Senin, 21 Juni 2010

SWOT Nuklir Indonesia

Sabtu, 19 Juni 2010 pukul 12:50:00

Oleh: Hanafi Rais
(Direktur Institute of International Studies)

Sejatinya, perkenalan Indonesia dengan nuklir bukanlah hal yang baru. Sejak adanya program 'Atoms for Peace' yang disponsori Amerika Serikat (AS) di tahun 1950-1960, Indonesia relatif berhasil mengembangkan penguasaan teknis dan profesionalnya atas teknologi nuklir. Sampai dengan sekarang, Indonesia memiliki berbagai jenis reaktor nuklir di beberapa kota (Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta) yang telah dikembangkan untuk riset dan kepentingan sipil.

Namun, pencanangan program nuklir sebagai sumber energi alternatif di masa pemerintahan pertama Yudhoyono telah berubah menjadi kebijakan yang sangat kontroversial. Di tahun 2007, berbagai elemen masyarakat dari ormas, LSM, hingga partai politik memprotes rencana pemerintah membangun PLTN di Muria, Jepara, Jawa Tengah. Ribuan demonstran tersebut berhasil memaksa pemerintah untuk menghentikan sosialisasi nuklir. Walaupun demikian, kebijakan tersebut tampaknya tetap akan terus berjalan - pelan tapi pasti. Bagaimana sebaiknya kita menilai kebijakan energi nuklir di Indonesia?

Jika kita ingin melihatnya secara lebih komprehensif dan objektif, salah satu cara untuk mengukur keberlanjutan energi nuklir di Indonesia adalah dengan melakukan analisis SWOT: Apa saja yang menjadi variabel kekuatan, kelemahan pengembangan energi nuklir tersebut? Apa saja kesempatan dan tantangan yang dihadapi Indonesia? Dengan analisis ini maka akan terlihat langkah strategis apa saja yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia jika benar-benar akan 'go nuclear.'

Program 'Atoms for Peace' Presiden AS Eisenhower lima dekade lalu telah membawa keunggulan kompetitif bagi pengembangan nuklir Indonesia dibandingkan negara lain, seperti Singapura atau Malaysia. Demi tujuan damai, AS menyuplai peralatan untuk reaktor nuklir, berikut bahan bakunya, untuk Indonesia. Di samping itu, pendidikan dan pelatihan ke luar negeri juga diberikan untuk para teknisi dan ilmuwan Indonesia. Sekarang, bermodal pengetahuan dan keterampilan profesional tersebut, reaktor riset nuklir Indonesia pun terbukti telah banyak membantu pengembangan sektor nonenergi, seperti pangan, pertanian, peternakan, kedokteran, dan sumber daya air.

Sementara itu, untuk inovasi sektor energi (listrik), penggunaan nuklir juga sudah mendapat legitimasi yang kuat karena tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional 2006: nuklir menjadi bagian dari komposisi energi alternatif. Inilah variabel kekuatan nuklir Indonesia: Indonesia memiliki kapasitas penguasaan teknologi nuklir dan sudah menjadi bagian dari mandat negara.

Walaupun demikian, pembangunan energi nuklir ini masih menghadapi kendala sosial yang tidak sederhana. Sosialisasi PLTN kepada masyarakat sudah sering dilakukan oleh BATAN, Kemenristek/BPPT, dan ESDM, tetapi menemui jalan buntu. Masyarakat, khususnya yang berada di sekitar situs nuklir, menolak keras keberadaan PLTN. Alasannya beragam, dari soal geoteknis karena rawan gempa, kesehatan akibat radiasi, lingkungan berupa limbah nuklir, hingga alasan ekonomis karena industri yang takut kehilangan tenaga kerjanya.

Namun, jika dirunut lebih jelas, alasan fundamental sebenarnya terletak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah itu sendiri. Kasus Lapindo dan ledakan berbagai tabung gas akhir-akhir ini seakan menjadi bukti bahwa pemerintah belum bisa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, apalagi kelak membangun energi nuklir yang tentu jauh lebih rumit.

Di sinilah kelemahan utama nuklir Indonesia: pemerintah belum berhasil membangun postur yang kredibel. Padahal, kepercayaan publik sangat diperlukan untuk membangun energi nuklir.

'Situasi eksternal'
Terlepas dari plus minus di atas, Indonesia pada dasarnya memiliki kesempatan struktural-internasional yang terbuka lebar. Berbeda dengan Iran, walaupun sama-sama mayoritas penduduknya Muslim, dunia internasional mendukung penuh Indonesia untuk membangun energi nuklirnya. 'International Atomic Energy Agency' telah memberi persetujuannya sejak 2006 bahwa Indonesia layak dan mampu melakukan proliferasi nuklir untuk tujuan damai.

Negara-negara nuklir lainnya pun sama. Prancis, Italia, Rusia, Jepang, dan Korea saling bergantian menawarkan diri untuk membantu Indonesia. Bukan tidak mungkin, rencana kerja sama AS-Indonesia dalam bidang teknologi yang akan disepakati kelak dalam kunjungan Obama ke Indonesia juga mengarah pada kerja sama nuklir.

Namun begitu, Indonesia perlu mempertimbangkan situasi keamanan di Asia Tenggara secara lebih saksama. Walaupun kecil kemungkinannya, ancaman keamanan berupa penyelundupan bahan nuklir harus tetap diwaspadai. Kasus AQ Khan di Pakistan beberapa waktu lalu bisa menjadi pelajaran penting bagi Indonesia, yang cenderung ceroboh, untuk lebih meningkatkan kecermatan dan rigiditas dalam mengelola nuklirnya kelak. Paling tidak, tantangan keamanan tersebut memberi benefits of the doubts bagi Indonesia agar selalu waspada.

Berangkat dari analisis S-W dan O-T di atas, dua rekomendasi kebijakan bisa ditawarkan secara berurutan. Pertama, pemerintah beserta agen-agen yang berkepentingan (BATAN, Bapeten, Ristek, ESDM) perlu melengkapi diri dengan keahlian melakukan resolusi konflik dalam sosialisasi nuklirnya. Sikap akomodatif dan konsensual harus lebih diutamakan. Untuk membangun kepercayaan publik, pemerintah harus berimbang dalam menampilkan risiko ataupun keuntungan pemanfaatan nuklir.

Kedua, sebagai negara yang paling advanced membangun reaktor riset nuklirnya, Indonesia bisa memainkan peran diplomatik sebagai norm entrepreneur di Asia Tenggara untuk mendorong terbentuknya komunitas nuklir untuk perdamaian. Dengan demikian, Indonesia bisa tampil sebagai negara nuklir yang disegani di kawasan ini karena soft power-nya.
(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar