Senin, 01 Maret 2010

Nafsu Besar, Niat Kecil


Pembangunan Nasional Tertatih-tatih
Nyoman Brahmandita

INILAH.COM, Jakarta - Jargon percepatan pembangunan perlu dikritisi kembali karena tidak sejalan dengan proses pembangunan. Bagaimana mungkin pembangunan bisa berlangsung pesat, bila pemerintah lamban memutuskan rencana pembangunan.

Sekadar contoh, pembangunan banjir kanal timur di wilayah DKI Jakarta. Proyek ini sudah berlangsung cukup lama karena terkendala pembebasan lahan. Banjir besar sudah terlanjur berkali-kali menenggelamkan pemukiman tetapi kanal itu tak kunjung rampung.

Demikian halnya pembangunan monorail di Jakarta. Yang ada justru tiang-tiang pancang yang teronggok kaku di tengah-tengah jalan. Bukannya mengatasi kemacetan lalu lintas, tiang-tiang beton itu malah membuat wajah Jakarta jadi semakin kusut.

Kini, tiang beton monorail itu lebih layak disebut sebagai monumen kebodohan birokrat. Proyek monorail itu mangkrak, lantaran investor tidak mendapatkan jaminan kepastian dukungan fiskal dari pemerintah. Serupa tapi tak sama, adalah proyek sub way di Jakarta yang juga tak jelas nasibnya.

Ada pula proyek pembangunan jalan tol trans Jawa. Jalan tol ini dalam angan-angan masyarakat bakal mengurangi beban jalan raya pos (De Grote Postweg) Anyer-Panarukan yang dibangun Gubernur Jenderal Hermann Willem Daendels.

Tetapi seperti pepatah, nafsu besar tetapi niat kurang, jalan tol trans Jawa itu pun tersendat-sendat. Masalah paling besar adalah soal pembebasan lahan. Kabarnya, pemerintah akan mengeluarkan semacam peraturan mengenai pembebasan lahan. Tetapi toh sampai sekarang peraturan itu tidak juga ditetapkan.

Di Jakarta dan Pulau Jawa saja banyak kasus pembangunan yang molor berlarut-larut karena tidak adanya ketegasan sikap pemerintah, padahal proyeknya ada di depan hidung pemerintah pusat. Apalagi yang di luar Pulau Jawa, yang notabene jauh dari pantaun pemerintah pusat.

Contohnya adalah pembangunan proyek kilang LNG dari lapangan gas Donggi-Senoro di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Seharusnya, kelanjutan proyek Donggi-Senoro ini bakal diputuskan dalam sidang kabinet paling lambat Februari 2010, agar kilang itu bisa beroperasi pada 2013.

Namun kenyataan bicara lain. Sampai kalender Februari berakhir, keputusan belum juga diambil. Kata Menko Perekonomian, keputusan belum bisa diambil lantaran studi teknoekonomi atas proyek tersebut belum kelar. Alhasil, proses pembangunan proyek bernilai Rp50 triliun itu juga bakal molor.

Dalam beberapa kasus itu, pemerintah terkesan tidak berani bersikap tegas dan mengulur-ulur waktu. Seolah pemerintah tidak cukup memiliki kemampuan mengambil keputusan yang cepat, namun tetap tepat dan bijak. Wajar bila masyarakat merasa gregetan melihat kelambanan proses pembangunan.

Dalam kasus Donggi-Senoro tadi, misalnya, DPRD setempat sampai merasa perlu menyuarakan desakan kepada pemerintah pusat agar cepat-cepat memutuskan pembangunan kilang gas itu.

Bila kilang LNG Donggi-Senoro segera dibangun dan beroperasi, akan memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang sangat besar bagi perekonomian daerah maupun nasional. Akan terjadi penciptaan lapangan kerja di daerah itu, yang berarti pula mengurangi angka pengangguran nasional. Hasil gas dari lapangan gas itu, juga akan meningkatkan perolehan devisa bagi negara.

Alasan itu sangat mudah dipahami. Investasi senilai Rp50 triliun yang tertanam dalam proyek kilang LNG itu tentu akan memberikan pengaruh ekonomi signifikan bagi Kabupaten Banggai, maupun Propinsi Sulawesi Tengah.

Coba bayangkan. Seandainya selama tiga tahun masa konstruksi itu, hanya 5% atau Rp2,5 triliun dari total investasinya yang benar-benar berputar dalam sistem perekonomian setempat, maka efek penggandanya tentu akan sangat besar. Uang yang beredar akan meningkatkan kesejahteraan mereka.

Belum lagi, bila gas Donggi-Senoro sudah benar-benar menyembur dan diproduksi. Maka kas pemda setempat akan menggelembung dengan cepat, karena diisi dana bagi hasil migas yang menjadi hak daerah.

Nilai dana bagi hasil migas itu tentu sangat besar dibandingkan PAD Kabupaten Banggai yang saat ini cuma Rp 18 miliar. Belum lagi bila potensi dana bagi hasil itu digabungkan dengan multiplier effect dari 5% dana investasi kilang LNG yang beredar di masyarakat setempat.

Bisa dibayangkan, pemerintah kabupaten dan provinsi setempat tentu akan memiliki kemampuan anggaran berlipat ganda. Dengan sendirinya juga memiliki kemampuan sangat besar melakukan pembangunan. Tentu dengan catatan, bila peningkatan anggaran itu tidak disertai peningkatan korupsi oknum-oknum pemerintah.

Ujung-ujungnya, yang diuntungkan potensi sumber daya alam nan berlimpah ruah itu adalah rakyat juga. Bukankah ini esensi dari otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang merupakan keniscayaan dalam era reformasi? Bukankah, karena alasan itu pula, masyarakat Banggai meminta daerahnya dimekarkan menjadi kabupaten tersendiri? [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar