Rabu, 04 Agustus 2010

BI Melaju dengan Redenominasi

Oleh Palupi Annisa Auliani

Bank Indonesia (BI) ternyata serius dengan wacana penyederhanaan penulisan mata uang (redenominasi) yang pernah disampaikan dua bulan lalu. Usulan untuk menghapus tiga angka nol dari uang rupiah itu segera disampaikan ke Presiden dan DPR. Hasil kajian yang telah dilakukan selama enam tahun terakhir ini dijadwalkan mulai diimplementasikan pada 2013 dan rampung 2020.

Deputi Gubernur BI Budi Rochadi mengatakan, usulan ini akan diajukan ke Presiden dalam dua bulan ke depan. Bisa saja usulan ini disandingkan dengan pembahasan RUU Mata Uang yang kini bergulir di DPR. Keputusan redenominasi memang bukan hanya keputusan ekonomi, melainkan sudah masuk ranah politik. "Tugas BI adalah menyiapkan programnya. Keputusannya tak hanya di BI, tapi juga di Presiden dan harus dilengkapi peraturan perundang-undangan (melibatkan DPR)," kata Budi, Selasa (3/8).

Bagi negara yang berkembang, inflasi yang tinggi membuat nilai uang terhadap barang semakin luntur dalam waktu cepat. Akibatnya, dibutuhkan transaksi dengan uang kertas yang nilainya semakin besar. Bila 25 tahun lalu nilai terbesar uang rupiah masih Rp 10 ribu, kini sudah Rp 100 ribu. Dikhawatirkan tak lama lagi bank sentral harus mengeluarkan uang rupiah berdenominasi Rp 200 ribu dan Rp 500 ribu.

Saat ini, mata uang dengan denominasi terbesar dipegang Dong Vietnam dengan nilai 500 ribu. Semakin besarnya angka yang dituliskan dalam uang rupiah dinilai tak praktis dan membingungkan. Karena itu, BI pun memunculkan wacana agar tiga angka nol dihapus sehingga Rp 1.000 uang sekarang nantinya cukup dituliskan Rp 1 uang baru dengan nilai dan daya beli yang sama.

Pjs Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, redenominasi harus dilakukan untuk mengatasi inefisiensi dalam transaksi dan pencatatannya, baik untuk pembayaran tunai maupun nontunai. "Sebenarnya soal teknis, soal digit angka transaksi berlangsung, semakin lama semakin merepotkan di kegiatan ekonomi kita," kata Darmin.

Pencatatan pembukuan semakin mahal biayanya dan semakin lama aplikasi maupun infrastrukturnya. Darmin mencontohkan, pencatatan pendapatan domestik bruto akan bermasalah jika sudah tembus Rp 10 ribu triliun dengan denominasi saat ini. Peralatan hitung akan kesulitan mengakomodasi jumlah digit sebanyak itu.

Makanya, mumpung belum terlalu repot BI berpendapat saat ini adalah waktu yang tepat untuk menggulirkan rencana redenominasi. "BI melihat ini sudah momennya untuk dibicarakan, karena ini proses sangat panjang. (Dan sekarang) pertumbuhan ekonomi sangat baik, walau inflasi sedang naik tapi masih terkendali," kata Darmin.

Wacana redenominasi sudah berada di tahap finalisasi riset dan studi yang diharapkan rampung tahun ini. Menurut Darmin, redenominasi ini untuk mengantisipasi kondisi tujuh sampai 10 tahun ke depan. Prosesnya butuh waktu lama. Turki, misalnya, berhasil melakukan redenominasi dalam waktu 10 tahun.

BI pun sudah menyiapkan rancangan penjadwalan rangkaian proses redenominasi ini. Setelah selesai persiapan dan studi, tahun 2011 dan 2012 adalah masa sosialisasi, serta persiapan sistem akuntansi dan pencatatan. Darmin optimistis dua tahun mencukupi untuk ketiga hal itu. Setelah itu, mulai 2013 masa transisi redenominasi dimulai.

Dalam fase transisi ini, uang baru dengan denominasi yang lebih sederhana akan mulai beredar bersama uang lama. Transaksi bisa dilakukan dengan dua jenis uang atau bahkan campuran keduanya. Maka, setiap toko harus membuat dua label harga untuk setiap barang, dengan denominasi uang lama dan uang baru. Misalnya, harga suatu barang Rp 10 ribu harus dituliskan label Rp 10 untuk uang baru dan Rp 10 ribu untuk uang lama.

BI memperkirakan, masa transisi akan berlangsung tiga tahun dari 2013-2015. Kemudian, selama dua tahun dari 2016 sampai menjelang 2018 akan dilakukan penarikan uang lama. "Penarikan selesai 2018. Tahap terakhir 2019-2021, tapi saya pikir 2020 cukup, mulai dihilangkan tulisan 'rupiah baru'. Langsung ditulis rupiah, tapi dengan nilai yang lebih tinggi," kata Darmin.

Penarikan uang akan dilakukan secara alamiah karena BI juga tak ingin jumlah uang yang beredar di masyarakat terlalu besar. Uang rusak masuk ke BI diganti dengan uang baru sampai lama-lama uang lama habis.

Rencana BI ini tak pelak membuat pemerintah langsung bereaksi untuk meredam dampaknya, khawatir masyarakat akan resah karena teringat praktik sanering (pemotongan uang) tahun 1952, 1959, dan 1966. Ketika itu sanering tak hanya sekadar menyederhanakan penulisan mata uang, tapi juga sekaligus memangkas nilainya. Dua sanering pertama memangkas nilai uang menjadi setengahnya, sanering terakhir menyunat nilai uang tinggal seperseribu.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan bahwa pemerintah belum mempunyai rencana untuk redenominasi seperti diwacanakan oleh BI. Menurut Hatta, ada pandangan di mata masyarakat kebijakan ini serupa dengan sanering. Padahal, redenominasi sangat berbeda dengan sanering. "Kalau ini menjadi wacana di BI bisa saja, tapi wacana yang dikembangkan bukan berarti segera akan dijalankan, karena pemerintah tidak mempunyai rencana seperti itu," ujar Hatta.

Wakil Presiden Boediono meminta masyarakat tidak perlu panik dan terpengaruh oleh hasil studi BI tersebut. "Karena statusnya hanyalah sebagai studi, dan tadi studi itu saya cek lagi. Memang berlanjut tapi belum selesai," kata Boediono seusai bertemu Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo.

Seluruh hasil studi tersebut akan dibahas pemerintah dengan mengambil masukan dari publik sampai ada hasil definitif. Boediono juga mengingatkan, redenominasi memang dilakukan ketika ekonomi sedang baik seperti saat ini, bukan saat ekonomi memburuk seperti peristiwa sanering di masa lalu. "Tetapi sekali lagi statusnya adalah studi. Sekarang yang penting jaga suasana kestabilan dan ketenangan, tidak usah terpengaruh oleh hasil studi. Prosesnya akan panjang untuk menjadi sebuah kebijakan," tegas Boediono.
teguh firmansyah/yasmina hasni ed: rahmad budi harto
(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar