Selasa, 20 Oktober 2009

Redupnya Kearifan Lokal

Oleh : Mahiruddin Siregar

Kearifan lokal didesa-desa pelosok tanah air telah lama merupakan kebanggaan para putra daerah terhadap tanah kelahirannya.

Kearifan itu adalah pusaka yang sangat berharga yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur warga desa.

Kearifan itu adalah segala adat istiadat yang dilestarikan sejak dahulu, adat istiadat itu berupa aturan tidak tertulis, tetapi tetap dipatuhi. Pelanggaran adat berarti pengucilan diri sendiri. Karena hukuman yang diberikan oleh adat adalah mengucilkan pelaku pelanggar adat dari kehidupan bersama masyarakat desa.

Adat istiadat pada umumnya adalah tatanan hidup bersama yang nilainya sangat mulia dan luhur. Tatanan hidup itu diselenggarakan dengan hubungan kekeluargaan yang harmonis saling menghargai, saling membantu dan gotong royong serta dilakukan dengan tatacara yang sopan dan santun.

Puncak acara adat biasanya terlihat nampak jelas pada saat acara pesta, selamatan ataupun pada acara ritual duka cita, dll. Para tetua dan pemangku adat akan melaksanakan tata cara adat sesuai dengan keadaan dan kondisi yang terjadi apakah itu merupakan pesta suka ria, atau acara berduka cita, semuanya telah ada aturan adatnya masing-masing.

Setiap warga yang melaksanakan pesta atau yang ditimpa kemalangan sangat mengharapkan bantuan warga terutama para tetua dan pemangku adat agar acara yang dilaksanakan terselenggara dengan sempurna sesuai dengan adat yang berlaku. Sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri kalau acara dimaksud berjalan dengan sempurna seperti yang diharapkan.

Apa yang terjadi kini ? Masihkah ada kearifan lokal itu ?

Soal pesta adat masih tetap diadakan, malah semakin meriah mengikuti kemajuan ekonomi warga.

Tetapi yang dikejar bukan lagi kearifan lokal seperti diuraikan diatas, tetapi hanya sekedar mengejar kebanggaan. Pesta sekarang cenderung pesta pora belaka, tanpa nilai luhur kebersamaan dan gotong royong. Pelaksana pesta hanya ingin menunjukkan kemampuan ekonominya kepada para tetangganya.

Para pemangku adat pun sibuk mengalunkan pujian-pujian kepada pelaksana pesta. Untaian pepatah, pantun dan kata-kata bijak yang selama ini dialunkan dengan bahasa yang halus dan sopan, sekarang sudah jarang terdengar, yang ada adalah bahasa sanjungan secara pulgar dan miskin seni sastera atau bahasa sindiran kepada pihak yang tidak disukai secara keras dan kasar.

Dalam kehidupan sehari-hari juga, masyarakat desa yang dulu kita banggakan dan rindukan, sekarang sudah berubah total. Keramahan berkurang, hidup gotong royong sudah tidak ada, hidup individualis sudah makin ketara dan tegur sapa antar sesama sudah mulai berkurang.

Itulah gambaran desa-desa kita kini.

Dapatkah kita menghidupkan kembali kearifan lokal yang sudah mulai redup itu ? Sehingga kita kembali punya kerinduan untuk pulang kampung atau mudik ?

Saya rasa bisa, kalau kita para perantau ini, mau juga kembali kepada kehidupan yang penuh dengan kearifan lokal, karena diakui atau tidak redupnya kearifan itu akibat tingkah laku para perantau juga yang jauh dari kearifan itu.

Dan warga desa adalah para peniru dan pencontoh yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar