Senin, 19 Oktober 2009

Memantapkan Ketahanan Pangan

Republika.co.id, Sabtu, 17 Oktober 2009 pukul 01:28:00

Memantapkan Ketahanan Pangan


Khudori
(penulis buku)

Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2009 diperingati dengan tema Achieving Food Security in Times of Crisis. Di tingkat nasional, Indonesia memilih tema Memantapkan Ketahanan Pangan Nasional Mengantisipasi Krisis Global. Tema ini dipilih karena krisis kembar, krisis keuangan dan krisis pangan, belum berakhir. Bagi Indonesia, dengan jumlah warga miskin 32,5 juta jiwa dan pengangguran bejibun, kasus kelaparan, busung lapar, dan gizi buruk akan selalu mengintai. Keadaan bisa saja terlihat normal, namun pelbagai manifestasi kelaparan itu terus berlangsung karena tidak semuanya kasat mata.

Politik pangan pemerintah tertuang dalam UU No 7/1996 tentang Pangan. Dalam UU itu, pembangunan pangan diletakkan dalam konsep ketahanan pangan (food security). Istilah itu menunjuk pada kondisi terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutunya aman, merata dan terjangkau. Dalam konsep itu, ada empat pilar: aspek ketersediaan (food availibility), aspek stabilitas ketersediaan atau pasokan (stability of supplies), aspek keterjangkauan (access to supplies), dan aspek konsumsi pangan (food utilization).

Ketersediaan pangan (hewani dan nabati) secara agregat jauh dari cukup, bahkan melimpah. Hal ini bisa dilihat dari ketersediaan energi 3.035 kkal/kapita/hari dan protein 80,33 gram/kapita/hari. Asupan ini cukup membuat setiap orang mengalami obesitas, bahkan perut bergelambir-gelambir. Masalahnya, karena tidak semua daerah merupakan lumbung pangan, keandalan distribusi menjadi ujung tombak. Topografi yang beragam dan infrastruktur yang tidak merata, membuat distribusi pangan selalu dihadapkan dengan kelangkaan (shortage). Bagi warga miskin, selain tidak mampu mengakses pangan, aneka kondisi di atas membuat konsumsi pangan menjadi pertanyaan besar: bisakah ia makan?

Ini hanya salah satu aspek yang membuat ketahanan pangan Indonesia tidak kokoh. Aspek lainnya terkait masih tingginya tingkat konsumsi beras dan ketergantungan hampir semua perut penduduk negeri ini pada beras.

Tidak semua daerah menghasilkan beras. Surplus beras hanya terjadi di Jawa dan Sulawesi Selatan. Produksi beras juga tidak merata sepanjang tahun. Tanpa dukungan kelembagaan distribusi yang andal, insiden gizi buruk, busung lapar, dan pelbagai manifestasi kelaparan akan selalu merebak.

Ketika aspek distribusi dan keterjangkauan masih menjadi persoalan, diversifikasi pangan menjadi keniscayaan untuk membangun ketahanan pangan yang andal. Usaha ini sudah dirintis sejak 1960-an. Namun, sampai sekarang, diversifikasi pangan jauh dari berhasil.

Sejak 2007, tingkat konsumsi energi dan protein sudah melampaui rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi: konsumsi energi 2.000 kkal/kapita/hari dan protein 52 gram/kapita/hari. Masalahnya, konsumsi energi masih bertumpu pada pangan sumber karbohidrat, terutama padi-padian dengan pangan lebih 60 persen (angka ideal 50 persen).

Hal serupa terjadi pada konsumsi protein: pangsa protein dari pangan hewani rata-rata hanya 25 persen. Untuk mencapai kualitas sumber daya manusia yang baik dan bisa bersaing di era penuh kompetisi, idealnya pangsa protein hewani minimal 50 persen dari total konsumsi protein. Inilah yang membuat skor Pola Pangan Harapan (PPH) tidak beranjak jauh dari angka 80, jauh dari angka ideal (100). 'Prestasi' ini berlangsung sejak 1980-an.

Ironisnya, perubahan pangan justru mengarah ke pola yang tidak dikehendaki: pangan berbasis tepung terigu dan produk olahan impor. Ini tak hanya terjadi pada warga berpenghasilan tinggi di perkotaan, tapi juga warga berpendapatan rendah di perdesaan. Dari waktu ke waktu, konsumsi terigu terus naik. Diperkirakan, saat ini 17 kg/kapita/tahun. Terigu sepenuhnya kita impor. Hanya dalam 30 tahun, tingkat konsumsi terigu meningkat sekitar 500 persen. Impor gandum menguras devisa 2,371 miliar dolar AS (Rp 23,7 triliun). Ini bukan jumlah yang kecil. Anggaran Departemen Pertanian tahun ini hanya Rp 8,7 triliun.

Setidaknya, ada lima sebab diversifikasi pangan gagal. Pertama, beleid pangan bisa beras, seperti kedelai, jagung, ketela pohon, ubi jalar, sagu, sorgum, dan lainnya yang bersifatnya sekunder.

Tak banyak kebijakan spesifik untuk mengembangkan pangan nonberas, baik dari sisi riset, pengembangan aneka inovasi di on-farm, maupun off-farm, termasuk melindungi petani dari gempuran pasar global. Kedua, kebijakan diversifikasi pangan tidak konsisten, bahkan kontradiktif.

Aneka kampanye diversifikasi pangan elite atau pejabat tak menyentuh warga luas. Upaya penganekaragaman yang dilakukan pemerintah pun tampak paradoks, seperti terjadi pada program raskin, jatah beras PNS/TNI. Beleid paradoksal ini mempercepat pergeseran pola pangan beragam dan lokal ke pangan beras.

Ketiga, pola konsumsi dan penyediaan produksi/ketersediaan pangan warga tak seimbang. Produksi berbagai jenis pangan tidak dapat dihasilkan di semua wilayah dan tidak dapat dihasilkan tiap saat. Di sisi lain, konsumsi pangan dilakukan semua warga dan dibutuhkan tiap saat. Dari sisi konsumen, faktor produksi pangan lokal dan pendapatan masyarakat berperan amat penting dalam memengaruhi tingkat keragaman konsumsi pangan rumah tangga. Di sinilah pentingnya memprioritaskan produksi pangan lokal.

Keempat, sistem distribusi pangan tidak efisien. Ini bisa dilihat dari price margin: perbedaaan harga riil di tingkat produsen dan konsumen.

Sejumlah komoditas nilai price margin sudah cukup rendah. Namun, untuk komoditas pisang, beras, dan jagung, nilai price margin lebih 40 persen. Ini menandakan bahwa ketiga komoditas itu masih dibelit ongkos transaksi tinggi (Sawit, 2008), baik karena buruknya infrastruktur usai panen, pasar distortif, atau pungli.

Price margin yang tinggi membuat insentif berproduksi produsen rendah. Bagi konsumen, itu membuat harga mahal dan tidak mendorong diversifikasi pangan.

Kelima, liberalisasi sektor pangan kebablasan. Sekitar 83 persen jenis produk yang masuk ke Indonesia hanya dikenai applied tariff 0-10 persen, 15 persen produk jatuh pada applied tariff 15-20 persen, dan hanya satu persen produk menerapkan applied tariff di atas 30 persen (Sawit, 2007). Liberalisasi membuat pasar domestik langsung terintegrasi dengan pasar dunia. Padahal, harga pangan di pasar dunia bersifat distortif karena subsidi yang mahabesar. Sampai saat ini, Amerika menyubsidi pertanian 48,4 miliar dolar AS per tahun dan Uni Eropa 110,3 miliar euro per tahun. Untuk pendapatan petani beras di AS, 48 persen dari subsidi.

Untuk memantapkan ketahanan pangan, pemerintah bisa fokus membenahi lima hal: menghentikan kebijakan beras minded, mengembangkan (kembali) aneka pangan lokal, mengubah kebijakan diversifikasi pangan yang paradoksal (misalnya, raskin tidak diberikan dalam bentuk beras, tapi pangan lokal), membenahi sistem distribusi pangan, dan merancang ulang liberalisasi pangan. Sejumlah poin di atas tak mungkin dituntaskan hanya dalam lima tahun usia pemerintahan. Presiden SBY yang (kembali) diberi amanah memimpin negeri ini pada lima tahun mendatang bisa fokus membangun fondasi ketahanan pangan yang kokoh dengan mengerjakan hal-hal yang hasilnya tidak bisa langsung dituai di era pemerintahannya. Jika itu dilakukan, jasa SBY akan selalu (layak) dikenang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar