Selasa, 23 Februari 2010

Menanam Jati, Kuliah Gratis


Menanam Jati, Kuliah Gratis

Bagi Heri, 28 tahun, kuliah hanya impian. "Maunya sih seperti teman-teman lain, bisa kuliah. Tapi, apa daya, orangtua nggak punya biaya," ujar warga Gunung Kidul, Yogyakarta, itu kepada Gatra, Jumat lalu.

Heri hanya satu contoh lulusan sekolah menengah atas yang gagal melanjutkan pendidikan ke perguruan tingi. Seringkali kegagalan mereka bukan karena kurang cerdas sehingga tidak bisa lolos ujian masuk perguruan tinggi, melainkan lebih karena ketiadaan biaya. Maklum, pada saat ini, biaya kuliah lumayan mahal.

Kabar baik datang dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemprov DIY). Di tengah mahalnya biaya kuliah, Pemprov DIY memberikan beasiswa kepada warga miskin agar bisa kuliah gratis. Tapi jangan membayangkan mereka akan menyisihkan anggaran milyaran rupiah per tahun dari APBD untuk dana beasiswa itu. Di sinilah uniknya: beasiswa itu dibayar 15 tahun kemudian. Itu pun bukan dibayar dengan uang, melainkan dengan pohon jati. Karena itu, program beasiswa ini dikenal pula dengan sebutan beasiswa pohon jati.

Caranya? "Pemprov punya lahan hutan di Gunung Kidul seluas 100 hektare yang bisa dimanfaatkan untuk membantu mahasiswa dari keluarga tidak mampu," kata Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, ketika melontarkan ide beasiswa pohon jati itu. Ide ini disampaikan dalam pertemuan dengan para petinggi Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, di Kepatihan Yogyakarta, medio Januari lalu.

Untuk merealisasikan program beasiswa pohon jati itu, Sultan menyiapkan lahan 100 hektare yang berlokasi di Kecamatan Paliyan, Gunung Kidul. Lahan yang kini dimanfaatkan masyarakat sekitar dengan menanam palawija itu sering pula disebut Sultan Ground. Disebut demikan karena lahan itu milik Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Rencananya, lahan tersebut akan ditanami pohon jati. Tiap-tiap perguruan tinggi yang berperan serta dalam beasiswa pohon jati itu akan mendapat jatah lahan 10 hektare. Setiap satu hektare akan ditanami 1.030 bibit pohon jati unggul. Perguruan tinggi juga tidak perlu repot-repot mengurus "lahan" jatinya karena semuanya diurus Pemprov DIY. Mulai penanaman bibit pohon jati hingga pohon jati siap ditebang.

Menurut Sultan, pohan jati itu baru boleh ditebang setelah mencapai usia 15 tahun. Jika saatnya tiba, perguruan tinggi diizinkan menjual pohon jati itu untuk mengganti biaya beasiswa yang telah dikeluarkan. Tentu harga jual kayu jati itu disesuaikan dengan harga jual pada 15 tahun mendatang. "Setiap tahun bisa ditebang sejumlah pohon jati sesuai dengan kebutuhan pembiayaan pendidikan gratis yang diberikan perguruan tinggi," kata suami Gusti Kanjeng Ratu Hemas itu.

Sejatinya, ide program beasiswa pohon jati ini dilontarkan Sultan dua tahun lalu. "Ide awalnya datang dari Sultan untuk memanfaatkan Sultan Ground, tanah milik keraton,'' ujar Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Mohammad Naim, kepada Gatra. Ketika itu, ia melanjutkan, Sultan bertemu dengan Rektor UGM, Profesor Sudjarwadi, dan pejabat di Departemen Kehutanan.

Dalam pertemuan itu, ungkap Naim, Sultan mengutarakan kegalauannya menyaksikan banyaknya warga Yogyakarta yang tidak bisa kuliah karena terbentur biaya. Padahal, Yogyakarta sudah lama dikenal sebagai kota pendidikan. "Ketika itu, Sultan sharing, anak-anak Yogyakarta itu relatif berasal dari golongan bawah sehingga perlu dukungan dana untuk biaya kuliah," kata Naim.

Gayung pun bersambut. Ide Sultan itu ternyata sejalan dengan program pengelolaan hutan berbasis kampus yang dikampanyekan Departemen Kehutanan. "Sedangkan UGM siap membantu bibit jati unggul hasil teknik rekayasa UGM dari Wanagama, hutan laboratorium UGM," tutur Naim.

Ketika ide beasiswa pohon jati itu gencar disosialisasikan ke sejumlah kampus, hasilnya tidak sia-sia. Sultan berhasil menggandeng enam kampus terkenal di Yogyakarta. Yakni UGM, UAD, Universitas Islam Indonesia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Pembangunan Nasional, dan STIE Yayasan Keluarga Pahlawan Negara.

Direktur Kemahasiswaan UGM, Haryanto, memuji ide beasiswa pohon jati yang digagas Sultan itu. "Ide baru yang bagus dan lain daripada yang lain," ujarnya. Selain peduli pada lingkungan, program beasiswa itu juga sangat cocok untuk pembinaan karakter mahasiswa, asalkan yang mengelola bibit pohon jati itu mahasiswa penerima beasiswa. "Beasiswa seperti itu belum ada," kata Haryanto.

Selama ini, Haryanto menambahkan, setiap tahun UGM mengucurkan dana beasiswa Rp 20 milyar. Beasiswa yang dananya berasal dari pihak eksternal dan internal UGM itu diberikan kepada 8.000 mahasiswa. Namun sebagian besar beasiswa itu berbentuk "pemberian uang". Artinya, mahasiswa hanya diberi uang. Sedangkan beasiswa pohon jati lebih menarik. "Karena tanggung jawab mahasiswa mengelola bibit jati dikonversikan dengan beasiswa," katanya.

Menurut Direktur Kelembagaan pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional, Hendarman, program beasiswa pohon jati itu menambah keragaman program beasiswa yang ditawarkan di perguruan tinggi. "Idenya, menurut saya, bagus sekali. Apalagi tidak harus dalam bentuk uang, tapi berupa investasi jangka panjang," ujarnya.

Hendarman menyatakan, Dikti mengeluarkan sejumlah program beasiswa. Antara lain beasiswa yang tidak mensyaratkan nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) tinggi dan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM). Besarnya Rp 250.000 per bulan. "IPK nggak jadi satu-satunya syarat. Kalau memang ada putra daerah yang kurang mampu, silakan mengajukan beasiswa," ucapnya.

***

Perguruan tinggi tidak perlu takut rugi karena berperan serta dalam program beasiswa pohon jati itu. Menurut Kepala Pusat Informasi Kehutanan Departemen Kehutanan (Dephut), Masyhud, kendati menanam pohon jati baru bisa dinikmati hasilnya 15 tahun kemudian, dari sisi bisnis nilainya cukup menggiurkan. Dari satu pohon jati berusia 15 tahun, bisa diperoleh 0,8 kubik kayu jati. Pada saat ini, harga jual kayu jati adalah Rp 3,5 juta per kubik.

Jika dihitung dengan harga 15 tahun mendatang, tentu harganya akan jauh lebih mahal. Maklum saja, dari tahun ke tahun kebutuhan masyarakat akan kayu jati selalu meningkat. Alhasil, harga jual kayu jati yang berlaku di pasar juga dinamis. Karena itu, jarang sekali harga jual kayu jati turun. "Terlebih jika jatinya termasuk yang harganya fancy (mahal --Red.). Sudah banyak yang menunggu untuk membelinya," tutur Masyhud kepada Birny Birdieni dari Gatra.

Alumnus Fakultas Kehutanan UGM itu mengakui, program beasiswa pohon jati yang dilontarkan Sultan itu sangat membantu Dephut. Tapi yang perlu diingat, kata Masyhud, menanam pohon tidak hanya menanam lalu selesai. Masyarakat pun harus mendapat edukasi dan motivasi bahwa dengan menanam pohon bisa diperoleh keuntungan secara ekonomi. "Juga lingkungan yang banyak ditanami pohon bisa menghasilkan energi, air, serta menyerap emisi," ujarnya.

Sujud Dwi Pratisto, dan Arif Koes Hernawan (Yogyakarta)
[Pendidikan, Gatra Nomor 15 Beredar Kamis, 11 Februari 2010]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar