Kamis, 08 April 2010

Impor Kedelai Bulog

Masih ingat ketika di awal-awal 2008 banyak industri tahu tempe limbung dihantam melambungnya harga kedelai dunia? Industri yang kebanyakan industri kecil itu tak bisa berbuat apa-apa ketika harga kedelai impor meroket, kecuali merumahkan karyawannya.

Harus diakui, ketergantungan kita terhadap kedelai impor masih sangat tinggi. Sampai saat ini produksi kedelai dalam negeri tercatat berada di kisaran satu juta ton per tahun. Sedangkan, kebutuhan domestik mencapai dua juta ton. Kekurangan pasokan kedelai itulah yang harus dipenuhi dari impor.

Tingginya ketergantungan itulah yang agaknya mendorong Perum Bulog untuk kembali menerjuni kegiatan impor beras, setelah terhenti sejak sebelas tahun lalu. Kembalinya Bulog mengimpor kedelai kemungkinan besar tak cuma lantaran ketergantungan impor yang makin tinggi, tapi juga karena dampaknya terhadap kestabilan harga kedelai di dalam negeri.

Dugaan kuat yang muncul terkait dengan ketergantungan impor tadi adalah adanya permainan jaringan perdagangan importir kedelai, yang menyebabkan harga domestik tidak stabil. Panen kedelai yang seharusnya bisa dinikmati petani sendiri, diduga selalu berbarengan membanjirnya kedelai impor di pasaran. Ini tentu mengganggu stabilitas harga dalam negeri, yang ujung-ujungnya merugikan petani.

Kembalinya Bulog mengimpor kedelai diharapkan mampu menstabilkan harga di pasaran sehingga petani dalam negeri dapat menikmati harga yang lebih baik. Bulog diharapkan mampu mengendalikan impor sekaligus mengawal agar kedelai bisa menjadi komoditas yang mencapai swasembada pada 2014. Wajar kalau kemudian kalangan legislatif pun melontarkan dukungan terhadap impor kedelai Bulog.

Hanya saja, kita juga perlu mengingatkan, impor kedelai sebagai instrumen stabilisasi harga, bukan satu-satunya cara. Bulog tetap perlu mengendalikan impor dengan cara mendorong peningkatan produksi kedelai di dalam negeri. Sehingga, keseimbangan harga dan pasokan bisa terjaga. Bersamaan dengan itu, Bulog dan instansi terkait lainnya, perlu menggencarkan sosialisasi demi mengangkat kembali kepercayaan petani untuk intensif menanam kedelai.

Di lain pihak, para pelaku industri agro yang menggunakan kedelai sebagai bahan, sudah saatnya menjadikan kedelai nonimpor pilihan utama produknya. Ini akan membantu menyerap kedelai petani negeri sendiri sekaligus meningkatkan kualitas panennya. Sudah saatnya pula ilmuwan pertanian bangkit; meneliti dan mengembangkan varietas kedelai unggul.

Kesiapan Bulog untuk kembali terjun ke kancah impor kedelai semestinya dipahami positif. Tapi, pengawasannya juga mesti sangat ketat. Jangan sampai Bulog justru terbawa arus permainan jaringan perdagangan importir kedelai. Kita tak ingin tujuan impor kedelai Bulog jadi melenceng lantaran tergiur keuntungan. Sebaliknya, Bulog harus mampu memotong habis jaringan perdagangan importir kedelai nakal, yang sering kali mengorbankan petani dan konsumen.

Kembalinya Bulog mengimpor kedelai sebagai upaya mengendalikan impor, bukan mencari keuntungan selayaknya menjadi momentum awal membangun kembali benteng ketahanan pangan negara agraris ini. Dalam era perdagangan bebas seperti sekarang, keberadaan benteng tersebut jelas mendesak. Kita ingin bangga mengonsumsi tahu dan tempe berbahan kedelai sendiri. Bukan kedelai bule.
(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar