Selasa, 27 Oktober 2009

Kebijakan Impor Yang Mematikan

Selasa, 27 Oktober 2009 pukul 01:48:00
Hidup atau Mati

Muslimin Nasution
(Ketua Presidium ICMI)

''Apa yang hendak saya katakan ini adalah amat penting,'' ujar presiden Soekarno dalam pidato peletakan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian UI yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor. ''Oleh karena soal yang hendak saya bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan rakyat, camkan. Sekali lagi, camkan. Kalau kita tidak aanpakken soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal, dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka.'' Sesuai dengan pesannya, pidato ini sendiri diberi judul 'Soal Hidup atau Mati'.

Kekhawatiran presiden Soekarno didasari terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan kebutuhan pangan beras Indonesia saat itu. Presiden Soekarno kemudian menyampaikan gagasan, detail, dan lengkap dengan angka-angka, bagaimana cara menambah persediaan makanan rakyat dengan meningkatkan produksi dalam negeri. Presiden Soekarno sedikit pun tidak menawarkan opsi impor. Logikanya, bagaimana mungkin kita akan menyerahkan hidup mati kita kepada bangsa lain?

Saat ini, RI telah masuk jebakan impor pangan. Setiap tahun, lebih dari 5 miliar dolar AS atau setara Rp 50 triliun lebih devisa habis untuk mengimpor pangan, mulai dari gandum, kedelai, jagung, daging, telur, susu, sayuran, dan buah-buahan, bahkan garam yang kebutuhannya masih dapat dipenuhi oleh produsen garam lokal juga dimpor dengan nilai Rp 900 miliar. Begitu dahsyatnya ketergantungan kita kepada pangan impor, sampai-sampai pada tahun ini pernah ada rencana untuk melakukan impor daging dari Brasil dan India, dua negara yang jelas-jelas tidak bebas dari penyakit mulut dan kuku.

Tulisan ini sengaja mengambil judul dari judul pidato presiden Soekarno. Mudah-mudahan bisa mengingatkan kita semua bahwa sungguh memprihatinkan, ternyata kita tenggelam dalam masalah yang telah diingatkan sejak puluhan tahun lalu.

Dilihat dari sisi agroekologis, nyaris semua komoditas yang diimpor itu sesungguhnya dapat diproduksi di dalam negeri. Hanya gandum yang tidak bisa dibudidayakan secara meluas di sini, dengan catatan, gandum pun terbukti dapat disubstitusi sebagian atau seluruhnya dengan tepung lokal. Lahan, teknologi, modal, dan tenaga kerja untuk memproduksi pangan itu juga semuanya kita miliki. Lalu, mengapa masih mengimpor? Jawabnya, karena kita belum mempunyai kebijakan yang berpihak kepada penggunaan pangan lokal.

Dalam masalah keberpihakan ini, kita kalah dengan negara lain. Dibandingkan Nigeria, misalnya. Sewaktu terjadi lonjakan harga gandum dunia beberapa tahun lalu, presiden Nigeria mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan industri produsen terigu lokal mencampur 10 persen terigu dengan tepung ubi kayu. Nigeria adalah salah satu negara produsen utama ubi kayu di Afrika. Adanya kebijakan ini otomatis menciptakan captive market sebesar 200 ribu ton tepung ubi kayu lokal setiap tahunnya.

Di India, tak ada setetes susu impor pun yang boleh masuk ke negara itu tanpa seizin koperasi produsen susu di sana. Dengan kata lain, tanpa persetujuan para peternak lokal, tidak ada susu luar yang bisa dijual di India. Di Thailand, tidak ada produk pangan impor yang bisa masuk jika produk itu bisa diproduksi secara lokal. Raja Bhumibol sendiri yang akan turun tangan untuk membela produk negerinya ketika ada ancaman.

Jadi, solusinya cukup sederhana. Buatlah kebijakan yang mewajibkan penggunaan produk pangan dalam negeri untuk produk yang memang bisa dihasilkan di dalam negeri. Kemudian, diikuti dengan berbagai kebijakan pendukungnya, seperti kebijakan kredit yang disesuaikan dengan kondisi usaha pertanian, kebijakan jaminan pasar dan jaminan harga, kebijakan bantuan teknologi, dan kebijakan prorakyat sejenis.

Persoalannya, ketika kebijakan untuk mewajibkan penggunaan pangan lokal ini muncul, kebijakan ini akan dianggap bertentangan dengan konsep pasar bebas yang diusung kaum ekonom neoliberal. Padahal, kaum ekonom neoliberal sangat kuat pengaruhnya di pemerintahan. Ketika terjadi krisis beras tahun 2007 lalu, penulis pernah menawarkan program diversivikasi pangan untuk menggantikan impor kepada seorang tokoh kunci pengambil kebijakan ekonomi di pemerintahan. Tanggapan tokoh itu, selagi kita punya uang, mengapa kita tidak membelinya dari luar? Jika membeli dari luar lebih murah, mengapa harus susah-susah memproduksinya di dalam negeri yang jelas-jelas jika ini dilakukan merupakan tindakan yang tidak efisien?

Di sisi lain, kebijakan ini juga akan merugikan pihak-pihak tertentu. Pertama, negara eksportir pangan. Misalnya, jika kita menghentikan impor kedelai dan menggantinya dengan kedelai lokal, kita akan berhadapan dengan aksi negara-negara besar semacam AS. Beranikah pemerintah menghadapi respons balik dari mereka?

Kedua, importir lokal yang akan kehilangan sumber bisnisnya. Importir lokal ini adalah kelompok 'kuat' karena menguasai akses teknologi, permodalan, jaringan pasar, dan pembuat kebijakan sehingga oleh Amy Chua, pengarang buku terkenal World on Fire, disebut market dominant.

Di Indonesia, bisnis impor pangan dikuasai oleh market dominant itu. Sebagai gambaran, bisnis impor kedelai dikuasai hanya oleh lima perusahaan. Impor terigu dan jaringan pemasarannya dikuasai sebuah perusahaan. Demikian pula impor ubi kayu dan tapioka, penguasanya adalah sebuah perusahaan saja. Bisnis impor pangan lain, seperti jagung, gula, hingga garam, yang bermain juga hanya segelintir perusahaan.

Tentu saja, kebijakan impor pangan akan memperlemah kemampuan produksi pangan lokal. Produk-produk pangan dalam negeri yang dihasilkan oleh para petani harus bertarung sendirian dengan produk pangan impor yang bersubsidi besar. Siapakah yang akan menjadi pemenang dalam persaingan ini? Apakah para petani Indonesia yang saat ini hampir kehilangan segala bentuk subsidi dan insentif atau para petani dari negara-negara pengekspor pangan atau petani di negara industri yang didukung dengan subsidi berjumlah 300 miliar dolar AS?

Jawabannya sungguh jelas. Kalau diteruskan, kita tinggal menunggu malapetaka datang. Mudah-mudahan, kita tersadar dan segera kembali ke jalan yang benar.

Tantangan-tantangan yang akan dihadapi ketika kita memutuskan bebas dari ketergantungan impor pangan memang sungguh berat. Namun, itu bisa diatasi jika pemerintah bersedia dan berani memutus ketergantungan itu. Kebijakan pemerintah-lah yang menyebabkan terigu mampu menjadi komoditas pangan utama di negeri kita. Kebijakan pemerintah pula yang menyebabkan beras dapat menggantikan jagung, sagu, dan ubi kayu sebagai satu-satunya sumber karbohidrat rakyat. Jadi, kebijakan pemerintah bisa mengubah keadaan, bahkan mengubahnya secara drastis. Belum terlambat jika pemerintah mau mengeluarkan kebijakan yang bermanfaat, yang menyelamatkan kelangsungan hidup rakyatnya sendiri. Semoga presiden dan kabinet yang baru dapat memimpin rakyat melepaskan diri dari ketergantungan pangan untuk kemudian hidup sentosa dalam kemerdekaan pangan yang abadi.

(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar