Sabtu, 13 Maret 2010

Diplomasi Sapi

Jangan anggap remeh sapi. Hubungan dua negara, jika tak hati-hati mengelola sapi, bukan mustahil terganggu. Begitulah gambaran hubungan Indonesia dan Australia saat ini, setidaknya hubungan perdagangan kedua negara.

Menyusul swasembada beras, Kementerian Pertanian Indonesia meluncurkan Program Swasembada Sapi 2014. Melalui program ini, diharapkan Indonesia mampu memenuhi sendiri kebutuhan sapi potong dan daging domestik. Bersamaan dengan itu, impor sapi juga diperketat. Meski tak mudah, program ini diyakini bisa tercapai dan tentunya bakal menguntungkan peternak domestik.

Persoalan muncul ketika program tersebut tersiar sampai ke peternak-peternak sapi di Australia. Mereka menilai, Program Swasembada Sapi 2014 menjadi masalah besar. Pasalnya, Indonesia, sampai saat ini, tercatat sebagai pasar ekspor sapi terbesar Australia. Data Kementerian Pertanian menyebutkan, setiap tahunnya Indonesia mengimpor sekitar 650 ribu sapi hidup. Diperkirakan, sekitar 60 persen sampai 70 persen dari jumlah itu diimpor dari Australia.

Berdasarkan data tersebut, hampir bisa dipastikan pengetatan impor menuju Swasembada Sapi 2014 bakal merugikan peternak (pengekspor sapi) Australia. Wajar kalau kemudian perwakilan pemerintahan Negeri Kanguru itu intensif menemui pejabat di Kementerian Pertanian Indonesia. Tujuannya mudah ditebak, yaitu menyampaikan keberatan atas program tadi sekaligus melobi dan berdiplomasi agar upaya menuju swasembada sapi bisa ditekan.

Kita tentu saja berharap pemerintah tak mudah ditekan pihak luar. Potensi peternakan kita sangat besar dan mampu memenuhi kebutuhan negeri sendiri. Tak perlu impor. Swasembada sapi bukan hanya menguntungkan peternak negeri sendiri, tapi juga lebih terjangkau dari sisi harga. Dan, lantaran daging sudah menjadi kebutuhan pokok, swasembada sapi jelas tak bisa ditawar-tawar lagi.

Bagaimana dengan hubungan perdagangan sapi dengan Australia? Langkah Kementerian Pertanian Indonesia adalah menawarkan peternak sapi Australia berinvestasi di sini. Investasi tersebut cukup menguntungkan kedua negara. Peternak Australia tak perlu khawatir kehilangan banyak pangsa pasar karena tetap bisa mengekspor sapi-sapi dengan persyaratan tertentu.

Sebaliknya, petani domestik, selain bisa menyerap ahli teknologi pembibitan sapi, juga memenuhi sendiri kebutuhan sapi (daging) dalam negeri. Bisa diharapkan pula ada penyerapan tenaga kerja. Apa pun penawarannya, investasi tersebut harus menguntungkan Indonesia. Jangan sampai investasi justru melemahkan peternak sapi domestik.

Lawatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Australia kita harapkan dimanfaatkan antara lain untuk memainkan diplomasi demi membela kepentingan peternak sapi domestik. Melalui lawatan kali ini, pemerintah diharapkan bisa mendorong Pemerintah Australia agar mendorong para peternaknya memanfaatkan tawaran investasi tersebut. Apalagi, sampai saat ini, memang belum ada peternak negara tetangga itu untuk menanamkan modalnya di bidang pembibitan sapi.

Masa depan dan kesejahteraan peternak sapi domestik boleh jadi sangat bergantung pada 'diplomasi sapi' yang digencarkan ke Australia. Kita sudah seharusnya berkata dengan tegas kepada pemerintah dan peternak Australia bahwa kewajiban Pemerintah Indonesia adalah menyejahterakan para peternak domestiknya. Ditegaskan pula, negara mana pun tak punya alasan keberatan dengan program pemerintah untuk menjadikan peternak domestik menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar