Sabtu, 05 Juni 2010

DPR Kebablasan

Entah apa yang sesungguhnya ada dalam pikiran para wakil rakyat kita, terutama yang mengusulkan dana pembangunan daerah pemilihan (dapil) Rp 15 miliar per dapil anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Usulan macam ini sudah sepantasnya ditolak, tak perlu melalui pembahasan apa pun.

Boleh jadi, anggota DPR tidak menerima dana aspirasi secara tunai, hanya mengusulkan proyek di dapil masing-masing, yang selama ini mungkin belum terakomodasi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bisa saja, usulan disampaikan lewat Badan Anggaran DPR dengan kementerian terkait tetap sebagai pelaksananya.

Bisa saja cara-cara seperti itu diterapkan. Tapi, siapa yang menjamin tak akan ada penyimpangan? Siapa pula yang berani memastikan bahwa dana itu tidak beralih wujud menjadi politik uang untuk pemilihan-pemilihan berikutnya? Pembangunan infrastruktur di setiap dapil sangat mungkin diklaim sebagai keberhasilan dan dijadikan alat untuk keterpilihan kembali. Belum lagi kita mempertimbangkan sisi keadilan. Bukankah dengan begitu dapil yang cukup kaya bakal terima dana lebih besar ketimbang dapil lain yang lebih miskin?

Maka, sekali lagi, sudah sepantasnya pemerintah sebagai lembaga eksekutif menolak wacana atau usulan macam ini. Belum meratanya pembangunan daerah yang dilakukan pemerintah rasanya bukan alasan untuk membenarkan pengucuran dana tambahan atau apa pun bentuk dan namanya melalui wakil rakyat. Tugas para wakil rakyat adalah melakukan pengawasan secara komprehensif terhadap kinerja pemerintah. Usulan pembangunan daerah, termasuk proyek-proyek daerah, sebenarnya bisa disampaikan setiap komisi untuk menggelar rapat kerja dengan kementerian terkait. Tugas dan fungsi para wakil rakyat hanya mengawasi, yang ini pun semestinya tanpa biaya atau tunjangan ini-itu.

Terkait aspirasi dan pembangunan dapil, setiap kali memasuki masa reses, sesungguhnya para wakil rakyat diberikan kesempatan untuk menyambangi dapil masing-masing, menampung aspirasi yang muncul serta proyek-proyek yang dibutuhkan segera di dapil bersangkutan. Apa hasil dari perjalanan para wakil rakyat selama ini ke dapil masing-masing saat reses? Nyaris tak terdengar! Padahal, saat reses tersebut, setiap anggota dibekali anggaran Rp 31,5 juta per orang.

Pertanggungjawaban atas masa reses ini mestinya bukan sekadar bukti pengeluaran, melainkan dalam bentuk yang lebih riil. Misalnya, proyek infrastruktur yang dibutuhkan untuk diteruskan ke pemerintah, dalam hal ini kementerian terkait. Parahnya, kita justru lebih sering mendengar kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam masa reses hanya melibatkan pengurus parpol tempat para wakil rakyat bernaung.

Entah sampai kapan para wakil rakyat kita bisa benar-benar berbenah diri. Kita masih sering mendengar kepentingan-kepentingan politis terkait partai politik malah didahulukan ketimbang kepentingan rakyat (dapil) yang diwakili. Betul, ada juga wakil-wakil rakyat yang mungkin tak seburuk citra umum wakil rakyat. Tapi, harus pula diakui, masih ada sejumlah wakil rakyat yang justru memperburuk citra mereka sendiri di mata publik.

Mencuatnya isu-isu kontroversial di kalangan wakil rakyat, yang umumnya melibatkan uang, boleh jadi mencerminkan itu. Mulai dari pembangunan gedung baru senilai Rp 1,2 triliun, pengadaan komputer baru, pengadaan TV LCD yang ditaruh di lift, dan sebagainya. Jangan-jangan DPR sudah kebablasan. Kehadiran para wakil rakyat di Senayan mestinya mampu mengangkat rakyat pada kedaulatan yang sesungguhnya. Untuk itulah, mereka dipilih. Bukan mengusung kepentingan partai, apalagi sekadar mengejar penghasilan tambahan.
(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar