Rabu, 05 Agustus 2009

Mengurangi Impor Gandum

Mi Rasa Hotong, Mau?

Proses Produksi Mie Hotong (GATRA/Cavin R. Manuputty)Debat calon presiden beberapa waktu lalu menyisakan tema menarik. Yakni soal mi dengan bahan baku utama gandum. Adalah calon presiden Jusuf Kalla (JK) yang melontarkan kritik iklan "Indomie" yang diadopsi tim sukses Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sambil bergurau, JK menyentil SBY bahwa iklan itu mengindikasikan ketergantungan Indonesia pada bahan impor untuk membuat Indomie. Namun SBY menangkis tudingan seterunya itu. Menurut SBY, tidak tertutup kemungkinan Indomie dibuat dari bahan lokal, seperti mi jagung.

Sentilan JK itu sesungguhnya menyiratkan kekhawatiran mendalam ketergantungan Indonesia pada bahan pangan impor. Ini akibat politik pangan dunia, yang menyebabkan Indonesia masuk dalam food trap atau jebakan pangan. Jika berlangsung terus-menerus secara ekstrem, hal itu bisa mengakibatkan terenggutnya keleluasaan Indonesia dalam menentukan kebijakan pangan nasional.

Contohnya adalah produk gandum sebagai bahan utama mi pada saat ini. Konsumsi terigu dari bahan gandum terus meningkat 5%-10% setiap tahun. Lantaran tidak memiliki lahan gandum, Indonesia harus mengimpornya sebanyak 100%.

Data Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) menunjukkan, Indonesia mengimpor lebih kurang 3,5 juta ton sepanjang tahun lalu. Dari jumlah itu, 70% dikonsumsi sektor industri kecil-menengah. Selebihnya diserap perusahaan skala besar. Maka, tak mengherankan jika Indonesia menempati posisi keenam sebagai negara pengimpor gandum, setelah Brasil, Mesir, Iran, Jepang, dan Aljazair. ''Karena itulah, jumlah impor gandum ini harus dikurangi,'' ujar Sam Herodian, peneliti pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

Jika tidak, menurut Sam, Indonesia bakal terus terjebak pada ketergantungan pangan. Untuk mengatasinya, masyarakat harus diajak mengalihkan ketergantungan pada gandum, dengan memanfaatkan gandum lokal yang kini banyak dikembangkan di beberapa daerah Indonesia. Selain varietas murni gandum yang mulai dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi alam Indonesia, ada juga produk pangan yang bisa menjadi substitusi gandum.

GATRA (Dok. GATRA)

Sam dan beberapa peneliti IPB telah menemukan sejenis tanaman lokal di Pulau Buru, Maluku, yang berpotensi dikembangkan menjadi pengganti gandum. Tanaman yang disebut buru hotong itu mudah tumbuh di mana saja, bahkan di lahan marjinal sekalipun. Tanaman ini juga tidak memerlukan infrastruktur khusus seperti padi. ''Ditanam di lahan kering pun bisa tumbuh,'' ungkap Sam.

Dengan demikian, buru hotong bisa dikembangkan di daerah panas seperti Maluku dan Nusa Tenggara. ''Prioritas pada daerah-daerah yang tidak subur bagi tanaman pangan lain,'' ujar Sam.

Menurut Sam, kandungan protein buru hotong cukup tinggi dan seratnya mengandung antioksidan. Hasil penelitian Sam menunjukkan, buru hotong mengandung banyak vitamin E. Itulah sebabnya, di Pulau Buru, bubur buru hotong digunakan untuk mengobati orang yang terkena bisa ular atau hewan laut. ''Kandungan karbohidrat tanaman ini mirip yang ada pada beras,'' kata Sam.

Namun, menurut Sam, buru hotong masih memiliki kelemahan. Antara lain, produktivitasnya masih rendah dan tidak mangandung gluten, sehingga tidak dapat mengembang seperti terigu. Akibatnya, tidak dapat dipakai untuk bahan baku roti dan makanan lain yang membutuhkan pengembangan. Bijinya pun sangat kecil sehingga sulit dikupas.

Toh, kelemahan itu bisa diatasi dengan pengembangan benih melalui plant breeding untuk meningkatkan produktivitas. Agar makanan dari bahan baku tanaman ini bisa mengembang, Sam menyarankan untuk memprosesnya menggunakan sedikit terigu sebagai campuran. ''Jika tidak dicampur terigu, mi yang dihasilkan sangat rapuh,'' ujarnya. Begitu pula, pengupasan biji buru hotong yang berukuran kecil bisa dilakukan dengan mesin pengupas yang telah didesain tim dari Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Sejatinya, teknologi pembuatan bubur instan buru hotong sudah ditemukan. Namun belum adanya jaringan listrik menjadi kendala untuk dikembangkan menjadi skala industri. ''Kami tunda sampai bulan depan, dengan harapan listrik sudah terpasang,'' ungkap Sam. Jika mesin telah terpasang, produk yang dapat dihasilkan dari bahan buru hotong menjadi sangat bervariasi, termasuk berbagai jenis kudapan.

Sam mengharapkan, semua elemen masyarakat bahu-membahu mengurangi penggunaan terigu, dengan mengalihkannya ke bahan baku lokal seperti buru hotong. ''Apabila pemerintah membantu dan mendorong penggunaan bahan baku lokal untuk pemenuhan bahan pangan pokok, maka dalam waktu tidak terlalu lama, bahan baku lokal pasti akan menggantikan bahan baku impor secara signifikan,'' katanya.

GATRA (Dok. GATRA)

Jika Maluku punya buru hotong, maka Papua kaya dengan pokem. Tanaman yang juga disebut "otong" itu lebih dikenal sebagai "gandum Papua". Dari hasil penelitian diketahui, pokem memiliki kadar gizi sangat tinggi. Sayang, potensinya belum digali secara maksimal. ''Padahal, wilayah Papua sangat potensial untuk pengembangan tanaman ini,'' ujar Frans Rumbrawer, peneliti pokem dari Universitas Cenderawasih, Papua.

Pria kelahiran Bosnabraidi, Kabupaten Biak Numfor, Papua, 54 tahun silam, itu tertarik meneliti bahan pangan lokal di Numfor Biak sejak 2003, lantaran mayoritas kaum intelek asal Papua dibesarkan dengan makanan lokal. Misalnya, pokem menjadi makanan pokok warga Biak Numfor sejak zaman leluhur hingga sekarang. Ironisnya, belum ada peneliti yang tertarik meneliti bahan baku pangan lokal itu.

Penelitian Frans ditindaklanjuti dengan uji laboratorium gizi di IPB. Hasilnya, pokem mengandung gizi lebih baik dibandingkan dengan gandum murni (Triricum spp), khususnya lemak, protein, dan karbohidrat. Namun master antropologi lulusan Universitas Indonesia tahun 1995 itu mengakui bahwa masih ada kelemahan pada pokem, karena mengandung trace elemen yang tidak dibutuhkan dalam tubuh manusia, antara lain Hg, Cu, dan As.

''Unsur-unsur itu mempengaruhi kualitas produksi pangan yang akan dikonsumsi masyarakat,'' kata Sekretaris Lembaga Penelitian Universitas Cenderawasih di Jayapura itu.

Tapi kelemahan tersebut dapat diminimalkan dengan teknologi bidang pengelolaan pangan. ''Orang Numfor sendiri telah mengetahui teknik untuk mengatasinya,'' ujar alumnus FKIP Jurusan Bahasa Indonesia Universitas Cenderawasih itu kepada Antonius Un Taolin dari Gatra.

Setelah hasil penelitian dirilis, masyarakat Biak Numfor makin rajin membudidayakan pokem sejak 2004, didukung pemerintah daerah setempat. Dengan demikian, Frans berharap, hasil gandum Papua ini bisa menekan impor gandum secara nasional. ''Karena produk pangan lokal pokem bisa menggantikan peran terigu,'' kata Frans.

Karena itu, kandidat doktor di Universitas Padjadjaran, Bandung, dengan judul tesis "Ketersediaan Etnosains Papua" yang membedah khusus kadar gizi pokem, itu mengharapkan dukungan Pemerintah Papua dan Jakarta untuk terus mengembangkan tanaman pokem.

GATRA (Dok. GATRA)

Jika potensinya ada, mengapa pemerintah tidak segera mengembangkan gandum lokal? Menurut Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Sutarto Ali Moeso, tidak mudah mengubah pola makan masyarakat. Dengan merebaknya budaya modern, masyarakat Indonesia menjadi terbiasa mengonsumsi makanan instan, seperti mi dan roti, yang umumnya terbuat dari gandum.

Nah, untuk mengurangi ketergantungan pada impor gandum, masyarakat harus mengubah budaya makan. ''Yakni dengan mengonsumsi makanan berbahan lokal,'' ujar Sutarto.

Gerakan itu telah dicanangkan lewat Peraturan Presiden tentang Menuju Pola Makan Harapan, yaitu pola makanan yang bergizi dengan bahan lokal. ''Agar multiplier effect-nya kembali ke masyarakat sendiri,'' katanya.

Makanan yang selama ini berbahan terigu bisa disubstitusi dengan bahan lokal. Contohnya buru hotong atau pokem tadi. ''Namun perlu didukung dengan teknologi pangan untuk mencapai hal itu,'' kata Sutarto. Bahkan, dengan teknologi, makanan yang selama ini berbahan terigu bisa disubstitusi dengan bahan ketela.

Memang sampai saat ini tidak murni ketela. Tapi, dengan campuran bahan lokal, setidaknya bisa mengurangi kebutuhan gandum. ''Pada saat ini, dengan teknologi pangan malah bisa membuat mi dari jagung,'' katanya.

Intinya, pengembangan tanaman substitusi gandum harus didampingi dengan pengembangan teknologi pangan dan kampanye untuk mengubah budaya pangan masyarakat. ''Tidak mudah, memang. Tapi akan terus diupayakan agar kita tak begitu bergantung pada impor gandum,'' ujar Sutarto.

Heru Pamuji, Syamsul Hidayat, dan Cavin R. Manuputty
[Ekonomi, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 23 Juli 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar