Minggu, 08 November 2009

Inilah Neoliberalisme


Penjualan Pulau
Tanah Airku Laris Manis

Libur panjang Lebaran pada tahun ini dimanfaatkan Irfan Hasan, 40 tahun, untuk berwisata ke luar kota. Warga Kelurahan Panggang, Kecamatan Kota Jepara, Jawa Tengah, itu membawa istri dan seorang anaknya ke Kepulauan Karimunjawa. Karyawan sebuah pabrik mebel itu mengaku cukup lama tidak menginjakkan kaki di pulau tersebut. Padahal, lokasi Pulau Karimunjawa tidak jauh, masih di lingkup Kabupaten Jepara.

Sayang, liburannya kali ini membawa pulang kecewa. "Karimunjawa tak sebebas dahulu," katanya. Dahulu gugusan pulau di Karimunjawa masih perawan dan bebas dikunjungi. Berbagai macam burung dan binatang banyak dijumpai di sana. "Saya dahulu bisa naik perahu dari satu pulau ke pulau lain untuk melihat kijang dan burung-burung," katanya.

Kini aktivitas itu tak lagi bisa dilakukannya. Irfan mendapat kenyataan tidak lagi bisa leluasa mengunjungi pulau-pulau di kawasan yang elok itu. Di Pulau Menyawakan, misalnya, telah dibangun tempat peristirahatan indah nan mahal bernama Kura-kura Resort. Di dalamnya terdapat bungalo-bungalo cantik di tengah taman yang indah.

Pengunjungnya kebanyakan turis asing yang ingin berlibur sambil menikmati keindahan terumbu karang di dasar laut. Alhasil, turis bermodal cekak seperti Irfan Hasan tak boleh mendekat. "Orang sini sendiri kok dilarang ke Karimunjawa," ia menggerutu.

Sebagian pulau kecil di Karimunjawa memang telah menjelma menjadi tempat-tempat privat yang mewah. Pulau-pulau itu dikuasai perorangan dan menjadi tempat yang terlarang bagi pribumi yang tidak berkepentingan.

Kura-kura Resort di Pulau Menyawakan, misalnya, dilengkapi dermaga khusus yang tarif sandarnya Rp 150.000 per jam. Resor ini menyediakan tiga tipe kamar, yaitu superior seaview cottage, deluxe superior cottage, dan private pool villa. Harganya, US$ 250 hingga US$ 380 semalam. Ada cottage private pool villa bernuansa bulan madu dengan kolam renang sendiri yang tertutup tembok. Orang tidak akan peduli dengan yang terjadi di dalamnya.

Pulau-pulau itu menjadi tempat berlibur turis-turis asing yang sedang ogah diganggu. Mereka datang ke Karimunjawa dengan pesawat Cessna yang diterbangkan pengelola resor dari Bandar Udara Ahmad Yani, Semarang. Di jalur ini tidak ada penerbangan reguler.

Kura-kura Resort dimiliki Soren Lax, pria asal Swedia yang menikahi wanita pribumi asal Balikpapan, Kalimantan Timur. Melalui istrinya, ia menguasai lahan seluas 21 hektare atau seluas pulau itu.

Soren Lax membeli pulau itu pada 1999 dan kini berhasil menjualnya sebagai tempat wisata kelas atas. Di sana berdiri 15 bungalo dengan fasilitas lengkap untuk menyelam dan berbagai kesenangan bahari lainnya.

Selain Menyawakan, sejumlah pulau di kawasan Karimunjawa juga telah "diprivatisasi". Berdasarkan data dari Balai Taman Nasional Karimunjawa, pada saat ini ada delapan dari 27 pulau di Karimunjawa yang dikuasai satu pihak. Masing-masing memiliki luas 3-92 hektare.
Dua di antara pulau-pulau yang terjual itu dimiliki orang asing, yaitu Pulau Menyawakan dan Pulau Kumbang. Bila Pulau Menyawakan milik Soren Lax, Pulau Kumbang dimiliki ekspatriat asal Swedia, Mr. Jell, yang memegang hak milik atas nama istrinya yang berkewarganegaraan Indonesia. Di Pulau Karimunjawa sendiri banyak orang asing yang menguasai lahan cukup luas dan telah "ditanami" resor di atasnya. Misalnya Nirwana Resort dan Escape Hotel.

Menurut Kepala Balai Taman Nasional Karimunjawa, Harianto, pulau-pulau itu memang ada yang dimiliki orang per orang. Namun mereka bukan membeli pulaunya, melainkan hanya membeli tanah dan mengembangkannya.

Meskipun demikian, hal itu tetap menimbulkan kekhawatiran karena pemerintah daerah dan masyarakat tidak mengetahui apa yang sebetulnya dilakukan orang asing di pulau-pulau itu. Konsorsium Karimunjawa yang terdiri dari sejumlah LSM di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta menyoroti fenomena ini. Penguasaan pulau oleh satu pihak bisa menimbulkan ekses marjinalisasi penduduk lokal.

Menurut Koordinator Konsorsium Karimunjawa, Fatkhur Rahman, perpindahan kepemilikan tanah dari penduduk lokal kepada orang asing sangat mudah terjadi karena adanya kolusi antara oknum pemerintah dan calon pembeli. Pulau Karimunjawa, katanya, telah dikavling-kavling untuk resor yang eksklusif, sehingga orang Karimunjawa tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Berbeda dengan di Bali. Di Pulau Dewata itu, toko-toko dan kafe dimiliki orang lokal, sehingga efek ekonominya menyegarkan orang pribumi.

Di Karimunjawa, turis datang ke salah satu pulau, bersenang-senang, lalu pulang. Jangankan berbelanja di kota Kecamatan Karimunjawa, menginjakkan kaki pun tidak. Toko-toko suvenir di Karimunjawa hanya mengandalkan pembeli wisatawan domestik. Jadi, kalaupun ada dana yang bergulir dari resor-resor eksklusif itu, yang menerima adalah pengelola resor yang juga orang bule.

Namun hal itu dibantah Camat Karimunjawa, Nuryanto. Menurut dia, pengelolaan lahan Karimunjawa oleh pihak asing hanya berupa penanaman modal di bidang pariwisata. Ia mengaku telah mengecek satu per satu status kepemilikan orang asing atas pulau-pulau itu. Ternyata sertifikatnya atas nama orang lokal, entah itu istri atau orang kepercayaannya.

Hal itu dibenarkan Bupati Jepara, Hendro Martojo. Dia memastikan, meski dikelola pihak asing, pulau-pulau tersebut masih di bawah pengawasan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara. Para pengelola pulau-pulau itu bahkan sengaja diundang Pemkab Jepara agar menginvestasikan dana untuk mengembangkan wisata Karimunjawa.

GATRA (Dok. GATRA)

Kepulauan Karimunjawa terdiri dari 27 pulau yang berada di tiga desa. Luas totalnya mencapai 107.225 hektare. Luas daratannya saja sekitar 7.120 hektare. Penduduk asli tersebar di lima pulau, antara lain di Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau Nyamuk, dan Pulau Genting.

Adanya pembangunan resor mewah itu menjadi paradoks dengan kehidupan nelayan yang ada di sekitarnya. Seorang nelayan lokal, Sunarto, mengungkapkan bahwa sebagian resor itu menutup bibir pantai, sehingga nelayan tradisional tidak bisa menyandarkan perahu di garis pantai yang ada resornya.

GATRA (Dok. GATRA)

Penguasaan pulau-pulau oleh orang asing banyak pula terjadi di daerah lain di Indonesia. Beberapa pulau di Kepulauan Mentawai dikabarkan tengah ditawarkan melalui iklan dengan judul "Islands for Sale in Indonesia" di situs privateislandsonline.com.

Yang aneh di iklan tersebut, yang menawarkan pulau itu bukan warga negara Indonesia, melainkan orang asing yang memampang alamatnya di 550 Queen St. East Suite 330 Toronto ON M5A 1 V2, Kanada. Jadi, pulau-pulau itu bisa berpindah tangan dari orang asing ke orang asing lainnya.

Pulau Meriam Besar dan Pulau Panjang yang berada di Kabupaten Sumbawa Besar juga pernah dijual melalui situs internet. Namun, setelah hal itu disorot media, sertifikat atas nama orang asing akhirnya dibatalkan pemerintah daerah setempat.

Kepemilikan pulau oleh perorangan sebetulnya telah lama terjadi. Data dari Tim Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Fisik Kepulauan Seribu menunjukkan, tahun 2000 saja di Kepulauan Seribu terdapat 65 pulau yang dikuasai satu nama, termasuk orang asing. Hal ini dinilai mengancam eksistensi nelayan tradisional yang biasa berlayar di sekitar pulau itu.

Menurut hasil monitoring Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), banyak nelayan tradisional yang tidak boleh masuk ke zona pulau tertentu. Padahal, mereka secara tradisional melaut di sekitar pulau itu dan memanfaatkan pulau tersebut sebagai tempat berlindung dari angin atau gelombang tinggi.

GATRA (Dok. GATRA)

Di sisi lain, penguasaan pulau dan lahan oleh orang asing di Karimunjawa membawa dampak positif bagi pendapatan asli daerah. Menurut data Dinas Pariwisata Jepara, pada tahun ini hampir 10.000 turis datang ke Karimunjawa. Angkanya terus naik dari tahun ke tahun.

"Ini menimbulkan multiplier effect yang bagus bagi masyarakat lokal," ungkap Kepala Dinas Pariwisata Jepara, Chaeron Syariefudin. Bila satu turis membelanjakan uang rata-rata Rp 2,5 juta, maka penduduk bisa kecipratan uang tak kurang dari Rp 25 milyar per tahun.

Kehadiran orang asing di pulau-pulau itu, kata Chaeron, bukan membeli pulau mentah-mentah, melainkan membeli tanah, lalu mengembangkannya. Pulaunya sendiri tetap menjadi bagian dari NKRI. Pemiliknya membayar pajak dan tunduk pada peraturan yang berlaku.

Berkat peran orang asing itu, perekonomian lokal ikut mendapat manfaat karena arus wisatawan menjadi deras. "Tidak hanya resor mewah, rumah-rumah penduduk juga laku sebagai homestay," katanya kepada Gatra.

Penguasaan tanah dan pulau-pulau oleh orang asing sebetulnya legal. Cara yang paling lazim adalah dengan menikahi wanita lokal dan mengatasnamakan kepemilikan tanah kepada istrinya. Cara kedua adalah dengan mengurus hak pakai dalam jangka waktu tertentu.

Pada saat ini berlaku Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik (HM) atas tanah bagi rumah tinggal yang mengatur perubahan status pemilikan tanah untuk rumah tinggal dari HGB (hak guna bangunan) atau HP (hak pakai) menjadi HM, maksimal 5.000 meter persegi. Selain itu, ada Undang-Undang Pokok Agraria, yang memberi batasan maksimal kepemilikan tanah pertanian 20 hektare. Dua aturan itu mensyaratkan hak kepemilikan tanah harus atas nama warga negara Indonesia.

Jalur bagi orang asing juga tersedia. Yakni Peraturan Pemerintah Nomor 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Aturan ini memperbolehkan orang asing memiliki rumah tinggal atau hunian maksimal 25 tahun dan bisa diperpanjang satu kali untuk 20 tahun.

Selain menikahi wanita pribumi, cara ini lazim ditempuh orang asing. BPN Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Barat, misalnya, pernah mengeluarkan sertifikat HGB atas nama PT Reefseekers Khaternet Lestari yang dimiliki Ernest Lewandosky, warga Inggris.

Mujib Rahman
[Ekonomi, Gatra Nomor 51 Beredar Kamis, 29 Oktober 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar