mendatangi masjid-masjid dan sekolah-sekolah untuk melaksanakan Shalat Id.

Kalimat-kalimat segala puji bagi Allah juga terdengar dari dalam mal-mal dan pusat perbelanjaan di sejumlah kota di Eropa. Musim dingin membuat mereka memilih mal-mal itu untuk dijadikan pelaksanaan Shalat Id. Dan itu, kata beberapa jamaah di London (Inggris) dan Frankfurt (Jerman), tidak mempengaruhi kekhusyukan ibadah.

Dari Makkah, hujan yang mengguyur Arafah sehari sebelum pelaksanaan wukuf menjadi berkah tersendiri. Meski tenda-tenda dan karpet sempat basah, namun di hari wukuf, jejak hujan membuat Arafah lebih nyaman. Debu jauh berkurang dan udara lebih sejuk.

Di dalam tenda masing-masing, jamaah mengoptimalkan waktu wukuf dengan berzikir, berdoa, membaca Alquran, dan mengikuti tausiyah. Hampir semua maktab menyelenggarakan acara tausiyah dan doa bersama, yang merupakan puncak pelaksanaan ibadah haji.

''Umat Islam semestinya meneladani Rasulullah Muhammad SAW dalam beribadah, termasuk berhaji. Rasulullah tidak pernah mendahulukan ibadah-ibadah sunah individual, tetapi lebih menekankan ibadah-ibadah sosial,'' kata Naib Amirul Haj, KH Ali Mustafa Yaqub, dalam tausiyahnya di tenda Maktab 44, kemarin.

Itu sebabnya, papar KH Ali, dalam seumur hidupnya, Rasulullah berhaji hanya sekali. Namun, kata dia, ada umat yang mengaku sebagai pengikut Nabi SAW ingin beribadah haji setiap tahun, padahal kehidupan Muslim di sekitarnya masih sangat memprihatinkan.
''Jadi, pantaskah seorang Muslim yang kaya setiap tahun pergi ke Makkah untuk melakukan sesuatu yang tidak wajib? Hadis manakah yang menyuruh kita bolak-balik umrah, sementara kaum Muslimin sedang kelaparan,'' KH Ali mempertanyakan.

Suasana meriah penuh khusyuk juga terlihat di Tanah Air. Jutaan umat Islam mendatangi masjid-masjid dan lapangan-lapangan untuk menunaikan Shalat Id di seluruh pelosok negeri.

Di Jakarta, Masjid Istiqlal dibanjiri ratusan ribu umat, yang mayoritas berbalut pakaian serbaputih. Begitpun yang terlihat di banyak kota lainnya seperti di Bandung, Malang, Surabaya, Banjarmasin, Denpasar, Manado, Bandar Lampung, hingga Jayapura. Tak lupa, sejumlah khatib pun menyerukan pesan moral kepada para pemimpin bangsa di tengah krisis kepercayaan yang terjadi saat ini.

Khatib Shalat Idul Adha di Masjid Agung Kudus, Jawa Tengah, KH Ahmadi Abdullah Fattah, mengingatkan kepada para pemimpin negara untuk meneladani makna Hari Kurban, agar rakyat luas dapat merasakan hidup bahagia, adil, dan makmur. ''Kenyataannya, masih ditemui adanya para pemimpin yang tega mengorbankan kepentingan rakyat demi kepentingan pribadi,'' ujarnya.

Tindakan para pemimpin yang tidak patut diteladani tersebut, mendorong terjadinya tindak korupsi, penipuan, kekerasan, dan tindak kejahatan lainnya. Akibatnya, kata KH Ahmadi, masih banyak rakyat yang harus hidup menderita dan sengsara.

Berdasarkan ajaran Islam, ia menjelaskan, berkurban dapat dimaknai sebagai tindakan yang dilaksanakan dengan ikhlas, meskipun harus mengorbankan sesuatu yang sangat dicintai. ''Keteladanan Nabi Ibrahim yang diuji oleh Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan ujian keimanan untuk mengorbankan anak yang sangat dicintainya,'' ujarnya.

Seruan moral terhadap pemimpin bangsa juga disampaikan khatib Shalat Id di Universitas Muhammadiyah Malang, Ahsanul In'am. Kata dia, Idul Adha tahun ini diliputi keprihatinan berbagai persoalan bangsa. Melalui pelajaran kurban, jelas In'am, hikmah paling penting yang bisa diambil adalah kejujuran, perjuangan yang keras, dan keihlasan berkorban.

Nilai-nilai itu, sambungnya, telah luntur dan dilupakan saat pengelola bangsa ini memegang kekuasaan. Menurut dia, bangsa Indonesia telah kehilangan kejujuran, kesungguhan berjuang untuk kepentingan bangsa dan keikhlasan berkorban.

Eep Saefulloh Fatah, saat menjadi khatib di Ngurah Rai, meminta agar para pemimpin bangsa mampu mencerahkan dan menyejahterakan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik, dengan menerapkan prinsip kepemimpinan yang berakal.

''Berpegang pada prinsip untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat merupakan pengorbanan dalam kehidupan sehari-hari yang sejalan dengan makna Idul Adha,'' kata Eep di hadapan lebih dari lima ribuan umat Islam dari Denpasar dan sekitarnya.

Dari Lapangan Saburai Enggal, Bandar Lampung, khatib Wan Abbas Zakaria, menyatakan, ibadah kurban menjadi salah satu bentuk pemecahan masalah bangsa seperti kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, ketidakdilan, dan kesehatan.

Menurut dia, pada surat Al-Hajj ayat 36 dijelaskan bahwa penyembelihan hewan kurban tidak semata-mata untuk menegakkan hablum minallah (hubungan dengan Allah), tapi juga implikasi dari hablum minannas (hubungan dengan manusia).

Tiga karakter
D Masjid Istiqlal, guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Ridwan Lubis, mengatakan bahwa Islam terbentuk dari tiga karakter. ''Islam sebagai agama yang datang terakhir dibangun oleh tiga karakter yang membedakannya dari agama yang lain,'' kata Ridwan dalam ceramah kurban yang diikuti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono.

Ia menyebutkan, persamaan derajat sebagai karakter pertama Islam. Seluruh umat Islam, jelas Lubis, sama derajatnya, tidak peduli ras, garis keturunan, harta, dan kekuasaan. ''Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya,'' tegasnya.

Karakter kedua adalah keilmuan dan kehidupan bersahaja. ''Jika masyarakat sebelum Islam acap kali bertentangan dengan ilmu pengetahuan maka Islam datang dengan semangat selaras dengan keilmuan,'' kata Lubis.

Islam percaya seluruh tindakan manusia harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, dan oleh karena itu, pengetahuan tidak boleh lepas dari nilai-nilai. Karakter ketiga, Lubis menyebut kemajuan. Kata dia, Islam memperkenalkan konsep baru tentang kemajuan.

Soal kemajuan bangsa ini, Aburizal Bakrie, ketua umum Partai Golkar, mengatakan, Hari Kurban harus dijadikan momentum kebangkitan umat Islam.

Dan kini, di seluruh penjuru dunia, umat Muslim sedang merayakan kebahagian luar biasa. Si kaya telah berkurban atas nama Sang Pencipta, sementara si miskin tersenyum setelah mendapatkan seonggok daging kurban yang sangat berarti bagi mereka.

Pengorbanan itulah yang menjadi momentum indah tumbuhnya solidaritas sosial di antara umat Islam. c08/co1/antara, ed: damhuri

(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar