Senin, 21 Juni 2010

Kekalahan Donggi Senoro

Sabtu, 19 Juni 2010 pukul 12:47:00

Akhirnya setelah mengalami ketidakpastian dan kebimbangan, pemerintah memutuskan alokasi gas Donggi Senoro. Keputusan finalnya adalah: 70 persen diekspor dan sisanya 30 persen untuk lokal.

Keputusan akhir tersebut didasarkan pada rekomendasi tim teknis ESDM, kajian tim independen yang ditugasi oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa, dan yang tak kalah penting arahan dari Wakil Presiden Boediono. Aspek tekno-ekonomi menjadi dasar pertimbangan utama dalam pembagian alokasi tersebut.

Sebuah keputusan yang memprihatinkan. Keputusan yang hanya berdasarkan orientasi jangka pendek yang sekaligus menunjukkan bahwa kapitalisme telah begitu menguasai para birokrat kita. Kenapa? Karena yang diincar hanyalah keuntungan sesaat, keuntungan jangka pendek, tanpa memikirkan masa depan perekonomian bangsa ini.

Kita masih ingat beberapa waktu lalu ketika perusahaan dalam negeri, yang notabene juga sahamnya dikuasai pemerintah, hidup termegap-megap karena tidak mendapatkan pasokan gas. Bahkan, PT ASEAN Aceh Fertilizer sampai harus ditutup untuk alasan tersebut.

Di sisi lain, harga listrik di negeri ini terbilang tinggi, karena sebagian besar pembangkit berbahan bakar minyak (BBM). Harga listrik akan bisa turun (atau setidaknya tidak perlu dinaikkan) jika kita efisien dalam memilih pembangkit, dan salah satu pilihan yang efisien adalah gas.

Bukan itu saja, kita masih butuh banyak lagi pembangkit listrik, selain untuk mengikuti permintaan akibat pertumbuhan ekonomi, juga karena masih banyak rakyat yang belum menikmati listrik. Belum lagi sampai sekarang masih terdapat beberapa wilayah yang listriknya byar-pet.

Jika kita lihat ke depan, semakin tahun kebutuhan terhadap gas juga terus naik. Saat ini saja terdapat 19 sektor industri yang membutuhkan pasokan gas, di antaranya adalah petrokimia berbasis olefin, pupuk logam dasar, besi baja, keramik, dan lampu ballast. Diperkirakan pada 2025 kebutuhan akan mencapai 3,1 juta million metrik standar cubic feet per hari. Selama ini kita terninabobokkan dengan nilai ekspor yang tinggi, yang sebetulnya itu nilai semu. Kesemuanya itu bisa terlihat pada masalah gas ini, yakni sementara kita di dalam negeri kekurangan pasokan gas, tapi gas yang kita eksploitasi dari wilayah kita sendiri justru diekspor.

Belum lagi sumber energi lain seperti batu bara. Semestinya sumber energi seperti itu diprioritaskan untuk dalam negeri, sehingga mampu menggerakkan perekonomian dalam negeri sekaligus memberi nilai tambah. Jika kita mengekspor barang-barang yang memiliki nilai tambah, harganya pun tidak akan berfluktuasi sebagaimana komoditas bahan mentah.

Sebetulnya oleh wakil presiden peride sebelumnya, masalah Donggi Senoro ini sudah diputuskan yakni untuk memenuhi kebutuhan nasional, dan keputusan itu sudah disetujui Presiden Susilo Bambang Yudhono. Kini oleh wakil presiden yang baru, keputusan itu dianulir, sehingga akhirnya sebagian besar gas akan diekspor. Dan lucunya, keputusan ini juga disetujui presiden yang sama. Inilah bukti bahwa sumber daya alam kita masih dikuasai asing atau lebih tepatnya adalah untuk kepentingan asing.

Semestinya kita bisa menjadi bangsa besar jika kita memiliki keberpihakan kepada bangsa sendiri. Bukan hanya tunduk pada kepentingan asing dan pemilik modal. Keputusan Donggi Senoro ini nyaris sama ironisnya dengan keputusan pemerintah ketika memilih Exxon untuk mengelola Cepu dengan menyingkirkan Pertamina. Barangkali kedua keputusan tersebut adalah kemenangan pemerintah, tapi pada hakikatnya keputusan itu adalah kekalahan rakyat.
(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar