Selasa, 03 November 2009

Target Ekonomi Terlalu Pesimis

Senin, 02 November 2009 pukul 00:33:00
National Summit, Apa Selanjutnya?

Oleh Sunarsip


Pemerintah baru saja selesai menggelar forum National Summit pada 29-31 Oktober 2009. Banyak hal yang didiskusikan pada forum tersebut, mulai dari ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Namun demikian, tampaknya isu ekonomi tetap menjadi fokus perhatian. Tentunya, ini tidak aneh karena memang muara dari seluruh kebijakan di harapkan bisa memberikan manfaat ekonomi bagi seluruh rakyat.

Forum seperti ini memang perlu digelar untuk menyatukan pandangan dari semua pihak. (Pemerintah perlu mendengar masukan dari berbagai pihak atas pengelolaan ekonomi ke depan. Terlebih lagi, tidak sedikit dari menteri ekonomi kita saat ini me rupakan wajah baru yang tentunya harus bisa cepat ‘match’ dengan eks pektasi masyarakat. Dengan kata lain, forum National Summit sesungguhnya lebih cocok disebut sebagai ‘’gelar perkara’‘ atas berbagai persoalan di Tanah Air.

Pertanyaannya, lalu apa langkah selanjutnya setelah forum ini selesai? Jawabnya, tentunya harus cepat bekerja dan segera mem berikan bukti. Terlebih lagi, target target ekonomi yang dikejar pemerintah juga tidak ringan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam forum ini menyatakan akan mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen, penurunan angka pengangguran menjadi lima hingga enam persen, dan angka kemiskinan menjadi delapan hingga 10 persen pada tahun 2014.

Tentunya target ini tidak ringan, sekalipun juga terlihat kurang ambisius. Penulis ka takan kurang ambisius karena negaranegara tetangga kita sudah pasang target tinggi sejak 2010. Vietnam, misalnya, pada tahun 2010 sudah pasang target pertumbuhan ekonomi 6,5 persen. Perdana Menteri India kemarin menyatakan, pada 2010 India menargetkan pertumbuhan ekonomi sembilan hingga 10 persen. Cina, bahkan lebih dahsyat lagi. Sekalipun belum pasang target untuk 2010, namun melihat kinerja ekonomi pada kuartal III 2009 sebesar 8,9 persen, penulis yakin target pertumbuhan Cina 2010 akan lebih fantastis di bandingkan 2009. Sementara itu, kita pada 2010 'hanya' pasang target pertumbuhan ekonomi 5,5 persen.

Mungkin ada yang bertanya, apakah kita memang perlu sedikit ambisius? Penulis berpendapat kita memang perlu (bahkan wajib) untuk sedikit ambisius dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi. Kenapa? Pertama, angka pertumbuhan 5,5 persen (katakanlah hingga enam persen), sesungguhnya tidak cukup untuk mengatasi problem sosial kita. Kita membutuhkan pertumbuhan ekonomi setidaknya tujuh persen untuk bisa menyerap tambahan tenaga kerja, plus mengurangi pengangguran yang ada saat ini. Dan tentunya, pertumbuhan minimal tujuh persen tersebut tidak bisa harus menunggu hingga 2014. Ini mengingat, problem sosial tersebut sudah dirasakan oleh rakyat kita.

Kedua, kita perlu membuat kebijakan terobosan atau reformasi di bidang ekonomi. Ekonomi kita memang telah pulih dari krisis 1997/98. Namun, dampak krisis 1997/98 terhadap struktur ekonomi kita luar biasa. Industri manufaktur, misalnya, banyak tergantung pada bahan baku impor yang kita saksikan kini banyak yang mati. Sek-tor pertanian yang di era 1980-an dan 1990-an menjadi primadona, kini pertumbuhan dan kontribusinya semakin menurun. Padahal, pertanian masih menjadi tumpuan karena penduduk yang hidup dari sektor ini masih besar.

Dan, struktur ekonomi akibat krisis inilah yang menyebabkan kita terjebak pada siklus pertumbuhan ekonomi rendah. Mari kita perhatikan, kinerja sektor ekonomi yang menjadi salah satu kontributor terbesar pada PDB kita: pertanian dan manufaktur. Ternyata, laju pertumbuhan kedua sektor ini berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pada 2008, pertumbuhan sektor pertanian hanya 4,77 persen dan sektor manufaktur 3,66 persen, sementara pertumbuhan ekonomi nasional 6,1 persen. Padahal, sebelum krisis 1997/98, pertumbuhan sektor manufaktur bisa di atas 12 persen (tahun 1980 bahkan 22 persen). Dan, penulis kira, ini adalah tugas pemerintah dan pelaku ekonomi untuk bisa memecahkan problem struktural tersebut.

Apakah bisa kita membuat lompatan dalam hal target pertumbuhan ekonomi dari sekarang (katakanlah empat persen) menjadi, misalnya 6,5 persen atau bahkan tujuh persen? Jawabnya, kenapa tidak? Mari kita tengok contoh berikut ini. Surat kabar Wall Street Journal edisi Asia (30 Oktober 2009) memberitakan bahwa pada kuartal III 2009, ekonomi Amerika Serikat (AS) tumbuh 3,5 persen. Padahal, sejak 2008 ekonomi AS mengalami pertumbuhan minus (kontraksi). Mengapa AS bisa mengalami lompatan pertumbuhan ekonomi yang begitu dratis? Jawabnya adalah karena AS berhasil melakukan terobosan kebijakan ekonomi, seperti cash for clunkers, stimulus proyek sosial, pendidikan, infrastruktur, termasuk proteksi perdagangannya.

Kesimpulannya, bisa tidaknya kita membuat lompatan kinerja ekonomi tergantung pada bagaimana upaya yang kita lakukan. Pertanyaannya, lalu apa yang harus dilakukan agar kita juga bisa membuat lompatan kinerja ekonomi? Salah satunya, seperti yang disampaikan Presiden RI: modal besar. Presiden menyatakan untuk mencapai tujuh persen, rata-rata selama lima tahun kita perlu investasi Rp 2.100-an triliun. Karena dari sektor pemerintah hanya sekitar 10-15 persen dari kebutuhan investasi, dibutuhkan peran swasta yang lebih besar. Itu artinya, langkah selanjutnya untuk mencapai lompatan kinerja ekonomi adalah kita perlu melakukan reformasi struktural terhadap iklim investasi: regulasi, birokrasi, perizinan, law enforcement, antikorupsi, dan sektoral.

Pada dasarnya, beberapa isu yang didiskusikan pada National Summit kemarin tidak seluruhnya hal baru. Bahkan, isu yang muncul dalam forum National Summit justru merupakan pending matters sebelum Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid 1 terbentuk, seperti RUU Keuangan Mikro dan revisi UU Ketenagakerjaan.

Sementara itu, isu-isu yang merupakan pending matters pada KIB Jilid 1 yang kembali muncul pada forum National Summit adalah percepatan pembangunan infrastruktur, kebijakan energi, serta revitalisasi industri dan transportasi.

Selain isu permodalan dan isu struktural di bidang investasi, kita juga membutuhkan berbagai kebijakan ekonomi yang sifatnya jangka pendek dan langsung dapat dirasakan rakyat.

Penulis kira, salah satu faktor yang menyebabkan tidak efektifnya program stimulus fiskal kita dalam beberapa tahun terakhir ini, karena kita terlalu berharap pada transmisi ekonomi yang ada, yaitu melalui industri. Padahal, mereka sendiri kondisinya perlu pertolongan.

Pekerjaan besar setelah forum National Summit berakhir adalah bagaimana merealisasikan seluruh isu yang muncul. Dan tentunya, langkah-langkah dan target yang hendak dicapai harus terencana secara baik dan terukur. Serta tak kalah penting, pasca-National Summit perlu ada perubahan mendasar dalam kebijakan ekonomi.

(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar