Senin, 15 Februari 2010

DEINDUSTRIALISASI SISTEMIK

Teguh Firmansyah

Proklamator RI, Soekarno, mengingatkan supaya bangsa ini jangan sampai menjadi bangsa yang tidak mampu mengelola sumber daya alam yang dimiliki dan terus menerus menjadi buruh. ''Tapi apa daya menjadi kuli pun kini sudah susah, banyak rakyat yang di PHK.'' Itulah keluh kesah salah seorang pembicara dalam seminar Economi Outlook di salah satu hotel ternama Jakarta beberapa waktu lalu. Pertumbuhan ekonomi negeri yang dibangun ternyata tidak sejalan dengan pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran.

Di tengah pengaruh krisis ekonomi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia melaju dalam angka positif. Pertumbuhan pada 2009 berada pada level 4,3 persen. Pemerintah bahkan tidak jarang menyebutkan posisi Indonesia yang menduduki urutan ketiga setelah Cina dan India yang mampu tumbuh saat krisis.

Dengan kondisi demikian, Indonesia pun digadang-gadang oleh berbagai pengamat ekonomi luar akan menjadi salah satu motor perekonomian dunia ke depan. Tapi Benarkah demikian? Padahal industri dalam negeri terus saja terseok-seok, bahkan berjalan mundur dalam beberapa tahun terakhir.

Di berbagai kesempatan, dari satu seminar ke seminar lainnya, banyak kalangan mengakui salah satu permasalahan yang kini dihadapi adalah perkembangan industri yang berjalan mandek. Perbaikan di sektor keuangan acapkali tidak sejalan dengan apa yang terjadi di sektor riil. Suku bunga pinjaman tetap saja tinggi. Begitupula masalah infrastruktur dan energi kerap membayang-bayangi pengusaha karena menyebabkan biaya produksi membengkak.

Akibatnya, sudah pasti pertumbuhan ekonomi terus saja ditopang oleh konsumsi yang mencapai 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Tidak ada produktivitas yang timbul dari suatu sistem produksi. Ekspor melemah, sementara pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi. Ironisnya, pasar dalam negeri kini telah menjadi sasaran empuk barang-barang impor dari luar. Sementara ekspor masih terus saja bergantung pada bahan mentah.

Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia sepanjang 2009 mencapai 116,49 miliar dolar AS atau menurun 14,98 persen dibanding 2008 yang tercatat ekspor mencapai 137 miliar dolar AS. Sementara ekspor nonmigas mencapai 97,47 miliar dolar AS atau menurun 9,66 persen.

Dari komposisi ekspor nonmigas itu, sektor industri turun 16,93 persen dibanding 2008. Demikian juga eskpor hasil pertanian turun 4,83 persen. Sementara ekpors hasil tambang dan lainnya naik sebesar 31,persen. Dari sisi golongan barang, ekspor bahan bakar mineral dan lemak serta minyak hewan nabati masih cukup tinggi, mencapai sekitar 26 miliar dolar AS.

Boleh dibilang negeri ini kini tengah mengalami deindustrialisasi sistemik. Lebih sistemik dibandingkan kasus Century, karena menyangkut jumlah masyarakat yang lebih besar. Tahun 2009 lalu, seorang teman yang usianya tidak lagi muda terpaksa harus pensiun dini. Perusahaan manufaktur tempatnya bekerja di Kawasan Industri Tangerang melakukan restrukturisasi besar-besaran karena tingginya biaya operasional dan pasar yang kian terbatas. Dia pun beralih ke sektor informal.

Deindustrilisasi sistemik ini terjadi karena dua faktor. Pertama dari faktor internal, yakni iklim investasi dalam negeri yang tidak sehat ditambah dengan persoalan energi, infrastruktur, serta tingginya suku bunga pinjaman.

Masih ingat pemadaman bergilir di Jakarta beberapa waktu silam, berapa banyak pengusaha yang teriak karena ketidakberesan ini. Mereka harus menyediakan genset, membeli bahan bakar, serta mengurangi produksi. Biaya produksi pun meningkat. Sementara pengusaha kecil yang tidak mempunyai genset tentu hanya bisa gigit jari menunggu listrik kembali menyala.

Masalah infrastruktur, kondisi jalan rusak di sejumlah daerah, turut memperparah beban pengusaha. Proses pengiriman barang menjadi terlambat yang ujungnya biaya produksi membengkak.

Satu hal lagi yang tidak kalah penting adalah suku bunga kredit. Entah apa yang dipikirkan oleh dunia perbankan. Meskipun inflasi dalam angka yang rendah dan suku bunga acuan BI Rate telah diturunkan, tapi tetap saja suku bunga pinjaman masih berada pada level dua digit, sekitar 14 persen.

Berbagai kalangan pengusaha menyayangkan hal ini. Bahkan Menteri Perindustrian, MS Hidayat, mengeluhkan sikap dunia perbankan yang hanya sekadar mengeruk keuntungan. Menurutnya, suku bunga pinjaman seharusnya bisa ditekan hingga level 9 persen saja. Tapi apa daya pemerintah tidak dapat berbuat lebih banyak menekan dunia perbankan. ''Jangan ditekan-tekanlah,'' tukas Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, kepada Republika.

Teringat filosofi Peraih nobel ekonomi 2008, Paul Krugman, yang menyatakan sektor finansial harus ditempatkan sebagai penyokong sektor riil. Sebab ekonomi bukan hanya perdagangan uang, tetapi aktivitas produksi dan pertukaran barang serta jasa. Andai saja filosofi ini dipakai.

Dari sisi eksternal, bermacam perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement) menambah lengkap derita industri dalam negeri. Setelah perjanjian perdagangan bebas ASEAN dan Cina yang dimulai Januari 2010, sejumlah kesepakatan dengan beberapa negara lain menanti seperti dengan India serta Australia dan Selandia Baru.

Bak kesambar petir, pemerintah dan kalangan pengusaha mulai mengkhawatirkan dampak dari perjanjian ini. Apalagi dengan Cina. Renegoisasi akhirnya dilakukan. Dalam hal ini Hatta Rajasa lebih memilih menggunakan kata perundingan ulang.

Sementara Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, lebih suka istilah lain, pembicaraan ulang. Sebanyak 228 pos tarif yang sekirannya belum mampu bersaing akan diperjuangkan. Industri garmen, alas kaki, baja, adalah beberapa yang terancam akibat dari perjanjian itu. Mereka tidak mampu bersaing dengan membanjirnya barang Cina yang masuk dengan harga jauh lebih murah. Pertanyaannya, kenapa setelah didesak baru pemerintah bertindak. Ke mana saja selama ini?

Ekonom InterCafe, Iman Sugema menilai pemerintah terlalu berani mengikuti berbagai macam kesepakatan perdagangan bebas dengan negara lain. Menteri perdagangan dan menteri luar negeri tidak mengoordinasikan setiap kebijakan yang dinilai strategis dengan berbagai kalangan. Akibatnya seperti bom waktu. Pengusaha mengeluh karena industri dalam negeri terancam.

Sementara Direktur Econit, Hendri Saparini, menilai, kalau menteri perdagangan berniat negosiasi seharusnya sejak lima tahun lalu. Tapi, nyatanya tidak. Menteri perdagangan lebih memilih untuk menjadikan Indonesia sebagai contoh bagi negara di kawasan untuk liberalisasi dengan harapan industri dapat lebih kompetitif dan perdagangan akan semakin meningkat. ''Kalau dia punya semangat untuk itu seharusnya sudah sejak dulu,'' kata Hendri.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Bangsa ini tidak terus bisa menengok ke belakang untuk bangkit. Pemerintah harus serius membenahi segala masalah yang ada. Masyarakat juga harus bahumembahu bekerja keras. Seperti peringatan Soekarno mengenai bangsa kuli. ed: rahmad bh


Menunggu Realisasi KEK

Salah satu upaya pemerintah dalam membangun industri dalam negeri adalah dengan menerapkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang akan memberikan berbagai macam kemudahan bagi industri baik dari sisi fasilitas maupun administratif untuk menjalankan usaha. Berbagai kemudahan itu antara lain insentif fasilitas pajak penghasilan (PPh). Fasilitas perpajakan juga dapat diberikan dalam waktu tertentu kepada penanam modal berupa pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB).

Impor barang yang dilakukan KEK dapat diberikan fasilitas berupa penangguhan bea masuk. Selain itu pembebasan cukai sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan penolong produksi. Dalam KEK juga tidak dipungut pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Pungutan PPh impor pun tidak ada.

Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, mengungkapkan pada 2010 ini setidaknya ada tiga daerah KEK yang akan dikembangkan. Antara lain Dumai di Riau, Kuala Tanjung dan Semangke di Sumatra Utara, dan Merauke di Papua. Total potensi investasi di ketiga wilayah tersebut diproyeksikan bisa mencapai Rp 92,5 triliun. Dengan rincian, Dumai dan Sumatra Utara sebesar Rp 32,5 triliun sementara Merauke Rp 60 triliun.

Pemerintah sendiri menetapkan KEK seusai dengan basis produksinya. Seperti Riau dan Sumatra Utaraakan menjadi KEK berbasis minyak sawit (CPO). Sementara di Merauke sebagai kawawan produsen pangan (food estate).

Apa pun yang dilakukan pemerintah, hal terpenting adalah, bagaimana kawasan industri ini mampu mendorong pertumbuhan industri selangkah lebih maju. Artinya, ekspor ke depan tidak hanya sekadar bahan mentah, namun sudah menjadi bahan olahan. Sumber daya alam yang cukup besar harus mampu diolah menjadi menjadi bahan baku industri sehingga ketergantungan terhadap bahan baku impor dapat dikurangi. Kawasan Industri juga diharapkan mampu memancing perkembangan Industri berteknologi tinggi. teguh thr, ed: rahmad bh
(www.republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar