Selasa, 20 Oktober 2009

Nusantara Lebih Cocok ?

Pergaulan Kepulauan

Sesungguhnya demikian banyak fakta sejarah yang masih tersembunyi di balik waktu dan ketidaktahuan kita tentang peradaban yang pernah dan masih dikembangkan oleh masyarakat kepulauan Indonesia ini. Fakta-fakta dari banyak sekali momen historis yang monumental dari riwayat hidup kita yang obskur, dibalut mistik, berpengertian eklektik, atau gelap sama sekali. Bahkan, misalnya, sejarah yang belum jauh, katakanlah tentang Wali Songo, masih banyak dirundung keremangan. Begitu pun soal masuknya Islam, Gajah Mada, Sriwijaya, Ajisaka, kultur dan kerajaan Jawa purba, asal muasal Betawi, hingga siapa sebenarnya Imam Bonjol dan Kaum Padri, dan seterusnya.

Atau katakanlah seorang geograf Yunani asal Mesir yang hidup sekitar 1,5 milenium lalu, mencatat adanya ekspedisi dari Jawa membawa hasil-hasil bumi terbaiknya ke Afrika untuk ditukarkan dengan budak, pada 100 M. Menggambarkan di masa itu sesungguhnya telah berkembang sebuah peradaban yang cukup advanced dengan tingkat ekonomi (perdagangan) yang tinggi.

Atau sebagaimana para ahli membuktikan, kecakapan bahari masyarakat kepulauan ini memilki tradisi bahkan teknologi yang sangat tinggi, sejak masa purba. Sehingga perahu jung bukannya dipelajari dari Cina, tapi justru sebaliknya. Begitu pun teknologi pelayaran dan armada besar Cina, macam ekspedisi Ceng Ho, sesungguhnya belajar dari tradisi kelautan negeri ini. Tak mengherankan, karena tiga peradaban besar yang sangat mempengaruhi bangsa ini --Cina, India, dan Arab-- sesungguhnya adalah peradaban kontinental, bukan maritim.

Tak mengherankan, bila kata ''bahari'' dalam kosakata Melayu, bermakna dasar ''dahulu kala''. Sebuah penandaan tegas tentang kelautan sebagai identitas asli kita. Sehingga bisa jadi benar pendapat beberapa pengamat: kata Indonesia --yang berakar dari kata ''Indos'' (Indus/India) dan ''nesos'' (nusa/pulau)-- sangatlah berorientasi daratan. Kata ''nusantara'', ''tanah air'', atau ''dipantara'' dirasa jauh lebih cocok menggambarkan realitas historis dan geografis bangsa ini.

Dari paparan itu kita mendapatkan bukti bahwa di kepulauan ini, sejak ribuan tahun lalu, sudah berkembang satu bentuk pergaulan kebudayaan yang sangat terbuka dan kosmopolit, yang ditandai oleh berlangsungnya proses akulturasi yang penuh respek terhadap kultur asing. Negeri-negeri seputar kepulauan ini, seperti Formosa, Filipina, Singapura, Malaysia --dan sesungguhnya hingga Madagaskar dan Hawaii, menurut teori persebaran bahasa-- adalah bagian dari tradisi pergaulan kepulauan di atas.

Datangnya kultur kontinental yang datang dari Utara dan terutama Barat --hingga Eropa-- sejak masa sejarah, sesungguhnya cukup bertentangan dengan tradisi itu. Penetrasi kultur kontinental yang sangat kuat, melalui agama hingga kolonialisasi, dari materialiasi sampai kapitalisasi di 200 tahun belakangan, cukup mengguncang tradisi tersebut. Bahkan di banyak bagian sukses mengubah orientasi, pola berpikir, atau sikap mental kita. Kultur daratan, dengan bentuk kerajaan konsentris dan ketentaraan, misalnya, begitu dominan saat ini.

Menariknya, kultur adoptif itu kini merenggut habis kepercayaan diri negara tetangga, Malaysia. Sukses ekonomi mereka yang sangat ''Barat'' membuat negara itu memiliki cara berpikir ganjil: melihat identitas diri atau kebudayaannya subordinatif di hadapan ''kakak'' di sebelah rumahnya. Lalu dengan perasaan cemburu ia mengganggu sang ''kakak'', untuk meruntuhkan otoritas politik dan kulturalnya, untuk mendapatkan kekuatan politik/kulturalnya, di sisi kekuatan ekonomis yang dimilikinya.

Sebenarnya lumrah saja jika tari pendet, reog, wayang kulit, rasa sayange, dan sebagainya mereka tampilkan. Karena dalam pergaulan kepulauan, hal itu lumrah. Bangsa Melayu --sebagaimana Bangsa Batak, Jawa, Bugis, Bali, dan lainnya-- terbentuk dan dibentuk juga oleh anasir kultural di luarnya. Tak ada persoalan hak cipta, apalagi paten. Yang ada adalah masalah etika, ketika pergaulan kebudayaan kepulauan ini dicederai oleh cultural attitude salah satu anggotanya yang tidak sopan dan tak punya rasa hormat, bahkan pada tradisi yang telah menciptakan diri mereka sendiri.

Apalagi ketika penggunaan anasir kultural itu dilatari oleh kepentingan sempit politis, ideologis, atau industrialis, lewat pendekatan kontinental --yang memiliki sejarah perampokan budaya luar biasa-- pada sesama anggota peradaban kepulauan ini. Sebuah tepukan untuk memberi teguran dan ingatan pantas dilakukan. Teguran kebudayaan untuk kembali menghormati identitas awal kita bersama. Teguran yang sebenarnya juga mesti diberikan pada penguasa kita sendiri yang juga sudah ''lupa lautan'', atau mengingkari ''ketanahairannya'' sendiri.

Radhar Panca Dahana
Pekerja seni dan pemerhati budaya
[Perspektif, Gatra Nomor 47 Beredar Kamis, 1 Oktober 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar