Kamis, 04 Maret 2010

Indonesia Jangan Sampai Alami Filipinanisasi


INILAH.COM, Jakarta - Indonesia dikhawatirkan bisa menjadi Filipina kedua di Asia bila pembangunan ekonominya tak mengalami inovasi dan kemajuan. Mengapa?

"Sejauh ini, terkesan pembangunan institusinya bermasalah, partai-partai politik bermasalah dan korupsi-kolusi masih merajalela," kata Sjamsu Rahardja PhD, ekonom pada Bank Dunia dan pendiri Paramadina Public Policy Institute.

Namun demikian, Sjamsu Rahardja yang mantan peneliti senior LPEM UI dan alumnus Georgetown University, AS, itu melihat Indonesia punya prospek ke depan asal reformasi terus diperdalam di segala bidang.

Sjamsu meyakini bangsa Indonesia masih punya masa depan karena demokratisasi akan terus mendorong publik mendesak pemerintah agar bekerja lebih baik dan efisien, KKN diberantas dan kreatiftas rakyat bisa berkembang. "Yang penting, momentum bagi pemberantasan korupsi dan penguatan good governance terus dipelihara oleh masyarakat madani," kata Samsju Rahardja.

Berikut ini wawancara Ahluwalia dari INILAH.COM dengan Syamsu di sebuah restoran di Jakarta, Kamis (25/2).

Anda melihat Indonesia masih bisa bersaing di Asia ke depan?

Saya yakin masih bisa. Kita bisa maju. Dengan potensi kekayaan alam dan SDM yang luar biasa, kita punya peluang bersaing dengan negara-negara tetangga di Asia. Namun saya khawatir, jika mencermati perkembangan birokrasi, partai politik, dan pemerintahan era reformasi, jangan-jangan kita berjalan di tempat seperti Filipina. Asal tahu saja dulu pada 1960-an Filipina pertumbuhan ekonominya bagus, namun pada tahun-tahun sekarang ini Filipina menjadi negeri paling tertinggal di Asia, dan sudah dikalahkan oleh Indonesia. Filipina berjalan di tempat, politiknya dikuasai bos-bos (bosisme) dan pembangunan ekonominya hanya menggumpal di kalangan orang kaya. Saya cemas kalau Indonesia lantas mengalami 'Filipinanisasi’ yakni kemunduran ala Manila.

Maksud Anda?

Demokratisasi kita idealnya untuk membangun good governance dan good corporate governance. Namun yang muncul kok cenderung begitu-begitu saja, kayak jalan di tempat. Berbagai departemen berambisi menyalurkan kredit sendiri-sendiri, masing-masing ingin berperan sendiri. Sementara desentralisasi dan demokratisasi masih dalam proses menuju yang lebih baik dan riil. Terus terang institusi-intitusi kita belum efektif men-delivery program nyata ke rakyat. Kelas menengah baru juga belum tumbuh kuat, terutama kaum enterpreuner masih lemah.

Sementara drama penyampaian pandangan akhir fraksi soal kasus dana talangan Bank Century Rp6,7 triliun, Selasa lalu, diyakini berdampak politik dan membuat rakyat berharap lebih jauh. Kalau kemudian ternyata kasus Century tidak ada bukti, tentu rakyat juga kecewa kepada parpol-parpol di parlemen. Tapi dampak Bank Century amat luas di masyarakat. Rakyat ingin hukum ditegakkan dan korupsi dibasmi. Kalau ternyata tidak ada pejabat tinggi yang terbukti bersalah, misalnya, atau tidak tuntas, tidak akuntabel dan tak transparan, tentu rakyat kecewa.

Anda bilang soal pentingnya memelihara momentum membasmi korupsi. Maksud Anda?

Saya kira, kita harus terus memelihara momentum bagi good governance. Kita harus menjaga momentum untuk memelihara sikap antikorupsi dan membasmi korupsi baik di parlemen, lembaga yudisial, dan legislatif, Momentum-momentum itu harus dipelihara dan diperkuat sebab sektor swasta dan rakyat butuh transparansi dan akuntabilitas, dan pemerintah tak bisa bersikap semaunya lagi. Yang penting lagi reformasi kelembagaan di tataran yudisial merupakan keharusan. Lembaga yudisial harus ditata dan direformasi agar efektif dan kredibel. [mor]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar