Kamis, 06 Agustus 2009

Elit Berkuasa Masih Penghalang Mimpi Indonesia ?

Oleh : Mahiruddin Siregar

Seharusnya tidak. Bahkan rakyat mengharapkan agar elit berkuasa tersebutlah yang bertindak sebagai penggerak percepatan terwujudnya mimpi-mimpi Indonesia.

Elit berkuasa di Indonesia terdiri dari penguasa dan pengusaha. Penguasa merupakan elit politik, sedangkan pengusaha merupakan elit ekonomi. Kedua kelompok elit berkuasa ini selalu menjalin kerja sama untuk saling meraup keuntungan pribadi dan kelompoknya masing-masing. Tak perlu berpikir apakah keuntungan tersebut juga menguntungkan bagi bangsa dan negara, kalau ya syukur, tapi kalau tidak pun, apa boleh buat.

Akibatnya negara tidak pernah menjadi kaya, malah terus terlilit hutang, yang kaya raya hanya segelintir elit tersebut. Sedangkan negara bersama rakyat dan masyarakat luas, tetap dalam kemiskinan, kebodohan dan sakit-sakitan.

Padahal sumber daya alam Indonesia sangat melimpah ruah, potensi kekayaan bumi, air dan semua yang terkandung didalamnya sungguh luar biasa banyaknya. Tetapi akibat tidak adanya rasa nasionalisme dan sikap independen elit pemerintah maka hasilnya hanya dinikmati dan mengalir keluar negeri, sedikit sisanya untuk keuntungan elit pengusaha lokal dan penguasa, sedangkan untuk rakyat adalah sisa-sisa kerusakan alam dan lingkungan yang sangat parah.

Pemerintah dan pengusaha selalu terbelenggu dengan kepentingan mereka masing-masing, sehingga semua kebijakan harus melalui perhitungan yang seksama dan matang, apakah akan mendatangkan keuntungan secara pribadi atau tidak, kalau ya lanjutkan, kalau tidak hentikan.

Perhitungan untung rugi tersebut mengakibatkan pemerintah selalu gamang untuk bertindak tegas kepada para investor asing. Apalagi para investor itu sangat didukung oleh pemerintah negaranya masing-masing, yang nota bene juga elit pemerintah Indonesia sangat tergantung secara politis kepada pemerintah negara-negara tersebut.

Maka jadilah beberapa undang-undang, peraturan pemerintah dan keputusan menteri, dll, sangat pro-asing, dan sangat jarang yang pro-rakyat.

Hasilnya adalah industri dalam negeri lesu karena pemerintah lebih suka mengimpor produk asing ketimbang memperbaiki mutu produk lokal.

Pertanian terlantar karena petani tidak pernah mendapatkan nilai tambah yang memadai dan mereka lebih memilih alih professi menjadi buruh atau TKI keluar negeri.

Akibatnya hampir seluruh barang kebutuhan masyarakat harus diimpor mulai dari beras, jagung, singkong, kedelai, buah-buahan, daging, gula, dll, padahal sesungguhnya Indonesia adalah negara agraris dan sangat potensial untuk memproduksi barang-barang tersebut, bukan hanya untuk mencukupi keperluan sendiri malah bisa mengekspor sisanya.

Dipihak lain barang-barang ekspor Indonesia kebanyakan masih berupa bahan mentah seperti : kayu, rotan, getah, minyak sawit, biji coklat, barang tambang, dll, sangat kurang manufaktur untuk mengolah bahan mentah tersebut menjadi barang jadi yang siap pakai oleh konsumennya.
Jika ada, tentunya nilai tambah akan dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia, dan juga akan lebih banyak menyerap tenaga kerja.

Mengapa elit politik kita sangat sulit berpihak kepada rakyat ?

Meski tidak terbukti secara kasat mata, tetapi sangat terasa bahwa yang menjadi tujuan pokok adalah "uud = ujung-ujung nya duit". Tugas sebagai pejabat dan aparat dianggap sebagai pekerjaan yang harus menghidupi keluarga, makanya kalau gaji yang diperoleh kurang memadai perlu ada tambahan dan segala cara pun dilakukan. Tugas pengabdian kepada masyarakat masih nomor belakang, yang nomor satu adalah meningkatkan taraf hidup keluarga.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam penyusunan undang-undang oleh DPR maupun pemerintah sering terjadi "jaul-beli" pasal-pasal antara pembuat undang-undang dan pengusaha yang berkepentingan dengan pelaksanaan undang-undang tersebut.

Demikian juga dalam kebijakan dan keputusan ekspor - impor barang sangat riskan dengan godaan "komisi" oleh para importir dan eksportir. Akibatnya barang-barang yang seharusnya tidak boleh diekspor atau diimpor, bisa mendapat izin berkat permainan "komisi" tersebut.

Untuk menjadi negara besar, yang merdeka, berdaulat dan adil makmur, sebagaimana diimpikan oleh pendiri bangsa, seharusnya masyarakat tidak boleh tergantung dengan barang impor. Sebaliknya produk dalam negeri seharusnya terlebih dahulu untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, sisanya baru boleh diekspor.

Hal tersebut sangat pokok, untuk menentukan kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional.

Selama elit berkuasa belum mampu berbuat untuk kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional seperti tersebut diatas, maka sesungguhnya mereka masih merupakan penghalang bagi terwujudnya mimpi Indonesia.

Note : foto Green Village, Lombok Indonesia by Nature Explorer, www.flickr.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar