Senin, 02 November 2009

Seteru "cicak" vs "buaya".

Membaca Gerakan Rakyat Dukung KPK
R Ferdian Andi R

(inilah.com /Agung Rajasa)

INILAH.COM, Jakarta — Gelombang dukungan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba-tiba begitu besar sesaat setelah dua komisioner KPK (nonaktif) Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto ditahan oleh Mabes Polri. Apa makna gerakan rakyat itu terhadap KPK?

Sekitar tiga tahun lalu, banyak yang menilai KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi dengan cara 'tebang pilih' alias pilih-pilih obyek yang akan dijadikan tersangka. Namun kini berbalik 180 derajat. Publik menjadi garda terdepan dalam melakukan pembelaan terhadap KPK.

Ragam istilah pun muncul. Mulai soal kriminalisasi KPK, pembonsaian KPK, dll. Bentuk dukungannya pun cukup masif, beragam dan menyebar di semua kalangan. Mulai penjaminan diri agar Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto ditangguhkan penahanan baik melalui dunia maya maupun langsung, gerakan dukungan di dunia maya dengan gerakan satu juta Facebooker, hingga aksi damai pita hitam di lengan kanan.

Yang bersuara lantang atas kondisi KPK pun beragam, mulai bekas Presiden RI hingga rakyat jelata. Dari ulama hingga para mantan pejabat.

Gerakan rakyat ini jelas tak ada kuasa yang membendungnya. Apalagi martil gerakan rakyat ini tak lain dari sikap kepolisian yang menilai Chandra-Bibit melakukan penggiringan opini ke publik terkait posisi dirinya yang menjadi tersangka oleh Polri. Karena, hal itu pula, salah satu alasan Polisi menjebloskan Chandra-Bibit ke sel tahanan.

Kondisi mutakhir terkait polemik KPK versus Polri, di atas kertas memenangkan Chandra-Bibit. Hal ini tidak terlepas dengan beredarnya rekaman pembicaraan petinggi aparat penegak hukum yang sedianya akan dibuka saat sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa (2/11). Kini yang muncul persepsi publik, Chandra-Bibit dizalimi kepolisian.

Kondisi ini berbalik arah dengan institusi kepolisian yang terjepit atas kasus saat ini. Tuduhan sangkaan terhadap KPK yang mengada-ada, tertuju ke kepolisian. Hal ini tidak terlepas dari sangkaan KPK yang berubah-ubah. Mulai soal penyalahgunaan wewenang, hingga pemerasan.

Menurut pengamat komunikasi politik Wisnu Martha Adiputra, situasi yang terjadi saat ini adalah bersatunya elit dan masyarakat luas atas kondisi KPK versus Kepolisian. Hal ini, jelas akan menyudutkan institusi kepolisian.

"Di akar rumput, kini direpotkan dengan UU Lalu Lintas yang menjerat banyak masyarakat dengan sanksi berat. Sedangkan di elit soal KPK versus Kepolisian. Polisi kini benar-benar tersudut," jelasnya. Wisnu menyarankan, agar institusi kepolisian segera bersikap agar tidak semakin terpuruk dengan opini yang terjadi di akar rumput dan elit terhadap institusi kepolisian.

Ketua PP Muhammadiyah Izzul Muslimin mengusulkan, untuk menghentikan polemik berkepanjangan soal KPK versus kepolisian, sebaiknya Presiden SBY mengganti Kapolri dan Jaksa Agung.

"Presiden bisa menggunakan kewenangannya tanpa harus terlibat langsung ke dalam masalah itu, misalnya dengan mengganti Jaksa Agung dan Kapolri dengan figur yang dianggap kredibel," tegasnya di Jakarta, Minggu (1/11). Apalagi, sambung Izzul, dalam penyusunan kabinet beberapa waktu lalu, posisi Kejaksaan Agung belum ada perubahan.

Bandul rakyat kini berpihak pada KPK dan Chandra-Bibit. Kondisi ini jelas memiliki dampak serius. Presiden SBY ada baiknya segera menyikapi persoalan konkret atas masalah yang muncul. Bagaimanapun, baik KPK maupun Kepolisian RI menjadi lembaga yang harus diselamatkan. Dukungan rakyat terhadap KPK harus dimaknai sebagai upaya kuat publik dalam pemberantasan korupsi di seluruh sektor. Tak terkecuali, semangat ini harus menjalar di institusi KPK maupun Kepolisian. [mor]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar