Sabtu, 06 Februari 2010

Melihat ACFTA dari Pebisnis Potensial


Karim Raslan

DEBAT publik seputar kebijaksanaan ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA), sungguh menarik untuk melihatnya dari sisi seorang pelaku dari beberapa pebisnis Indonesia yang potensial. Sebut saja Dendy Darman, seorang desainer sekaligus pedagang eceran yang bermarkas di Bandung.

Dendy adalah pendiri 'distro' terkemuka dengan label UNKL347. Istilah distro merujuk kepada distribusi, dan mencerminkan warisan era reformasi ketika ruang-ruang alternatif ini juga menjadi pusat bagi music underground dan aktivitas politik

Dendy membuat ikon gaya yang tidak patut. Periang, sangat antusias, mencela diri sendiri dan sedikit gemuk. Dia melawan gaya yang sangat kalem dan gaya Tom Ford.

Usianya baru 36, lulusan seni dari Institut Teknologi Bandung. Ia memulai usahanya dari sebuah ruangan di kampus dengan satu layar sutra yang sudah dikembangkannya secara dramatis. Tiga belas tahun sejak dia mulai menciptakan pakaian kasual, kini dia memimpin ritel dan desain pakaian dengan dukungan lebih dari 100 staf. Dia enggan mengungkapkan omzet, namuan jaringan penjualannya sampai ke Singapura hingga ke Berlin.

UNKL347, dengan satu butik tidak jauh dari Jalan Dago di Bandung, adalah ritel yang dirancang untuk memberi pengalaman konsumennya. Setiap aspek, mulai dari musik (Indonesia dan Brit indie pop) hingga display (jajaran t-shirt, tas bahu, sepatu-sepatu kets, dan celana panjang) serta kemasan akhir yang dikonsep dengan perhatian yang sangat detil.

Selain itu, ruangan kecil persegi berukuran 1.000 kaki persegi terus-menerus dipenuhi pengunjung - meskipun tampak terlihat seperti cultish acolytes - bersemangat memilih barang dagangan yang kemudian dikemas lucu dalam spoofish, seolah-olah pengiriman kotak kontainer. Bahkan, saya sempat terpedaya oleh kemasan dari kaos-kaos yang saya beli hanya sekadar untuk memiliki kotak pembungkusnya.

Mengingat permintaan yang jelas, Saya bertanya kepada Dendy, mengapa dia tidak ekspansi ke luar Bandung?

"Saya dibanjiri tawaran uang oleh investor untuk mengembangkan bisnis. Tapi saya rasa, saya sedikit bertentangan,” katanya dengan nada humor yang baik.

"Mungkin ini yang saya rasakan, saya ini lebih merasa sebagai seorang seniman dan desainer dibandingkan sebagai pengusaha! Saya adalah penggemar berat dari Eames dan Bauhaus, dan saya melihat peran saya yang relevan dalam mengembangkan dan mempromosikan desain yang baik di sini, di Indonesia. Ini bukan hanya tentang menjual,” kata Dendy.

Di balik eksteriornya yang santai, Dendy memiliki dua kekuatan yang langka sebagai seorang pengusaha: integritas dan visi. Integritas masih tetap terhubung ke ITB - akar dan universitas yang unik yang mengkombinasikan terapan dan seni rupa. Visi memungkinkannya untuk pemupukan lintas ide, gaya, dan genre. Ini juga menjembatani jurang antara dunia kreatif dan komersial.

Sebagian besar bintang yang muncul dari departemen seni di kampusnya, seperti video kolektif Tromarama (segera akan ditampilkan hasil karyanya di tempat bergengsi Mori Museum, di Tokyo), melihat Dendy sebagai pemandu cahaya.

Selain itu, dia telah memanfaatkan posisinya dan keberhasilan untuk menanamkan hasratnya untuk desain yang baik. Pada ulang tahun UNKL347-10, ia meluncurkan sebuah buku yang indah dan mewah berjudul Setelah 10 Tahun Teman Memanggil Kami Unkle, merayakan kedua mereknya dan seluruh gagasan tentang budaya desain Bandung. Buku ini begitu sukses, melahirkan publikasi yang menarik, yang mencakup adegan bangsa indies, menampilkan para seniman, desainer, band dan penulis.

Dendy sangat tegas dan fokus pada gaya dan desain yang berlabuh pada keinginan pasarnya. Dan UNKL347 adalah sebuah contoh menarik sebuah bisnis yang dirancang untuk kemakmuran dengan pelaksanaan ASEAN-Cina FTA.

"Saya rasa kita tidak mengalami dampak penuh FTA. Namun, sekarang kita akan dapat memilih kualitas pabrikan yang lebih luas dan lebih baik. Produsen tekstil Indonesia sangat OK, tetapi mereka tidak terlalu tertarik untuk meningkatkan standar," kata Dendy.

"Mereka hanya terfokus pasar bottom end, seperti menjual ke Afrika! Saya selalu mengatakan kepada mereka bahwa orang-orang Indonesia mau membeli produk-produk berkualitas, tapi mereka tidak tertarik," katanya.

"Dalam hal merancang, saya tahu kita bisa bersaing dengan Cina. Selera gaya mereka sangat berbeda. Selain itu, UNKL347 telah mengembangkan hubungan emosional dengan pembeli. Kami milik mereka," katanya.

Banyak kalangan telah menyatakan perhatiannya mengenai perjanjian perdagangan bebas yang memberi dampak terhadap pengusaha lokal. Dendy menunjukkan kepada kita bahwa mereka dapat berkembang. Bisnis Asia Tenggara, terutama dari Indonesia, tidak lagi dapat mengandalkan pada pasar tradisional atau kualitas menengah. Ada pasar besar yang harus dimenangkan bagi mereka, seperti Dendy, yang berani dan menentukan.

Karim Raslan adalah kolumnis yang membagi waktunya antara Malaysia dan Indonesia [mor]

(www.inilah.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar