Minggu, 16 Agustus 2009

Potensi Kelautan Belum Tersentuh

Republika.co.id, Sabtu, 15 Agustus 2009 pukul 01:20:00

Membangun Sektor Kelautan dan Perikanan


Oleh: Prof Dr Ir Rizald M Rompas M Agr
(Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan)


Tiga puluh tahun ke depan dapat dikatakan sebagai masa-masa yang penuh gejolak. Perekonomian dunia akan mengalami perubahan dahsyat, akibat dorongan teknologi dan globalisasi. Setiap negara pun dipaksa melakukan perubahan ekonomi melalui basis keunggulan kompetitif.

Akibatnya, negara maju dan negara berkembang mau tidak mau harus menghadapi situasi yang disebut oleh futurology Keniche Ohmae sebagai The Borderless World . Pasar menjadi berkembang begitu bebas tanpa ada yang dapat memastikan apa yang akan terjadi.

Lalu, bagaimana Indonesia menghadapi paksaan itu? Sebagai negara maritim, mau tidak mau Indonesia harus mengelola bidang kelautan dan perikanan yang merupakan unggulan kempetitifnya. Sektor inilah ke depan yang akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia, setelah kekayaan bumi, seperti tambang dan hutan yang over eksploitasi.

Indikatornya adalah kapasitas suplai sangat besar, permintaan terus meningkat, input berasal dari sumber daya lokal dan output -nya dapat diekspor, dapat membangkitkan industri hulu hilir, dapat menyerap banyak tenaga kerja, dan dapat menciptakan industri perikanan berteknologi, seperti bahan sediaan farmasi.

Untuk membangun sektor kelautan dan perikanan yang merupakan sektor riil itu, diperlukan pertimbangan yang kuat dan modal dasar yang memang sudah ada. Di antaranya, pertama, Indonesia memiliki luas wilayah 5,8 juta km, dengan garis pantai 95.181 km. Di dalamnya, terkandung potensi ekonomi perikanan senilai 31.935.651.400 dolar AS/tahun, potensi bioteknologi/sediaan farmatika senilai 40 miliar dolar AS dan potensi ekonomi wilayah pesisir sekitar 56 miliar dolar AS per tahun.

Kedua, jumlah nelayan Indonesia 2.512.820 orang, terdiri atas penangkap ikan laut 1.963.430 orang, penangkap ikan danau dan waduk 549.390 dan pembudidayaan ikan 378.100 orang, dengan luas budidaya laut 0,87 juta km dan budidaya tawar dan payau 764.910 ha.

Ketiga, investasi yang diperlukan tidak besar, perputaran usaha relatif singkat dengan jumlah produk cukup besar. Keempat laut Indonesia berhubungan dengan Samudera Pasifik dan Hindia. Kehidupan ikan-ikan pelagis besar, seperti bluefin tuna dan ikan-ikan yang memiliki daya imigrasi jauh banyak tersedia di sana.

Selama ini kontribusi perikanan terhadap PDB 2008 hanya 2,7 persen, lebih kecil dari sektor lain. Padahal, potensi industri perikanan sangat besar. Volume ekspornya pun menurun, 926.478 ton pada 2007 menjadi 857.783 pada 2008. Ini menunjukkan penangkapan dan pembudayaan ikan sangat lemah.

Industri bioteknologi laut, seperti farmasi dan kosmetika yang berasal dari hayati laut juga tidak ada. Padahal, bahan bakunya luar biasa banyak. Itu semua akibat dari kebijakan percepatan usaha perikanan yang belum sugnifikan dan penanganan ilegal fishing , yang belum maksimal.

Ironisnya, dalam usaha budidaya udang, Indonesia masih mengekspor induk udang 900 ribu ekor dan benur udang sebanyak 52,31 miliar ekor dari Amerika Serikat. Demikian pula, industri garam nasional belum berkembang dengan baik, padahal areal yang dimiliki cukup luas, 37 ribu ha.

Dari kondisi itu, kehidupan nelayan, budidaya ikan, dan petambak garam masih relatif miskin dan terlilit hutang, karena income mereka hanya Rp 1,4 juta per orang. Dari realitas itu, kondisi yang diinginkan ke depan adalah terget-target yang harus dicapai, sebagai jabaran terukur dan operasional dari amanat UU No 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025, yaitu 'Mewujudkan Indonesia Menjadi Negara Kepulauan yang Mandiri, Maju, Kuat, dan Berbasiskan Kepentingan Nasional'.

Yang harus dilakukan untuk capaian itu adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan masyarakat pesisir, dengan pendapatan rata-rata Rp 5 juta/bulan, menaikkan kontribusi PDB hingga 10 persen pada tahun 2014, dan menyerap tenaga kerja 20 juta orang.

Selain itu, terbangunnya 10 ribu ha budidaya perikanan baru di pesisir timur Sumatra, Selat Karimata, Utara Jawa, NTB, NTT, Teluk Tomini, Kepulauan Sangihe, Kepulauan Talaud, Kepulauan Sitaro, Bolang Mongondow Selatan, Gorontalo Maluku Utara, serta Papua Utara dan Selatan.

Terbangunnya kawasan industri ( cluster ) pengolahan ikan terpadu dengan pusat-pusat distribusi dan pemasaran pada kawawsan pesisir barat Sumatra, Selat Karimata, Selatan Jawa, Papua Barat, dan Selat Makassar. Terbangunnya pusat pembenihan di kabupaten kota yang memiliki wilayah pantai.

Terbangunnya laboratorium pengujian mutu sesuai standar internasional, tesedianya tempat penyimpanan agar hasil laut memiliki daya saing tinggi di pasar dunia. Terbangunnya dua industri farmasi laut. Terbangunnya industri air mineral dan garam mineral berkualitas prima di Maluku, NTT, dan Bolang Mongondow.

Teratasinya pencurian ikan di laut oleh pihak asing. Terpeliharanya lingkungan laut, terbangunnya industri garam rakyat, dan meningkatnya konsumsi protein hasil laut hingga 60 kg per kapita per orang (Jepang 104 kg per kapita per orang).

Program pembangunan strategis
Program pembangunan sektor kelautan dan perikanan itu bertujuan menumbuhkan ekonomi nasional yang prorakyat, melalui Panca Program Strategis (PPS), sebagai kelanjutan dari program Kabinet Indonesia Bersatu, yang selama lima tahun ini belum terpenuhi.

Pertama, program keberpihakan kepada kaum miskin. Program ini dimulai pada awal kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun para pengambil kebijakan belum mampu menerjemahkannya dalam pelbagai kegiatan sehingga kehidupan nelayan, pembudidayaan ikan, dan rakyat pesisir tetap mikin.

Melalui program ini, akan dibangun pusat-pusat pembenihan udang, selar, dan jenis kerang-kerangan di kabupaten kota yang memiliki pantai laut. Program ini akan memecahkan persoalan kaum nelayan yang terpaksa mencari ikan, jauh ke bermil-mil ke laut lepas. Sebagai pilot project, dilakukan di perairan Pulau Jawa yang padat nelayan.

Kemudian, mempercepat pembangunan 2.000 unit kapal motor ikan dan mendorong pembukaan tambak garam baru di kawasan Timur, terutama di Maluku, NTT, Teluk Tomini, dan Papua. Kedua, program percepatan pertumbuhan ekonomi, yaitu menciptakan iklim investasi yang baik melalui kebijakan perkreditan dengan proses mudah, mendorong investor mendirikan industri farmasi laut, meningkatkan keandalan prasarana dan sistem jaringan perikanan.

Mempercepat pembentukan pelabuhan perikanan samudera (PPS) sebagai sentra industri perikanan terpadu di Bitung dan Papua. Memperbaiki dan menambah laboratorium pengujian mutu, serta meningkatkan produksi perikanan mencapai 20-22 juta ton per tahun.

Ketiga, program penyerapan tenaga kerja. Mengintensifkan area pertambakan udang dan ikan yang terbengkalai, mendorong pertumbuhan industri air mineral laut dan garam mineral, mengintegrasikan usaha hulu hilir agar penyerapan tenaga kerja makin bertambah.

Keempat, program kepedulian terhadap lingkungan melalui pendekatan ekosistem. Mempercepat dan merealisasikan pembangunan jaringan Marine Protected Areas di kawasan Coral Triangle dan menjalin kerja sama formal antarnegara di kawasan tersebut.

Kelima, program pendidikan. Menyadarkan para nelayan bahwa penggunaan bahan peledak dapat merusak lingkungan dan sumber mata pencarian. Melatih keterampilan para nelayan untuk menjamin kualitas tangkapan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar