Senin, 08 Februari 2010

Mengapa Petinggi Kita Enggan Mundur?


Juni 2009, usai diterpa beberapa skandal, Menteri Pertahanan Australia, Joel Fitzgibbon, mengundurkan diri. Fitzgibbon mulai terpojok sejak Maret sebelumnya, ketika terungkap dua kunjungannya ke Cina dibiayai pengusaha kaya Helen Liu. Februari 2009, Shoichi Nakagawa, Menteri Keuangan Jepang, mundur karena dituduh mabuk pada saat melakukan konferensi pers di Roma dalam rangka pertemuan negara-negara industri G7. Hal ini mempermalukan pemerintahan Perdana Menteri Taro Aso yang tak populer.

Setahun sebelumnya, Perdana Menteri Tanzania, Edward Lowassa, mundur dari jabatannya ketika dugaan korupsi di kantornya mulai ditelusuri. Di parlemen, ia mengaku tak terlibat dan belum sempat menjelaskan perannya dalam kasus itu. Namun, sebagai solusi terbaik, ia tetap mundur. Februari 2005, Herve Gaymard, Menteri Keuangan Prancis, mundur setelah dikritik publik karena menggunakan dana untuk menyewa apartemen mewah.

Di negara kita, dari ribuan pemimpin yang ketahuan menggunakan uang rakyat, nyaris tak seorang pun mengundurkan diri, sebelum dipaksa mundur dan dipenjarakan. Jika beberapa orang mati karena kebijakan pejabat, itu dianggap "takdir", misalnya dalam tabrakan beruntun di tol Jagorawi beberapa tahun lalu, ketika kendaraan-kendaraan yang lewat di jalan bebas hambatan itu dihentikan mendadak oleh polisi agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lewat dengan leluasa.

Belakangan, ada desakan dari tokoh masyarakat, LSM, partai politik, dan mahasiswa agar Wakil Presiden Boediono dan Menteru Keuangan Sri Mulyani nonaktif karena mereka terlibat kasus Bank Century. Namun mereka masih enggan mundur. Mengapa demikian?

Menggunakan model budaya Hofstede (1997), pakar manajemen lintas budaya dari Belanda, Indonesia termasuk ke dalam budaya dengan jarak kekuasaan (power distance) yang tinggi, seperti Arab Saudi, Guatemala, Meksiko, Filipina, dan Malaysia. Budaya ini ditandai dengan pandangan bahwa kekuasaan itu nyata; terdapat jarak antara atasan dan bawahan; atasan senang menjaga jarak dengan bawahan.

Pun sebaliknya, bawahan harus patuh kepada atasan dan takut berbeda pendapat dengan atasan. Atasan dianggap sebagai pelindung bawahan dan keputusannya cenderung otoriter, sedangkan bawahan cenderung bersikap ABS. (Dalam kasus Bank Century, mungkinkah keputusan Boediono dan Sri Mulyani mem-bailout Bank Century pada saat itu merupakan kepatuhan tanpa reserve kepada SBY dan sekadar untuk menyenangkan SBY?).

Sebaliknya, dalam budaya dengan jarak kekuasaan yang rendah, seperi Israel, Amerika Serikat, Belanda, Denmark, dan Swedia, atasan dan bawahan relatif tak berjarak. Kalaupun kekuasaan digunakan, itu jika dipandang perlu serta atas dasar kewenangan yang sah dan alasan yang rasional.

Budaya dengan jarak kekuasaan yang tinggi sering identik dengan budaya partikularistik, di mana hukum hanya berlaku bagi orang-orang tertentu (yang lemah) dan tidak berlaku bagi mereka yang kuat. Anggodo, yang diduga melakukan penyuapan milyaran rupiah, lama berkeliaran. Sedangkan Minah, nenek asal Banyumas, segera mendapat hukuman penjara satu setengah bulan di Pengadilan Negeri Purwokerto karena mencuri tiga kakao seberat 3 kilogram dari sebuah perkebunan.

Bandingkan dengan budaya universalistik, seperti Amerika Serikat, di mana hukum berlaku bagi semua orang. Sebagaimana dilukiskan Hall (2002), ketika Michael Eisner menjadi CEO Disney Corporation, Amerika, seorang pegawai barunya, bernama Karen, melarang Michael dan tiga asistennya memasuki Magic Kingdom karena mereka tidak memiliki tiket. Meskipun ia tahu bahwa pria itu adalah Michael Eisner, yang gambarnya sering ia lihat dalam pelatihan, ia berkata juga, meski sedikit ragu: "Pak Eisner, maaf, saya tidak dapat mengizinkan Anda masuk tanpa tiket."

"Kamu tahu siapa ini? Ini Michael Eisner, CEO perusahaan Disney!" kata seorang asistennya.

Pak Eisner segera menyetop asistennya, dan sambil melihat tag nama Karen, berkata, "Biarkan, ia hanya melaksanakan tugasnya. Beli tiket untuk kita semua." Asisten itu tergesa-gesa membeli tiket, dan Pak Eisner meyakinkan Karen bahwa ia melakukan tugasnya dengan baik. Eisner begitu terkesan pada cara Karen menangani situasi.

Di Indonesia, karena kekuasaan dianggap nyata, pejabat enggan mengundurkan diri, meskipun ia terbukti menyalahgunakan kekuasaannya. Karena bawahan harus patuh kepada atasan, maka bawahan yang juga pejabat lazimnya tidak akan mengundurkan diri jika mereka ketahuan bersalah, kecuali jika atasan yang melengserkannya. Jika bawahan melakukan tugasnya dengan baik tapi bertentangan dengan keinginan atau kepentingan atasan, boleh jadi bawahan akan mendapat sanksi. Misalnya, dimutasikan ke tempat lain atau bahkan dipecat.

Untuk menjadi negara modern yang dapat menyejahterakan rakyat, kita harus membangun budaya universalistik, di mana semua orang punya kedudukan sama di muka hukum. Untuk itu, dibutuhkan seorang pemimpin negara dengan visi yang jauh ke depan, yang tegas, berwibawa, dan berani melakukan terobosan.

Deddy Mulyana
Guru besar dan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung
[Kolom, Gatra Nomor 13 Beredar Kamis, 4 Februari 2010]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar